"Aku layak untuk itu, ma."
Wajahku berurai air mata. Aku meneriakkan kalimat itu sebelum melanglah untuk menjauh dari hadapan kedua orang tuanku. Aku menuju ke sebuah dermaga yang tak jauh dari rumahku untuk menjernihkan kepalaku.
Mengapa kedua orang tuanku tak menyetujui keinginanku? Cita-citaku bukan hal yang salah. Siapapun berhak untuk memiliki cita-cita. Tidakkah mereka tahu bagaimana perjuangan Kartini agar perempuan tidak terjajah lagi oleh laki-laki? Begitu juga aku. Aku pun akan memperjuangkan cita-citaku.
Seseorang menepuk pundakku yang tengah sesenggukan sambil menatap perahu-perahu yang melebarkan layarnya.
"Bukan seperti itu maksud kami, nak. Hanya saja cita-citamu itu lebih cocok untuk laki-laki." ayah berusaha menenangkanku, satu-satunya anak gadis yang beliau miliki.
"Kenapa ayah melarangku?"
Ayah terdiam. Kemudian aku menengadahkan kepalaku untuk menatap ayah. Memantapkan hatiku demi masa depanku.
"Ayah, beri aku kesempatan. Dan ayah akan bangga melihatku sebagai seorang pelaut."
Dan ya, aku tak pernah mengingkari ucapanku. Beberapa tahun kemudian aku pulang ke hadapan ayah dengan seragam perwira pelaut. Membuat orang tuaku bangga memilikiku. Kartini kecil mereka yang berani berjuang demi masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D