Jumat, 13 Maret 2015

Don't Follow Me


Kembali aku melangkahkan kakiku, sambil sesekali aku menoleh ke belakang. Aku terus melangkah secepat mungkin. Bahkan rasa takut mampu mengalahkan rasa dingin di tubuhku. Jantungku berdegup kencang seolah hendak meloncat melalui tenggorokanku.

Mereka berpikir aku gila. Tapi siapa mereka? Apa hak mereka mengatai aku perempuan gila? Tidak. Aku ini masih waras. Aku masih punya akal. Aku masih bisa berpikir dengan baik.

Dingin semakin menyerbu. Pakaianku basah kuyup oleh salju. Tapi aku masih terus melangkah. Aku harus melangkah sejauh mungkin, sementara laki-laki itu terus mengikutiku. Sebilah pisau tajam mengacung seolah siap menghujamku kapanpun aku lengah.

Air mata tak berhenti mengalir membasahi wajahku. Lelaki itu selalu membuatku takut. Sejak kami menikah, ia berubah. Ia sudah tak mencintaiku lagi. Ia menyiksaku, menyiksa fisik dan batinku.

Namun kali ini nampaknya dia benar-benar akan membunuhku. Aku terus melangkah, melawan salju yang semakin lebat. Sedikit lagi aku akan sampai ke rumah orang tuaku. Aku tahu hanya mereka yang mampu melindungiku. 

Langkahku semakin memburu, lelaki itu pun semakin mendekat padaku. 

Tok tok tok.

Aku mengetuk pintu rumah dengan keras sambil berteriak memanggil ibuku. Aku tahu mereka pasti sudah tertidur tengah malam begini. Kembali ku ketuk berulang-ulang pintu itu dengan keras. Sambil sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan suamiku yang semakin mendekat. Ya, hanya tujuh meter di belakangku.

Klek klek.

Suara kunci diputar dua kali. Diikuti dengan gagang pintu yang bergerak. Tapi terlambat. Lelaki itu telah berdiri tepat di belakangku, mengayunkan pisaunya ke arahku. Dan-

"Tidaaaaaak!!!" Aku menjerit sekeras-kerasnya. Sepasang tangan hangat merengkuhku dengan erat.

"Ada apa Emily?" seorang wanita bergumam lembut di telingaku. Aku membuka mataku perlahan. Ibu. Ibu memelukku yang tengah terduduk lemah di depan pintu.

"Steven. Dia menyakitiku lagi ibu. Dia akan membunuhku." Aku mengatakan yang sebenarnya terjadi. Kemudian aku menatap lelaki di samping ibuku.

"Ayah, aku ingin bercerai dengan Steven." Tangisku tak bisa berhenti. Justru semakin keras. Dia lelaki yang sangat ku cintai, namun perlakuannya tak bisa lagi ku terima. Dia selalu menyiksaku, terlebih ketika ia tahu aku tak bisa memberinya anak.

"Emily, bicara apa kau sayang?" Ayah mengerutkan dahinya. "Steven sudah meninggal dua hari yang lalu."

Aku terperangah mendengar ucapan ayah. Aku mengerutkan kening, memikirkan sesuatu yang sepertinya telah kulupakan. Seulas senyum tersungging di bibirku. 

Ya, aku lupa. Aku yang telah membunuhnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D