Warna langit yang mulai terbagi dua mengintip dari celah dedaunan yang menaungi hutan. Hitamnya malam mulai dihapus perlahan oleh cahaya kemerahan fajar. Bulan tampak bertengger indah seperti mutiara putih yang berkilau. Forst berjalan menyusuri jalan untuk keluar dari hutan. Sesekali ia menyapa hangat pohon-pohon yang tumbuh menjulang.
Sejak lahir, Forst memang sudah memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi dengan tanaman. Sebuah berkah sekaligus musibah
bagi hidupnya. Forst merasa bahagia bisa mengerti perasaan tanaman di sekitar
tempat tinggalnya. Ia mengerti benar bagaimana rasa bahagia mereka saat ada
manusia yang menyirami penuh kasih sayang. Dan juga bagaimana tersiksanya
mereka saat ada manusia yang menyakiti mereka dengan sengaja. Diinjak, dicabut
paksa, bahkan ditebang secara membabi buta.
Sekuat tenaga Forst mencoba untuk
mendeskripsikan rasa sakit para tanaman kepada teman dan keluarganya. Forst
kecil memiliki impian agar seluruh makhluk bumi hidup damai dan saling
menghargai. Tapi apa yang didapat Forst jauh dari yang diharapkannya. Alih-alih
mengerti, teman-temannya malah menjauhi Forst dan menghinanya dengan kejam. Begitu
juga dengan orang tuanya yang tega menelantarkan Forst dengan alasan yang
senada.
Forst tahu ia berbeda. Tidak. Ia istimewa.
Seperti kata neneknya.
Dan entah bagaimana caranya, Forst bisa terdampar di Derion. Tempat itu
benar-benar asing baginya. Tapi ia merasa seperti pulang ke rumah. Di sana ia
merasa diterima apa adanya. Padahal
ia jelas berbeda dari mereka semua. Forst manusia sedangkan mereka semua adalah
peri.
Siapa sangka peri itu nyata adanya? Selama
ini manusia terus berusaha untuk mencari tahu keberadaan makhluk itu tapi tidak
pernah berhasil. Sementara tanpa sengaja Forst bisa masuk ke dunia para peri.
Bukankah itu keberuntungan yang patut disyukuri?
“Kembalilah
nanti malam pukul tujuh tepat. Jangan terlambat!”
Saderet kalimat bernada tinggi terngiang
di telinga Forst. Lelaki itu menggedikkan bahunya. Seulas senyum kecil terukir
di bibirnya. Itu adalah suara Selva.
Tadi Selva dan Saki yang mengantar Forst
pulang. Saki melafalkan mantra pembuka gerbang yang begitu panjang dengan
sempurna. Sedangkan Selva bertugas menjaga dari serangan yang mungkin datang tanpa
diduga.
Forst memang merasa bahagia tinggal di
Derion. Apalagi Dash secara khusus memintanya terlibat dalam sebuah misi
penting. Tapi bagaimanapun Forst harus pulang ke dunia manusia walaupun
sebentar. Ada banyak teman-teman yang harus dilindunginya.
Teman-teman Forst masih saja mendapat
perlakuan jahat dari manusia di sekitar mereka. Dan ia dengan senang hati, menyembuhkan luka mereka. Syukurlah,
teman-teman Forst adalah makhluk yang sabar. Tidak pernah sekalipun ia
mendengar mereka ingin membalas dendam kepada manusia. Memang manusialah yang
bodoh karena menyia-nyiakan tanaman yang memberi kehidupan.
Para tanaman itu dilukai dengan berbagai
cara. Entah ditusuk dengan paku, disayat dengan pisau, atau diinjak-injak tanpa
ampun. Dan Forst memiliki cara istimewa untuk mengobati luka-luka seperti itu. Ia
memiliki berbagai macam serbuk dan cairan beragam warna yang selalu dibawanya
di dalam tas. Cairan dan serbuk itu memiliki kemampuan menyembuhkan dengan
cepat. Sebuah pohon tua yang kokoh dan menjulang yang mengajarkan hal itu
kepada Forst. Ia menyebutnya dengan sebutan ‘kakek’. Sayangnya, kakek Forst
harus meninggal karena ditebang paksa untuk pelebaran jalan di daerah tempat
tinggalnya.
Kala itu, Forst tidak sanggup melakukan
apapun. Ia hanya mampu berteriak dan menangis tanpa bisa melindungi kakeknya.
Ia terlampau belia untuk melawan orang dewasa yang terus menghalanginya.
Tapi kini berbeda. Forst ingin melindungi
semua tanaman di dunia. Ia tidak ingin ada yang bernasib malang seperti
kakeknya.
Kaki jenjang Forst melangkah lebar keluar
dari hutan. Ia harus bergegas. Karena jika matahari sudah terbit, akan ada
banyak manusia yang sudah terjaga dari tidurnya. Dan Forst tidak menyukai itu.
Baru saja kaki Forst menginjak tanah di
luar hutan, ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Perlahan lelaki itu
menoleh dan mendapati seorang gadis tengah berlari kecil ke arahnya. Pupil
matanya yang hijau melebar. Ekspresinya membeku seketika begitu mengenali sosok
itu. Gadis itu... bukankah...
“Dasar
kau anak pungut!”
Punggung Forst menegang seketika. Sederet
kalimat menyakitkan menghunjam di belakang kepalanya. Perlahan ia menggelengkan
kepalanya, mencoba mengusir kenangan pahit itu.
“Lihat,
dia berbicara dengan pohon di halaman sekolah!”
Tapi sialanya, usaha itu sia-sia belaka.
Sebaris hinaan lain kembali muncul dalam benaknya. Seolah mencekik kuat
lehernya hingga kepalanya terasa pening.
“Jangan
mendekatiku! Pergilah bergabung dengan orang yang sama anehnya seperti dirimu!”
Kata-kata menyakitkan yang lainnya ikut
melompat dalam ingatannya, diikuti gelak tawa yang menghina. Dalam sekejap ingatan itu menghisap habis oksigen di
sekeliling Forst.
Forst menekan keningnya kuat-kuat. Ia
ingin berlari. Tapi kakunya terpaku kuat tidak bisa bergerak. Apa yang harus
dilakukannya sekarang. Tidak! Gadis
itu sudah berdiri di hadapannya sekarang.
“Hei, Forst.” Gadis itu menyapanya dengan
ramah dan tanpa beban. Seakan-akan kenangan buruk antara mereka di masa lalu
hanyalah sebutir debu yang diembus angin. Sudut-sudut bibir gadis itu
melengkungkan senyuman yang menusuk hati Forst. “Kau masih ingat padaku?”
Tidak sedikitpun Forst mampu
menyembunyikan warna amarah di wajahnya. Matanya menyipit tajam. Alisnya menyatu
di tengah kening. Bibirnya berkerut seperti melihat sesuatu yang menjijikkan.
“Ayolah, Forst. Jangan berwajah seperti
itu.” Gadis itu sedikit menahan tawa kecilnya. “Bukankah kita teman?”
Teman?
Teman! Teman! Teman! Satu
kata itu terus berputar cepat dalam benak Forst, membuat kepalanya semakin
terasa pening. Sebenarnya, apa makna teman
sesungguhnya? Apakah pantas seorang teman menyakiti temannya sendiri?
Cepat
pergi, Forst! Jangan hiraukan dia!
Tiba-tiba Forst mendengar suara di
belakang telinganya. Itu pasti suara dari tanaman di sekitarnya... suara dari
teman-temannya! Teman yang sesungguhnya!
Benar,
Forst! Menjauhlah dari gadis itu.
Entah keajaiban apa yang sudah memberi
Forst kekuatan. Beban berat yang membelenggu kakinya, tiba-tiba sirna begitu
saja. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu tentu saja. Ia angkat kaki dan
mulai berlari.
Pacu
langkahmu! Berlarilah, Forst!
Dukungan yang lainnya mulai bersahutan. Forst
seperti sedang berada di lintasan lomba lari yang tidak berujung. Ia harus
pergi dari hadapan gadis ini. Demi dirinya sendiri! Demi menjaga hatinya dari
perasaan terluka!
“Hei, hei, Forst!” Suara gadis itu
terdengar begitu terkejut dengan tindakan kabur Forst yang begitu tiba-tiba.
Tapi sedetik kemudian, terdengar derap langkah gadis itu yang berusaha mengejar
Forst. “Hei, tunggu aku, Forst! Kenapa kau tiba-tiba berlari?”
Forst menulikan telinganya dari teriakan
gadis itu. Sementara kakinya tetap melangkah cepat. Tidak sedikitpun ia menoleh
ke belakang!
***
Forst perlahan menurunkan tempo
langkahnya. Ia sudah tidak lagi mendengar bunyi langkah yang mengikutinya
maupun suara yang menyerukan namanya. Begitu tiba di jajaran pohon yang
berderet di pinggir jalan, Forst menoleh ke belakang. Ia mendapati jalanan yang
lengang. Sepertinya gadis itu sudah menyerah sekarang.
Mata Forst menatap nanar ke arah kondisi
teman-temannya yang mengenaskan. Di tubuh mereka tertancap paku yang tampak menyakitkan.
Semua itu hanya demi spanduk-spanduk kampanye sialan itu. Jalanan ini memang dianggap cukup strategis karena
dilalui banyak orang. Hal itu membuat pohon-pohon di sini selalu menjadi
korban.
Sambil menggigit bibirnya untuk menahan
tangisnya, Forst bergegas meraih palu dari tasnya. Ia melepas paku-paku itu
dengan cekatan. Paku-paku itu lepas satu persatu dan jatuh berdenting ke atas
aspal, menyisakan lubang menganga di tiap batang pohon.
Tanpa menunggu waktu lama, Forst segera mengobati teman-temannya. Ia mengeluarkan botol-botol
kecil dari dalam tasnya, lalu menaburkan serbuk dan menuangkan cairan yang
diperlukan untuk pengobatan. Perlahan, luka itu menutup dan menghilang tanpa
bekas. Teman-temannya berujar terima kasih penuh suka cita.
“Aku harus pergi dalam waktu yang tidak
bisa ditentukan. Tapi aku tidak ingin meninggalkan kalian semua,” gumam Forst
sambil memeluk salah satu pohon.
Ke
mana kau akan pergi, Forst?
Forst mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku belum
tahu benar. Tapi entah kenapa aku yakin ini adalah misi yang mulia. Aku....”
Sudahlah,
Forst. Kami bisa menjaga diri. Kau ikuti saja kata hatimu.
Salah satu pohon itu berkata lalu
tersenyum.
Forst menundukkan kepalanya, lalu menghela
napas berat. “Andaikan aku memiliki cairan atau serbuk untuk membuat tubuh
kalian sekokoh baja dan kebal dari serangan benda tajam,” bisik Forst penuh
kesedihan.
Tiba-tiba sebuah ketukan halus mendarat di
bahunya. “Aku rasa, aku bisa membantumu, Forst.”
***
Karen merasa beruntung.
Hari ini Tuhan menjawab doanya begitu
saja. Ia dipertemukan dengan seorang teman dari masa lalu. Teman yang sudah
lama tidak dilihatnya karena bertahun-tahun menghilang seperti ditelan bumi.
Tapi sekarang temannya itu sedang berjalan beriringan di sisinya.
Saat pertama kali mendekati Forst, lelaki
itu memang tampak jengah. Saat mereka bertatapan, mata Karen bertemu sepasang
mata hijau cemerlang dengan ekspresi paling aneh. Mata itu tampak sama sekali
tidak bersahabat dan... gusar.
Tapi Karen tidak mungkin menyerah begitu
saja. Ia memilih untuk mundur sejenak dan menjaga jarak. Dengan saksama ia
memperhatikan gerak-gerik Forst dari distansi yang sewajarnya. Tidak terlalu
dekat, juga tidak terlalu jauh.
Dan saat melakukan penguntitan itu, mata
Karen terbelalak takjub. Ternyata rumor yang beredar saat ia berusia sembilan
tahun itu benar adanya. Seorang anak lelaki berusia enam tahun yang dikabarkan
bisa berbicara dengan tanaman. Dan lelaki itu bernama Forst itu sudah tumbuh
dewasa sekarang.
Karen memperhatikan Forst melalui ekor
matanya. Lelaki itu memiliki rambut berwarna cokelat gelap yang menawan. Tampak
begitu lembut dan jatuh di keningnya. Garis wajahnya tegas. Bibir tipisnya
mengerucut gelisah. Sepasang mata hijau cemerlangnya tampak membara.
Tadi Karen tidak sengaja mencuri dengar
saat Forst sedang mengobrol dengan
pohon di pinggir jalan. Lelaki itu menginginkan cairan yang bisa melindungi teman-temannya. Dan Karen bersorak riang
dalam hati karena itu sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukannya dua
tahun terakhir ini. Hari ini benar-benar menjadi hari keberuntungannya!
Lagi pula, apalagi yang harus dicari? Bukankah
Profesornya sendiri yang menginginkan seseorang yang bisa berbicara dengan
tanaman?
Sekarang yang harus dilakukan Karen
hanyalah membuat Forst membuka hati untuk dirinya.
Forst pasti merasa terpaksa berjalan
beriringan dengan Karen. Walaupun begitu, lelaki itu rela melakukannya demi
teman-teman tanamannya. Karen tahu itu. Ia bisa merasakannya dari tatapan
antagonis yang dilemparkan Forst secara terang-terangan.
“Apa kau yakin bisa memberikanku cairan
itu?” tanya Forst memecah keheningan di antara mereka. Nada skeptis tidak bisa disembunyikannya
sedikitpun.
Karena menoleh dan tersenyum seramah
mungkin. “Tentu saja, Forst. Selama ini aku melakukan penelitian tentang itu
tapi selalu gagal.” Ekspresi Karen mengerucut dan menunjukkan kesedihan. Tapi
sedetik kemudian ia kembali tersenyum cerah kepada Forst. “Mungkin pertemuan
kita ini sudah ditakdirkan. Kita bisa bekerja sama untuk melindungi alam. Melindungi
teman-temanmu.”
Tatapan Forst melunak saat mendengar hal
itu. Sepertinya temannya ini sudah berubah menjadi lebih baik. “Benarkah?
Tapi... bukankah kau menganggapku aneh seperti alien?”
Tatapan Karen tertunduk penuh rasa sesal.
Rambut ikalnya tergerai di bahu kanan seperti tirai yang sangat halus. “Maafkan
aku atas apa yang aku lakukan di masa lalu, Forst. Saat itu aku hanyalah bocah
yang tidak punya pendirian.”
“Dimaafkan.” Forst berkata lantas
tersenyum. “Aku tidak mungkin memusuhi pecinta alam sepertimu.”
Mata Karen berbinar bahagia. “Benarkah
itu, Forst? Terima kasih banyak. Aku harap kita bisa berteman baik setelah ini.”
“Tentu saja.”
“Baiklah.” Karen mengangkat tangan dan
menatap jam di pergelangan tangannya. “Laboratorium baru dibuka sekitar satu
jam lagi. Bagaimana kalau aku membelikanmu sarapan sebagai tanda persahabatan
kita?”
Belum sempat Forst menyetujui atau menolak
tawaran itu, ia sudah merasakan genggaman hangat si tangannya. Karen menariknya
sedikit memaksa, seperti anak kecil yang ingin menaiki korsel bersama ayahnya. Dan
ia hanya bisa tersenyum. Langkahnya mengikuti langkah gadis itu.
Setelah sekian lama, tidak ada salahnya
bukan mencoba berteman dengan manusia?
Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva
bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit.
^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D