Kamis, 02 April 2015

Once Upon A Time In The Forest Part 3


Warna langit yang mulai terbagi dua mengintip dari celah dedaunan yang menaungi hutan. Hitamnya malam mulai dihapus perlahan oleh cahaya kemerahan fajar. Bulan tampak bertengger indah seperti mutiara putih yang berkilau. Forst berjalan menyusuri jalan untuk keluar dari hutan. Sesekali ia menyapa hangat pohon-pohon yang tumbuh menjulang.

Sejak lahir, Forst memang sudah memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan tanaman. Sebuah berkah sekaligus musibah bagi hidupnya. Forst merasa bahagia bisa mengerti perasaan tanaman di sekitar tempat tinggalnya. Ia mengerti benar bagaimana rasa bahagia mereka saat ada manusia yang menyirami penuh kasih sayang. Dan juga bagaimana tersiksanya mereka saat ada manusia yang menyakiti mereka dengan sengaja. Diinjak, dicabut paksa, bahkan ditebang secara membabi buta.

Sekuat tenaga Forst mencoba untuk mendeskripsikan rasa sakit para tanaman kepada teman dan keluarganya. Forst kecil memiliki impian agar seluruh makhluk bumi hidup damai dan saling menghargai. Tapi apa yang didapat Forst jauh dari yang diharapkannya. Alih-alih mengerti, teman-temannya malah menjauhi Forst dan menghinanya dengan kejam. Begitu juga dengan orang tuanya yang tega menelantarkan Forst dengan alasan yang senada.

Forst tahu ia berbeda. Tidak. Ia istimewa. Seperti kata neneknya.

Dan entah bagaimana caranya, Forst bisa terdampar di Derion. Tempat itu benar-benar asing baginya. Tapi ia merasa seperti pulang ke rumah. Di sana ia merasa diterima apa adanya. Padahal ia jelas berbeda dari mereka semua. Forst manusia sedangkan mereka semua adalah peri.

Siapa sangka peri itu nyata adanya? Selama ini manusia terus berusaha untuk mencari tahu keberadaan makhluk itu tapi tidak pernah berhasil. Sementara tanpa sengaja Forst bisa masuk ke dunia para peri. Bukankah itu keberuntungan yang patut disyukuri?

“Kembalilah nanti malam pukul tujuh tepat. Jangan terlambat!”

Saderet kalimat bernada tinggi terngiang di telinga Forst. Lelaki itu menggedikkan bahunya. Seulas senyum kecil terukir di bibirnya. Itu adalah suara Selva.

Tadi Selva dan Saki yang mengantar Forst pulang. Saki melafalkan mantra pembuka gerbang yang begitu panjang dengan sempurna. Sedangkan Selva bertugas menjaga dari serangan yang mungkin datang tanpa diduga.

Forst memang merasa bahagia tinggal di Derion. Apalagi Dash secara khusus memintanya terlibat dalam sebuah misi penting. Tapi bagaimanapun Forst harus pulang ke dunia manusia walaupun sebentar. Ada banyak teman-teman yang harus dilindunginya.

Teman-teman Forst masih saja mendapat perlakuan jahat dari manusia di sekitar mereka. Dan ia dengan senang hati, menyembuhkan luka mereka. Syukurlah, teman-teman Forst adalah makhluk yang sabar. Tidak pernah sekalipun ia mendengar mereka ingin membalas dendam kepada manusia. Memang manusialah yang bodoh karena menyia-nyiakan tanaman yang memberi kehidupan.

Para tanaman itu dilukai dengan berbagai cara. Entah ditusuk dengan paku, disayat dengan pisau, atau diinjak-injak tanpa ampun. Dan Forst memiliki cara istimewa untuk mengobati luka-luka seperti itu. Ia memiliki berbagai macam serbuk dan cairan beragam warna yang selalu dibawanya di dalam tas. Cairan dan serbuk itu memiliki kemampuan menyembuhkan dengan cepat. Sebuah pohon tua yang kokoh dan menjulang yang mengajarkan hal itu kepada Forst. Ia menyebutnya dengan sebutan ‘kakek’. Sayangnya, kakek Forst harus meninggal karena ditebang paksa untuk pelebaran jalan di daerah tempat tinggalnya.

Kala itu, Forst tidak sanggup melakukan apapun. Ia hanya mampu berteriak dan menangis tanpa bisa melindungi kakeknya. Ia terlampau belia untuk melawan orang dewasa yang terus menghalanginya.

Tapi kini berbeda. Forst ingin melindungi semua tanaman di dunia. Ia tidak ingin ada yang bernasib malang seperti kakeknya.

Kaki jenjang Forst melangkah lebar keluar dari hutan. Ia harus bergegas. Karena jika matahari sudah terbit, akan ada banyak manusia yang sudah terjaga dari tidurnya. Dan Forst tidak menyukai itu.

Baru saja kaki Forst menginjak tanah di luar hutan, ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Perlahan lelaki itu menoleh dan mendapati seorang gadis tengah berlari kecil ke arahnya. Pupil matanya yang hijau melebar. Ekspresinya membeku seketika begitu mengenali sosok itu. Gadis itu... bukankah...

“Dasar kau anak pungut!”

Punggung Forst menegang seketika. Sederet kalimat menyakitkan menghunjam di belakang kepalanya. Perlahan ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir kenangan pahit itu.

“Lihat, dia berbicara dengan pohon di halaman sekolah!”

Tapi sialanya, usaha itu sia-sia belaka. Sebaris hinaan lain kembali muncul dalam benaknya. Seolah mencekik kuat lehernya hingga kepalanya terasa pening.

“Jangan mendekatiku! Pergilah bergabung dengan orang yang sama anehnya seperti dirimu!”

Kata-kata menyakitkan yang lainnya ikut melompat dalam ingatannya, diikuti gelak tawa yang menghina. Dalam sekejap  ingatan itu menghisap habis oksigen di sekeliling Forst.

Forst menekan keningnya kuat-kuat. Ia ingin berlari. Tapi kakunya terpaku kuat tidak bisa bergerak. Apa yang harus dilakukannya sekarang. Tidak! Gadis itu sudah berdiri di hadapannya sekarang.

“Hei, Forst.” Gadis itu menyapanya dengan ramah dan tanpa beban. Seakan-akan kenangan buruk antara mereka di masa lalu hanyalah sebutir debu yang diembus angin. Sudut-sudut bibir gadis itu melengkungkan senyuman yang menusuk hati Forst. “Kau masih ingat padaku?”

Tidak sedikitpun Forst mampu menyembunyikan warna amarah di wajahnya. Matanya menyipit tajam. Alisnya menyatu di tengah kening. Bibirnya berkerut seperti melihat sesuatu yang menjijikkan.

“Ayolah, Forst. Jangan berwajah seperti itu.” Gadis itu sedikit menahan tawa kecilnya. “Bukankah kita teman?”

Teman? Teman! Teman! Teman! Satu kata itu terus berputar cepat dalam benak Forst, membuat kepalanya semakin terasa pening. Sebenarnya, apa makna teman sesungguhnya? Apakah pantas seorang teman menyakiti temannya sendiri?

Cepat pergi, Forst! Jangan hiraukan dia!

Tiba-tiba Forst mendengar suara di belakang telinganya. Itu pasti suara dari tanaman di sekitarnya... suara dari teman-temannya! Teman yang sesungguhnya!

Benar, Forst! Menjauhlah dari gadis itu.

Entah keajaiban apa yang sudah memberi Forst kekuatan. Beban berat yang membelenggu kakinya, tiba-tiba sirna begitu saja. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu tentu saja. Ia angkat kaki dan mulai berlari.

Pacu langkahmu! Berlarilah, Forst!

Dukungan yang lainnya mulai bersahutan. Forst seperti sedang berada di lintasan lomba lari yang tidak berujung. Ia harus pergi dari hadapan gadis ini. Demi dirinya sendiri! Demi menjaga hatinya dari perasaan terluka!

“Hei, hei, Forst!” Suara gadis itu terdengar begitu terkejut dengan tindakan kabur Forst yang begitu tiba-tiba. Tapi sedetik kemudian, terdengar derap langkah gadis itu yang berusaha mengejar Forst. “Hei, tunggu aku, Forst! Kenapa kau tiba-tiba berlari?”

Forst menulikan telinganya dari teriakan gadis itu. Sementara kakinya tetap melangkah cepat. Tidak sedikitpun ia menoleh ke belakang!

***

Forst perlahan menurunkan tempo langkahnya. Ia sudah tidak lagi mendengar bunyi langkah yang mengikutinya maupun suara yang menyerukan namanya. Begitu tiba di jajaran pohon yang berderet di pinggir jalan, Forst menoleh ke belakang. Ia mendapati jalanan yang lengang. Sepertinya gadis itu sudah menyerah sekarang.

Mata Forst menatap nanar ke arah kondisi teman-temannya yang mengenaskan. Di tubuh mereka tertancap paku yang tampak menyakitkan. Semua itu hanya demi spanduk-spanduk kampanye sialan itu. Jalanan ini memang dianggap cukup strategis karena dilalui banyak orang. Hal itu membuat pohon-pohon di sini selalu menjadi korban.

Sambil menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya, Forst bergegas meraih palu dari tasnya. Ia melepas paku-paku itu dengan cekatan. Paku-paku itu lepas satu persatu dan jatuh berdenting ke atas aspal, menyisakan lubang menganga di tiap batang pohon.

Tanpa menunggu waktu lama, Forst segera mengobati  teman-temannya. Ia mengeluarkan botol-botol kecil dari dalam tasnya, lalu menaburkan serbuk dan menuangkan cairan yang diperlukan untuk pengobatan. Perlahan, luka itu menutup dan menghilang tanpa bekas. Teman-temannya berujar terima kasih penuh suka cita.

“Aku harus pergi dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi aku tidak ingin meninggalkan kalian semua,” gumam Forst sambil memeluk salah satu pohon.

Ke mana kau akan pergi, Forst?

Forst mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku belum tahu benar. Tapi entah kenapa aku yakin ini adalah misi yang mulia. Aku....”

Sudahlah, Forst. Kami bisa menjaga diri. Kau ikuti saja kata hatimu.

Salah satu pohon itu berkata lalu tersenyum.

Forst menundukkan kepalanya, lalu menghela napas berat. “Andaikan aku memiliki cairan atau serbuk untuk membuat tubuh kalian sekokoh baja dan kebal dari serangan benda tajam,” bisik Forst penuh kesedihan.

Tiba-tiba sebuah ketukan halus mendarat di bahunya. “Aku rasa, aku bisa membantumu, Forst.”

***

Karen merasa beruntung.

Hari ini Tuhan menjawab doanya begitu saja. Ia dipertemukan dengan seorang teman dari masa lalu. Teman yang sudah lama tidak dilihatnya karena bertahun-tahun menghilang seperti ditelan bumi. Tapi sekarang temannya itu sedang berjalan beriringan di sisinya.

Saat pertama kali mendekati Forst, lelaki itu memang tampak jengah. Saat mereka bertatapan, mata Karen bertemu sepasang mata hijau cemerlang dengan ekspresi paling aneh. Mata itu tampak sama sekali tidak bersahabat dan... gusar.

Tapi Karen tidak mungkin menyerah begitu saja. Ia memilih untuk mundur sejenak dan menjaga jarak. Dengan saksama ia memperhatikan gerak-gerik Forst dari distansi yang sewajarnya. Tidak terlalu dekat, juga tidak terlalu jauh.

Dan saat melakukan penguntitan itu, mata Karen terbelalak takjub. Ternyata rumor yang beredar saat ia berusia sembilan tahun itu benar adanya. Seorang anak lelaki berusia enam tahun yang dikabarkan bisa berbicara dengan tanaman. Dan lelaki itu bernama Forst itu sudah tumbuh dewasa sekarang.

Karen memperhatikan Forst melalui ekor matanya. Lelaki itu memiliki rambut berwarna cokelat gelap yang menawan. Tampak begitu lembut dan jatuh di keningnya. Garis wajahnya tegas. Bibir tipisnya mengerucut gelisah. Sepasang mata hijau cemerlangnya tampak membara.

Tadi Karen tidak sengaja mencuri dengar saat Forst sedang mengobrol dengan pohon di pinggir jalan. Lelaki itu menginginkan cairan yang bisa melindungi teman-temannya. Dan Karen bersorak riang dalam hati karena itu sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukannya dua tahun terakhir ini. Hari ini benar-benar menjadi hari keberuntungannya!

Lagi pula, apalagi yang harus dicari? Bukankah Profesornya sendiri yang menginginkan seseorang yang bisa berbicara dengan tanaman?

Sekarang yang harus dilakukan Karen hanyalah membuat Forst membuka hati untuk dirinya.

Forst pasti merasa terpaksa berjalan beriringan dengan Karen. Walaupun begitu, lelaki itu rela melakukannya demi teman-teman tanamannya. Karen tahu itu. Ia bisa merasakannya dari tatapan antagonis yang dilemparkan Forst secara terang-terangan.

“Apa kau yakin bisa memberikanku cairan itu?” tanya Forst memecah keheningan di antara mereka. Nada skeptis tidak bisa disembunyikannya sedikitpun.

Karena menoleh dan tersenyum seramah mungkin. “Tentu saja, Forst. Selama ini aku melakukan penelitian tentang itu tapi selalu gagal.” Ekspresi Karen mengerucut dan menunjukkan kesedihan. Tapi sedetik kemudian ia kembali tersenyum cerah kepada Forst. “Mungkin pertemuan kita ini sudah ditakdirkan. Kita bisa bekerja sama untuk melindungi alam. Melindungi teman-temanmu.”

Tatapan Forst melunak saat mendengar hal itu. Sepertinya temannya ini sudah berubah menjadi lebih baik. “Benarkah? Tapi... bukankah kau menganggapku aneh seperti alien?”

Tatapan Karen tertunduk penuh rasa sesal. Rambut ikalnya tergerai di bahu kanan seperti tirai yang sangat halus. “Maafkan aku atas apa yang aku lakukan di masa lalu, Forst. Saat itu aku hanyalah bocah yang tidak punya pendirian.”

“Dimaafkan.” Forst berkata lantas tersenyum. “Aku tidak mungkin memusuhi pecinta alam sepertimu.”

Mata Karen berbinar bahagia. “Benarkah itu, Forst? Terima kasih banyak. Aku harap kita bisa berteman baik setelah ini.”

“Tentu saja.”

“Baiklah.” Karen mengangkat tangan dan menatap jam di pergelangan tangannya. “Laboratorium baru dibuka sekitar satu jam lagi. Bagaimana kalau aku membelikanmu sarapan sebagai tanda persahabatan kita?”

Belum sempat Forst menyetujui atau menolak tawaran itu, ia sudah merasakan genggaman hangat si tangannya. Karen menariknya sedikit memaksa, seperti anak kecil yang ingin menaiki korsel bersama ayahnya. Dan ia hanya bisa tersenyum. Langkahnya mengikuti langkah gadis itu.

Setelah sekian lama, tidak ada salahnya bukan mencoba berteman dengan manusia?



Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D