Kamis, 30 April 2015

Catch Me If You Can Part 2



Anna melemparkan berkas kasus ke atas meja kerjanya dengan kesal. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa yang nyaman jauh dari meja kerjanya. Jauh dari berkas-berkas terkutuk itu. Jari telunjuknya yang ramping mulai memijat pelipisnya yang berkedut.

“Ada apa dengan wajahmu, Anna? Lihatlah alismu nyaris menyatu.”

Tanpa mengangkat wajahnya, Anna hafal benar suara yang mengalun selembut beledu itu. Suara itu pasti milik sahabatnya yang cantik itu. Tapi kali ini, suara itu terdengar sumbang bagai jarum yang menusuk–nusuk kepalanya.

“Wajahmu terlihat menyeramkan, Anna.” Liza bergumam khawatir melihat ekspresi sahabatnya itu. Ia masuk ke ruangan lalu duduk di sofa panjang lalu diikuti Rick dan juga Hans.

Lelaki yang masuk terakhir itu merupakan seorang intelijen yang bergabung dalam tim mereka untuk menuntaskan kasus ini. Pembunuhan yang terjadi terhadap gadis dengan rambut yang dicat pirang memang bukan yang kali pertama ini terjadi. Sudah terjadi lebih dari lima kasus serupa yang entah mengapa selalu menjadikan gadis dengan rambut dicat pirang sebagai sasarannya.

Anna membuang mukanya ke arah pintu kantornya yang terbuka. Ketiga orang rekan kerjanya ini pasti tidak akan mengerti perasaannya. Ia dan rekan-rekannya baru saja melakukan olah TKP. Tapi kasus yang ia tangani kali ini masih mengalami jalan buntu. Semua terasa janggal tapi begitu sulit rasanya sel abu-abu dalam otaknya memunculkan hipotesis yang tajam. Kasus ini seolah mengabur tanpa bukti yang berarti.

“Jangan terlalu memaksakan dirimu, Anna.” Kali ini Rick yang bersuara.

Tapi Anna memilih untuk tetap diam.

“Lebih baik tenangkan dulu pikiranmu dan kita analisis ini bersama-sama,” timpal Liza sambil meletakkan sekaleng soda ke atas meja dan mendorongnya ke arah Anna.

Anna melirik sedikit ke arah kaleng yang ada di hadapannya. Tapi ia masih saja diam. Rasanya percuma berbicara dengan orang yang tidak memahaminya. Selama ini Anna selalu bergerak cepat dan memecahkan teka-teki kasus seakurat mungkin disertai bukti yang kuat. Tapi kasus kali ini benar-benar....

“Apa kita perlu menambah anggota ke dalam tim kita?” usul Liza.

“Tidak!” sergah Anna cepat. “Cukup kita berempat. Semakin banyak anggota semakin banyak masalah yang akan mempersulit kita untuk mencari titik terang dalam memecahkan kasus ini.”

Anna meraih kaleng soda di hadapannya lalu menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Hanya Hans yang sedikit terkejut dengan sikap Anna yang seperti itu. Sementara kedua temannya tampak sudah terbiasa dengan hal tersebut.

Dalam satu tarikan, Anna membuka penutup kaleng menggunakan jari telunjuknya. Sesaat terdengar suara mendesis yang khas sebelum gadis itu meneguk minumannya. “Aku merasakan ada banyak kejanggalan dalam kasus ini.”

“Kau benar, Anna,” sahut Liza. “Semua tersebar begitu membingungkan. Salah satunya... kenapa selalu gadis dengan rambut yang dicat pirang?”

Hans mengangguk setuju. “Sementara gadis dengan rambut pirang alami yang syukurlah tidak pernah menjadi sasaran pelaku. Apakah ini semacam fetish tertentu yang membuat pelaku terobsesi pada gadis dengan rambut dicat pirang? Lalu berakhir pada tindakan yang kelewat batas.”

“Mungkinkah ini ada hubungannya dengan salon tempat gadis-gadis itu mengecat rambutnya?” Tiba-tiba Anna merasa ada setitik cahaya di ujung pikirannya.

“Sepertinya tidak ada,” jawab Hans. “Aku sudah melakukan penyelidikan terkait hal itu. Tapi hasilnya nihil. Semua korban itu mengecat rambut mereka di salon yang berbeda dan merk cat rambut yang berbeda juga.”

Sontak cahaya di pikiran Anna meredup seketika. “Lalu apa sebenarnya yang melatar belakangi pembunuhan terhadap gadis-gadis muda ini?”

“Mungkin... balas dendam atau persaingan karier,” jawab Rick mengira-ngira.

“Ah, siapa yang menyangka gadis secantik itu memiliki musuh yang kejam,” sahut Hans dengan nada prihatin.

Rick menganggukkan kepalanya. “Kau benar. Padahal gadis itu seharusnya lebih pantas berada di pesta  mewah dengan pipi yang bersemu merah muda seperti gaunnya.”

“Tapi bukan sikap prihatin yang harus kita tunjukkan sekarang. Melainkan secepat mungkin menangkap pelakunya,” ujar Hans.

Anna mendengus kesal. “Sejak awal itulah yang aku pikirkan.”

“Mungkin kita bisa bercakap-cakap dengan tetangga gadis itu?” Liza memberikan usul.

“Kenapa?” tanya Rick.

“Karena melalui percakapan bisa saja kita menemukan petunjuk lain,” jawab Liza sambil mengangkat bahunya lalu melirik ke arah Anna. “Kalau kita sering bercakap-cakap, maka ada banyak hal yang bisa terungkap.”

Anna membenamkan wajahnya di antara kedua telapak tangannya. Sesaat, sebuah perasaan negatif menelusup ke dalam hatinya. Ia merasa sudah gagal sebagai seorang detektif. Tapi cepat-cepat ia menggelengkan kepala menolak pemikiran itu. Secepatnya ia harus memecahkan misteri ini dan melemparkan pelakunya ke dalam penjara.

Bagaimanapun caranya. Ia harus bisa bergerak lebih cepat. Demi hasratnya yang selalu haus akan petualangan yang mendebarkan.

***

Anna keluar dari kamarnya sambil mengusap-usap rambut basahnya menggunakan handuk. Perasaannya lebih baik sekarang. Pancuran air yang mengguyur tubuhnya membuat ototnya yang kaku terasa kembali lentur. Begitu juga dengan otaknya yang penat mulai terasa kembali segar.

Setelah mengalungkan handuknya ke leher, Anna ikut bergabung bersama Liza di meja makan. Selain berada dalam satu profesi, Liza dan Anna juga tinggal dalam satu flat yang mereka sewa bersama. Mereka memang sudah terbiasa bersama sejak duduk di kelas sepuluh. Dan terus bersahabat sampai berkuliah di univeresitas yang sama walaupun di jurusan yang berebeda.

Anna memperhatikan Liza yang tengah duduk memeluk lutut dan tampak sibuk dengan layar handphone-nya. Sementara ia sendiri mulai menyalakan laptopnya lalu menyalin data foto dari kameranya.

“Siapa yang sedang kauperhatikan, Nona Stalker?” sindir Anna saat melihat Liza tengah mengumbar senyum kepada layar handphone dalam genggaman. Sementara ia sendiri harus menatap layar laptop yang menampilkan gadis korban pembunuhan yang diketahui bernama Victoria itu.

Liza tidak langsung menjawab. Gadis itu masih tampak asyik berkutat dengan layar handphone-nya. Hingga beberapa detik kemudian ekspresinya berubah lalu berkata, “Melihat blog yang ditulis Rick. Ia baru saja menulis tentang perjalanannya selama cuti tiga hari yang lalu.”

Anna memutar bola matanya. Lagi-lagi lelaki itu.

Kira-kira sejak tiga bulan terakhir ini Liza mulai menaruh perhatian terhadap salah satu rekan kerjanya itu. Semua itu dimulai saat mereka terlibat dalam kasus yang sama. Di tengah penyelidikan, si pelaku yang merasa tidak terima atas tuduhan yang disampaikan Liza menyerang secara tiba-tiba. Beruntung, saat itu Rick yang berada di dekatnya dengan sigap melindungi gadis itu. Bahkan rela terluka cukup dalam yang bahkan masih membekas hingga sekarang.

“Tidak bisakah kaulupakan sejenak masalah percintaanmu itu, Liza? Kita harus memecahkan kasus yang rumit ini sekarang.”

Liza meletakkan handphone­-nya di atas meja. “Kau memang lamban, Anna.”

“Apa?” Mata Anna mendelik mendengar ucapan Liza.

Liza menutupi mulutnya dengan telapak tangan lalu tertawa kecil. “Jangan tersinggung dulu. Kau memang akan kesulitan menemukan petunjuk jika berpikir dengan kepala berat dan otak yang panas.”

“Memang apa yang sudah kautemukan dengan otak dingin-mu itu?” Anna bertanya dengan nada menantang. Satu alisnya terangkat, sedikit tersinggung dengan kata-kata Liza.

Perlahan Liza menarik kursinya lalu duduk tepat di samping Anna. Telunjuknya yang lentik menunjuk ke arah layar laptop milik sahabatnya itu. “Lihatlah gadis ini. Ia terbaring di atas lantai rumahnya dengan riasan sempurna... gaun dan sepasang sepatu yang... cantik. Seolah ia memang sudah menunggu kematiannya malam itu.”

Kening Anna mengernyit lalu berkata sengit. “Mana mungkin ada orang yang bisa mengetahui kapan ia akan meninggal apalagi dengan cara dibunuh.”

“Oh, ayolah! Tentu saja tidak ada, Anna.” Liza memutar bola matanya lalu mendengus kesal. Sepertinya otak milik Anna benar-benar sudah emncapai batasnya karena terlalu dipaksa. “Itu berarti pada malam nahas itu, korban sedang menunggu seseorang datang atau dia sedang bersiap untuk menemui seseorang.”

Punggung Anna menegak seolah ada yang menekan sakelar dan menyalakan bohlam dalam benaknya. “Kau benar, Liza. Kenapa aku sulit menyadari hal ini?”

“Jadi, dugaan perampokan yang sebelumnya kita bahas sekarang menjadi gugur,” lanjut Liza. “Sepertinya pelaku adalah orang yang dikenal korban. Apalagi terbukti tidak ada barang berharga yang hilang dari rumah korban.”

Anna hanya mengganggukkan kepala tanda mengerti. Ia menunggu kalimat Liza selanjutnya.

“Yang kedua, kenapa pintu rumah gadis itu dalam keadaan terkunci? Begitu juga dengan jendela dan pintu yang lainnya. Padahal kematiannya sama sekali tidak direkayasa seperti kejadian bunuh diri. Bukankah itu malah membuang waktu bagi pelaku? Bisa saja seseorang memergokinya saat sedang mengunci pintu

Kata-kata Liza terhenti karena tiba-tiba saja Anna mengangkat tangannya.

“Sebentar, Liza. Bisakah kau menjelaskan lebih perlahan? Telingaku rasanya berdenging mendengar kalimatmu yang berderet seperti gerbong kereta.”

“Kau benar-benar terlalu memaksakan dirimu, Anna.” Liza mengerutkan kening dengan khawatir.

“Tidak. Aku hanya sedang lelah.”

“Lelah?” Liza mengerjap heran. “Pergi ke mana semangatmu akan sensasi kotor ini, Anna? Bukankah ini yang kauinginkan?”

Anna menelan ludahnya yang terasa pahit mendengar sindiran langsung dari sahabatnya itu. “Aku masih bersemangat. Tentu saja. Hanya saja... kepalaku terasa pusing sekarang.”

Selama beberapa detik Liza terdiam. Ia memperhatikan wajah Anna yang tampak pucat. Lalu otak analisisnya menyimpulkan satu hal, “Berapa puluh cangkir kopi yang kauminum hari ini, Anna?”

Anna mengangkat wajahnya lalu tersipu. Dugaan Liza itu tepat sasaran. Dalam gerakan lambat, ia mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara.

Liza menatap Anna dengan kedua alis yang terangkat. Ia tahu benar itu bukan jawaban final.

“Dua... belas,” jawab Anna lirih.

Mata Liza mendelik dari balik kacamatanya. “Kenapa? Kau tahu itu tidak baik untuk kesehatanmu.”

“Entahlah, Bu Dokter.” Anna menggedikkan bahunya. “Seperti yang kaulihat. Tubuhku masih sehat hingga saat ini.”

“Lalu apa yang sudah kaumakan hari ini?”

Anna menggelengkan kepalanya. “Tidak ada.”

Mulut Liza ternganga tidak percaya. “Jadi, hanya kopi?”

“Hem, ya.” Anna tersenyum datar yang tidak menyentuh matanya.

“Tunggu di situ.” Liza meraih handphone tanpa bangkit dari duduknya. “Aku akan memesan makanan.”

***

Berbeda dengan cuaca mendung yang membayang dua hari sebelumnya. Pagi ini matahari tampak bersemangat bertengger di langit. Cahaya begitu menghangatkan sebelum akhirnya menyengat begitu memasuki tengah hari nanti.

Anna memarkirkan mobilnya di pelataran parkir kantor detektif tempat ia dan Liza bekerja. Kemacetan pagi ini cukup menguras tenaganya. Ia harus berjuang agar ia dan Liza bisa datang tepat waktu pagi ini.

Liza turun lebih dulu dari mobil. Gadis itu memperhatikan bayangannya yang terpantul di kaca jendela mobil sebelum memasuki kantor bersama Anna.

“Selamat pagi,” ucap Anna sambil tersenyum kepada gadis yang duduk di bagian resepsionis. Pikirannya lebih jernih sekarang. Tadi pagi Liza setengah mati memaksanya untuk sarapan.

“Anna, Liza.” Tiba-tiba terdengar suara Rick saat Anna baru saja memutar handle pintu ruang kerjanya.

“Ada apa, Rick?” Liza bertanya dengan nada yang melenakan.

“Ada kasus baru.”

“Lebih baik kita bicarakan di dalam.” Anna mengajak kedua rekan kerjanya itu masuk.

Begitu mereka duduk di sofa yang melingkari meja.

“Ada kasus apa? Apakah Hans sudah mengetahui tentang hal ini?” tanya Anna.

“Belum. Hans belum datang ke kantor kita.” Rick menggelengkan kepalanya. “Ini kasus penculikan.”

“Penculikan?” Kening Anna mengernyit heran. Ia dan Liza saling melempar tatapan bingung.

“Ini penculikan yang menyerang seorang gadis yang memimpin sebuah majalah fashion.” Rick meletakkan berkas kasus ke atas meja. “Belum ada media manapun yang mengetahui peristiwa ini. Kecuali redaksi majalah yang ia pimpin tentu saja.”

“Kenapa?”

“Pihak dari majalah itu sendiri yang melarang keras berita tentang hilangnya pimpinan mereka. Dan kita tentu saja mau tidak mau harus mengikuti keinginan tersebut.”

Radar di kepala Anna menangkap sinyal teka-teki yang disukainya. Pasti ada sesuatu yang berusaha ditutupi mereka. Hanya saja....

“Pasti ada sesuatu. Hingga harus ditutupi seperti itu,” gumam Liza.

“Lalu, kenapa kita yang bertugas menangani kasus ini?” tanya Anna.

Rick mengambil selembar foto yang terselip di antara kertas lalu mendorongnya ke hadapan Anna dan Liza. “Karena ini.”

Liza dan Anna terbelalak menatap foto yang menampilkan sosok seorang gadis. Kulitnya wajahnya tampak halus berlapis bedak, hidungnya mancung, alisnya tampak dibentuk sedemikian rupa, bibirnya penuh dengan lipstik merah menyala, dan yang menghubungkan gadis itu dengan kasus yang ditangani mereka adalah warna rambutnya.

Anna mengehempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Lagi-lagi gadis dengan rambut dicat pirang!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D