Jumat, 03 April 2015

Mystical Words


Entahlah ini sudah yang ke berapa kalinya. Cukup melelahkan memang jika harus bertahan seperti ini. Dikorbankan untuk orang lain. Bukankah aku seperti seorang super hero yang ada di televisi?

Tunggu, aku tak berbicara tentang aku mengorbankan diriku terluka untuk menolong nenek-nenek borjuis yang tengah dihadang kawanan perampok. Tapi ini tentang aku yang berkorban demi seseorang yang bahkan aku tak mengenalnya sama sekali.

Malam ini begitu cerah setelah bumi diguyur hujan yang berlebihan. Aku masih duduk di depan meja rias. Menatap seorang gadis di hadapanku yang tak juga beranjak dari tempat duduknya sejak lima puluh menit yang lalu. Matanya berkilat merah karena amarah tengah merundung hatinya. Air matanya pun tak kunjung berhenti, terus membasahi wajahnya.

Dia bukan orang lain, melainkan pantulan wajahku yang memang sedang kusut masai. Hampir satu jam aku menghabiskan waktuku untuk berdandan demi sebuah rencana yang memang akhirnya hanya rencana semu. Aku melirik ponselku dan sebuah pesan muncul di layar ponselku.

Jangan marah terus, besok kan masih ada waktu. Kenapa kau marah-marah terus beberapa hari ini? Aku salah sedikit saja sudah kau besar-besarkan.

Well… Tidakkah lelaki itu tahu bagaimana perasaanku sebagai seorang perempuan yang selalu terkalahkan oleh orang lain? Dia bilang ini masalah kecil? Oke, mungkin ini memang masalah kecil. Namun ini bukan pertama kalinya, ini sudah kesekian kalinya aku harus berkorban karena keputusannya yang lebih mendahulukan orang lain dari pada aku.

“Sialan kau! Bagaimana bisa kau berkata seperti itu dengan mudahnya? Kau sering membatalkan rencana kita karena orang lain dan sekarang kau bilang aku membesar-besarkan masalah?” Aku berteriak pada ponselku yang terpajang fotonya sebagai wallpaper, kemudian membantingnya ke ranjangku. Tenang. Aku masih bisa berpikir. Aku tak akan membantingnya ke lantai, karena aku tahu seperti apa resikonya.

Bagaimana bisa ada makhluk yang tidak peka mengenai rapuhnya perasaan seorang perempuan? Kurasa lain kali aku harus mendaftarkan namanya ke MURI sebagai makhluk yang sangat tidak peka.

“Sudahlah, kau tak bisa menuntut orang lain untuk selalu menurutimu.” Suara yang sangat ku kenal melangkah mendekat, duduk di ujung ranjangku.

“Ibu, aku mau keluar.” Ujarku sambil mengusap air mataku.

“Jangan, ini sudah malam.”

“Tapi aku sudah dandan. Bedakku mahal, parfumku juga. Setidaknya biarkan aku keluar sebentar.” Aku berusaha merendahkan nada suaraku, berusaha tak berkata kasar pada ibuku. Akupun pergi melajukan motorku tanpa tujuan tentu setelah ibuku memberikan ijin.

Sebuah taman menjadi pilihanku kali ini. Begitu ramai dengan anak-anak yang bermain dengan riang. Aku mendengus kesal, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku memainkan ponselku sambil duduk di sebuah bangku beton yang disediakan di salah satu sisi taman.

“Sendirian?” Suara maskulin terdengar begitu dekat. Aku menengadahkan kepalaku, menatap seorang lelaki yang tengah berdiri di hadapanku. Tampan. Tapi sama sekali bukan seleraku. Aku tak menjawab pertanyaannya kemudian kembali menundukkan kepalaku untuk memainkan ponselku dengan bosan. Lelaki itu kemudian melangkah, mengambil duduk tepat di sebelahku.

“Malam-malam begini kenapa sendirian?” Tanya lelaki itu sambil menyalakan rokok yang ada di tangannya. Membuatku terbatuk-batuk karena asapnya yang terbawa embusan angin.

“Tidak apa-apa.” Jawabku ketus —atau lebih tepatnya takut— pada lelaki itu. Ia menatapku, tentu aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Kemudian sebuah pesan muncul di layar ponselku menyelamatkanku dari kebosanan.

Kau dimana?

Pergi.

Antara lega dan jengkel mendapatkan pesan dari Arya —pacarku—. Entah apa yang kupikirkan sekarang, aku hanya berharap ia akan datang menjemputku bak seorang pahlawan, lalu membawaku pulang. Foto Arya muncul, memenuhi layar lima inchiku yang berkedip-kedip.

“Kau dimana? Tidak bisakah kau menjawab pesanku dengan serius?” Tanya Arya sebelum aku sempat mengucapkan halo. Nada tingginya membuatku semakin kesal. Ini semua salahnya, mengapa ia harus marah padaku?

“Bukankah aku sudah bilang, aku pergi. Ya sudah, silahkan bersenang-senang dengan temanmu, kenapa masih menghubungiku? Aku tak ingin mengganggu waktumu yang berharga.” Jawabku ketus.

“Ana,  dimana kau sekarang? Cepat jawab aku. Kau pikir pantas seorang perempuan berkeliaran sendirian malam-malam begini? Ibumu mengkhawatirkanmu. Jangan bertingkah seperti anak kecil.” Anak kecil dia bilang? Apa otaknya tak berpikiran aku seperti ini gara-gara siapa? Tanpa menjawab pertanyaannya aku memutuskan panggilan.

“Bertengkar dengan pacarmu? Tidak baik perempuan berkeliaran malam-malam begini.” Ujar lelaki di sampingku.

“Tidak ada urusannya denganmu.”

“Jika kau tak penting untuknya, putuskan dia. Masih banyak laki-laki yang mau mati-matian membahagiakanmu.” Siapa sih laki-laki ini? Beraninya dia mencampuri urusanku. Aku memasukkan ponselku ke dalam tasku, kemudian beranjak dari kursi dan memutuskan untuk pulang.

“Mau kemana?” Lelaki itu memegang pergelangan tanganku.

“Aku mau pulang. Lepas.” Aku berusaha melepas genggaman tangan lelaki itu sekuat tenagaku. “Lepaskan!” Aku takut lelaki ini akan berbuat macam-macam kepadaku hingga aku terus meronta agar terlepas darinya.

“Tunggu lima belas menit lagi. Jika kau pulang sekarang, akan berbahaya untukmu.”

“Apa maksudmu? Ini sudah malam. Aku mau pulang.” Aku menendang kaki lelaki itu hingga ia melepaskanku akibat rasa sakit di kakinya.

“Berhati-hatilah.”

Itu kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu sebelum aku meninggalkannya. Dia membuatku takut. Justru aku harusnya berhati-hati pada lelaki itu. Akupun memutar kunci motorku, menancap gas dan melajukan motorku untuk segera pulang.

Jalanan masih ramai meski jam sudah hampir pukul sembilan malam. Jarum spidometer menunjukkan angka lima puluh, kecepatan normal untuk jalanan yang bergelombang karena aspal yang tidak rata. Aku menaikkan kecepatan hingga tujuh puluh km/jam.  Tak disangka sebuah truk dengan kecepatan tinggi melaju dari arah berlawanan untuk mendahului sebuah truk yang berjalan lambat. Akupun berusaha menarik kedua rem motorku.

Brak

Aku tak mampu menghindarinya. Yang aku tahu, helmku membentur sesuatu dan aku merasa sedang berada di alam mimpi.
***
Tubuhku terasa perih dan kaku. Ibu menangis sesegukan berdiri di dekat pintu kamar dan tengah berbicara dengan seorang dokter yang kuketahui bertempat tinggal di dekat rumahku.

“Dasar perempuan bodoh!” Ujar seorang lelaki yang duduk di samping ranjang. Wajahnya yang kusut membuatku geram. “Untung kau tidak mati.” Lalu aku tersenyum begitu menyadari bahwa dia mengkhawatirkanku.

“Kenapa disini? Bukannya kau sedang sibuk?” Aku masih berpura-pura merasa kesal padanya.

“Aku melihat motormu ketika aku dalam perjalanan pulang. Aku berharap itu bukan kau, sayangnya itu memang perempuan bodoh yang keras kepala.” Arya mendengus kesal.

“Ini salahmu.”

“Aku tahu, andai aku bisa menemanimu ini tak akan terjadi. Maafkan aku.”

“Katakan kau menyesal dan cinta kepadaku.”

“Ana, aku benar-benar menyesal. Kumohon maafkan aku. Aku mencintaimu, Ana.” Aku tersenyum pada Arya, raut wajahnya benar-benar panik dan ketakutan. Aku menggenggam tangannya yang masih gemetar, kemudian aku menariknya untuk mendekat padaku.


“Aku juga mencintaimu.” Bisikku di telinganya sebelum aku mengecup pipinya. Kemudian ekor mataku menangkap sesuatu di balik jendela kamarku, dan aku menolehnya. Seorang lelaki tengah berdiri dan tersenyum padaku. Tak salah lagi, dialah lelaki misterius yang kutemui di taman tadi.  Andai saja aku menuruti kata-katanya untuk menunggu lima belas menit lagi, mungkin aku tak akan menjadi korban truk sialan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D