Entahlah ini sudah yang ke berapa kalinya. Cukup melelahkan memang jika harus bertahan seperti ini. Dikorbankan untuk orang lain. Bukankah aku seperti seorang super hero yang ada di televisi?
Tunggu,
aku tak berbicara tentang aku mengorbankan diriku terluka untuk menolong
nenek-nenek borjuis yang tengah dihadang kawanan perampok. Tapi ini tentang aku
yang berkorban demi seseorang yang bahkan aku tak mengenalnya sama sekali.
Malam
ini begitu cerah setelah bumi diguyur hujan yang berlebihan. Aku masih duduk di
depan meja rias. Menatap seorang gadis di hadapanku yang tak juga beranjak dari
tempat duduknya sejak lima puluh menit yang lalu. Matanya berkilat merah karena
amarah tengah merundung hatinya. Air matanya pun tak kunjung berhenti, terus
membasahi wajahnya.
Dia
bukan orang lain, melainkan pantulan wajahku yang memang sedang kusut masai.
Hampir satu jam aku menghabiskan waktuku untuk berdandan demi sebuah rencana
yang memang akhirnya hanya rencana semu. Aku melirik ponselku dan sebuah pesan
muncul di layar ponselku.
Jangan marah
terus, besok kan masih ada waktu. Kenapa kau marah-marah terus beberapa hari
ini? Aku salah sedikit saja sudah kau besar-besarkan.
Well… Tidakkah lelaki
itu tahu bagaimana perasaanku sebagai seorang perempuan yang selalu terkalahkan
oleh orang lain? Dia bilang ini masalah kecil? Oke, mungkin ini memang masalah
kecil. Namun ini bukan pertama kalinya, ini sudah kesekian kalinya aku harus
berkorban karena keputusannya yang lebih mendahulukan orang lain dari pada aku.
“Sialan
kau! Bagaimana bisa kau berkata seperti itu dengan mudahnya? Kau sering
membatalkan rencana kita karena orang lain dan sekarang kau bilang aku
membesar-besarkan masalah?” Aku berteriak pada ponselku yang terpajang fotonya
sebagai wallpaper, kemudian
membantingnya ke ranjangku. Tenang. Aku masih bisa berpikir. Aku tak akan
membantingnya ke lantai, karena aku tahu seperti apa resikonya.
Bagaimana
bisa ada makhluk yang tidak peka mengenai rapuhnya perasaan seorang perempuan?
Kurasa lain kali aku harus mendaftarkan namanya ke MURI sebagai makhluk yang sangat
tidak peka.
“Sudahlah,
kau tak bisa menuntut orang lain untuk selalu menurutimu.” Suara yang sangat ku
kenal melangkah mendekat, duduk di ujung ranjangku.
“Ibu,
aku mau keluar.” Ujarku sambil mengusap air mataku.
“Jangan,
ini sudah malam.”
“Tapi
aku sudah dandan. Bedakku mahal, parfumku juga. Setidaknya biarkan aku keluar
sebentar.” Aku berusaha merendahkan nada suaraku, berusaha tak berkata kasar
pada ibuku. Akupun pergi melajukan motorku tanpa tujuan tentu setelah ibuku
memberikan ijin.
Sebuah
taman menjadi pilihanku kali ini. Begitu ramai dengan anak-anak yang bermain
dengan riang. Aku mendengus kesal, masih tak percaya dengan apa yang baru saja
terjadi. Aku memainkan ponselku sambil duduk di sebuah bangku beton yang
disediakan di salah satu sisi taman.
“Sendirian?”
Suara maskulin terdengar begitu dekat. Aku menengadahkan kepalaku, menatap
seorang lelaki yang tengah berdiri di hadapanku. Tampan. Tapi sama sekali bukan
seleraku. Aku tak menjawab pertanyaannya kemudian kembali menundukkan kepalaku untuk
memainkan ponselku dengan bosan. Lelaki itu kemudian melangkah, mengambil duduk
tepat di sebelahku.
“Malam-malam
begini kenapa sendirian?” Tanya lelaki itu sambil menyalakan rokok yang ada di
tangannya. Membuatku terbatuk-batuk karena asapnya yang terbawa embusan angin.
“Tidak
apa-apa.” Jawabku ketus —atau lebih tepatnya takut— pada lelaki itu. Ia
menatapku, tentu aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Kemudian sebuah pesan
muncul di layar ponselku menyelamatkanku dari kebosanan.
Kau dimana?
Pergi.
Antara
lega dan jengkel mendapatkan pesan dari Arya —pacarku—. Entah apa yang
kupikirkan sekarang, aku hanya berharap ia akan datang menjemputku bak seorang
pahlawan, lalu membawaku pulang. Foto Arya muncul, memenuhi layar lima inchiku
yang berkedip-kedip.
“Kau
dimana? Tidak bisakah kau menjawab pesanku dengan serius?” Tanya Arya sebelum
aku sempat mengucapkan halo. Nada tingginya membuatku semakin kesal. Ini semua
salahnya, mengapa ia harus marah padaku?
“Bukankah
aku sudah bilang, aku pergi. Ya sudah, silahkan bersenang-senang dengan
temanmu, kenapa masih menghubungiku? Aku tak ingin mengganggu waktumu yang
berharga.” Jawabku ketus.
“Ana,
dimana kau sekarang? Cepat jawab aku.
Kau pikir pantas seorang perempuan berkeliaran sendirian malam-malam begini?
Ibumu mengkhawatirkanmu. Jangan bertingkah seperti anak kecil.” Anak kecil dia
bilang? Apa otaknya tak berpikiran aku seperti ini gara-gara siapa? Tanpa
menjawab pertanyaannya aku memutuskan panggilan.
“Bertengkar
dengan pacarmu? Tidak baik perempuan berkeliaran malam-malam begini.” Ujar
lelaki di sampingku.
“Tidak
ada urusannya denganmu.”
“Jika
kau tak penting untuknya, putuskan dia. Masih banyak laki-laki yang mau
mati-matian membahagiakanmu.” Siapa sih laki-laki ini? Beraninya dia mencampuri
urusanku. Aku memasukkan ponselku ke dalam tasku, kemudian beranjak dari kursi
dan memutuskan untuk pulang.
“Mau
kemana?” Lelaki itu memegang pergelangan tanganku.
“Aku
mau pulang. Lepas.” Aku berusaha melepas genggaman tangan lelaki itu sekuat
tenagaku. “Lepaskan!” Aku takut lelaki ini akan berbuat macam-macam kepadaku
hingga aku terus meronta agar terlepas darinya.
“Tunggu
lima belas menit lagi. Jika kau pulang sekarang, akan berbahaya untukmu.”
“Apa
maksudmu? Ini sudah malam. Aku mau pulang.” Aku menendang kaki lelaki itu
hingga ia melepaskanku akibat rasa sakit di kakinya.
“Berhati-hatilah.”
Itu
kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu sebelum aku meninggalkannya. Dia
membuatku takut. Justru aku harusnya berhati-hati pada lelaki itu. Akupun
memutar kunci motorku, menancap gas dan melajukan motorku untuk segera pulang.
Jalanan
masih ramai meski jam sudah hampir pukul sembilan malam. Jarum spidometer
menunjukkan angka lima puluh, kecepatan normal untuk jalanan yang bergelombang
karena aspal yang tidak rata. Aku menaikkan kecepatan hingga tujuh puluh
km/jam. Tak disangka sebuah truk dengan
kecepatan tinggi melaju dari arah berlawanan untuk mendahului sebuah truk yang
berjalan lambat. Akupun berusaha menarik kedua rem motorku.
Brak
Aku
tak mampu menghindarinya. Yang aku tahu, helmku membentur sesuatu dan aku
merasa sedang berada di alam mimpi.
***
Tubuhku
terasa perih dan kaku. Ibu menangis sesegukan berdiri di dekat pintu kamar dan
tengah berbicara dengan seorang dokter yang kuketahui bertempat tinggal di dekat
rumahku.
“Dasar
perempuan bodoh!” Ujar seorang lelaki yang duduk di samping ranjang. Wajahnya
yang kusut membuatku geram. “Untung kau tidak mati.” Lalu aku tersenyum begitu
menyadari bahwa dia mengkhawatirkanku.
“Kenapa
disini? Bukannya kau sedang sibuk?” Aku masih berpura-pura merasa kesal
padanya.
“Aku
melihat motormu ketika aku dalam perjalanan pulang. Aku berharap itu bukan kau,
sayangnya itu memang perempuan bodoh yang keras kepala.” Arya mendengus kesal.
“Ini
salahmu.”
“Aku
tahu, andai aku bisa menemanimu ini tak akan terjadi. Maafkan aku.”
“Katakan
kau menyesal dan cinta kepadaku.”
“Ana,
aku benar-benar menyesal. Kumohon maafkan aku. Aku mencintaimu, Ana.” Aku
tersenyum pada Arya, raut wajahnya benar-benar panik dan ketakutan. Aku
menggenggam tangannya yang masih gemetar, kemudian aku menariknya untuk
mendekat padaku.
“Aku
juga mencintaimu.” Bisikku di telinganya sebelum aku mengecup pipinya. Kemudian
ekor mataku menangkap sesuatu di balik jendela kamarku, dan aku menolehnya.
Seorang lelaki tengah berdiri dan tersenyum padaku. Tak salah lagi, dialah
lelaki misterius yang kutemui di taman tadi. Andai saja aku menuruti kata-katanya untuk menunggu
lima belas menit lagi, mungkin aku tak akan menjadi korban truk sialan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D