Kamis, 16 April 2015

Once Upon A Time In The Forest Part 6




Tidak ada yang bisa dilakukan Forst untuk menghentikan air mata seorang gadis. Ia hanya bisa bersabar dan menunggu hingga air mata itu reda dengan sendirinya. Dan begitu Givka berhenti menangis, ia melepaskan pelukannya. Lantas merasa malu atas apa yang dilakukannya. Forst cepat-cepat mengucap maaf diikuti tawa kecil Givka yang malah berujar terima kasih.

Forst melangkah lebar menuju ke kamarnya dengan wajah terbakar. Ia langsung pamit begitu saja dengan alasan ingin beristirahat dan mempersiapkan pertarungan esok hari. Menurut info yang didengar Forst, Zestorian adalah makhluk yang tidak mudah menyerah. Mereka pasti akan kembali lagi besok untuk melanjutkan penyerangan.

Saat berbelok di koridor menuju kamar, mata Forst menangkap sosok Lacano. Bergegas Forst meneriakkan nama lelaki itu untuk menghentikan langkahnya. Tapi lelaki itu seperti tuli. Ia hanya terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun.

Dengan berlari kecil, Forst menghampirinya untuk mengucapkan terima kasih atas kerja sama hari ini. Tapi, entah mengapa tatapan mata cokelat Lucano  tampak mengerikan. Tidak ada keramahan. Tajam dan menusuk. Mengingatkan Forst pada cara ibunya menatapnya dulu. Begitu enuh kebencian. Tapi apa alasan Lucano untuk membenci Forst?

“Jangan munafik,” kata Lucano dengan ketus sebelum Forst sempat mengucapkan apa-apa. “Hanya karena Givka ramah padamu saja sudah membuatmu angkuh. Tadi aku mau bekerja sama denganmu juga karena permintaannya.”

Kening Forst mengernyit. Tapi sesaat kemudian ia sudah bisa kembali menguasai diri. Seulas senyum hadir di wajahnya. Bukankah seharusnya aku sudah terbiasa dengan tatapan penuh kebencian?

 “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas kerja sama hari ini.” Forst mengulurkan tangan bersahabat.

Tapi Lacano hanya memandang sekilas uluran tangan itu. Kemudian ia memalingkan wajah seperti baru saja melihat hal yang menjijikan. Rahangnya yang tegas tampak menonjol seperti menahan amarah.

“Meminta bantuan kepada manusia adalah keputusan paling bodoh yang pernah diambil Putri Givka.” Lacano berlalu dengan nada bicara yang mencemooh. “Benar-benar omong kosong.”

***

Forst berbaring di tempat tidurnya yang nyaman. Matanya menatap nyalang ke langit-langit kamar yang dipenuhi daun menjalar. Cahaya bulan mengintip perlahan melalui celah rangkaian ranting yang menyusun dinding.

Sudah banyak pertarungan yang dijalani Forst demi bangsa Viridian. Tapi ia tetap saja merasa ada yang kurang. Ada sesuatu yang tersembunyi dan harus diungkap. Bangsa Viridian harus  menang telak dan mengusir bangsa Zestorian selamanya.

Salah satu pertanyaan yang mengusik adalah mengapa Zestorian hanya menyerang saat terang?

Forst memejamkan matanya. Kejadian-kejadian di medan perang berputar cepat dalam benaknya. Keningnya mengernyit saat teringat dengan prajurit Viridian yang menjemput ajal. Memang tidak ada darah yang mengalir. Mereka akan langsung tumbang dan jasadnya hilang, melebur dengan tanah. Setiap hari Forst selalu menyaksikan gugurnya para prajurit. Sesekali perasaan takut membayangi hatinya.

Setiap hari Forst merasa semakin dekat dengan kematian. Bagaimana jika ia mati di sini? Itu berarti ia tidak akan dapat bertemu kembali dengan gadis teman masa kecilnya... dengan Karen. Ia bahkan belum sempat membalas kebaikan gadis itu kepadanya. Juga kepada Profesor yang membantunya menemukan cairan pelindung untuk teman-temannya.

Tiba–tiba Forst teringat pada pemberian gadis itu saat terakhir mereka bertemu. Penemuan Profesor yang bisa membuat penggunanya terbang di udara selama beberapa menit. Bergegas Forst membuka tasnya dan mengambil benda berbentuk tabung sepanjang sepuluh sentimeter itu. Lalu, ia menempelkan benda itu di punggungnya dan secara otomatis benda itu tersemat di antara tulang belikatnya.

Forst tersentak. Secara mendadak tabung itu mengeluarkan seperti bunyi letupan perlahan. Dan sepasang sayap transparan buatan melompat muncul di punggung Forst. Sayap itu mirip seperti sayap para peri Derion.

Mata Forst terbelalak. Ia memutar-mutar tubuhnya di hadapan cermin untuk melihat sayap itu. Sesekali ia mencoba menggerakkan sayap itu dengan pikirannya dan ternyata itu berhasil. Hanya saja ia merasa tidak mungkin mencoba terbang begitu saja tanpa ada pengarahan.

Hebat! Forst berseru dalam hati. Matanya masih menatap takjub pada bayangan di cermin. Sayap itu tampak bergerak naik dan turun secara perlahan di balik punggungnya.

Ini akan berguna saat pertarungan. Bukankah para peri Derion lebih sedikit yang terluka karena mereka bisa menghindar ke udara? Para peri juga dengan mudah bisa melakukan serangan dari udara. Forst hanya tinggal mempelajari cara untuk mengendalikan benda ini. Serta berapa lama benda itu bisa bertahan di udara.

Dan Forst tahu siapa guru yang sesuai untuk itu.

***

“Selva?”

Forst bergumam perlahan saat melihat sosok yang dikenalnya itu. Gadis itu tampak sedang berdiri di tepi koridor yang terbuka langsung ke arah taman istana. Tubuh Selva bersandar pada pilar kokoh istana. Sementara kepalanya menengadah ke arah bulan di langit. Dan matanya meneteskan bulir bening ke pipinya.

Selva... menangis? Lagi? Forst mengernyitkan keningnya. Ini kedua kalinya ia melihat gadis itu dalam keadaan seperti ini.

Beberapa saat yang lalu, Forst sedang berjalan untuk menemui calon guru terbangnya. Tapi di tengah perjalanan, langkahnya terhenti melihat Selva yang kembali menangis tanpa suara. Dan entah mengapa gadis itu selalu tampak menyembunyikan sesuatu di balik air matanya.

Selama ini sikap Selva memang selalu ketus kepada Forst. Tapi saat melihat gadis itu menangis seperti ini membuat hati Forst terenyuh. Seandainya diizinkan, ia ingin menghapus air mata Selva. Lagipula, bagaimanapun gadis itu adalah teman peri pertamanya.

Forst menahan napas sambil membulatkan tekad. Saat ia menghela napas, dengan mantap langkahnya melebar menuju Selva. Lalu, tanpa ragu ia mengetuk perlahan bahu Selva.

Selva tersentak. Ia memutar kepalanya dengan terkejut. Pemandangan mata yang melebar dan pipi yang basah karena air mata terpampang di hadapan Forst. Iris mata yang hijau itu tampak menggelap karena kesedihan.

Begitu menyadari siapa yang datang, Selva bergegas memalingkan wajahnya. Ia juga cepat-cepat menghapus air matanya. Dan sekarang sepasang mata itu menatap Forst dengan garang. Seolah tidak pernah ada kesedihan di sana sebelumnya.

“Forst?! Apa yang kau lakukan di sini?!” tanya Selva setengah membentak.

Selva berkata dengan nada ketus seperti biasanya. Tapi itu sama sekali tidak membuat Forst merasa tersinggung. Ia malah merasa kasihan kepada Selva. Ternyata di balik sikap ketusnya, gadis ini menyembunyikan kesedihan yang mendalam.

“Kenapa kau menangis, Selva?” tanya Forst selembut mungkin. Tangannya terulur, mencoba mengusap jejak air mata di pipi Selva.

Tanpa dinyana, Selva malah memalingkan wajahnya. Ia menghindari sentuhan tangan Forst. Dan tampak jelas bahwa lelaki itu terkejut atas penolakan mendadak itu.

“Kau bisa menceritakan apapun padaku, kau tahu?” Forst menarik kembali tangannya. “Bukankah kita teman?”

Melalui ekor matanya, Selva melihat ekspresi kesedihan atau kasihan entahlah, di mata Forst. Dan wajah itu membuat ingatan menyedihkan lainnya memenuhi benak Selva. Ia menggigit bibirnya menahan air mata. Tidak. Ia tidak boleh menangis di hadapan siapapun. Terlebih itu Forst.

“Selva?” Forst berbisik menuntut jawaban. Ia meletakkan tangannya di bahu Selva.

Selva menepis tangan Forst dengan kasar. “Ini sama sekali bukan urusanmu!” Ia membentak sambil melangkah cepat meninggalkan Forst.

***

“Ada apa, Forst? Kata teman-teman, kau mencariku?” tanya Saki sambil berjalan ke arah Forst yang sedang menunggunya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Tapi Forst tetap bergeming. Lelaki itu menempelkan punggungnya pada pilar istana. Keningnya berkerut seperti sedang sibuk tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Gadis dengan rambut ungu itu mengerucutkan bibirnya dengan bingung. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyentuh ringan lengan Forst. Dan tanpa diduga, hal itu ternyata cukup membuat lelaki itu terkejut nyaris melompat.

“Sa, saki?!” Forst nyaris memekik dengan suara tinggi. “Sejak kapan kau ada di situ?”

Saki menghela napas geli. “Belum lama... mungkin sekitar tujuh jam yang lalu.”

“B-benarkah?” Ekspresi wajah Forst berubah tidak nyaman. Tapi sedetik kemudian ia menyadari bahwa Saki sedang berbohong. “Tidak mungkin! Kau pasti bercanda!”

Alih-alih bertanya atau meminta maaf, Saki malah terbahak tanpa sungkan di hadapan Forst. “Salahmu sendiri melamun hingga tidak mendengar aku datang. Sebenarnya ada apa, Forst?”

“Aku ingin meminta bantuanmu, Saki....” Forst mengutarakan maksudnya dengan suara perlahan agar tidak didengar orang lain.

Saki menelengkan kepalanya ke satu sisi. Keningnya mengernyit. “Bantuan apa?”

Kepala Forst celingukkan ke kanan dan ke kir. Begitu memastikan tidak ada orang yang mungkin mendengar mereka, ia berbisik, “Untuk itu bisakah kita mencari tempat yang lebih sepi?”

Saki tertegun. Tapi sebelum sempat ia bertanya lebih jauh, Forst sudah menggenggam tangannya dan menariknya menjauh dari tempat itu. Dengan langkah terseok-seok ia mengikuti langkah lebar Forst.

 Ternyata Forst mengajak Saki keluar dari area kerajaan. Dan mereka semakin dekat dengan hutan yang mengelilingi istana tersebut. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Saki segera menanyakan apa maksud dari sikap aneh Forst malam ini.

“Saki, aku mohon padamu untuk mengajariku untuk... terbang,” ujar Forst lantas tersipu.

“Apa?”

“Aku ingin kau mengajariku terbang.”

Saki tersenyum masam. “Itu... tidak mungkin, Forst.”

“Tunggu....” Forst mengangkat telapak tangannya di udara. Lalu ia menempelkan benda berbentuk tabung itu ke punggungnya. Sedetik kemudian, sepasang sayap peri melompat keluar dari benda itu. “Lihat? Aku punya sayap dan tolong ajari aku terbang.”

Mata Saki terbelalak takjub. Mulutnya menganga kagum. Ia bergerak ke belakang punggung Forst dan memperhatikan saksama sayap buatan itu. “Ini sangat hebat, Forst! Dari mana kau mendapatkan benda seperti ini?”

Pipi Forst merona saat wajah Karen terbayang di benaknya. “Dari seorang... te-teman.”

Saki kembali berdecak kagum. “Temanmu benar-benar hebat, Forst. Apa manusia memang suka membuat hal seperti ini?”

“Ya. Manusia suka membuat benda-benda yang praktis yang akan memudahkan kehidupannya. Biasanya, benda-benda tersebut terinspirasi dari alam.”

“Lalu... apakah kau benar-benar bisa terbang dengan benda ini?”

“Seharusnya bisa. Walaupun hanya untuk beberapa menit.” Forst menggedikkan bahunya. “Itulah mengapa aku memintamu untuk mengajariku terbang. Supaya aku tahu benda ini berhasil atau tidak.”

“Tapi....” Saki kembali tersenyum masam seperti sebelumnya. “Itu tidak mungkin, Forst.”

“Kenapa?”

“Karena aku sendiri tidak bisa terbang,” jawab Saki. Raut wajah yang biasanya ceria kini tampak memunculkan raut getir.

Forst tercengang. Ia memilih diam dan menunggu Saki melanjutkan ceritanya.

“Aku memiliki sepasang sayap yang cacat, Forst.” Wajah Saki tertunduk rikuh. Seolah ia sedang mengakui bahwa ia adalah seorang pencuri. Sepasang sayapnya terkulai lemah. “Bagi keluarga dan rasku, itu adalah sesuatu yang memalukan sehingga aku dikucilkan. Itulah kenapa aku memilih menjadi seorang pembangkang dan kabur ke hutan terlarang.”

“Oh, maafkan aku.... Aku sama sekali tidak tahu.” Ekspresi Forst tampak tidak nyaman. Ia takut menyinggung perasaan Saki. Karena ia sendiri memahami bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu.

“Tidak apa, Forst.” Saki kembali dengan senyuman menawannya. “Aku malah lebih bahagia sekarang. Bisa berkumpul dengan keluarga yang sesungguhnya. Denganmu, Diff, Dash, Selva dan teman-teman yang lainnya. Walaupun aku tidak pernah ikut bertarung dan memilih menjaga barisan belakang untuk merawat teman yang terluka.”

Forst masih terdiam dan bingung untuk berkata-kata.

“Jangan berwajah seperti itu, Forst!” seru Saki dengan ceria. Ia menepuk hangat bahu lelaki itu. “Walaupun aku tidak bisa terbang, tapi aku cukup memahami beberapa teknik dasarnya. Bagaimana, muridku?”

Saki terkekeh perlahan saat menyebut kata ‘muridku’. Seolah tidak ada kesedihan yang sebelumnya bergelayut di wajah gadis itu. Mau tak mau, Forst jadi ikut terkekeh tanpa dipaksa.

“Berbaliklah, Forst.” Saki memberi perintah. Begitu Forst memunggunginya, ia mengulurkan kedua tangannya.

Forst bisa merasakan Saki menyentuh bahunya lalu bergerak perlahan dan berhenti di dekat pangkal sayapnya.

“Mulailah dengan menggerakkan tulang dan otot di bagian itu,” ucap Saki. Walaupun sebenarnya ia merasa sedikit ragu Forst bisa melakukannya. Sementara ia sendiri hanya membaca itu dari buku berulang lagi tanpa sekalipun berhasil melakukannya.

Forst memusatkan konsentrasinya pada bagian yang disentuh Saki. Matanya terpejam sambil membayangkan dirinya terbang tinggi dan menghancurkan Zestorian. Tidak lama kemudian, otot bahunya mulai berkedut perlahan.  

“Bagus, Forst. Pertahankan. Terus gerakan otot dan tulangmu,” ujar Saki dari balik punggung Forst.

Awalnya kedua sayap buatan itu bergerak kaku layaknya mesin yang baru dinyalakan. Tapi sedetik kemudian, perlahan gerakannya mulai tersinkronisasi dan semua sayapnya mulai bergerak seirama.

Mata Saki terbelalak takjub. Manusia benar-benar makhluk yang hebat. “Sedikit lagi. Gerakkan lebih kuat.”

Seperti bisa mendengar perintah, sayap itu mulai bergetar hingga udara di sekitarnya mendengung.

“Hebat, Forst! Kau berhasil!” Saki bersorak riang. “Tapi menurutku, lebih baik kau jangan terbang dulu. Lebih baik kita meminta teman-teman yang lain untuk mengawasi karena aku tidak bisa menolongmu jika terjadi apa-apa saat kau

Kata-kata Saki terhenti diikuti suara teriakan karena terkejut. Ia menutup mata dan melindungi wajahnya dengan kedua lengannya saat angin kencang menerpa sekitarnya. Dan begitu membuka mata, ia melihat Forst melesat meninggalkan tanah. Entah karena suara Saki tertutup bunyi dengungan sayap Forst atau karena lelaki itu memang kelewat senang, hingga ia tidak mendengarkan peringatan Saki.

“Forst? Forst?!” Saki memekik panik saat melihat tubuh Forst berputar-putar tidak tentu arah di langit malam. Inilah yang ia takutkan! Jika Forst belum bisa mengendalikan sayapnya, maka hal seperti ini yang akan terjadi. Sementara ia sendiri tidak bisa terbang untuk menarik lelaki itu turun.

“Saki! Bagaimana cara... mengendalikan kecepatan... terbang?” Forst berteriak. Suaranya menggema di langit malam. Tubuhnya terus bergerak-gerak tanpa kendali. Sehingga ia tampak seperti balon penuh udara yang dilepaskan begitu saja.

“Coba bayangkan dirimu adalah peri! Atau coba rentangkan tanganmu!” Saki menempelkan kedua tangannya di samping pipinya untuk menggunakannya sebagai pengeras suara. Ia meneriakkan segala sesuatu yang mungkin bisa membantu Forst mengendalikan kemampuan terbangnya.

Benar saja. Setelah bergerak tanpa kendali selama lima menit, Forst akhirnya bisa mengendalikan sayapnya dan ia mulai meluncur perlahan di udara. Ia melesat di atas hutan. Daun-daun tampak hitam di bawah sana. Ia merasa ini begitu menyenangkan. Jika bisa kembali ke dunia manusia, ia harus berterima kasih kepada Profesor dan tentu saja kepada Karen.

Forst terbang rendah untuk menyapa Saki. Gadis itu tersenyum seolah merasakan kebahagiaan Forsy. Tapi saat baru saja ia kembali meninggi, tiba-tiba saja gerakan Forst terhenti. Sedetik kemudian ia menyadari bahwa sayapnya sudah hilang dari punggungnya.

Gawat! Forst berteriak kencang saat merasakan tubuhnya terjun bebas ke tanah. Lalu diikuti suara gesekan daun dan patahan ranting, lelaki itu mendarat di atas tanah dengan suara berdebam.

“Forst, kau baik-baik saja?” Saki berlari kecil menghampiri Forst dengan wajah khawatir.

Forst mengusap pantatnya yang terasa panas. “Aku baik-baik saja, Saki. Terima kasih.” Entah mengapa Forst merasa bersyukur ia sedang bersama Saki saat ini. Jika bersama Selva, gadis itu pasti menertawakannya habisa-habisan.

Tunggu mengapa ia tiba-tiba memikirkan gadis itu?

“Saki, apa kau tahu kenapa Selva sering menangis diam-diam?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Forst. Saki sedang membantunya untuk berdiri kembali,

“Selva....” gumam Saki. “Dia berasal dari ras Prasion yang ahli pedang dan menempa pedang. Tapi Selva sama sekali tidak pernah bisa membuat pedang yang bagus. Ia hanya bisa membuat busur dan anak panah yang kuat. Kedua orang tuanya mengurungnya di rumah karena menganggapnya sebagai aib. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi diam-diam ke hutan terlarang.”

Forst tertegun. Lalu wajahnya berubah masam saat teringat kata-kata sindiriannya kepada Selva. Pantas saja gadis itu selalu saja diletakkan sebagai pelajar pedang, sementara peri ras Prasion yang lain menjadi pengajar pedang. Tiba-tiba Forst merasa bersalah sudah berpikiran buruk terhadap Selva.

“Semua memiliki ceritanya masing-masing, Forst.”

***

Perperangan hari ini terasa lebih berat dari sebelumnya. Selain karena jumlah prajurit yang terus berkurang, serangan dari Zestorian sendiri semakin membabi buta. Mereka menyerang lebih pagi dari biasanya. Sesuatu semacam bola-bola api ditembakan ke hutan bagian barat dan meratakan daerah itu dengan tanah.

Forst menjauh sejenak dengan napas terengah. Ia memasangkan tabung sayapnya ke punggung. Kali ini, ia akan menyerang monster itu tepat di bagian wajah. Begitu sayapnya merentang, Forst melesat ke udara. Ia menghunuskan pedangnya tepat ke mata menyala monster itu.

Seketika monster itu meraung kesakitan lalu menggelepar. Merasa tidak puas, Forst melesat dan menyerang monster lainnya. Saat melihat hal itu, teman-temannya yang lain juga ikut membantu Forst menyerang. Forst mendesah lega saat serangan itu sudah berhenti. Bahkan karena terlalu senang, ia melupakan fakta bahwa sayapnya memiliki waktu terbatas. Hingga ia merasakan tubuhnya kembali meluncur bebas ke tanah.

Beberapa sentimeter sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Forst memejamkan matanya. Tapi lama ia menunggu, tapi tidak ada hantaman kuat di sekitarnya. Ia malah merasa kembali melayang di udara sebentar lalu mendarat aman di atas tanah.

Saat perlahan membuka mata, ia mendapati Selva ada di dekatnya.

“Selva?” Forst berseru tidak percaya. “Terima kasih atas bantu

Teriakan serentak menginterupsi kata-kata Forst. Saat ia menolehkan kepalanya, pemandangan yang mengerikan terpampang di hadapannya. Bayang-bayang hitam di antara pepohonan itu meraung keras. Monster itu bangkit lagi! Dan yang lebih buruknya, tiba-tiba saja monster itu menyiramkan cairan berwarna kelabu ke arah bangsa Viridian.

Dalam sekejap, beberapa prajurit tewasa seketika dan banyak yang terluka. Dengan cepat Forst menyiramkan cairan perisainya ke udara. Sebuah perisai bersinar keunguan dan menghalau cairan itu. Pohon-pohon yang terkena cairan itu juga tumbang seketika.

“Cepat mundur! Kembali ke istana!” Forst berteriak lantang. Sehingga semua prajurit bahu membahu kembali ke istana. Para peri membawa beberapa yang terluka dengan cara terbang, sementara yang lainnya memapah temannya yang terluka.

Tiba-tiba Forst merasa perisainya semakin melebar dan kuat. Saat ia menoleh ke kanan, ia melihat Selva sedang merapal mantra dan membentuk perisai di udara. Mirip seperti milik Forst, hanya sedikit lebih kecil. Tentu saja karena itu bukan keahliannya.

Selva tersenyum. “Saki yang mengajarkanku mantra ini.”

Forst mengangguk mantap. Matanya menyiratkan rasa terima kasih. Ia harus bisa melindungi negeri ini. Demi Diff dan Dash. Demi Givka. Demi Selva dan Saki. Demi teman-temannya. Demi Karen. Dan demi dirinya sendiri.

Begitu mendapat jarak yang cukup, Forst dan Selva melepas perisai mereka secara bersamaan. Dan dengan sigap, Selva mengangkat tubuh Forst ke udara. Mereka terbang kembali ke istana untuk mengobati luka dan mengembalikan tenaga mereka.

Baru saja Forst keluar dari ruang perawatan istana, tiba-tiba ia mendengar nada mencemooh dari mulut Lacano. “Aku mengakui kemampuan bertarung amatirmu. Tapi aku tidak akan pernah mengakuimu sebagai pahlawan.”

“Apa maksudmu?” tanya Forst bingung. Satu alisnya terangkat.

“Sikap sok heroikmu yang melindungi bangsa Viridian dengan mempertaruhkan nyawa.” Lacano melipat tangan di depan dada dengan sikap arogan. “Bagaimanapun kau adalah manusia.”

“Lalu kenapa jika aku manusia?

“Manusia adalah musuh.” Mata cokelat Lacano tampak membara. “Aku tidak bisa mempercayaimu sepenuhnya.”

“Katakan saja apa masalahmu!” sahut Forst cepat. “Dan kita segera menyelesaikan ini sekarang juga. Bagaimana kita bisa bekerja sama mengalahkan Zestorian jika tidak bisa saling mempercayai?”

Lacano mendengus sebal. “Jangan merasa tinggi hati seperti itu... seperti manusia saja.”

Telinga Forst berkedut marah. Entah mengapa Lacano selalu mengucapkan kata ‘manusia’ dengan nada bicara seperti sedang melihat sesuatu yang menjijikan. Seperti apa sebenarnya manusia di mata lelaki ini?

Tanpa mereka sadari, banyak pasang mata sedang menonton perdebatan antara dua pemuda ini. Bahkan berita itu sepertinya sudah tersiar sampai ke telinga Givka. Benar saja. Beberapa detik kemudian, terdengar derap langkah Givka mendekat ke arah Forst dan Lacano. Gadis itu berteriak khawatir atas  perdebatan sengit yang terjadi di antara kedua temannya. Bahkan kehadiran Givka pun tidak mampu meredam bara di antara mereka berdua.

Hingga tiba-tiba Lacano mengucapkan hal yang mengejutkan.

 “Kau adalah bagian dari Zestorian.”

Apa maksudnya?

Mata Forst terbelalak tidak percaya. Heran. Bingung. Sekuat tenaga ia berusaha mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Bukankah Givka pernah mengatakan bahwa Viridian memerlukan bantuan dari manusia? Tapi sekarang Lacano mengatakan bahwa Forst adalah bagian dari Zestorian.

Apa maksudnya? Kepala Forst berputar cepat ke arah Givka. Gadis itu tampak gemetar dengan bola mata yang bergerak gelisah.

“Apa kau bisa memberi penjelasan, Tuan Putri?” tanya Forst.

Givka bergumam perlahan. Kepalanya menunduk lemah lalu mengangguk dengan enggan. “Zestorian dalam bahasa kami berarti... manusia.”






 Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D