Tidak ada yang bisa dilakukan Forst untuk menghentikan
air mata seorang gadis. Ia hanya bisa bersabar dan menunggu hingga air mata itu
reda dengan sendirinya. Dan begitu Givka berhenti menangis, ia melepaskan
pelukannya. Lantas merasa malu atas apa yang dilakukannya. Forst cepat-cepat
mengucap maaf diikuti tawa kecil Givka yang malah berujar terima kasih.
Forst melangkah lebar menuju ke kamarnya
dengan wajah terbakar. Ia langsung pamit begitu saja dengan alasan ingin
beristirahat dan mempersiapkan pertarungan esok hari. Menurut info yang
didengar Forst, Zestorian adalah makhluk yang tidak mudah menyerah. Mereka
pasti akan kembali lagi besok untuk melanjutkan penyerangan.
Saat berbelok di koridor menuju kamar, mata
Forst menangkap sosok Lacano. Bergegas Forst meneriakkan nama lelaki itu untuk
menghentikan langkahnya. Tapi lelaki itu seperti tuli. Ia hanya terus berjalan
tanpa menoleh sedikitpun.
Dengan berlari kecil, Forst menghampirinya
untuk mengucapkan terima kasih atas kerja sama hari ini. Tapi, entah mengapa tatapan
mata cokelat Lucano tampak mengerikan.
Tidak ada keramahan. Tajam dan menusuk. Mengingatkan Forst pada cara ibunya
menatapnya dulu. Begitu enuh kebencian. Tapi apa alasan Lucano untuk membenci
Forst?
“Jangan munafik,” kata Lucano dengan ketus
sebelum Forst sempat mengucapkan apa-apa. “Hanya karena Givka ramah padamu saja
sudah membuatmu angkuh. Tadi aku mau bekerja sama denganmu juga karena
permintaannya.”
Kening Forst mengernyit. Tapi sesaat
kemudian ia sudah bisa kembali menguasai diri. Seulas senyum hadir di wajahnya.
Bukankah seharusnya aku sudah terbiasa
dengan tatapan penuh kebencian?
“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas
kerja sama hari ini.” Forst mengulurkan tangan bersahabat.
Tapi Lacano hanya memandang sekilas uluran
tangan itu. Kemudian ia memalingkan wajah seperti baru saja melihat hal yang
menjijikan. Rahangnya yang tegas tampak menonjol seperti menahan amarah.
“Meminta bantuan kepada manusia adalah
keputusan paling bodoh yang pernah diambil Putri Givka.” Lacano berlalu dengan
nada bicara yang mencemooh. “Benar-benar omong kosong.”
***
Forst berbaring di tempat tidurnya yang
nyaman. Matanya menatap nyalang ke langit-langit kamar yang dipenuhi daun
menjalar. Cahaya bulan mengintip perlahan melalui celah rangkaian ranting yang
menyusun dinding.
Sudah banyak pertarungan yang dijalani
Forst demi bangsa Viridian. Tapi ia tetap saja merasa ada yang kurang. Ada
sesuatu yang tersembunyi dan harus diungkap. Bangsa Viridian harus menang telak dan mengusir bangsa Zestorian
selamanya.
Salah satu pertanyaan yang mengusik adalah
mengapa Zestorian hanya menyerang saat terang?
Forst memejamkan matanya. Kejadian-kejadian
di medan perang berputar cepat dalam benaknya. Keningnya mengernyit saat
teringat dengan prajurit Viridian yang menjemput ajal. Memang tidak ada darah
yang mengalir. Mereka akan langsung tumbang dan jasadnya hilang, melebur dengan
tanah. Setiap hari Forst selalu menyaksikan gugurnya para prajurit. Sesekali
perasaan takut membayangi hatinya.
Setiap hari Forst merasa semakin dekat
dengan kematian. Bagaimana jika ia mati di sini? Itu berarti ia tidak akan
dapat bertemu kembali dengan gadis teman masa kecilnya... dengan Karen. Ia
bahkan belum sempat membalas kebaikan gadis itu kepadanya. Juga kepada Profesor
yang membantunya menemukan cairan pelindung untuk teman-temannya.
Tiba–tiba Forst teringat pada pemberian
gadis itu saat terakhir mereka bertemu. Penemuan Profesor yang bisa membuat
penggunanya terbang di udara selama beberapa menit. Bergegas Forst membuka
tasnya dan mengambil benda berbentuk tabung sepanjang sepuluh sentimeter itu.
Lalu, ia menempelkan benda itu di punggungnya dan secara otomatis benda itu tersemat
di antara tulang belikatnya.
Forst tersentak. Secara mendadak tabung
itu mengeluarkan seperti bunyi letupan perlahan. Dan sepasang sayap transparan
buatan melompat muncul di punggung Forst. Sayap itu mirip seperti sayap para
peri Derion.
Mata Forst terbelalak. Ia memutar-mutar
tubuhnya di hadapan cermin untuk melihat sayap itu. Sesekali ia mencoba
menggerakkan sayap itu dengan pikirannya dan ternyata itu berhasil. Hanya saja
ia merasa tidak mungkin mencoba terbang begitu saja tanpa ada pengarahan.
Hebat! Forst berseru dalam hati. Matanya masih
menatap takjub pada bayangan di cermin. Sayap itu tampak bergerak naik dan
turun secara perlahan di balik punggungnya.
Ini akan berguna saat pertarungan. Bukankah
para peri Derion lebih sedikit yang terluka karena mereka bisa menghindar ke
udara? Para peri juga dengan mudah bisa melakukan serangan dari udara. Forst
hanya tinggal mempelajari cara untuk mengendalikan benda ini. Serta berapa lama
benda itu bisa bertahan di udara.
Dan Forst tahu siapa guru yang sesuai
untuk itu.
***
“Selva?”
Forst bergumam perlahan saat melihat sosok
yang dikenalnya itu. Gadis itu tampak sedang berdiri di tepi koridor yang
terbuka langsung ke arah taman istana. Tubuh Selva bersandar pada pilar kokoh
istana. Sementara kepalanya menengadah ke arah bulan di langit. Dan matanya
meneteskan bulir bening ke pipinya.
Selva...
menangis? Lagi? Forst mengernyitkan keningnya. Ini
kedua kalinya ia melihat gadis itu dalam keadaan seperti ini.
Beberapa saat yang lalu, Forst sedang
berjalan untuk menemui calon guru terbangnya. Tapi di tengah perjalanan,
langkahnya terhenti melihat Selva yang kembali menangis tanpa suara. Dan entah
mengapa gadis itu selalu tampak menyembunyikan sesuatu di balik air matanya.
Selama ini sikap Selva memang selalu ketus
kepada Forst. Tapi saat melihat gadis itu menangis seperti ini membuat hati
Forst terenyuh. Seandainya diizinkan, ia ingin menghapus air mata Selva. Lagipula,
bagaimanapun gadis itu adalah teman peri pertamanya.
Forst menahan napas sambil membulatkan
tekad. Saat ia menghela napas, dengan mantap langkahnya melebar menuju Selva.
Lalu, tanpa ragu ia mengetuk perlahan bahu Selva.
Selva tersentak. Ia memutar kepalanya
dengan terkejut. Pemandangan mata yang melebar dan pipi yang basah karena air
mata terpampang di hadapan Forst. Iris mata yang hijau itu tampak menggelap
karena kesedihan.
Begitu menyadari siapa yang datang, Selva
bergegas memalingkan wajahnya. Ia juga cepat-cepat menghapus air matanya. Dan
sekarang sepasang mata itu menatap Forst dengan garang. Seolah tidak pernah ada
kesedihan di sana sebelumnya.
“Forst?! Apa yang kau lakukan di sini?!”
tanya Selva setengah membentak.
Selva berkata dengan nada ketus seperti
biasanya. Tapi itu sama sekali tidak membuat Forst merasa tersinggung. Ia malah
merasa kasihan kepada Selva. Ternyata di balik sikap ketusnya, gadis ini
menyembunyikan kesedihan yang mendalam.
“Kenapa kau menangis, Selva?” tanya Forst
selembut mungkin. Tangannya terulur, mencoba mengusap jejak air mata di pipi
Selva.
Tanpa dinyana, Selva malah memalingkan
wajahnya. Ia menghindari sentuhan tangan Forst. Dan tampak jelas bahwa lelaki itu
terkejut atas penolakan mendadak itu.
“Kau bisa menceritakan apapun padaku, kau
tahu?” Forst menarik kembali tangannya. “Bukankah kita teman?”
Melalui ekor matanya, Selva melihat
ekspresi kesedihan atau kasihan —entahlah,
di mata Forst. Dan wajah itu membuat ingatan menyedihkan lainnya memenuhi benak
Selva. Ia menggigit bibirnya menahan air mata. Tidak. Ia tidak boleh menangis
di hadapan siapapun. Terlebih itu Forst.
“Selva?” Forst berbisik menuntut jawaban.
Ia meletakkan tangannya di bahu Selva.
Selva menepis tangan Forst dengan kasar.
“Ini sama sekali bukan urusanmu!” Ia membentak sambil melangkah cepat
meninggalkan Forst.
***
“Ada apa, Forst? Kata teman-teman, kau
mencariku?” tanya Saki sambil berjalan ke arah Forst yang sedang menunggunya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tapi Forst tetap bergeming. Lelaki itu
menempelkan punggungnya pada pilar istana. Keningnya berkerut seperti sedang
sibuk tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Gadis dengan rambut ungu itu mengerucutkan
bibirnya dengan bingung. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyentuh ringan
lengan Forst. Dan tanpa diduga, hal itu ternyata cukup membuat lelaki itu
terkejut nyaris melompat.
“Sa, saki?!” Forst nyaris memekik dengan
suara tinggi. “Sejak kapan kau ada di situ?”
Saki menghela napas geli. “Belum lama...
mungkin sekitar tujuh jam yang lalu.”
“B-benarkah?” Ekspresi wajah Forst berubah
tidak nyaman. Tapi sedetik kemudian ia menyadari bahwa Saki sedang berbohong. “Tidak
mungkin! Kau pasti bercanda!”
Alih-alih bertanya atau meminta maaf, Saki
malah terbahak tanpa sungkan di hadapan Forst. “Salahmu sendiri melamun hingga
tidak mendengar aku datang. Sebenarnya ada apa, Forst?”
“Aku ingin meminta bantuanmu, Saki....”
Forst mengutarakan maksudnya dengan suara perlahan agar tidak didengar orang
lain.
Saki menelengkan kepalanya ke satu sisi.
Keningnya mengernyit. “Bantuan apa?”
Kepala Forst celingukkan ke kanan dan ke
kir. Begitu memastikan tidak ada orang yang mungkin mendengar mereka, ia
berbisik, “Untuk itu bisakah kita mencari tempat yang lebih sepi?”
Saki tertegun. Tapi sebelum sempat ia
bertanya lebih jauh, Forst sudah menggenggam tangannya dan menariknya menjauh
dari tempat itu. Dengan langkah terseok-seok ia mengikuti langkah lebar Forst.
Ternyata Forst mengajak Saki keluar dari area
kerajaan. Dan mereka semakin dekat dengan hutan yang mengelilingi istana
tersebut. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Saki segera menanyakan apa maksud dari
sikap aneh Forst malam ini.
“Saki, aku mohon padamu untuk mengajariku untuk...
terbang,” ujar Forst lantas tersipu.
“Apa?”
“Aku ingin kau mengajariku terbang.”
Saki tersenyum masam. “Itu... tidak
mungkin, Forst.”
“Tunggu....” Forst mengangkat telapak
tangannya di udara. Lalu ia menempelkan benda berbentuk tabung itu ke
punggungnya. Sedetik kemudian, sepasang sayap peri melompat keluar dari benda
itu. “Lihat? Aku punya sayap dan tolong ajari aku terbang.”
Mata Saki terbelalak takjub. Mulutnya menganga
kagum. Ia bergerak ke belakang punggung Forst dan memperhatikan saksama sayap
buatan itu. “Ini sangat hebat, Forst! Dari mana kau mendapatkan benda seperti
ini?”
Pipi Forst merona saat wajah Karen
terbayang di benaknya. “Dari seorang... te-teman.”
Saki kembali berdecak kagum. “Temanmu
benar-benar hebat, Forst. Apa manusia memang suka membuat hal seperti ini?”
“Ya. Manusia suka membuat benda-benda yang
praktis yang akan memudahkan kehidupannya. Biasanya, benda-benda tersebut
terinspirasi dari alam.”
“Lalu... apakah kau benar-benar bisa
terbang dengan benda ini?”
“Seharusnya bisa. Walaupun hanya untuk
beberapa menit.” Forst menggedikkan bahunya. “Itulah mengapa aku memintamu
untuk mengajariku terbang. Supaya aku tahu benda ini berhasil atau tidak.”
“Tapi....” Saki kembali tersenyum masam
seperti sebelumnya. “Itu tidak mungkin, Forst.”
“Kenapa?”
“Karena aku sendiri tidak bisa terbang,”
jawab Saki. Raut wajah yang biasanya ceria kini tampak memunculkan raut getir.
Forst tercengang. Ia memilih diam dan
menunggu Saki melanjutkan ceritanya.
“Aku memiliki sepasang sayap yang cacat,
Forst.” Wajah Saki tertunduk rikuh. Seolah ia sedang mengakui bahwa ia adalah
seorang pencuri. Sepasang sayapnya terkulai lemah. “Bagi keluarga dan rasku,
itu adalah sesuatu yang memalukan sehingga aku dikucilkan. Itulah kenapa aku
memilih menjadi seorang pembangkang dan kabur ke hutan terlarang.”
“Oh, maafkan aku.... Aku sama sekali tidak
tahu.” Ekspresi Forst tampak tidak nyaman. Ia takut menyinggung perasaan Saki. Karena
ia sendiri memahami bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu.
“Tidak apa, Forst.” Saki kembali dengan
senyuman menawannya. “Aku malah lebih bahagia sekarang. Bisa berkumpul dengan
keluarga yang sesungguhnya. Denganmu, Diff, Dash, Selva dan teman-teman yang
lainnya. Walaupun aku tidak pernah ikut bertarung dan memilih menjaga barisan
belakang untuk merawat teman yang terluka.”
Forst masih terdiam dan bingung untuk
berkata-kata.
“Jangan berwajah seperti itu, Forst!” seru
Saki dengan ceria. Ia menepuk hangat bahu lelaki itu. “Walaupun aku tidak bisa
terbang, tapi aku cukup memahami beberapa teknik dasarnya. Bagaimana, muridku?”
Saki terkekeh perlahan saat menyebut kata ‘muridku’.
Seolah tidak ada kesedihan yang sebelumnya bergelayut di wajah gadis itu. Mau
tak mau, Forst jadi ikut terkekeh tanpa dipaksa.
“Berbaliklah, Forst.” Saki memberi
perintah. Begitu Forst memunggunginya, ia mengulurkan kedua tangannya.
Forst bisa merasakan Saki menyentuh
bahunya lalu bergerak perlahan dan berhenti di dekat pangkal sayapnya.
“Mulailah dengan menggerakkan tulang dan
otot di bagian itu,” ucap Saki. Walaupun sebenarnya ia merasa sedikit ragu Forst
bisa melakukannya. Sementara ia sendiri hanya membaca itu dari buku berulang
lagi tanpa sekalipun berhasil melakukannya.
Forst memusatkan konsentrasinya pada
bagian yang disentuh Saki. Matanya terpejam sambil membayangkan dirinya terbang
tinggi dan menghancurkan Zestorian. Tidak lama kemudian, otot bahunya mulai
berkedut perlahan.
“Bagus, Forst. Pertahankan. Terus gerakan otot
dan tulangmu,” ujar Saki dari balik punggung Forst.
Awalnya kedua sayap buatan itu bergerak kaku
layaknya mesin yang baru dinyalakan. Tapi sedetik kemudian, perlahan gerakannya
mulai tersinkronisasi dan semua sayapnya mulai bergerak seirama.
Mata Saki terbelalak takjub. Manusia benar-benar
makhluk yang hebat. “Sedikit lagi. Gerakkan lebih kuat.”
Seperti bisa mendengar perintah, sayap itu
mulai bergetar hingga udara di sekitarnya mendengung.
“Hebat, Forst! Kau berhasil!” Saki
bersorak riang. “Tapi menurutku, lebih baik kau jangan terbang dulu. Lebih baik
kita meminta teman-teman yang lain untuk mengawasi karena aku tidak bisa
menolongmu jika terjadi apa-apa saat kau—“
Kata-kata Saki terhenti diikuti suara
teriakan karena terkejut. Ia menutup mata dan melindungi wajahnya dengan kedua
lengannya saat angin kencang menerpa sekitarnya. Dan begitu membuka mata, ia melihat
Forst melesat meninggalkan tanah. Entah karena suara Saki tertutup bunyi
dengungan sayap Forst atau karena lelaki itu memang kelewat senang, hingga ia
tidak mendengarkan peringatan Saki.
“Forst? Forst?!” Saki memekik panik saat
melihat tubuh Forst berputar-putar tidak tentu arah di langit malam. Inilah yang
ia takutkan! Jika Forst belum bisa mengendalikan sayapnya, maka hal seperti ini
yang akan terjadi. Sementara ia sendiri tidak bisa terbang untuk menarik lelaki
itu turun.
“Saki! Bagaimana cara... mengendalikan
kecepatan... terbang?” Forst berteriak. Suaranya menggema di langit malam. Tubuhnya
terus bergerak-gerak tanpa kendali. Sehingga ia tampak seperti balon penuh udara
yang dilepaskan begitu saja.
“Coba bayangkan dirimu adalah peri! Atau coba
rentangkan tanganmu!” Saki menempelkan kedua tangannya di samping pipinya untuk
menggunakannya sebagai pengeras suara. Ia meneriakkan segala sesuatu yang
mungkin bisa membantu Forst mengendalikan kemampuan terbangnya.
Benar saja. Setelah bergerak tanpa kendali
selama lima menit, Forst akhirnya bisa mengendalikan sayapnya dan ia mulai
meluncur perlahan di udara. Ia melesat di atas hutan. Daun-daun tampak hitam di
bawah sana. Ia merasa ini begitu menyenangkan. Jika bisa kembali ke dunia
manusia, ia harus berterima kasih kepada Profesor dan tentu saja kepada Karen.
Forst terbang rendah untuk menyapa Saki.
Gadis itu tersenyum seolah merasakan kebahagiaan Forsy. Tapi saat baru saja ia
kembali meninggi, tiba-tiba saja gerakan Forst terhenti. Sedetik kemudian ia
menyadari bahwa sayapnya sudah hilang dari punggungnya.
Gawat!
Forst berteriak kencang
saat merasakan tubuhnya terjun bebas ke tanah. Lalu diikuti suara gesekan daun
dan patahan ranting, lelaki itu mendarat di atas tanah dengan suara berdebam.
“Forst, kau baik-baik saja?” Saki berlari
kecil menghampiri Forst dengan wajah khawatir.
Forst mengusap pantatnya yang terasa
panas. “Aku baik-baik saja, Saki. Terima kasih.” Entah mengapa Forst merasa
bersyukur ia sedang bersama Saki saat ini. Jika bersama Selva, gadis itu pasti
menertawakannya habisa-habisan.
Tunggu— mengapa ia tiba-tiba memikirkan gadis
itu?
“Saki, apa kau tahu kenapa Selva sering
menangis diam-diam?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Forst. Saki
sedang membantunya untuk berdiri kembali,
“Selva....” gumam Saki. “Dia berasal dari ras
Prasion yang ahli pedang dan menempa pedang. Tapi Selva sama sekali tidak
pernah bisa membuat pedang yang bagus. Ia hanya bisa membuat busur dan anak
panah yang kuat. Kedua orang tuanya mengurungnya di rumah karena menganggapnya
sebagai aib. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi diam-diam ke hutan
terlarang.”
Forst tertegun. Lalu wajahnya berubah
masam saat teringat kata-kata sindiriannya kepada Selva. Pantas saja gadis itu
selalu saja diletakkan sebagai pelajar pedang, sementara peri ras Prasion yang
lain menjadi pengajar pedang. Tiba-tiba Forst merasa bersalah sudah berpikiran
buruk terhadap Selva.
“Semua memiliki ceritanya masing-masing,
Forst.”
***
Perperangan hari ini terasa lebih berat
dari sebelumnya. Selain karena jumlah prajurit yang terus berkurang, serangan
dari Zestorian sendiri semakin membabi buta. Mereka menyerang lebih pagi dari
biasanya. Sesuatu semacam bola-bola api ditembakan ke hutan bagian barat dan meratakan
daerah itu dengan tanah.
Forst menjauh sejenak dengan napas
terengah. Ia memasangkan tabung sayapnya ke punggung. Kali ini, ia akan
menyerang monster itu tepat di bagian wajah. Begitu sayapnya merentang, Forst
melesat ke udara. Ia menghunuskan pedangnya tepat ke mata menyala monster itu.
Seketika monster itu meraung kesakitan
lalu menggelepar. Merasa tidak puas, Forst melesat dan menyerang monster
lainnya. Saat melihat hal itu, teman-temannya yang lain juga ikut membantu
Forst menyerang. Forst mendesah lega saat serangan itu sudah berhenti. Bahkan karena
terlalu senang, ia melupakan fakta bahwa sayapnya memiliki waktu terbatas. Hingga
ia merasakan tubuhnya kembali meluncur bebas ke tanah.
Beberapa sentimeter sebelum tubuhnya
menyentuh tanah, Forst memejamkan matanya. Tapi lama ia menunggu, tapi tidak
ada hantaman kuat di sekitarnya. Ia malah merasa kembali melayang di udara
sebentar lalu mendarat aman di atas tanah.
Saat perlahan membuka mata, ia mendapati
Selva ada di dekatnya.
“Selva?” Forst berseru tidak percaya. “Terima
kasih atas bantu—“
Teriakan serentak menginterupsi kata-kata
Forst. Saat ia menolehkan kepalanya, pemandangan yang mengerikan terpampang di
hadapannya. Bayang-bayang hitam di antara pepohonan itu meraung keras. Monster
itu bangkit lagi! Dan yang lebih buruknya, tiba-tiba saja monster itu
menyiramkan cairan berwarna kelabu ke arah bangsa Viridian.
Dalam sekejap, beberapa prajurit tewasa
seketika dan banyak yang terluka. Dengan cepat Forst menyiramkan cairan perisainya
ke udara. Sebuah perisai bersinar keunguan dan menghalau cairan itu.
Pohon-pohon yang terkena cairan itu juga tumbang seketika.
“Cepat mundur! Kembali ke istana!” Forst
berteriak lantang. Sehingga semua prajurit bahu membahu kembali ke istana. Para
peri membawa beberapa yang terluka dengan cara terbang, sementara yang lainnya
memapah temannya yang terluka.
Tiba-tiba Forst merasa perisainya semakin
melebar dan kuat. Saat ia menoleh ke kanan, ia melihat Selva sedang merapal
mantra dan membentuk perisai di udara. Mirip seperti milik Forst, hanya sedikit
lebih kecil. Tentu saja karena itu bukan keahliannya.
Selva tersenyum. “Saki yang mengajarkanku
mantra ini.”
Forst mengangguk mantap. Matanya
menyiratkan rasa terima kasih. Ia harus bisa melindungi negeri ini. Demi Diff
dan Dash. Demi Givka. Demi Selva dan Saki. Demi teman-temannya. Demi Karen. Dan
demi dirinya sendiri.
Begitu mendapat jarak yang cukup, Forst
dan Selva melepas perisai mereka secara bersamaan. Dan dengan sigap, Selva
mengangkat tubuh Forst ke udara. Mereka terbang kembali ke istana untuk
mengobati luka dan mengembalikan tenaga mereka.
Baru saja Forst keluar dari ruang
perawatan istana, tiba-tiba ia mendengar nada mencemooh dari mulut Lacano. “Aku
mengakui kemampuan bertarung amatirmu.
Tapi aku tidak akan pernah mengakuimu sebagai pahlawan.”
“Apa maksudmu?” tanya Forst bingung. Satu
alisnya terangkat.
“Sikap sok
heroikmu yang melindungi bangsa Viridian dengan mempertaruhkan nyawa.”
Lacano melipat tangan di depan dada dengan sikap arogan. “Bagaimanapun kau
adalah manusia.”
“Lalu kenapa jika aku manusia?
“Manusia adalah musuh.” Mata cokelat
Lacano tampak membara. “Aku tidak bisa mempercayaimu sepenuhnya.”
“Katakan saja apa masalahmu!” sahut Forst
cepat. “Dan kita segera menyelesaikan ini sekarang juga. Bagaimana kita bisa
bekerja sama mengalahkan Zestorian jika tidak bisa saling mempercayai?”
Lacano mendengus sebal. “Jangan merasa
tinggi hati seperti itu... seperti manusia saja.”
Telinga Forst berkedut marah. Entah
mengapa Lacano selalu mengucapkan kata ‘manusia’ dengan nada bicara seperti
sedang melihat sesuatu yang menjijikan. Seperti apa sebenarnya manusia di mata
lelaki ini?
Tanpa mereka sadari, banyak pasang mata
sedang menonton perdebatan antara dua pemuda ini. Bahkan berita itu sepertinya
sudah tersiar sampai ke telinga Givka. Benar saja. Beberapa detik kemudian, terdengar
derap langkah Givka mendekat ke arah Forst dan Lacano. Gadis itu berteriak
khawatir atas perdebatan sengit yang
terjadi di antara kedua temannya. Bahkan kehadiran Givka pun tidak mampu
meredam bara di antara mereka berdua.
Hingga tiba-tiba Lacano mengucapkan hal
yang mengejutkan.
“Kau adalah bagian dari Zestorian.”
Apa
maksudnya?
Mata Forst terbelalak tidak percaya.
Heran. Bingung. Sekuat tenaga ia berusaha mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya.
Bukankah Givka pernah mengatakan bahwa Viridian memerlukan bantuan dari manusia?
Tapi sekarang Lacano mengatakan bahwa Forst adalah bagian dari Zestorian.
Apa
maksudnya? Kepala Forst berputar
cepat ke arah Givka. Gadis itu tampak gemetar dengan bola mata yang bergerak
gelisah.
“Apa kau bisa memberi penjelasan, Tuan Putri?” tanya Forst.
Givka bergumam perlahan. Kepalanya
menunduk lemah lalu mengangguk dengan enggan. “Zestorian dalam bahasa kami berarti...
manusia.”
Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D