Senin, 20 April 2015

Once Upon A Time In the Forest Part 7 (end)




Langkah Forst menjangkau cepat keluar dari istana bangsa Viridian. Tidak sedikitpun ia menoleh ataupun menghiraukan panggilan teman-temannya. Telinganya seperti tuli. Sekalipun Givka meneriakkan namanya penuh keputus asaan.

Fakta yang baru saja dihadirkan Lacano ke hadapan Forst benar-benar di luar dugaannya. Ternyata bangsa Zestorian yang selama ini diperangi Forst adalah bangsa manusia. Dan itu berarti ia berperang melawan bangsanya sendiri.

Forst tidak ingin langsung mempercayai hal itu. Ia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Jika memang benar Zestorian itu adalah manusia, mengapa Givka dan yang lainnya menyembunyikan hal ini darinya? Tidak adakah yang bisa dipercaya di dunia ini?

Begitu tiba di daerah penyerangan, Forst menghentikan langkahnya. Matanya menyapu pemandangan mengerikan di sekitarnya yang begitu porak poranda. Ini semua bukti dari kekejaman bangsa Zestorian yang seakan tidak memiliki hati dan perasaan.

Perlahan, Forst mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Tadi ia memang melangkahkan kakinya lebar-lebar sementara amarah membakar deras perasaannya. Begitu denyut nadinya kembali stabil, ia kembali berjalan mendekat ke daerah yang benar-benar sudah rata dengan tanah.  Ia berjalan keluar dari hutan, memasuki wilayah Zestorian.

Saat itulah tiba-tiba saja salah satu makhluk mengerikan itu meraung keras. Dengan cepat makhluk itu melangkah mendekati Forst. Cakarnya yang besar seolah siap menerkam kapan saja.

Forst hanya terpaku. Tubuhnya mulai gemetar. Kepalanya mendongak kepada bayangan hitam yang bergerak-gerak mengerikan di antara pepohonan. Ia menelan ludah yang terasa menyakitkan di tenggorokannya. Benarkah makhluk menyeramkan ini adalah manusia?

Tangan Forst mencoba meraih pedang yang ada di pinggangnya untuk melindungi diri. Dan saat itulah ia menyadari bahwa pedangnya tidak ada di sana. Forst memejamkan mata dan tersenyum. Jadi, inikah akhir hidupnya yang singkat?

Tiba-tiba Forst mendengar makhluk mengerikan itu berteriak kesakitan. Takut-takut, ia membuka matanya. Ia merasa khawatir jika saja itu adalah suara kesakitan dari dalam hatinya sendiri.

Saat kelopak matanya terbuka sempurna, Forst melihat dua buah anak panah melasat bersamaan di udara mengarah kepada monster itu. Sehingga gerakan monster itu berhenti seketika. Tanpa perlu menolehkan kepalanya, Forst sudah tahu siapa pemilik senjata itu.

“Mengherankan. Tidak biasanya kau berjalan secepat itu, Forst.”

Dan nada bicara yang khas itu.

“Selva.” Forst bergumam penuh rasa syukur. “Terima kasih kau sudah menolongku.”

“Tidak masalah.” Selva mengangkat bahunya. Bibirnya melengkungkan senyum separuh yang terlihat bahagia. “Lagi pula kau juga pernah menyelamatkan hidupku sebelum ini.”

 Tanpa mereka sadari, Zestorian yang tadi kembali bangkit. Tubuh yang besar itu sudah bersiap menyerang. Dengan raungan yang menyakitkan telinga, cakar monster itu kembali mengayun di udara.

“Selva!” Forst yang lebih dulu menyadari gerakan itu, berteriak sambil melompat ke arah Selva. Ia mendorong bahu gadis itu hingga mereka berdua tersungkur di atas tanah.

“Forst? Kau baik-baik saja?” Selva berseru panik sambil merangkak ke arah Forst yang meronta kesakitan. Sebuah luka memanjang di lengan lelaki itu. Tampaknya serangan monster itu sempat mengenainya.

Forst masih meringis kesakitan saat monster itu kembali menyerang. Mata makhluk itu berkilat memancarkan aura membunuh di bawah bayang-bayang deaduanan. Raungan itu kembali menggema di udara sebelum lengan besar itu menghantam ke arah Selva dan Forst.

Selva terbelalak saat melihat serangan yang begitu dekat. Kalau seperti ini, senjatanya tidak bisa berfungsi dengan baik. Dalam hati, ia merutuk menyesali ketidak mampuannya menggunakan pedang. Tapi bagaimanpun ia harus melakukan perlawanan. Sehingga tanpa pikir panjang, ia menarik satu anak panahnya dan menancapkan begitu saja pada lengan besar yang berada sangat dekat.

Benar saja. Gerakan lengan monster itu berhenti di udara. Selva tidak menyangka anak panahnya sekuat itu. Dan begitu ia mencoba menajamkan penglihatannya, tampaklah sosok lelaki dengan rambut hijau cemerlang sedang berdiri di bawah bayang hitam lengan Zestorian. Tangan lelaki itu menggenggam kuat sebilah pedang yang menahan gerakan musuhnya.

“Lacano!” Selva memekik tidak percaya.

“Cepat bawa Forst kembali ke istana!” Lacana berteriak memerintah sambil tetap berkonsentrasi pada kekuatan pedangnya.

Selva menganggukkan kepalanya dan segara mengangkat tubuh Forst yang memucat. Ia membawa Forst terbang menjauh  untuk menghindari serangan. Begitu merasa sudah mendapat jarak yang aman, Selva membaringkan Forst pada batang pohon terdekat. Lalu ia mulai memelesatkan anak panahnya ke arah monster itu.

Akhirnya, monster itu sudah tidak berdaya dan berhenti menyerang. Mereka bertiga bergegas kembali ke istana. Lacano dan Selva bersama-sama memapah Forst yang mulai kehilangan kesadarannya.

“Apa semua manusia bodoh sepertimu, Forst?”

Forst bisa mendengar Lacano bergumam di dekat telinganya. Tapi ia tidak mampu menyahut ataupun menjawab kata-kata itu. Nada yang tajam seperti sebelumnya.

“Aku bukan kami semua memerlukan bantuanmu, Forst. Tapi aku ingin kau mengetahui dulu siapa kau sebenarnya. Untuk apa dan dengan siapa kau berperang.”

***

Pemandangan rangkaian ranting dan dedaunan yang menjalar menyambut Forst saat ia membuka mata.  Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Walaupun pandangannya masih terasa kabur, Forst bisa menyadari bahwa ia sedang menatap langit-langit kamarnya di istana bangsa Viridian. Ia merasakan nyeri yang tidak tertahankan di lengannya. Secara refleks ia menyentuh luka yang dibalut berbagai macam dedaunan itu.

“Kau sudah sadar?”

Kepala Forst bergerak ke arah pemilik suara itu. Lalu ia bergumam dengan suara serak, “Putri Givka?”

“Syukurlah, kau masih bisa mengenaliku dengan baik.” Givka tersenyum lega lalu duduk di tepi tempat tidur Forst. Detik berikutnya, ekpresi Givka sudah berubah penuh penyesalan. “Maafkan aku, Forst. Aku sudah menyembunyikan kenyataan itu darimu. Aku hanya... aku sudah bersikap egois karena hanya memikirkan keselamatan bangsa kami.”

Forst mencoba bangkit. Ia berusaha menopang tubuhnya menggunakan tangannya yang tidak terluka.

“Pelan, pelan.” Givka membantu Forst untuk duduk.

“T-terima kasih,” gumam Forst sambil meringis kikuk. Ia mengulurkan tangannya dan mengusap lembut kepala Givka. “Kau tidak seharusnya menyalahkan dirimu sendiri.”

Tanpa dinyana, gadis itu tiba-tiba saja menghambur ke pelukan Forst. Givka menempelkan pipinya di dada bidang Forst kemudian mulai menangis sepuasnya. Seolah ingin menumpahkan seluruh beban yang diletakkan di bahu kecilnya yang tampak rapuh.

Sesaat Forst tersentak atas tindakan impulsif itu. Tapi kemudian ia tersenyum lirih dan menyambut baik pelukan itu. Tangannya kembali mengusap lembut kepala Givka. Forst tahu ia menyayangi gadis ini. Seolah Givka adalah adik kecilnya yang wajib ia lindungi sepenuh hati.

Begitu tangisnya reda, Givka menjauhkan diri dari Forst. Tapi ujung jemarinya masih mengusap sudut matanya yang basah. Walaupun masih terisak, Givka mencoba berkata-kata. “M-maafkan aku... Forst. Aku sudah... membuatmu... terluka seperti ini.”

Forst tersenyum tipis. “Tidak. Ini bukan salahmu. Semuanya karena kebodohanku. Jika tidak ada Lacano dan Selva, mungkin aku sudah tewas di tangan Zestorian sekarang,” kata Forst lantas terkekeh.

Givka terpana. Ia menatap lekat-lekat wajah pucat Forst. Mata hijau cemerlang itu masih tertutup karena lengkung senyuman di wajah lelaki itu.

“Jika Zestorian adalah manusia, lalu apa wujud Viridian sebenarnya? Aku yakin kalian bukan peri karena tidak satupun dari kalian yang memiliki sayap.”

“Benar, Forst.” Givka menganggukkan kepala. “Wujud bangsa Virdian bagi manusia adalah pohon, rumput, dan bunga. Dengan kata lain, di dalam bahasa manusia, kami adalah tumbuhan.”

“Tumbuhan?” Forst mengernyit. Jadi seperti inilah wujud teman-temannya selama ini.

“Wujud kami yang seperti ini tidak dapat disaksikan oleh manusia. Ini adalah sosok yang dirasakan oleh hati kami. Sosok Zestorian pun sosok yang dilihat oleh hati kami.”

“Kalau begitu, karena aku ada di sini, aku jadi melihat dari sudut pandang kalian?”

Givka kembali menganggukkan kepalanya. Keningnya mengernyit seperti orang kesakitan. “Kerajaan kami merupakan sebuah hutan yang terletak di pinggir kota. Tapi... sebentar lagi tempat tinggal kami ini... rumah kami... akan hancur dan hilang, Forst.”
Mata Forst terbuka lebar-lebar. Ia meraih dan menggenggam tanga Givka dengan tangannya yang tidak terluka. “Tidak! Kalian tidak boleh mati... kalian tidak akan mati. Pasti ada jalan keluar dari masalah ini.”

“Benar.”

Tiba-tiba seseorang melangkah masuk ke kamar Forst. Saat Forst dan Givka menoleh, tampaklah Menteri Jughosia sedang berdiri di ambang pintu. Janggutnya menjuntai dari dagu hingga nyaris menyentuh lantai. Matanya nyaris tidak terlihat tertutup oleh alisnya yang tumbuh lebat.

“Tolong maafkan kelancangan saya, Putri Givka. Tadi saya hanya ingin memanggil Anda untuk menghadiri rapat dan saya tidak sengaja mendengar percakapan Anda berdua. Tapi menurut saya, Forst benar. Ada jalan keluar dari masalah ini.” Menteri Jughosia menundukkan kepala. Matanya menatap ke arah lantai istana. “Tentu saja dengan rencana Jenggala yang sudah disepakati oleh semuanya. Itu adalah senjata rahasia kita... harapan terakhir kita....”

“Tidak!” sanggah Givka cepat. Lalu ia melanjutkan dengan suara yang mulai pecah. “Bukankah... bukankah aku sudah pernah mengatakan untuk tidak menggunakan rencana itu? Jangan pernah bangsa kita menebar kebencian seperti itu.”

“Tunggu dulu,” Forst menyela dengan kening yang mengernyit heran. “Bisakah kalian menjelaskan kepadaku rencana apa sebenarnya yang kalian maksud?”

Putri Givka menunduk dengan wajah yang ditekuk. Sehingga Menteri Jughosia memutuskan untuk menjelaskan kepada Forst.  Sebelum memberi penjelasan kepada Forst, ia berdeham penuh wibawa.

“Bangsa kami memiliki kemampuan menimbun air sebanyak mungkin. Dan saat ini, di bawah kerajaan ini sudah tersimpan air dalam jumlah yang besar.” Menteri Jugoshia memberi jeda sebelum melanjutkan kalimatnya. “Dan kami bisa mengeluarkan air itu sekaligus sebanyak apapun yang kami inginkan. Bukit akan hancur dan air akan bercampur dengan tanah. Lalu bencana akan mengubur kota tempat tinggal Zestorian.”

Mata Forst terbelalak saat mendengar penjelasan itu. Sementara wajah Givka berubah kaku seperti batu. Kentara sekali bahwa gadis itu tidak akan berani untuk sekedar membayangkan rencana itu.

“Apa... apa itu adalah bencana tanah longsor?” tanya Forst sedikit terbata, mencoba memahami penjelasan dari Menteri Jughosia.

Menteri Jughosia menganggukkan kepala membenarkan pertanyaan Forst.

“Kalau begitu lakukan saja! Manusia memang jahat. Sesekali memang harus diberi peringatan agar mereka mengerti.” Forst berkata sedikit menggebu. Setitik kenangan pahit menjalar dalam pembuluh darahnya.

“Jangan berkata seperti itu, Forst!” Givka menyentak dengan nada tinggi. Ia sama sekali tidak menyangka Forst tega mengatakan hal seperti itu. “Tidak semua manusia itu jahat. Bagaimana dengan manusia baik yang selalu membantu bangsa kami? Aku sudah sering mendengar tentang manusia lelaki bernama Forst yang selalu menolong bangsa Viridian di mana pun dia berada.”

Forst menatap nanar ke arah Givka. “Itu semua karena tumbuhan adalah teman yang baik. Tidak pernah sedikitpun mereka menyakitiku seperti yang dilakukan manusia.”

“Ayah....” Kali ini Lacano yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Forst. Mohon maaf jika aku tiba-tiba menentang ayah. Tapi sama seperti Putri Givka, aku juga tidak menyetujui rencana ini. Memang benar Zestorian musuh kita. Tapi, apa benar balas dendam seperti ini akan membawa bangsa kita ke masa depan yang lebih baik?”

Menteri Jughosia dan Givka yang ada di ruangan itu terkejut. Begitu juga Forst. Ia juga tidak menyangka bahwa Lacano adalah anak dari seorang Menteri Jughosia.

“Manusia yang berada di sini, yaitu Forst, sudah bertempur dengan gagah berani melawan Zestorian bersama kita. Tidak kalah dengan prajurit manapun. Semua prajurit mengakui keberanian mereka. Dan percaya bahwa mereka ada di pihak kita. Daripada melakukan balas dendam yang menyakitkan seperti itu, bukankah lebih baik meletakkan masa depan kita di tangan manusia sebagai kebanggaan bangsa Viridian?”

Menteri Jughosia baru saja membuka bibirnya hendak mengutarakan sanggahan. Tapi Givka sudah menyela lebih dulu dengan titahnya yang tidak terbantahkan lagi.

“Aku lebih memilih mati daripada harus membuat bangsa kita dibenci!”

***

Seperti yang dikatakan Givka kala itu, ia lebih memilih mati daripada harus menebar benci.

Maka di sinilah bangsa Viridian sekarang. Walaupun mereka semua sudah bersiap menjemput ajal, tapi mereka tetap saja berjuang demi negeri yang mereka cinta. Tetap menghunuskan pedang di tengah Zestorian yang terus beragresi hingga nyaris mencapai istana.

Pagi-pagi buta, seluruh pejuang Viridian  menggali parit di sekitar kerajaan. Semua itu mereka lakukan atas petunjuk dari Forst. Setidaknya cara tersebut bisa sedikit menghambat pergerakan makhluk berbadan besar itu. Setelah digali cukup dalam, parit-parit tersebut akan ditutupi dengan dedaunan kering.

Air mata Forst menggenang di pelupuk matanya, saat menyadari wujud asli dari Zestorian. Makhluk besar dengan lengan kuat itu adalah buldoser penghancur. Sementara Zestorian bertubuh kecil dengan cakar sekuat baja adalah manusia yang membawa gergaji msein. Bagaimana manusia bisa berbuat sekejam itu?

Sejak matahari terbit, seluruh prajurit bangsa Virdian terus bertempur mati-matian melawan Zestorian. Makhluk mengerikan itu terus mendesak paksa masuk dan mendekati Qugentia. Mereka merobohkan pilar-pilar istana tanpa ampun, merusak dengan cara yang menakutkan.

Padahal mata air Qugentia adalah sumber kehidupan bagi seluruh bangsa Viridian. Selama ini Forst memperhatikan bahwa bangsa Viridian tidak pernah makan dan minum. Mereka hanya menenggak secangkir air yang dipancarkan Qugentia.

Begitu segerombolan Zestorian mendekat ke taman bagian selatan, tiba-tiba Lacano berteriak, “Forst cepat kau pergi ke tempat Givka menunggu! Ajak juga semua teman-teman perimu!”

“Lacano....” Forst bergumam seolah tidak ingin pergi dari sana.

“Cepatlah! Kau menyusahkanku saja!”bentak Lacano. Tangannya masih sibuk mengayunkan pedang untuk melindungi diri.

Forst mundur perlahan tanpa bermaksud membalikkan tubuhnya. Sedikitpun ia tidak ingin berpisah dari teman-teman sejatinya. Ia ingin berada di sini, berjuang bersama mereka. Tapi masa depan bangsa Viridian yang dititipkan Givka kepadanya, membuat ia mau tidak mau harus terus bertahan hidup.

Begitu melihat Forst sudah menjauh, Lacano melirik melalui bahunya. “Terima aksih, Forst. Di luar dugaanku, sebagai manusia ternyata kau bisa dipercaya.”

Selva menggandeng tangan Forst menuju tempat Givka menunggu mereka. Saat Forst menoleh ke arah pertempuran yang berlangsung sengit itu, para menteri, jendral perang, dan para prajurit tersenyum memberi isyarat perpisahan kepadanya.

Di wajah mereka tidak ada lagi tatapan kebencian. Walaupun mereka pernah meragukan ketulisan hati Forst. Kini mereka membayarnya dengan melanjutkan hidup dengan penuh kebanggaan dan berperang sampai akhir. Mereka tersenyum kepada Forst dengan tatapan penuh percaya. Ia membalas dengan senyuman. Sambil merasakan sakit di dada, Forst dan teman-teman perinya memasuki pertahanan terakhir.

Di taman selatan, orang tua dan perempuan yang tidak memiliki kemampuan bertarung, juga anak-anak, mengelilingi Givka menunggu saat-saat terakhir mereka. Mata air Qugentia tampak berkilauan di belakang mereka.

“Forst, Selva, Saki, dan teman-teman semua. Aku ucapkan terima kasih atas bantuan kalian selama ini. Aku tidak akan pernah melupakan kalian semua.”

“Aku juga mewakili teman-temanku memohon maaf karena tidak bisa melindungi negeri ini seperti yang diharapkan,” ucap Selva penuh sesal.

“Ini bukan salah kalian. Aku yang memutuskan untuk menyerah. Lagipula cepat atau lambat kerajaan ini akan hancur di bawah pimpinan orang yang tidak mampu sepertiku.” Givka menundukkan kepalanya yang tampak terbebani air mata. “Sampaikan salamku pada Diff, Dash, dan semua teman-teman di Derion.”

“Aku akan berjuang untuk melindungi bangsa Viridian yang lain hingga masa depan,” Forst berujar penuh ketulusan.

“Ya, Forst.” Seulas senyum tersungging tipis di bibir Givka. “Aku percaya akan hal itu.”

Zestorian semakin mendekati mata air Qugentia. Makhluk mengerikan itu merusak pintu taman dengan cakar mereka yang tajam. Terdengar suara pengrusakan yang mengerikan.

“Aku harus mengeluarkan kalian dari sini,” gumam Givka dengan bibir gemetar.

“Givka, boleh aku tahu apa wujudmu dalam bentuk tumbuhan?” tanya Forst cepat sesaat sebelum Givka merapal mantra.

Gadis itu tersenyum tipis dengan kening yang berkerut. “Aku adalah ruh dari bunga Azalea, Forst.azalea berwarna merah muda.”

Setelah menjawab pertanyaan Forst, Givka berdiri semakin dekat dengan mata air Qugentia. Ia akan menjaga tempat itu hingga akhir. Bibir gadis itu bergerak sementara matanya terpejam.

Forst memandang Givka yang tampak cantik dan tenang. Ia ingin mengingat gadis ini di dalam hati. Gadis yang menjadi Putri terakhir dari salah satu kerajaan di dunia bangsa Viridian. Sekuat tenaga Forst berusaha menjulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Givka, tapi pandangannya berguncang karena Zestorian sudah berhasil mendekati mata air Qugentia.

“Jangan pernah membenci manusia, Forst!” Givka berteriak hingga suara lembutnya menggema di udara.

Detik itu juga, cahaya putih memenuhi pandangan Forst dan teman-temannya. Mereka semua saling bergandengan tangan saling menguatkan. Tanpa menunggu lama, tubuh mereka sudah  terhisap oleh lorong cahaya yang merupakan kekuatan terakhir Givka.

***

Suara derum mesin dan desingan gergaji mengusik telinga Forst. Perlahan lelaki itu membuka matanya dan merasakan cahaya matahari menyilaukan matanya. Begitu terbiasa dengan cahaya, Forst memperhatikan sekelilingnya.

Tidak jauh dari tempat ia tergeletak, sebuah hutan tampak sedang dihancurkan paksa. Buldoser yang besar menumbangkan pepohonan tanpa ampun. Hingga pohon-pohon yang menjulang itu jatuh tergeletak di tanah.

Forst merasa geram. Ingin rasanya ia berlari ke tempat proyek pembangunan sialan itu lalu memukul manusia-manusia kejam itu satu persatu. Tapi sesuatu yang ada dalam genggamannya, mengalihkan perhatiannya.

Setangkai bunga Azalea berwarna merah muda terkulai lemah di telapak tangan Forst. Mahkota bunga itu tampak layu dan sedikit menghitam. Tangkainya yang rapuh sudah berpisah jauh dari akarnya seolah dicabut paksa. Dan begitu menyadari bahwa bunga itu adalah Givka, air mata Forst tidak terbendung lagi.

Tiba-tiba sebuah ketukan ringan di bahunya, membuat Forst mengangkat wajahnya yang berlinang air mata. Saat kepalanya bergerak ke kanan, ia melihat Selva dan teman-teman perinya sedang melayang di udara dalam ukuran sebesar jari telunjuk.

“Forst, bukankah itu salah satu... kenalanmu?” Selva menunjuk seorang gadis dengan telunjuknya yang mungil. Nada bicaranya terdengar sedikit pahit.

Pandangan Forst mengikuti arah yang ditunjuk Selva. Lalu ia memicingkan matanya memperhatikan dua orang yang tengah berdiri berhadapan di samping sebuah mobil. Untuk lebih meyakinkan pandangannya, Forst mengendap-endap lebih dekat lalu bersembunyi di balik sebuah truk pengangkut pasir.

“Aku tidak menyangka sebentar lagi impian kita akan tercapai.”

Forst mendengar suara seorang gadis yang berbicara.

“Ya. Setelah semua ini, kita hentikan penelitian tentang cairan sialan ini dan kita mulai lagi hidup kita dari awal.”

Lelaki di hadapan gadis itu berucap terdengar sedikit geram. Dan begitu Forst bisa melihat jelas kedua orang itu, matanya terbuka lebar. Lelaki itu adalah Profesor. Dan gadis di hadapannya adalah Karen.

Mata Forst berbinar bahagia. Rasanya sudah berabad-abad lamanya ia tidak melihat gadis itu. Sesaat Forst berharap bunga Azalea di tangannya masih mekar dengan indahnya. Tapi ia tidak ingin memikirkan kesedihan itu. Lebih baik  ia segera memeluk Karen penuh rasa rindu.

Baru saja Forst hendak melangkah, tapi tubuhnya mematung seketika. Profesor itu membisikan kata cinta lalu membungkukkan tubuhnya dan mengecup bibir Karen. Bukannya menolak, gadis itu malah menjawab ciuman itu seolah mereka sudah terbiasa melakukannya.

Tapi kata-kata selanjutnya yang terlontar dari bibir Profesor membuat tubuh Forst yang mematung hancur seketika.

“Kalau begitu, tunggulah di sini bersama cairan kelabu penghancur tumbuhan itu. Aku akan menemui pimpinan proyek untuk menjelaskan bahwa ini adalah persediaan terakhir kita.”

Seminggu setelah berhasil menemukan cairan pelindung tumbuhan, Profesor mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan penemuannya tersebut. Respon yang beragam mampir silih berganti dari segala arah dan jajaran masyarakat dunia. Salah satunya adalah dari perusahaan konstruksi. Mereka justru meminta Profesor tersebut untuk membuat cairan penghancur tumbuhan. Cairan itu akan berguna bagi mereka saat ingin menghancurkan hutan dan membuka lahan bagi bangunan.


Pada awalnya, Profesor menolak saran tersebut. Karena selama ini bukan itu yang menjadi tujuan penelitiannya. Tapi karena tergiur dengan bayaran yang fantastis, akhirnya ia menyetujui permintaan tersebut. Apalagi ia memang terlilit hutang untuk membiayai penelitiannya selama ini. Hanya saja ia memang berencana ingin menjadikan penemuan itu sebagai teknologi temporer. Bahkan bahan yang diperlukan untuk membuat cairan itu tidak pernah ditulis di manapun kecuali dalam ingatan asisten sekaligus kekasihnya.

Segera setelah mendapat semua uang itu, Profesor berencana untuk melupakan semua penelitiannya dan memulai hidup barunya bersama Karen yang menajdi asistennya selama ini. Dan ternyata gadis itu juga memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya. Sehingga hidupnya terasa lengkap.

Suatu hari, Profesor itu ingin bertemu dengan Forst. Ia ingin mengucapkan terima kasih sekaligus meminta maaf kepada lelaki itu. bagaimanapun kehadiran Forst benar-benar mengubah hidupnya yang kelabu.

Sekali lagi, Profesor menatap Karen penuh cinta lalu mendaratkan kecupan singkat di kening gadis itu. “Tunggulah sebentar lagi.”
Karen menganggukkan kepalanya. Bibirnya mengurai seulas senyuman. “Tentu saja aku akan menunggu.”

Selama beberapa detik, Karen masih terpaku di samping mobil. Matanya tidak lepas dari sosok Profesor yang memiliki rambut panjang itu.

Mata Forst terbelalak nyaris melompat keluar saat mendengar hal itu. Ini semua benar-benar di luar dugaannya. Jadi... cairan kelabu yang menyerang bangsa Viridian saat itu adalah... ulah Karen dan Profesor itu? Ternyata mereka sama saja. Mereka tega menyakiti sesama makhluk hidup di bumi. Padahal selama ini Forst menganggap mereka sebagai teman manusia pertamanya.

Tapi ternyata ia salah besar.

Darah Forst mendidih seketika. Giginya bergemelutuk karena geram. Tanpa mengalihkan pandangannya dari Karen yang mulai masuk ke dalam mobil, ia bertanya pada teman mungil yang terbang di dekatnya, “Saki, apakah kau bisa merapalkan mantra penghancur dan penghilang ingatan?”

TAMAT



 Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D