Langkah Forst menjangkau cepat keluar dari
istana bangsa Viridian. Tidak sedikitpun ia menoleh ataupun menghiraukan
panggilan teman-temannya. Telinganya seperti tuli. Sekalipun Givka meneriakkan
namanya penuh keputus asaan.
Fakta yang baru saja dihadirkan Lacano ke
hadapan Forst benar-benar di luar dugaannya. Ternyata bangsa Zestorian yang
selama ini diperangi Forst adalah bangsa manusia. Dan itu berarti ia berperang
melawan bangsanya sendiri.
Forst tidak ingin langsung mempercayai hal
itu. Ia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Jika memang benar Zestorian
itu adalah manusia, mengapa Givka dan yang lainnya menyembunyikan hal ini
darinya? Tidak adakah yang bisa dipercaya di dunia ini?
Begitu tiba di daerah penyerangan, Forst
menghentikan langkahnya. Matanya menyapu pemandangan mengerikan di sekitarnya
yang begitu porak poranda. Ini semua bukti dari kekejaman bangsa Zestorian yang
seakan tidak memiliki hati dan perasaan.
Perlahan, Forst mencoba mengatur napasnya
yang tersengal. Tadi ia memang melangkahkan kakinya lebar-lebar sementara amarah
membakar deras perasaannya. Begitu denyut nadinya kembali stabil, ia kembali
berjalan mendekat ke daerah yang benar-benar sudah rata dengan tanah. Ia berjalan keluar dari hutan, memasuki
wilayah Zestorian.
Saat itulah tiba-tiba saja salah satu makhluk
mengerikan itu meraung keras. Dengan cepat makhluk itu melangkah mendekati
Forst. Cakarnya yang besar seolah siap menerkam kapan saja.
Forst hanya terpaku. Tubuhnya mulai gemetar.
Kepalanya mendongak kepada bayangan hitam yang bergerak-gerak mengerikan di
antara pepohonan. Ia menelan ludah yang terasa menyakitkan di tenggorokannya. Benarkah makhluk menyeramkan ini adalah
manusia?
Tangan Forst mencoba meraih pedang yang
ada di pinggangnya untuk melindungi diri. Dan saat itulah ia menyadari bahwa
pedangnya tidak ada di sana. Forst memejamkan mata dan tersenyum. Jadi, inikah
akhir hidupnya yang singkat?
Tiba-tiba Forst mendengar makhluk
mengerikan itu berteriak kesakitan. Takut-takut, ia membuka matanya. Ia merasa
khawatir jika saja itu adalah suara kesakitan dari dalam hatinya sendiri.
Saat kelopak matanya terbuka sempurna,
Forst melihat dua buah anak panah melasat bersamaan di udara mengarah kepada monster
itu. Sehingga gerakan monster itu berhenti seketika. Tanpa perlu menolehkan
kepalanya, Forst sudah tahu siapa pemilik senjata itu.
“Mengherankan. Tidak biasanya kau berjalan
secepat itu, Forst.”
Dan nada bicara yang khas itu.
“Selva.” Forst bergumam penuh rasa syukur.
“Terima kasih kau sudah menolongku.”
“Tidak masalah.” Selva mengangkat bahunya.
Bibirnya melengkungkan senyum separuh yang terlihat bahagia. “Lagi pula kau
juga pernah menyelamatkan hidupku sebelum ini.”
Tanpa
mereka sadari, Zestorian yang tadi kembali bangkit. Tubuh yang besar itu sudah
bersiap menyerang. Dengan raungan yang menyakitkan telinga, cakar monster itu
kembali mengayun di udara.
“Selva!” Forst yang lebih dulu menyadari
gerakan itu, berteriak sambil melompat ke arah Selva. Ia mendorong bahu gadis
itu hingga mereka berdua tersungkur di atas tanah.
“Forst? Kau baik-baik saja?” Selva berseru
panik sambil merangkak ke arah Forst yang meronta kesakitan. Sebuah luka
memanjang di lengan lelaki itu. Tampaknya serangan monster itu sempat
mengenainya.
Forst masih meringis kesakitan saat
monster itu kembali menyerang. Mata makhluk itu berkilat memancarkan aura
membunuh di bawah bayang-bayang deaduanan. Raungan itu kembali menggema di
udara sebelum lengan besar itu menghantam ke arah Selva dan Forst.
Selva terbelalak saat melihat serangan
yang begitu dekat. Kalau seperti ini, senjatanya tidak bisa berfungsi dengan
baik. Dalam hati, ia merutuk menyesali ketidak mampuannya menggunakan pedang. Tapi
bagaimanpun ia harus melakukan perlawanan. Sehingga tanpa pikir panjang, ia
menarik satu anak panahnya dan menancapkan begitu saja pada lengan besar yang berada
sangat dekat.
Benar saja. Gerakan lengan monster itu
berhenti di udara. Selva tidak menyangka anak panahnya sekuat itu. Dan begitu
ia mencoba menajamkan penglihatannya, tampaklah sosok lelaki dengan rambut
hijau cemerlang sedang berdiri di bawah bayang hitam lengan Zestorian. Tangan
lelaki itu menggenggam kuat sebilah pedang yang menahan gerakan musuhnya.
“Lacano!” Selva memekik tidak percaya.
“Cepat bawa Forst kembali ke istana!”
Lacana berteriak memerintah sambil tetap berkonsentrasi pada kekuatan
pedangnya.
Selva menganggukkan kepalanya dan segara
mengangkat tubuh Forst yang memucat. Ia membawa Forst terbang menjauh untuk menghindari serangan. Begitu merasa
sudah mendapat jarak yang aman, Selva membaringkan Forst pada batang pohon
terdekat. Lalu ia mulai memelesatkan anak panahnya ke arah monster itu.
Akhirnya, monster itu sudah tidak berdaya
dan berhenti menyerang. Mereka bertiga bergegas kembali ke istana. Lacano dan
Selva bersama-sama memapah Forst yang mulai kehilangan kesadarannya.
“Apa semua manusia bodoh sepertimu,
Forst?”
Forst bisa mendengar Lacano bergumam di
dekat telinganya. Tapi ia tidak mampu menyahut ataupun menjawab kata-kata itu.
Nada yang tajam seperti sebelumnya.
“Aku —bukan— kami semua memerlukan bantuanmu, Forst.
Tapi aku ingin kau mengetahui dulu siapa kau sebenarnya. Untuk apa dan dengan
siapa kau berperang.”
***
Pemandangan rangkaian ranting dan dedaunan
yang menjalar menyambut Forst saat ia membuka mata. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Walaupun
pandangannya masih terasa kabur, Forst bisa menyadari bahwa ia sedang menatap
langit-langit kamarnya di istana bangsa Viridian. Ia merasakan nyeri yang tidak
tertahankan di lengannya. Secara refleks ia menyentuh luka yang dibalut
berbagai macam dedaunan itu.
“Kau sudah sadar?”
Kepala Forst bergerak ke arah pemilik
suara itu. Lalu ia bergumam dengan suara serak, “Putri Givka?”
“Syukurlah, kau masih bisa mengenaliku
dengan baik.” Givka tersenyum lega lalu duduk di tepi tempat tidur Forst. Detik
berikutnya, ekpresi Givka sudah berubah penuh penyesalan. “Maafkan aku, Forst.
Aku sudah menyembunyikan kenyataan itu darimu. Aku hanya... aku sudah bersikap
egois karena hanya memikirkan keselamatan bangsa kami.”
Forst mencoba bangkit. Ia berusaha
menopang tubuhnya menggunakan tangannya yang tidak terluka.
“Pelan, pelan.” Givka membantu Forst untuk
duduk.
“T-terima kasih,” gumam Forst sambil
meringis kikuk. Ia mengulurkan tangannya dan mengusap lembut kepala Givka. “Kau
tidak seharusnya menyalahkan dirimu sendiri.”
Tanpa dinyana, gadis itu tiba-tiba saja
menghambur ke pelukan Forst. Givka menempelkan pipinya di dada bidang Forst
kemudian mulai menangis sepuasnya. Seolah ingin menumpahkan seluruh beban yang
diletakkan di bahu kecilnya yang tampak rapuh.
Sesaat Forst tersentak atas tindakan
impulsif itu. Tapi kemudian ia tersenyum lirih dan menyambut baik pelukan itu.
Tangannya kembali mengusap lembut kepala Givka. Forst tahu ia menyayangi gadis
ini. Seolah Givka adalah adik kecilnya yang wajib ia lindungi sepenuh hati.
Begitu tangisnya reda, Givka menjauhkan
diri dari Forst. Tapi ujung jemarinya masih mengusap sudut matanya yang basah.
Walaupun masih terisak, Givka mencoba berkata-kata. “M-maafkan aku... Forst.
Aku sudah... membuatmu... terluka seperti ini.”
Forst tersenyum tipis. “Tidak. Ini bukan
salahmu. Semuanya karena kebodohanku. Jika tidak ada Lacano dan Selva, mungkin
aku sudah tewas di tangan Zestorian sekarang,” kata Forst lantas terkekeh.
Givka terpana. Ia menatap lekat-lekat
wajah pucat Forst. Mata hijau cemerlang itu masih tertutup karena lengkung
senyuman di wajah lelaki itu.
“Jika Zestorian adalah manusia, lalu apa
wujud Viridian sebenarnya? Aku yakin kalian bukan peri karena tidak satupun
dari kalian yang memiliki sayap.”
“Benar, Forst.” Givka menganggukkan
kepala. “Wujud bangsa Virdian bagi manusia adalah pohon, rumput, dan bunga. Dengan
kata lain, di dalam bahasa manusia, kami adalah tumbuhan.”
“Tumbuhan?” Forst mengernyit. Jadi seperti
inilah wujud teman-temannya selama ini.
“Wujud kami yang seperti ini tidak dapat
disaksikan oleh manusia. Ini adalah sosok yang dirasakan oleh hati kami. Sosok
Zestorian pun sosok yang dilihat oleh hati kami.”
“Kalau begitu, karena aku ada di sini, aku
jadi melihat dari sudut pandang kalian?”
Givka kembali menganggukkan kepalanya.
Keningnya mengernyit seperti orang kesakitan. “Kerajaan kami merupakan sebuah
hutan yang terletak di pinggir kota. Tapi... sebentar lagi tempat tinggal kami
ini... rumah kami... akan hancur dan hilang, Forst.”
Mata Forst terbuka lebar-lebar. Ia meraih
dan menggenggam tanga Givka dengan tangannya yang tidak terluka. “Tidak! Kalian
tidak boleh mati... kalian tidak akan mati. Pasti ada jalan keluar dari masalah
ini.”
“Benar.”
Tiba-tiba
seseorang melangkah masuk ke kamar Forst. Saat Forst dan Givka menoleh, tampaklah
Menteri Jughosia sedang berdiri di ambang pintu. Janggutnya menjuntai dari dagu
hingga nyaris menyentuh lantai. Matanya nyaris tidak terlihat tertutup oleh
alisnya yang tumbuh lebat.
“Tolong
maafkan kelancangan saya, Putri Givka. Tadi saya hanya ingin memanggil Anda
untuk menghadiri rapat dan saya tidak sengaja mendengar percakapan Anda berdua.
Tapi menurut saya, Forst benar. Ada jalan keluar dari masalah ini.” Menteri
Jughosia menundukkan kepala. Matanya menatap ke arah lantai istana. “Tentu saja
dengan rencana Jenggala yang sudah disepakati oleh semuanya. Itu adalah senjata
rahasia kita... harapan terakhir kita....”
“Tidak!”
sanggah Givka cepat. Lalu ia melanjutkan dengan suara yang mulai pecah.
“Bukankah... bukankah aku sudah pernah mengatakan untuk tidak menggunakan
rencana itu? Jangan pernah bangsa kita menebar kebencian seperti itu.”
“Tunggu
dulu,” Forst menyela dengan kening yang mengernyit heran. “Bisakah kalian
menjelaskan kepadaku rencana apa sebenarnya yang kalian maksud?”
Putri
Givka menunduk dengan wajah yang ditekuk. Sehingga Menteri Jughosia memutuskan
untuk menjelaskan kepada Forst. Sebelum
memberi penjelasan kepada Forst, ia berdeham penuh wibawa.
“Bangsa
kami memiliki kemampuan menimbun air sebanyak mungkin. Dan saat ini, di bawah
kerajaan ini sudah tersimpan air dalam jumlah yang besar.” Menteri Jugoshia
memberi jeda sebelum melanjutkan kalimatnya. “Dan kami bisa mengeluarkan air
itu sekaligus —sebanyak apapun
yang kami inginkan. Bukit akan hancur dan air akan bercampur dengan tanah. Lalu
bencana akan mengubur kota tempat tinggal Zestorian.”
Mata
Forst terbelalak saat mendengar penjelasan itu. Sementara wajah Givka berubah
kaku seperti batu. Kentara sekali bahwa gadis itu tidak akan berani untuk
sekedar membayangkan rencana itu.
“Apa...
apa itu adalah bencana tanah longsor?” tanya Forst sedikit terbata, mencoba
memahami penjelasan dari Menteri Jughosia.
Menteri
Jughosia menganggukkan kepala membenarkan pertanyaan Forst.
“Kalau
begitu lakukan saja! Manusia memang jahat. Sesekali memang harus diberi peringatan
agar mereka mengerti.” Forst berkata sedikit menggebu. Setitik kenangan pahit
menjalar dalam pembuluh darahnya.
“Jangan
berkata seperti itu, Forst!” Givka menyentak dengan nada tinggi. Ia sama sekali
tidak menyangka Forst tega mengatakan hal seperti itu. “Tidak semua manusia itu
jahat. Bagaimana dengan manusia baik yang selalu membantu bangsa kami? Aku
sudah sering mendengar tentang manusia lelaki bernama Forst yang selalu
menolong bangsa Viridian di mana pun dia berada.”
Forst
menatap nanar ke arah Givka. “Itu semua karena tumbuhan adalah teman yang baik.
Tidak pernah sedikitpun mereka menyakitiku seperti yang dilakukan manusia.”
“Ayah....”
Kali ini Lacano yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Forst. Mohon maaf jika aku
tiba-tiba menentang ayah. Tapi sama seperti Putri Givka, aku juga tidak
menyetujui rencana ini. Memang benar Zestorian musuh kita. Tapi, apa benar
balas dendam seperti ini akan membawa bangsa kita ke masa depan yang lebih
baik?”
Menteri
Jughosia dan Givka yang ada di ruangan itu terkejut. Begitu juga Forst. Ia juga
tidak menyangka bahwa Lacano adalah anak dari seorang Menteri Jughosia.
“Manusia
yang berada di sini, yaitu Forst, sudah bertempur dengan gagah berani melawan
Zestorian bersama kita. Tidak kalah dengan prajurit manapun. Semua prajurit
mengakui keberanian mereka. Dan percaya bahwa mereka ada di pihak kita.
Daripada melakukan balas dendam yang menyakitkan seperti itu, bukankah lebih
baik meletakkan masa depan kita di tangan manusia sebagai kebanggaan bangsa Viridian?”
Menteri
Jughosia baru saja membuka bibirnya hendak mengutarakan sanggahan. Tapi Givka
sudah menyela lebih dulu dengan titahnya yang tidak terbantahkan lagi.
“Aku
lebih memilih mati daripada harus membuat bangsa kita dibenci!”
***
Seperti
yang dikatakan Givka kala itu, ia lebih memilih mati daripada harus menebar
benci.
Maka di
sinilah bangsa Viridian sekarang. Walaupun mereka semua sudah bersiap menjemput
ajal, tapi mereka tetap saja berjuang demi negeri yang mereka cinta. Tetap
menghunuskan pedang di tengah Zestorian yang terus beragresi hingga nyaris
mencapai istana.
Pagi-pagi
buta, seluruh pejuang Viridian menggali
parit di sekitar kerajaan. Semua itu mereka lakukan atas petunjuk dari Forst.
Setidaknya cara tersebut bisa sedikit menghambat pergerakan makhluk berbadan
besar itu. Setelah digali cukup dalam, parit-parit tersebut akan ditutupi
dengan dedaunan kering.
Air mata
Forst menggenang di pelupuk matanya, saat menyadari wujud asli dari Zestorian.
Makhluk besar dengan lengan kuat itu adalah buldoser penghancur. Sementara
Zestorian bertubuh kecil dengan cakar sekuat baja adalah manusia yang membawa
gergaji msein. Bagaimana manusia bisa berbuat sekejam itu?
Sejak
matahari terbit, seluruh prajurit bangsa Virdian terus bertempur mati-matian melawan
Zestorian. Makhluk mengerikan itu terus mendesak paksa masuk dan mendekati
Qugentia. Mereka merobohkan pilar-pilar istana tanpa ampun, merusak dengan cara
yang menakutkan.
Padahal
mata air Qugentia adalah sumber kehidupan bagi seluruh bangsa Viridian. Selama
ini Forst memperhatikan bahwa bangsa Viridian tidak pernah makan dan minum.
Mereka hanya menenggak secangkir air yang dipancarkan Qugentia.
Begitu
segerombolan Zestorian mendekat ke taman bagian selatan, tiba-tiba Lacano
berteriak, “Forst cepat kau pergi ke tempat Givka menunggu! Ajak juga semua
teman-teman perimu!”
“Lacano....”
Forst bergumam seolah tidak ingin pergi dari sana.
“Cepatlah!
Kau menyusahkanku saja!”bentak Lacano. Tangannya masih sibuk mengayunkan pedang
untuk melindungi diri.
Forst
mundur perlahan tanpa bermaksud membalikkan tubuhnya. Sedikitpun ia tidak ingin
berpisah dari teman-teman sejatinya. Ia ingin berada di sini, berjuang bersama
mereka. Tapi masa depan bangsa Viridian yang dititipkan Givka kepadanya,
membuat ia mau tidak mau harus terus bertahan hidup.
Begitu
melihat Forst sudah menjauh, Lacano melirik melalui bahunya. “Terima aksih,
Forst. Di luar dugaanku, sebagai manusia ternyata kau bisa dipercaya.”
Selva
menggandeng tangan Forst menuju tempat Givka menunggu mereka. Saat Forst
menoleh ke arah pertempuran yang berlangsung sengit itu, para menteri, jendral perang,
dan para prajurit tersenyum memberi isyarat perpisahan kepadanya.
Di wajah
mereka tidak ada lagi tatapan kebencian. Walaupun mereka pernah meragukan ketulisan
hati Forst. Kini mereka membayarnya dengan melanjutkan hidup dengan penuh
kebanggaan dan berperang sampai akhir. Mereka tersenyum kepada Forst dengan
tatapan penuh percaya. Ia membalas dengan senyuman. Sambil merasakan sakit di
dada, Forst dan teman-teman perinya memasuki pertahanan terakhir.
Di taman
selatan, orang tua dan perempuan yang tidak memiliki kemampuan bertarung, juga
anak-anak, mengelilingi Givka menunggu saat-saat terakhir mereka. Mata air
Qugentia tampak berkilauan di belakang mereka.
“Forst,
Selva, Saki, dan teman-teman semua. Aku ucapkan terima kasih atas bantuan
kalian selama ini. Aku tidak akan pernah melupakan kalian semua.”
“Aku juga
mewakili teman-temanku memohon maaf karena tidak bisa melindungi negeri ini
seperti yang diharapkan,” ucap Selva penuh sesal.
“Ini
bukan salah kalian. Aku yang memutuskan untuk menyerah. Lagipula cepat atau
lambat kerajaan ini akan hancur di bawah pimpinan orang yang tidak mampu
sepertiku.” Givka menundukkan kepalanya yang tampak terbebani air mata.
“Sampaikan salamku pada Diff, Dash, dan semua teman-teman di Derion.”
“Aku akan
berjuang untuk melindungi bangsa Viridian yang lain hingga masa depan,” Forst
berujar penuh ketulusan.
“Ya,
Forst.” Seulas senyum tersungging tipis di bibir Givka. “Aku percaya akan hal
itu.”
Zestorian
semakin mendekati mata air Qugentia. Makhluk mengerikan itu merusak pintu taman
dengan cakar mereka yang tajam. Terdengar suara pengrusakan yang mengerikan.
“Aku
harus mengeluarkan kalian dari sini,” gumam Givka dengan bibir gemetar.
“Givka,
boleh aku tahu apa wujudmu dalam bentuk tumbuhan?” tanya Forst cepat sesaat
sebelum Givka merapal mantra.
Gadis itu
tersenyum tipis dengan kening yang berkerut. “Aku adalah ruh dari bunga Azalea,
Forst.azalea berwarna merah muda.”
Setelah
menjawab pertanyaan Forst, Givka berdiri semakin dekat dengan mata air
Qugentia. Ia akan menjaga tempat itu hingga akhir. Bibir gadis itu bergerak
sementara matanya terpejam.
Forst
memandang Givka yang tampak cantik dan tenang. Ia ingin mengingat gadis ini di
dalam hati. Gadis yang menjadi Putri terakhir dari salah satu kerajaan di dunia
bangsa Viridian. Sekuat tenaga Forst berusaha menjulurkan tangannya untuk
menggenggam tangan Givka, tapi pandangannya berguncang karena Zestorian sudah
berhasil mendekati mata air Qugentia.
“Jangan
pernah membenci manusia, Forst!” Givka berteriak hingga suara lembutnya
menggema di udara.
Detik itu
juga, cahaya putih memenuhi pandangan Forst dan teman-temannya. Mereka semua
saling bergandengan tangan saling menguatkan. Tanpa menunggu lama, tubuh mereka
sudah terhisap oleh lorong cahaya yang merupakan
kekuatan terakhir Givka.
***
Suara
derum mesin dan desingan gergaji mengusik telinga Forst. Perlahan lelaki itu
membuka matanya dan merasakan cahaya matahari menyilaukan matanya. Begitu
terbiasa dengan cahaya, Forst memperhatikan sekelilingnya.
Tidak
jauh dari tempat ia tergeletak, sebuah hutan tampak sedang dihancurkan paksa. Buldoser
yang besar menumbangkan pepohonan tanpa ampun. Hingga pohon-pohon yang
menjulang itu jatuh tergeletak di tanah.
Forst
merasa geram. Ingin rasanya ia berlari ke tempat proyek pembangunan sialan itu lalu
memukul manusia-manusia kejam itu satu persatu. Tapi sesuatu yang ada dalam
genggamannya, mengalihkan perhatiannya.
Setangkai
bunga Azalea berwarna merah muda terkulai lemah di telapak tangan Forst. Mahkota
bunga itu tampak layu dan sedikit menghitam. Tangkainya yang rapuh sudah
berpisah jauh dari akarnya seolah dicabut paksa. Dan begitu menyadari bahwa
bunga itu adalah Givka, air mata Forst tidak terbendung lagi.
Tiba-tiba
sebuah ketukan ringan di bahunya, membuat Forst mengangkat wajahnya yang
berlinang air mata. Saat kepalanya bergerak ke kanan, ia melihat Selva dan
teman-teman perinya sedang melayang di udara dalam ukuran sebesar jari
telunjuk.
“Forst,
bukankah itu salah satu... kenalanmu?”
Selva menunjuk seorang gadis dengan telunjuknya yang mungil. Nada bicaranya
terdengar sedikit pahit.
Pandangan
Forst mengikuti arah yang ditunjuk Selva. Lalu ia memicingkan matanya
memperhatikan dua orang yang tengah berdiri berhadapan di samping sebuah mobil.
Untuk lebih meyakinkan pandangannya, Forst mengendap-endap lebih dekat lalu
bersembunyi di balik sebuah truk pengangkut pasir.
“Aku
tidak menyangka sebentar lagi impian kita akan tercapai.”
Forst
mendengar suara seorang gadis yang berbicara.
“Ya.
Setelah semua ini, kita hentikan penelitian tentang cairan sialan ini dan kita mulai lagi hidup kita dari awal.”
Lelaki di
hadapan gadis itu berucap terdengar sedikit geram. Dan begitu Forst bisa
melihat jelas kedua orang itu, matanya terbuka lebar. Lelaki itu adalah
Profesor. Dan gadis di hadapannya adalah Karen.
Mata
Forst berbinar bahagia. Rasanya sudah berabad-abad lamanya ia tidak melihat
gadis itu. Sesaat Forst berharap bunga Azalea di tangannya masih mekar dengan
indahnya. Tapi ia tidak ingin memikirkan kesedihan itu. Lebih baik ia segera memeluk Karen penuh rasa rindu.
Baru saja
Forst hendak melangkah, tapi tubuhnya mematung seketika. Profesor itu
membisikan kata cinta lalu membungkukkan tubuhnya dan mengecup bibir Karen. Bukannya
menolak, gadis itu malah menjawab ciuman itu seolah mereka sudah terbiasa
melakukannya.
Tapi
kata-kata selanjutnya yang terlontar dari bibir Profesor membuat tubuh Forst
yang mematung hancur seketika.
“Kalau
begitu, tunggulah di sini bersama cairan kelabu penghancur tumbuhan itu. Aku
akan menemui pimpinan proyek untuk menjelaskan bahwa ini adalah persediaan
terakhir kita.”
Seminggu
setelah berhasil menemukan cairan pelindung tumbuhan, Profesor mengadakan
konferensi pers untuk mengumumkan penemuannya tersebut. Respon yang beragam
mampir silih berganti dari segala arah dan jajaran masyarakat dunia. Salah
satunya adalah dari perusahaan konstruksi. Mereka justru meminta Profesor
tersebut untuk membuat cairan penghancur tumbuhan. Cairan itu akan berguna bagi
mereka saat ingin menghancurkan hutan dan membuka lahan bagi bangunan.
Pada
awalnya, Profesor menolak saran tersebut. Karena selama ini bukan itu yang
menjadi tujuan penelitiannya. Tapi karena tergiur dengan bayaran yang
fantastis, akhirnya ia menyetujui permintaan tersebut. Apalagi ia memang
terlilit hutang untuk membiayai penelitiannya selama ini. Hanya saja ia memang
berencana ingin menjadikan penemuan itu sebagai teknologi temporer. Bahkan
bahan yang diperlukan untuk membuat cairan itu tidak pernah ditulis di manapun
kecuali dalam ingatan asisten sekaligus kekasihnya.
Segera
setelah mendapat semua uang itu, Profesor berencana untuk melupakan semua
penelitiannya dan memulai hidup barunya bersama Karen yang menajdi asistennya
selama ini. Dan ternyata gadis itu juga memiliki perasaan yang sama terhadap
dirinya. Sehingga hidupnya terasa lengkap.
Suatu
hari, Profesor itu ingin bertemu dengan Forst. Ia ingin mengucapkan terima
kasih sekaligus meminta maaf kepada lelaki itu. bagaimanapun kehadiran Forst
benar-benar mengubah hidupnya yang kelabu.
Sekali
lagi, Profesor menatap Karen penuh cinta lalu mendaratkan kecupan singkat di
kening gadis itu. “Tunggulah sebentar lagi.”
Karen
menganggukkan kepalanya. Bibirnya mengurai seulas senyuman. “Tentu saja aku
akan menunggu.”
Selama
beberapa detik, Karen masih terpaku di samping mobil. Matanya tidak lepas dari
sosok Profesor yang memiliki rambut panjang itu.
Mata
Forst terbelalak nyaris melompat keluar saat mendengar hal itu. Ini semua benar-benar
di luar dugaannya. Jadi... cairan kelabu yang menyerang bangsa Viridian saat
itu adalah... ulah Karen dan Profesor itu? Ternyata mereka sama saja. Mereka
tega menyakiti sesama makhluk hidup di bumi. Padahal selama ini Forst
menganggap mereka sebagai teman manusia pertamanya.
Tapi
ternyata ia salah besar.
Darah
Forst mendidih seketika. Giginya bergemelutuk karena geram. Tanpa mengalihkan
pandangannya dari Karen yang mulai masuk ke dalam mobil, ia bertanya pada teman
mungil yang terbang di dekatnya, “Saki, apakah kau bisa merapalkan mantra
penghancur dan penghilang ingatan?”
TAMAT
Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D