Sebuah istana megah berdiri megah di
hadapan Forst. Begitu indah hingga membuat lelaki itu terpana. Memang tidak
seperti istana yang ada dalam bayangannya selama ini. Bangunan besar dengan
lantai marmer dan gagang pintu dari emas asli. Juga berbeda dengan istana bawah
tanah yang tersembunyi di Derion. Tapi istana yang berada di hadapannya
sekarang benar-benar... menakjubkan.
Istana ini terletak di tengah hutan
heterogen dengan berbagai macam pepohonan. Dinding bagian luarnya terbuat dari
deretan batang-batang pohon yang kokoh. Sinar matahari begitu melimpahkan
cahayanya kepada istana ini.
Baru saja Forst tiba di sini. Tempat di
mana ia akan berperang pertama kalinya. Dan ia harus bisa menunjukkan hasil
latihannya selama satu minggu ini. Sedikit banyak, ia mulai terbiasa
menggenggam dan menebaskan pedang.
Pemimpin negeri ini memang meminta mereka
datang lebih cepat karena musuh sudah mulai menyerang lebih dulu sebelum waktu
yang meeka perkirakan. Dan Forst sendiri merasa penasaran dengan makhluk
menyeramkan yang akan menjadi musuhnya itu.
“Sebelumnya, perkenalkan saya adalah Lacano.”
Seorang lelaki —kira-kira seusia dengan Forst, bersuara
dan membuyarkan lamunan Forst. Lelaki itu lebih tinggi dari Forst. Rambutnya
berwarna hijau segar dengan iris mata kecokelatan. Pakaiannya sangat sederhana
seperti dirajut dari dedaunan. Sebilah pedang tampak siaga di pinggangnya.
Dan sekilas Forst melihat mata Lacano
berkilat penuh permusuhan kepadanya.
“Silakan masuk. Putri Givka sudah menunggu
Anda semua.”
Lacano berjalan mendahului mereka ke dalam
istana. Forst dan lima belas peri dari Derion mengikuti langkah lelaki itu.
Begitu memasuki istana, Forst tidak
henti-hentinya dibuat takjub. Bagian interior istana ini tampak menganggumkan. Dinding
dan langit-langitnya yang tinggi merupakan perpaduan pohon dan ranting.
Lantainya sangat berbeda dengan tanah di dalam hutan yang penuh dedaunan kering
dan ranting pohon yang patah. Lantai istana ini begitu lembut dan nyaman.
Seperti permadani dari wol berwarna hijau.
Tanpa sadar Forst menghirup napas
dalam-dalam. Memenuhi setiap rongga dada dengan kesegaran yang baru kali ini dirasakannya.
Seakan ada energi baru yang muncul di setiap sudut tubuhnya.
“Hei, Forst! Jaga sopan santunmu,” bisik
Selva sambil menyenggol tangan Forst dengan sikunya.
Forst tersentak dan memandang penuh kritik
ke arah Selva. Gadis itu yang pernah menyerangnya penuh permusuhan saat latihan
pedang. Dan setelah itu, tidak sedikitpun Selva meminta maaf atau menjelaskan
alasannya bersikap seperti itu. Sedangkan Forst sendiri merasa tidak pernah
melakukan sesuatu yang salah kepada gadis itu. Bahkan hingga saat ini, Forst
masih bergidik ngeri saat teringat tatapan menyeramkan Selva saat menghunuskan
pedang ke arahnya.
“Silakan masuk,” Lacano berhenti di depan
sebuah ruangan luas yang terbuka. Lelaki itu membungkuk hormat lalu melambaikan
tangannya ke arah dalam ruangan.
Forst melangkah masuk di belakang
teman-temannya. Dan juga ikut berlutut hormat seperti yang lainnya. Ia menekuk
satu kaki dan meletakkan tangannya di atas lutut. Sementara lutut yang satunya
menempel di atas permadani hijau yang selembut beledu.
“Selamat datang di Viridi. Kami sangat
menghargai bantuan khusus dari Derion,” ucap seorang gadis sambil bangkit dari
singgasananya, diikuti beberapa pria dan wanita yang duduk di kursi-kursi yang
ada di sampingnya. Mereka adalah para tetua yang merupakan jajaran menteri dan
penasehat kerajaan ini.
“Terima kasih sudah menyambut kami dengan
baik, Putri Givka. Suatu kehormatan bagi kami bisa diundang ke kerajaan Viridi,”
ujar Selva mewakili teman-temannya. Kepalanya masih tertunduk hormat.
Givka melangkah mendekat kemudian
menyentuh kedua bahu Selva. Ia meminta Selva dan teman-temannya bangkit dan
berdiri sejajar dengan dirinya tanpa perlu merasa takut maupun sungkan. Gadis
itu juga meminta mereka memperkenalkan diri masing-masing.
Forst yang berada di barisan belakang
tidak bisa melihat langsung ke arah pemimpin negeri ini. Tinggi badan Givka
tenggelam di antara peri-peri dari Derion. Jadi, ia hanya bisa menunggu. Dalam
benaknya, Forst mempersiapkan beberapa kata yang sopan untuk memperkenalkan
dirinya.
“Dan kau pasti Forst. Benar?”
Suara sopran yang lembut terdengar
mengalun di dekat telinga Forst. Tapi lelaki itu tersentak karena terlalu
berkonsentrasi dengan pemilihan katanya.
Pandangan Forst terpaku kepada pemilik
suara lembut yang berdiri di hadapannya. Saat mendengar suaranya, Forst memang
menduga bahwa putri negeri ini masih muda. Tapi ia tidak menyangka bahwa putri
Givka tampak seperti gadis berusia lima belas tahun.
Tubuh Givka begitu mungil hingga Forst tampak
begitu menjulang di hadapannya. Sebuah tiara berkilau terpasang di puncak
kepalanya. Rambutnya berwarna merah muda bergelombang hingga punggungnya.
Sepasang mata dengan iris berwarna merah muda gelap menatap intens ke arah
Forst. Pipinya merona. Bibirnya tersenyum lembut.
Pakaian yang dikenakan Givka terlihat
cukup sederhana. Tidak mewah seperti pakaian putri kerajaan yang dipenuhi renda
dan dijahit dengan benang emas. Tapi sangat sesuai dengan tubuhnya yang
ramping. Dan yang paling menarik perhatian adalah rok yang menggantung di
pinggang gadis itu. Rok itu tampak seperti mahkota bunga Azalea merah muda
dalam keadaan terbalik. Alih-alih seperti seorang putri, pakaian itu membuatnya
tampak seperti seorang ballerina.
Forst terpana. Hingga ia tidak bisa
menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kecantikan ala bidadari yang
hadir di hadapannya.
“Pe-perkenalkan... saya Forst.”
Akhirnya Forst bisa berkata-kata walaupun
terbata. Kata-kata yang sudah dirangkainya tadi terserak seketika. Ia tersenyum
kikuk saat merasakan pandangan Selva yang melotot ke arahnya. Gadis itu pasti
akan menganggapnya sudah berlaku tidak sopan.
Givka tertawa kecil melihat sikap Forst
yang kaku. “Santai saja, Forst. Jangan bersikap seperti itu.”
“B-baiklah,” sahut Forst masih dengan nada
kikuk. Ia mengusap-usap tengkuknya dengan gelisah.
“Jadi, apakah kau bersedia berjuang
bersama kami —bangsa
Viridian?” tanya Givka.
Forst menegakkan punggungnya. Matanya
menatap lurus ke arah mata Givka. Dan tanpa ingin berpikir sekali lagi, ia
menganggukkan kepalanya dengan mantap.
***
Pagi-pagi sekali Forst sudah bangun dari
tidurnya. Ia sudah harus bersiap sebelum matahari terbit. Pihak kerajaan sudah
menyiapkan pakaian untuknya. Pakaian itu memang sederhana seperti yang
dikenakan bangsa Viridian lainnya. Rangkaian dedaunan yang senada dengan warna
mata Forst. Tapi sebenarnya, pakaian itu sama kokohnya dengan baju zirah.
Pihak istana Viridian menyediakan
masing-masing satu kamar untuk Forst dan teman-temannya. Bagi Forst, kamar itu
adalah kamar paling sempurna yang pernah ia tempati. Tempat tidur besar yang
selembut beledu. Dinding yang disusun dari ranting-ranting pohon. Udara yang
sejuk memenuhi kamar itu, membuat Forst merasa seperti sedang tidur di hutan
yang menjadi tempat tinggalnya selama ini.
Begitu selesai bersiap, Forst bergegas
keluar dari kamarnya. Ia melangkahkan kakinya menuju lapangan istana. Para peri
dan prajurit Viridian tampak sudah berbaris rapi di sana.
Saat itulah Forst menyadari satu hal.
Bangsa Viridian tidak memiliki sayap transparan di punggung mereka. Jadi, makhluk apa sebenarnya mereka ini?
Tidak lama setelah Forst masuk ke dalam
barisan, Menteri Latibergia segera memulai pengarahan. Keriput di wajah pria
tua itu tampak begitu jelas. Hingga ia terlihat seperti menteri paling tua di
antara yang lainnya. Sekaligus menteri paling berwibawa dan bijaksana.
Pengarahan seperti itu memang selalu dilakukan
oleh prajurit Viridian sebelum mereka menyambut
serangan dari musuh mereka yaitu para Zestorian. Bangsa Zestorian sudah sering
melakukan agresi terhadapap wilayah Viridian. Dan selama itu mereka selalu
menyerang pada saat terang saja. Sehingga malam menjadi saat yang tenang bagi
bangsa Viridian.
Menteri Latibergia menjelaskan dengan
saksama mengenai strategi perang untuk hari ini. Forst membuka telinganya
lebar-lebar, mendengarkan dengan saksama. Ia harus berjuang sekuat yang ia
mampu. Sedikitpun ia tidak ingin mempermalukan diri di hadapan bangsa Viridian,
terutama Givka.
Sebelum mengakhiri pengarahan pagi itu,
semua menyanyikan yel penyemangat khas bangsa Viridian. Yel itu sudah
dinyanyikan secara turun-temurun. Dan begitu kata terakhir selesai dilantunkan,
kerumunan itu bubar untuk mempersiapkan senjata masing-masing.
“Aku harap kau bisa menghunuskan pedangmu
lebih baik kali ini, Forst.” Selva tiba-tiba muncul di dekat Forst dan berkata
dengan nada ketus.
“Lebih baik peringatkan dirimu
sendiri....” Forst memberi jeda sejenak lalu memberi penekanan saat menyebutkan
nama rekannya itu. “Selva.”
Selva tertegun. Ia kehilangan kata-kata.
Tidak biasanya Forst bersikap begitu defensif seperti ini.
“Sampai bertemu di medan perang... dengan
busur dan anak panahmu,” ucap Forst tidak kalah ketus sambil berlalu begitu
saja. Ia merasa benar-benar geram. Kali ini ia tidak akan membiarkan siapapun
menginjak-injak harga dirinya.
***
Langkah kaki Forst menapaki tanah dengan
tegap. Seirama dengan derap langkah prajurit bangsa Viridian. Ia merasa benar-benar siap untuk
bertarung melawan Zestorian. Dan menetapkan hati sebagai prajurit pembela bangsa
Viridian.
Makhluk bernama Zestorian itu benar-benar
mengerikan. Tubuh mereka sangat besar dengan tangan panjang yang seakan mampu
menjangkau apapun yang ada di sekitarnya. Mereka menyerang dengan buas, menancapkan
taring dan cakarnya yang tajam untuk melukai melukai musuh.
Forst menelan ludah. Ia mempersiapkan
mentalnya untuk menyerang. Lalu dengan gerakan cepat, ia menghunuskan pedang ke
arah monster itu. Ternyata tubuh mereka sangat kuat seperti baja. Sesaat ia
merasa perlawanan ini akan sia-sia. Terbukti dengan banyak prajurit yang terluka
parah.
Dengan mempererat genggaman pada pedang di
tangannya, Forst menjaga jarak sejenak lalu mempertajam indra penglihatannya. Ia
yakin makhluk ini pasti memiliki kelemahan. Dan tidak lama kemudian, lelaki itu
tersenyum penuh kemenangan.
Forst melancarkan serangannya untuk
membuktikan dugaannya.
Benar saja. Begitu pedang Forst menancap
di pangkal cakar makhluk itu, terdengar raungan yang menyakitkan telinga.
Monster itu meronta lalu berhenti bergerak.
Forst tersenyum lalu berteriak lantang,
“Serang pangkal cakarnya!”
Seluruh prajurit yang mendengar itu, ikut
menyerang dan menusuk pangkal cakar monster itu sehingga membuat gerakannya
terhenti. Tanpa ampun mereka semua menyerang hingga monster itu berteriak
histeris dan berhenti menyerang. Viridian terselamatkan.
“Hidup kesatria Forst!” Para prajurit
mengelu-elukan nama Forst sambil meneriakan yel kemenangan selama perjalanan kembali
ke istana.
Forst tersenyum bangga sambil mengangkat
pedangnya tinggi-tinggi, sebagai lambang kemenangan. Ia merasa tidak sabar untuk
menyampaikan kabar baik ini pada Givka. Tapi entah mengapa, Forst merasakan tatapan
dingin menghujam punggungnya.
***
“Forst, aku dengar kemenangan hari ini
berkat dirimu,” Givka menyambut kedatangan Forst dengan penuh suka cita.
“Tidak, Putri Givka,” sanggah Forst dengan
wajah tersipu. “Semua ini berkat kerja sama semuanya.”
Givka menyunggingkan senyumnya pada sifat
rendah hati Forst. Lalu mengajak Forst duduk di sebuah kursi panjang yang ada
di taman istana. Dan Forst menyambut baik ajakan itu.
Lama mereka terdiam. Tampak sibuk dengan pikiran
masing-masing, menikmati cahaya matahari dan udara segar di sekitar. Juga suara
gemericik mata air Qugentia yang menenangkan jiwa.
Forst memperhatikan sosok Givka di
sampingnya. Angin tampak membelai lembut kulit halusnya. Gadis ini benar-benar
cantik seperti bidadari kahyangan.
Tanpa dinyana, tiba-tiba Givka tersipu.
Pipinya bersemu merah muda. Kemudian gadis itu tertawa kecil. “Manusia lelaki
memang pandai merayu. Bahkan sering menggunakan nama-nama bangsa kami untuk merayu
pasangannya.”
Kening Forst mengernyit heran. Tapi
sedetik kemudian ia segera menyadari bahwa ia baru saja menyuarakan suara
hatinya.
“M-maafkan aku... maksudku....” Forst
berkata dengan kikuk. Ia menundukkan kepala lalu mengusap tengkuknya dengan gugup.
“Tidak apa, Forst. Jangan bersikap seperti
itu,” ujar Givka sambil menyentuh tangan Forst di atas kursi panjang. “Jadi,
maukah kau mendengar cerita mengenai negeri ini?”
Forst tersenyum. “Tentu saja.”
“Negeri ini terletak di sebuah dunia yang berbeda
dengan duniamu. Tetapi dunia kami ada bersama duniamu. Manusia, bangsa
Viridian, dan bangsa Janavarian sudah hidup berdampingan sejak milyaran tahun
yang lalu.”
Forst mengernyit. Lalu menekan pelipisnya
dengan jari telunjuk. Begitu banyak hal yang tidak bisa dimengerti olehnya.
Semakin Givka memberi penjelasan, semakin ia merasa tidak mengerti.
“Mungkin sulit untuk dipahami. Tetapi saat
ini kami seperti sedang melakukan perang abadi. Pada awalnya, bangsa Viridian
sudah lebih dulu berada di bumi, lalu bangsa Zestorian yang datang sebagai
bangsa baru. Dan seiring dengan jumlah mereka yang terus bertambah, mereka melakukan
agresi terhadap wilayah kami.” Mata indah Givka tampak berkaca-kaca. “Selama
ini sudah banyak bangsa Viridian tewas dan rumahnya hancur akibat perbuatan
Zestorian. Walaupun kami bertarung mati-matian, tetapi mereka sangat sulit
dikalahkan. Kami memerlukan bantuan dari manusia untuk menyelamatkan negeri
ini.”
Forst menatap iris merah muda milik Givka.
Hanya untuk memastikan bahwa gadis itu sungguh-sungguh. Karena entah mengapa, kata-kata
gadis itu menyiratkan bahwa Forst adalah manusia yang terpilih itu.
Forst membuka bibirnya hendak mengucapkan
sesuatu. Tapi bibir itu terkatup lagi saat terdengar suara tawa langkah berlari
anak-anak kecil yang mendekat.
“Putri Givka! Putri Givka!”
Mereka menyebut nama Givka dengan suara
ceria.
Beberapa anak kecil —berusia sekitar empat atau lima tahunan,
berlari ke arah taman istana. Anak-anak itu tampak sangat manis. Baju mereka
hampir serupa. Semua berwarna hijau kekuningan. Tapi rambut mereka
berbeda-beda. Walaupun hampir semua bangsa Viridian berambut hijau. Tetapi ada
juga yang tidak berambut hijau. Seperti Givka dengan rambut merah muda. Sementara
anak-anak kecil ini memiliki rambut berwarna kuning, ungu, putih, juga jingga.
Saat menyadari kehadiran Forst yang
mungkin tampak asing bagi mereka, mata mereka tampak berbinar-binar.
“Kakak siapa?”
“Apakah kakak adalah pahlawan dari Negeri Manusia?”
“Kakak kesatria bernama Forst yang sedang
dibicarakan para menteri?”
Forst bangkit dari tempat duduknya lalu berjongkok di hadapan
para anak-anak kecil itu. Ia tersenyum simpul, sedikit tidak menyangka bahwa
berita tentang dirinya bisa menyebar begitu cepat. Lalu Forst mengulurkan
tangannya dan mengusap lembut kepala-kepala mungil itu.
“Benar. Namaku Forst,” ucap Forst sambil
tersenyum ramah. “Nama kalian siapa?”
Anak-anak kecil itu tampak antusias
mendengar pertanyaan Forst. Hingga mereka bersahut-sahutan menyebutkan nama
masing-masing. Dan malah sulit didengar. Tapi dengan sabar Forst bertanya
perlahan dan menenangkan anak-anak kecil itu.
Sejak kecil, Forst tidak pernah memiliki
teman apalagi saudara. Dan bertemu teman–teman peri dan bangsa Viridian
benar-benar menjadi berkah yang tidak ternilai bagi dirinya. Tanpa sadar, ia
tersenyum getir saat ingatan mengerikan dari masa lalu terlintas di pikirannya.
Lamunan Forst buyar. Ia mengalihkan perhatiannya saat menyadari Givka
menangis tanpa suara. Tapi bulir-bulir air mata tampak jelas di sudut matanya.
Gadis itu... pasti tidak ingin anak-anak kecil ini melihatnya bersedih. Sedetik
kemudian, Forst kembali duduk di kursi panjang. Dan secar impulsif ia menarik
Givka dalam pelukannya, menyembunyikan wajah sedih gadis itu di bahunya.
“Aku selalu... merasa sedih jika melihat
anak-anak kecil yang begitu naif,” bisik Givka mulai sesegukan. “Orang tua
mereka meninggal... saat usia mereka masih begitu belia. Sama seperti aku...
itulah kenapa aku terpaksa... terpaksa memimpin kerajaan di usiaku yang masih
remaja.”
Tatapan Forst berubah nanar saat mendengar
cerita itu. Gadis mungil ini harus menanggung beban di bahunya sendirian.
Sementara anak-anak kecil itu malah melompat dan bersorak bahagia di dekat
mereka. Hingga Forst harus tersenyum, pura-pura ikut senang.
Forst mempererat dekapannya sambil
berkata. “Tenang saja. Aku akan berjuang melindungi kalian. Apapun yang
terjadi.”
***
Selva berjalan di koridor kerajaan sambil
menenteng busur dan kantung anak panahnya. Seulas senyum terukir indah hingga
mencapai pupil matanya yang berwarna hijau. Ia tidak menyangka bahwa peperangan
hari ini bisa dimenangkan begitu saja karena jasa lelaki itu.
Ya. Lelaki bernama Forst itu.
Untuk itulah Selva berniat untuk menemui
Forst dan mengucapkan selamat. Ia juga ingin meminta maaf atas sikap ketusnya
selama ini. Juga mengucapkan terima kasih atas pertolongan lelaki itu saat ia
terluka. Dan yang terakhir tentu saja serangan membabi butanya saat latihan
pedang.
Sebenarnya, Selva sendiri tidak begitu
memahami mengapa ia merasa begitu marah saat itu. Ia hanya mengikuti emosi
dalam hatinya dan melampiaskan amarahnya kepada Forst. Padahal ia tahu benar
jika lelaki itu tidak bersalah.
Tapi semua itu tidak akan terjadi lagi
setelah ini. Selva sudah bertekad. Ia akan bersikap sebaik mungkin kepada
Forst.
Sekali lagi senyum terkembang di bibir
Selva saat sosok Forst terlintas di benaknya. Tapi sayangnya senyuman kali ini
sirna begitu saja. Seiring dengan langkah kakinya yang terhenti paksa di sudut
koridor.
Taman istana terlihat begitu jelas dari
tempat Selva berdiri. Dan ia bisa melihat dengan jelas pasangan yang tengah
duduk berpelukan di kursi panjang. Sementara anak-anak kecil dengan rambut
berwarna cerah tampak ikut senang melihat pasangan itu.
“Tenang saja. Aku akan berjuang melindungi
kalian. Apapun yang terjadi.”
Tiba-tiba telinga lancip Selva mendengar
sang lelaki berkata. Sayap transparannya terkulai lemas begitu saja saat ia
mengenali itu sebagai suara Forst. Dan entah mengapa itu terdengar seperti
janji sehidup semati bagi Selva.
Selva menelan ludahnya yang terasa pahit.
Lalu tangannya menyentuh dada kirinya yang tiba-tiba seperti disengat. Keningnya
mengernyit. Perasaan asing itu menyergapnya sekali lagi.
Perasaan itu mengalir begitu saja, terasa
mengapung di atas hatinya.. Tanpa bisa dideskripsikan. Tapi yang jelas, dadanya
terasa sakit dan sesak. Setiap nafas menjadi terasa begitu berat. Selva memeluk
erat dirinya sendiri dengan kedua tangannya dan secara langsung bersandar pada
dinding koridor.
Selva ingat pernah merasakan ini
sebelumnya. Malam hari. Di tepi hutan. Saat itu ia melihat seorang gadis
manusia mengecup lembut pipi Forst.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D