Senin, 13 April 2015

Once Upon A Time In The Forest Part 5


 
Sebuah istana megah berdiri megah di hadapan Forst. Begitu indah hingga membuat lelaki itu terpana. Memang tidak seperti istana yang ada dalam bayangannya selama ini. Bangunan besar dengan lantai marmer dan gagang pintu dari emas asli. Juga berbeda dengan istana bawah tanah yang tersembunyi di Derion. Tapi istana yang berada di hadapannya sekarang benar-benar... menakjubkan.

Istana ini terletak di tengah hutan heterogen dengan berbagai macam pepohonan. Dinding bagian luarnya terbuat dari deretan batang-batang pohon yang kokoh. Sinar matahari begitu melimpahkan cahayanya kepada istana ini.

Baru saja Forst tiba di sini. Tempat di mana ia akan berperang pertama kalinya. Dan ia harus bisa menunjukkan hasil latihannya selama satu minggu ini. Sedikit banyak, ia mulai terbiasa menggenggam dan menebaskan pedang.

Pemimpin negeri ini memang meminta mereka datang lebih cepat karena musuh sudah mulai menyerang lebih dulu sebelum waktu yang meeka perkirakan. Dan Forst sendiri merasa penasaran dengan makhluk menyeramkan yang akan menjadi musuhnya itu.

 “Sebelumnya, perkenalkan saya adalah Lacano.”

Seorang lelaki kira-kira seusia dengan Forst, bersuara dan membuyarkan lamunan Forst. Lelaki itu lebih tinggi dari Forst. Rambutnya berwarna hijau segar dengan iris mata kecokelatan. Pakaiannya sangat sederhana seperti dirajut dari dedaunan. Sebilah pedang tampak siaga di pinggangnya.

Dan sekilas Forst melihat mata Lacano berkilat penuh permusuhan kepadanya.

“Silakan masuk. Putri Givka sudah menunggu Anda semua.”

Lacano berjalan mendahului mereka ke dalam istana. Forst dan lima belas peri dari Derion mengikuti langkah lelaki itu.

Begitu memasuki istana, Forst tidak henti-hentinya dibuat takjub. Bagian interior istana ini tampak menganggumkan. Dinding dan langit-langitnya yang tinggi merupakan perpaduan pohon dan ranting. Lantainya sangat berbeda dengan tanah di dalam hutan yang penuh dedaunan kering dan ranting pohon yang patah. Lantai istana ini begitu lembut dan nyaman. Seperti permadani dari wol berwarna hijau.

Tanpa sadar Forst menghirup napas dalam-dalam. Memenuhi setiap rongga dada dengan kesegaran yang baru kali ini dirasakannya. Seakan ada energi baru yang muncul di setiap sudut tubuhnya.

“Hei, Forst! Jaga sopan santunmu,” bisik Selva sambil menyenggol tangan Forst dengan sikunya.

Forst tersentak dan memandang penuh kritik ke arah Selva. Gadis itu yang pernah menyerangnya penuh permusuhan saat latihan pedang. Dan setelah itu, tidak sedikitpun Selva meminta maaf atau menjelaskan alasannya bersikap seperti itu. Sedangkan Forst sendiri merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang salah kepada gadis itu. Bahkan hingga saat ini, Forst masih bergidik ngeri saat teringat  tatapan menyeramkan Selva saat menghunuskan pedang ke arahnya.

“Silakan masuk,” Lacano berhenti di depan sebuah ruangan luas yang terbuka. Lelaki itu membungkuk hormat lalu melambaikan tangannya ke arah dalam ruangan.

Forst melangkah masuk di belakang teman-temannya. Dan juga ikut berlutut hormat seperti yang lainnya. Ia menekuk satu kaki dan meletakkan tangannya di atas lutut. Sementara lutut yang satunya menempel di atas permadani hijau yang selembut beledu.

“Selamat datang di Viridi. Kami sangat menghargai bantuan khusus dari Derion,” ucap seorang gadis sambil bangkit dari singgasananya, diikuti beberapa pria dan wanita yang duduk di kursi-kursi yang ada di sampingnya. Mereka adalah para tetua yang merupakan jajaran menteri dan penasehat kerajaan ini.

“Terima kasih sudah menyambut kami dengan baik, Putri Givka. Suatu kehormatan bagi kami bisa diundang ke kerajaan Viridi,” ujar Selva mewakili teman-temannya. Kepalanya masih tertunduk hormat.

Givka melangkah mendekat kemudian menyentuh kedua bahu Selva. Ia meminta Selva dan teman-temannya bangkit dan berdiri sejajar dengan dirinya tanpa perlu merasa takut maupun sungkan. Gadis itu juga meminta mereka memperkenalkan diri masing-masing.

Forst yang berada di barisan belakang tidak bisa melihat langsung ke arah pemimpin negeri ini. Tinggi badan Givka tenggelam di antara peri-peri dari Derion. Jadi, ia hanya bisa menunggu. Dalam benaknya, Forst mempersiapkan beberapa kata yang sopan untuk memperkenalkan dirinya.

“Dan kau pasti Forst. Benar?”

Suara sopran yang lembut terdengar mengalun di dekat telinga Forst. Tapi lelaki itu tersentak karena terlalu berkonsentrasi dengan pemilihan katanya.

Pandangan Forst terpaku kepada pemilik suara lembut yang berdiri di hadapannya. Saat mendengar suaranya, Forst memang menduga bahwa putri negeri ini masih muda. Tapi ia tidak menyangka bahwa putri Givka tampak seperti gadis berusia lima belas tahun.

Tubuh Givka begitu mungil hingga Forst tampak begitu menjulang di hadapannya. Sebuah tiara berkilau terpasang di puncak kepalanya. Rambutnya berwarna merah muda bergelombang hingga punggungnya. Sepasang mata dengan iris berwarna merah muda gelap menatap intens ke arah Forst. Pipinya merona. Bibirnya tersenyum lembut.

Pakaian yang dikenakan Givka terlihat cukup sederhana. Tidak mewah seperti pakaian putri kerajaan yang dipenuhi renda dan dijahit dengan benang emas. Tapi sangat sesuai dengan tubuhnya yang ramping. Dan yang paling menarik perhatian adalah rok yang menggantung di pinggang gadis itu. Rok itu tampak seperti mahkota bunga Azalea merah muda dalam keadaan terbalik. Alih-alih seperti seorang putri, pakaian itu membuatnya tampak seperti seorang ballerina.

Forst terpana. Hingga ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kecantikan ala bidadari yang hadir di hadapannya.

“Pe-perkenalkan... saya Forst.”

Akhirnya Forst bisa berkata-kata walaupun terbata. Kata-kata yang sudah dirangkainya tadi terserak seketika. Ia tersenyum kikuk saat merasakan pandangan Selva yang melotot ke arahnya. Gadis itu pasti akan menganggapnya sudah berlaku tidak sopan.

Givka tertawa kecil melihat sikap Forst yang kaku. “Santai saja, Forst. Jangan bersikap seperti itu.”

“B-baiklah,” sahut Forst masih dengan nada kikuk. Ia mengusap-usap tengkuknya dengan gelisah.

“Jadi, apakah kau bersedia berjuang bersama kami bangsa Viridian?” tanya Givka.

Forst menegakkan punggungnya. Matanya menatap lurus ke arah mata Givka. Dan tanpa ingin berpikir sekali lagi, ia menganggukkan kepalanya dengan mantap.

***

Pagi-pagi sekali Forst sudah bangun dari tidurnya. Ia sudah harus bersiap sebelum matahari terbit. Pihak kerajaan sudah menyiapkan pakaian untuknya. Pakaian itu memang sederhana seperti yang dikenakan bangsa Viridian lainnya. Rangkaian dedaunan yang senada dengan warna mata Forst. Tapi sebenarnya, pakaian itu sama kokohnya dengan baju zirah.

Pihak istana Viridian menyediakan masing-masing satu kamar untuk Forst dan teman-temannya. Bagi Forst, kamar itu adalah kamar paling sempurna yang pernah ia tempati. Tempat tidur besar yang selembut beledu. Dinding yang disusun dari ranting-ranting pohon. Udara yang sejuk memenuhi kamar itu, membuat Forst merasa seperti sedang tidur di hutan yang menjadi tempat tinggalnya selama ini.

Begitu selesai bersiap, Forst bergegas keluar dari kamarnya. Ia melangkahkan kakinya menuju lapangan istana. Para peri dan prajurit Viridian tampak sudah berbaris rapi di sana.

Saat itulah Forst menyadari satu hal. Bangsa Viridian tidak memiliki sayap transparan di punggung mereka. Jadi,  makhluk apa sebenarnya mereka ini?

Tidak lama setelah Forst masuk ke dalam barisan, Menteri Latibergia segera memulai pengarahan. Keriput di wajah pria tua itu tampak begitu jelas. Hingga ia terlihat seperti menteri paling tua di antara yang lainnya. Sekaligus menteri paling berwibawa dan bijaksana.

Pengarahan seperti itu memang selalu dilakukan oleh prajurit Viridian sebelum mereka menyambut serangan dari musuh mereka yaitu para Zestorian. Bangsa Zestorian sudah sering melakukan agresi terhadapap wilayah Viridian. Dan selama itu mereka selalu menyerang pada saat terang saja. Sehingga malam menjadi saat yang tenang bagi bangsa Viridian.

Menteri Latibergia menjelaskan dengan saksama mengenai strategi perang untuk hari ini. Forst membuka telinganya lebar-lebar, mendengarkan dengan saksama. Ia harus berjuang sekuat yang ia mampu. Sedikitpun ia tidak ingin mempermalukan diri di hadapan bangsa Viridian, terutama Givka.

Sebelum mengakhiri pengarahan pagi itu, semua menyanyikan yel penyemangat khas bangsa Viridian. Yel itu sudah dinyanyikan secara turun-temurun. Dan begitu kata terakhir selesai dilantunkan, kerumunan itu bubar untuk mempersiapkan senjata masing-masing.

“Aku harap kau bisa menghunuskan pedangmu lebih baik kali ini, Forst.” Selva tiba-tiba muncul di dekat Forst dan berkata dengan nada ketus.

“Lebih baik peringatkan dirimu sendiri....” Forst memberi jeda sejenak lalu memberi penekanan saat menyebutkan nama rekannya itu. “Selva.”

Selva tertegun. Ia kehilangan kata-kata. Tidak biasanya Forst bersikap begitu defensif seperti ini.

“Sampai bertemu di medan perang... dengan busur dan anak panahmu,” ucap Forst tidak kalah ketus sambil berlalu begitu saja. Ia merasa benar-benar geram. Kali ini ia tidak akan membiarkan siapapun menginjak-injak harga dirinya.

***

Langkah kaki Forst menapaki tanah dengan tegap. Seirama dengan derap langkah prajurit bangsa  Viridian. Ia merasa benar-benar siap untuk bertarung melawan Zestorian. Dan menetapkan hati sebagai prajurit pembela bangsa Viridian.

Makhluk bernama Zestorian itu benar-benar mengerikan. Tubuh mereka sangat besar dengan tangan panjang yang seakan mampu menjangkau apapun yang ada di sekitarnya. Mereka menyerang dengan buas, menancapkan taring dan cakarnya yang tajam untuk melukai melukai musuh.

Forst menelan ludah. Ia mempersiapkan mentalnya untuk menyerang. Lalu dengan gerakan cepat, ia menghunuskan pedang ke arah monster itu. Ternyata tubuh mereka sangat kuat seperti baja. Sesaat ia merasa perlawanan ini akan sia-sia. Terbukti dengan banyak prajurit yang terluka parah.

Dengan mempererat genggaman pada pedang di tangannya, Forst menjaga jarak sejenak lalu mempertajam indra penglihatannya. Ia yakin makhluk ini pasti memiliki kelemahan. Dan tidak lama kemudian, lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.

Forst melancarkan serangannya untuk membuktikan dugaannya.

Benar saja. Begitu pedang Forst menancap di pangkal cakar makhluk itu, terdengar raungan yang menyakitkan telinga. Monster itu meronta lalu berhenti bergerak.

Forst tersenyum lalu berteriak lantang, “Serang pangkal cakarnya!”

Seluruh prajurit yang mendengar itu, ikut menyerang dan menusuk pangkal cakar monster itu sehingga membuat gerakannya terhenti. Tanpa ampun mereka semua menyerang hingga monster itu berteriak histeris dan berhenti menyerang. Viridian terselamatkan.

“Hidup kesatria Forst!” Para prajurit mengelu-elukan nama Forst sambil meneriakan yel kemenangan selama perjalanan kembali ke istana.

Forst tersenyum bangga sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, sebagai lambang kemenangan. Ia merasa tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Givka. Tapi entah mengapa, Forst merasakan tatapan dingin menghujam punggungnya.

***

“Forst, aku dengar kemenangan hari ini berkat dirimu,” Givka menyambut kedatangan Forst dengan penuh suka cita.

“Tidak, Putri Givka,” sanggah Forst dengan wajah tersipu. “Semua ini berkat kerja sama semuanya.”

Givka menyunggingkan senyumnya pada sifat rendah hati Forst. Lalu mengajak Forst duduk di sebuah kursi panjang yang ada di taman istana. Dan Forst menyambut baik ajakan itu.

Lama mereka terdiam. Tampak sibuk dengan pikiran masing-masing, menikmati cahaya matahari dan udara segar di sekitar. Juga suara gemericik mata air Qugentia yang menenangkan jiwa.

Forst memperhatikan sosok Givka di sampingnya. Angin tampak membelai lembut kulit halusnya. Gadis ini benar-benar cantik seperti bidadari kahyangan.

Tanpa dinyana, tiba-tiba Givka tersipu. Pipinya bersemu merah muda. Kemudian gadis itu tertawa kecil. “Manusia lelaki memang pandai merayu. Bahkan sering menggunakan nama-nama bangsa kami untuk merayu pasangannya.”

Kening Forst mengernyit heran. Tapi sedetik kemudian ia segera menyadari bahwa ia baru saja menyuarakan suara hatinya.

“M-maafkan aku... maksudku....” Forst berkata dengan kikuk. Ia menundukkan kepala lalu mengusap tengkuknya dengan gugup.

“Tidak apa, Forst. Jangan bersikap seperti itu,” ujar Givka sambil menyentuh tangan Forst di atas kursi panjang. “Jadi, maukah kau mendengar cerita mengenai negeri ini?”

Forst tersenyum. “Tentu saja.”

“Negeri ini terletak di sebuah dunia yang berbeda dengan duniamu. Tetapi dunia kami ada bersama duniamu. Manusia, bangsa Viridian, dan bangsa Janavarian sudah hidup berdampingan sejak milyaran tahun yang lalu.”

Forst mengernyit. Lalu menekan pelipisnya dengan jari telunjuk. Begitu banyak hal yang tidak bisa dimengerti olehnya. Semakin Givka memberi penjelasan, semakin ia merasa tidak mengerti.

“Mungkin sulit untuk dipahami. Tetapi saat ini kami seperti sedang melakukan perang abadi. Pada awalnya, bangsa Viridian sudah lebih dulu berada di bumi, lalu bangsa Zestorian yang datang sebagai bangsa baru. Dan seiring dengan jumlah mereka yang terus bertambah, mereka melakukan agresi terhadap wilayah kami.” Mata indah Givka tampak berkaca-kaca. “Selama ini sudah banyak bangsa Viridian tewas dan rumahnya hancur akibat perbuatan Zestorian. Walaupun kami bertarung mati-matian, tetapi mereka sangat sulit dikalahkan. Kami memerlukan bantuan dari manusia untuk menyelamatkan negeri ini.”

Forst menatap iris merah muda milik Givka. Hanya untuk memastikan bahwa gadis itu sungguh-sungguh. Karena entah mengapa, kata-kata gadis itu menyiratkan bahwa Forst adalah manusia yang terpilih itu.

Forst membuka bibirnya hendak mengucapkan sesuatu. Tapi bibir itu terkatup lagi saat terdengar suara tawa langkah berlari anak-anak kecil yang mendekat.

“Putri Givka! Putri Givka!”

Mereka menyebut nama Givka dengan suara ceria.

Beberapa anak kecil berusia sekitar empat atau lima tahunan, berlari ke arah taman istana. Anak-anak itu tampak sangat manis. Baju mereka hampir serupa. Semua berwarna hijau kekuningan. Tapi rambut mereka berbeda-beda. Walaupun hampir semua bangsa Viridian berambut hijau. Tetapi ada juga yang tidak berambut hijau. Seperti Givka dengan rambut merah muda. Sementara anak-anak kecil ini memiliki rambut berwarna kuning, ungu, putih, juga jingga.

Saat menyadari kehadiran Forst yang mungkin tampak asing bagi mereka, mata mereka tampak berbinar-binar.

“Kakak siapa?”

“Apakah kakak adalah pahlawan dari Negeri Manusia?”

“Kakak kesatria bernama Forst yang sedang dibicarakan para menteri?”

Forst bangkit dari  tempat duduknya lalu berjongkok di hadapan para anak-anak kecil itu. Ia tersenyum simpul, sedikit tidak menyangka bahwa berita tentang dirinya bisa menyebar begitu cepat. Lalu Forst mengulurkan tangannya dan mengusap lembut kepala-kepala mungil itu.

“Benar. Namaku Forst,” ucap Forst sambil tersenyum ramah. “Nama kalian siapa?”

Anak-anak kecil itu tampak antusias mendengar pertanyaan Forst. Hingga mereka bersahut-sahutan menyebutkan nama masing-masing. Dan malah sulit didengar. Tapi dengan sabar Forst bertanya perlahan dan menenangkan anak-anak kecil itu.


Sejak kecil, Forst tidak pernah memiliki teman apalagi saudara. Dan bertemu teman–teman peri dan bangsa Viridian benar-benar menjadi berkah yang tidak ternilai bagi dirinya. Tanpa sadar, ia tersenyum getir saat ingatan mengerikan dari masa lalu terlintas di pikirannya.

Lamunan Forst buyar. Ia  mengalihkan perhatiannya saat menyadari Givka menangis tanpa suara. Tapi bulir-bulir air mata tampak jelas di sudut matanya. Gadis itu... pasti tidak ingin anak-anak kecil ini melihatnya bersedih. Sedetik kemudian, Forst kembali duduk di kursi panjang. Dan secar impulsif ia menarik Givka dalam pelukannya, menyembunyikan wajah sedih gadis itu di bahunya.

“Aku selalu... merasa sedih jika melihat anak-anak kecil yang begitu naif,” bisik Givka mulai sesegukan. “Orang tua mereka meninggal... saat usia mereka masih begitu belia. Sama seperti aku... itulah kenapa aku terpaksa... terpaksa memimpin kerajaan di usiaku yang masih remaja.”

Tatapan Forst berubah nanar saat mendengar cerita itu. Gadis mungil ini harus menanggung beban di bahunya sendirian. Sementara anak-anak kecil itu malah melompat dan bersorak bahagia di dekat mereka. Hingga Forst harus tersenyum, pura-pura ikut senang.

Forst mempererat dekapannya sambil berkata. “Tenang saja. Aku akan berjuang melindungi kalian. Apapun yang terjadi.”

***


Selva berjalan di koridor kerajaan sambil menenteng busur dan kantung anak panahnya. Seulas senyum terukir indah hingga mencapai pupil matanya yang berwarna hijau. Ia tidak menyangka bahwa peperangan hari ini bisa dimenangkan begitu saja karena jasa lelaki itu.

Ya. Lelaki bernama Forst itu.



Untuk itulah Selva berniat untuk menemui Forst dan mengucapkan selamat. Ia juga ingin meminta maaf atas sikap ketusnya selama ini. Juga mengucapkan terima kasih atas pertolongan lelaki itu saat ia terluka. Dan yang terakhir tentu saja serangan membabi butanya saat latihan pedang.

Sebenarnya, Selva sendiri tidak begitu memahami mengapa ia merasa begitu marah saat itu. Ia hanya mengikuti emosi dalam hatinya dan melampiaskan amarahnya kepada Forst. Padahal ia tahu benar jika lelaki itu tidak bersalah.

Tapi semua itu tidak akan terjadi lagi setelah ini. Selva sudah bertekad. Ia akan bersikap sebaik mungkin kepada Forst.

Sekali lagi senyum terkembang di bibir Selva saat sosok Forst terlintas di benaknya. Tapi sayangnya senyuman kali ini sirna begitu saja. Seiring dengan langkah kakinya yang terhenti paksa di sudut koridor.

Taman istana terlihat begitu jelas dari tempat Selva berdiri. Dan ia bisa melihat dengan jelas pasangan yang tengah duduk berpelukan di kursi panjang. Sementara anak-anak kecil dengan rambut berwarna cerah tampak ikut senang melihat pasangan itu.

“Tenang saja. Aku akan berjuang melindungi kalian. Apapun yang terjadi.”

Tiba-tiba telinga lancip Selva mendengar sang lelaki berkata. Sayap transparannya terkulai lemas begitu saja saat ia mengenali itu sebagai suara Forst. Dan entah mengapa itu terdengar seperti janji sehidup semati bagi Selva.

Selva menelan ludahnya yang terasa pahit. Lalu tangannya menyentuh dada kirinya yang tiba-tiba seperti disengat. Keningnya mengernyit. Perasaan asing itu menyergapnya sekali lagi.

Perasaan itu mengalir begitu saja, terasa mengapung di atas hatinya.. Tanpa bisa dideskripsikan. Tapi yang jelas, dadanya terasa sakit dan sesak. Setiap nafas menjadi terasa begitu berat. Selva memeluk erat dirinya sendiri dengan kedua tangannya dan secara langsung bersandar pada dinding koridor.

Selva ingat pernah merasakan ini sebelumnya. Malam hari. Di tepi hutan. Saat itu ia melihat seorang gadis manusia mengecup lembut pipi Forst.

 

 Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D