Senin, 27 April 2015

Catch Me If You Can Part 1



Victoria berjalan sedikit berjinjit keluar dari kamar mandi pribadinya yang terhubung dengan kamar tidurnya. Beberapa air menetes ke lantai dari ujung rambutnya. Seperti hujan yang mengguyur deras di luar sana. Cepat-cepat ia menyambar handuk untuk membungkus rambutnya. Sementara bibirnya yang yang penuh merekah itu bersiul dengan riang.


Dinding kamar Victoria dicat warna merah muda yang lembut. Perabot di dalamnya begitu menunjukkan bahwa penghuni kamar itu adalah seorang gadis. Tempat tidurnya berbalut seprai dengan motif polkadot. Sepasang nakas lengkap dengan lampu tidur diletakkan di kedua sisi tempat tidurnya. Tirai panjang menjuntai menutupi jendela kamarnya, selalu diganti setiap seminggu sekali.


Bukan masalah jika Victoria mendekorasi kamarnya sendiri sesuai keinginannya. Ia tinggal sendirian di kota besar ini. Sejak kuliah, Victoria memang sudah terbiasa hidup mandiri. Setelah lulus, ia langsung diterima bekerja pada sebuah perusahaan ternama. Dan dengan hasil jerih payahnya itu, ia bisa pindah dari kamar indekosnya yang sempit untuk menyewa sebuah rumah yang dekat dengan kantornya.


Rumah itu sebenarnya cukup sederhana. Dinding luarnya hanya dicat dengan warna konservatif yaitu putih. Tidak akan ada yang menyangka bahwa kamar tidur rumah ini didekorasi seperti kamar putri kerajaan. Victoria memanfaatkan pekarangannya yang sempit untuk menanam beberapa jenis bunga. Dan pada waktunya mekar, pekarangannya akan tampak begitu cantik.


Sebagai seorang gadis yang memiliki karier cemerlang, bukan berarti menghambat Victoria untuk mempertahankan kemolekan penampilannya. Pola makan sehari-harinya selalu diperhatikan. Jangan sampai ada lemak tidak diinginkan yang terdampar di sudut tubuh semampainya. Ia juga rutin mengunjungi salon dengan jadwal berbeda untuk perawatan yang berbeda pula. Bahkan baru-baru ini mewarnai rambut panjangnya.


Victoria duduk di hadapan meja riasnya yang penuh dengan bedak, lipstik, dan alat rias dari merk ternama yang berkualitas. Secara saksama, ia memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Begitu merasa riasannya sudah simetris sempurna, ia melepas handuk yang membungkus rambutnya. Perlahan, Victoria mengusap-usap rambut kusutnya dengan handuk. Lalu ia menyisir rambutnya sebelum akhirnya meniupkan udara panas dari ujung hair-dryer-nya.


Banyak rekan kerja yang menentang warna rambut yang dipilih Victoria. Padahal menurut dirinya, warna pirang adalah warna rambut yang cantik untuk seorang gadis. Lagipula, pihak perusahaannya tidak melarang pekerjanya untuk mewarnai rambut mereka dengan warna tertentu. Sehingga Victoria tetap mempertahankan warna rambutnya.


Semua kekhawatiran rekan kerjanya itu bukan tidak beralasan. Akhir-akhir ini, memang sedang ramai diberitakan mengenai pembunuhan berantai yang menyerang gadis dengan rambut dicat pirang. Tapi Victoria tidak peduli. Sejak dulu, ia selalu merasa mampu menjaga dirinya sendiri. Ia juga tidak pernah lalai dengan keamanan rumah kecilnya. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan?


Lagi pula, beberapa hari terakhir ini Victoria baru saja berkenalan dengan seorang lelaki yang membuatnya berbunga-bunga. Walaupun tidak setampan model idola Victoria yaitu Max Dawson,  tapi lelaki itu memiliki wajah yang tampan. Dan selain tubuhnya yang gagah, pekerjaan lelaki itu juga membuat Victoria nyaman dan merasa aman.


Victoria pertama kali berkenalan dengan lelaki itu sekitar seminggu yang lalu. Mereka sering bertemu saat jam makan siang di kafetaria yang dekat dengan tempat Victoria bekerja. Hanya melalui obrolan-obrolan singkat saat makan siang itu, entah mengapa ia merasa bahwa lelaki itu orang yang menyenangkan. Padahal mereka bahkan belum bertukar kontak sama sekali. Dan kencan malam ini juga diputuskan saat mereka bertemu kemarin siang.


Lelaki itu tidak akan datang menjemput Victoria di rumahnya. Sebuah restoran Prancis yang ada di pusat kota, menjadi tempat janjian mereka berdua malam ini. Dan Victoria merasa tidak sabar untuk segera bertemu lelaki itu. Ia cukup berharap bisa menjalin hubungan yang lebih dengan lelaki itu.


Tepat pukul enam malam, Victoria sudah siap dengan penampilannya yang sempurna. Ia memilih sackdress polos berwarna merah muda untuk kencan pertamanya kali ini. Stiletto berwarna senada dengan bajunya, membungkus cantik kaki jenjangnya. Sementara rambutnya dibiarkan tergerai sehalus satin membingkai wajahnya yang cantik.


Victoria baru saja hendak menggenggam handphone-nya untuk memesan taksi tapi tiba-tiba saja ia tersentak. Punggungnya menegak saat mendengar bel rumahnya berdering sumbang. Ia melirik jam tangannya lalu mengernyitkan kening. Siapa yang bertamu dalam keadaan hujan seperti ini? Untuk menjawab keheranannya, ia berjalan perlahan keluar dari kamarnya. Sebelum membuka pintu utama, terlebih dulu ia memeriksa penampilannya pada cermin besar yang tergantung di samping pintu.


Begitu pintu terbuka, mata Victoria langsung terbelalak. Ia mengatupkan bibirnya yang nyaris berteriak. Apakah ini mimpi? Bagaimana mungkin lelaki itu ada di sini... di rumahnya? Sementara ia merasa tidak pernah memberitahukan alamat rumahnya kepada lelaki ini.


“Kenapa kau ada di sini?” tanya Victoria sedikit melengking. Sedetik yang lalu ia nyaris memekik dengan riang melihat lelaki di hadapannya. “Bukankah kita akan bertemu di restoran Prancis pukul tujuh malam?”


Lelaki itu hanya bergeming. Lalu perlahan masuk tanpa diminta. Victoria masih merasa bingung, jadi ia membiarkan saja lelaki itu memasuki rumahnya. Lagi pula jika lelaki ini memang tipikal yang suka memberikan kejutan, maka itu menjadi nilai tambah di mata Victoria.


“Kenapa kau mengenakan jas hujan plastik seperti itu?” tanya Victoria heran. Biasanya lelaki itu datang mengendarai mobil pribadinya untuk makan di restoran. Apa mungkin mobilnya sedang di bengkel atau—


Benak Victoria yang dipenuhi segala dugaan, mendadak kosong seketika. Lelaki itu tiba-tiba saja mengecup bibirnya dengan lembut. Perlahan, ciuman lelaki itu semakin intens dan dalam. Sehingga Victoria mulai terbuai dengan ciuman pertama mereka.


“Aku suka warna rambutmu,” bisik lelaki itu di tengah ciuman mereka. Dan Victoria tersenyum bahagia mendengarnya. Selama ini, lelaki itu memang selalu memuji warna pilihannya itu. Sepertinya, Victoria tidak salah jika memilih lelaki ini sebagai pendamping—


Sial. Victoria terkejut dan nyaris berteriak. Tapi mulutnya terbungkam ciuman lelakinya. Ia merasakan sengatan menyakitkan yang menusuk dadanya. Gadis itu meronta untuk melepaskan diri. Dan begitu pelukan brengsek itu melonggar, ia mendorong lelaki itu dengan tenaga terakhirnya.


Kepala Victoria terasa berputar-putar. Dengan pandangan yang mengabur karena air mata, ia bisa melihat lelaki itu menyeringai kepadanya. Perasaan muak memenuhi dadanya hingga membuat ia ingin muntah. Begitu kepalanya berputar ke arah cermin di samping pintu, ia melihat sackdress merah mudanya berubah warna menjadi merah menyala.


Darah menetes ke lantai seolah menyambut Victoria yang kemudian berbaring di sana. Air mata menitik di sudut mata gadis itu saat kegelapan merenggut penuh kesadarannya. Ia ditinggalkan terbaring  dalam genangan darahnya sendiri.



Ternyata kencan pertamanya harus berakhir sebelum sempat dimulai....


***


“Semoga saja terjadi sesuatu,” gumam Anna sambil menghempaskan pantatnya ke sofa untuk satu orang itu.


Liza —sahabat baik sekligus rekan kerjanya— memandangnya tidak setuju. “Berhati-hatilah dengan keinginanmu, Anna. Hasratmu akan sensasi menegangkan benar-benar membuatku khawatir.”


“Apa kau tidak bosan, Liza?” Anna menyandarkan tengkuknya pada sandaran sofa kelabu itu. Matanya terpejam dan masa lalu terbayang di benaknya. “Sejak lulus kuliah, kita diterima bekerja begitu saja sebagai detektif di sini. Itu semua karena prestasi kita dalam memecahkan kasus selama ini. Semua itu terasa terlalu luar biasa bagiku.”


“Benar.” Liza menyetujui kata-kata Anna. Ia membetulkan letak kacamatanya yang merosot dengan jari tengahnya. “Lalu apa yang kauinginkan sekarang? Bukankah menyenangkan hidup kita jadi begitu mudah?”


“Ya, benar. Hidup kita benar-benar mudah.” Anna kembali duduk tegak. “Tapi coba lihat akhir-akhir ini. Kasus yang datang ke kantor ini hanya pencarian kucing hilang, menguntit suami yang diduga selingkuh, dan beberapa kasus kecil pencurian.”


“Bukankah itu baik? Apa kau tidak suka jika dunia dalam keadaan damai dan tentram?”


“Bukan aku tidak suka, Liza. Hanya saja....” Anna mengusap tengkuknya yang terbuka karena rambutnya digelung di atas kepalanya. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Bukankah keadaan selalu tenang sebelum badai?”


Liza mengangkat satu alisnya. “Jadi, kau mengharapkan ada seseorang yang mati demi memuaskan hasratmu akan sensasi ini? Oh! Jangan gila, Anna!”


“Jangan salah paham, Liza!” ucap Anna sambil mengangkat kedua tangannya setinggi bahu. “Bukan kematian yang aku inginkan. Mungkin seperti kasus pencurian berlian yang sangat sempurna atau penculikan seorang anak pejabat.”


“Aku tidak ingin semua itu terjadi.” Liza mengangkat bahunya pasrah. “Bukankah seharusnya sebisa mungkin kita mencegah hal buruk itu terjadi? Dari pada harus memecahkan teka-teki di balik suatu kasus. Bukan begitu, Anna?”


“Kau benar, Liza,” gumam Anna. “Tapi kita bekerja sebagai detektif bukan superhero.”


“Coba kau ambil jatah cutimu dan pergilah berlibur,” usul Liza. “Semoga setelah itu pikiranmu akan kembali jernih.”


“Sebagai detektif kita harus membuat sel abu-abu otak kita terus bekerja.”


“Kata-kata yang bagus, Anna. Tapi sayang tidak orisinil.” Liza menyahut dengan sinis.


“Lagi pula dunia ini dipenuhi dengan kebencian,” lanjut Anna tanpa menghiraukan usulan Liza. “Akan ada saja manusia yang merasa dengki dan loba akan harta yang tidak dimilikinya. Dan itu bisa saja  memicu tindakan kriminal apapun. Dan kita bertugas memecahkan teka-teki dan menemukan bukti untuk menyeret si pelaku ke penjara dan mendapat hukuman yang setimpal.”


“Tapi dunia ini akan lebih berbahaya jika dipenuhi orang yang haus akan sensasi kotor seperti—“


Kata-kata Liza mendadak terhenti saat seseorang membuka pintu ruang kerja mereka. Diam-diam ia merapikan rok dan cara duduknya lalu berdeham singkat. Ia juga cepat-cepat membenahi posisi kacamatanya yang kembali merosot.


“Apa aku mengganggu waktu kalian, Ladies?” tanya lelaki itu sambil tersenyum jenaka. Kepalanya melongok dari balik daun pintu.


“Tentu saja tidak,” sahut Anna. “Ada apa, Rick?”


Lelaki yang dipanggil Rick itu melangkah masuk lalu duduk di sofa panjang kelabu di dekat sofa tempat duduk Anna. Ia meletakkan setumpuk kertas ke atas meja. Kertas-kertas laporan yang sangat akrab dengan perkerjaan mereka sehari-hari.


Liza bangkit dari kursi di balik meja kerjanya. Ia melangkah perlahan lalu duduk seanggun mungkin di samping Rick. Matanya ikut memperhatikan tumpukan kertas di atas meja.


“Ada kasus,” jawab Rick sambil membeberkan tumpukan kertasnya. “Seorang gadis ditemukan meninggal berlumuran darah di rumahnya pukul lima tiga puluh pagi ini.”


Mata Anna melebar. Punggungnya menegak seperti kucing yang dihadapkan dengan semangkuk penuh ikan segar. Dan ia tersenyum malu-malu saat menyadari Liza memperhatikannya sambil memelotot penuh kritik.


“Sayang sekali kau harus bertemu dengan kasus pagi ini, Rick. Padahal kau baru saja pulang dari liburanmu,” ucap Anna berusaha mengalihkan perhatiaan Liza.


Rick terkekeh. “Tidak masalah. Bukankah itu memang sudah menjadi tugas kita?”


“Ya. Kau benar, Rick.” Anna menimpali kata-kata Rick tapi matanya berkilat geli melihat Liza yang masih memelototinya.


“Lalu kapan kita bisa segera ke TKP (Tempat Kejadian Perkara)?” tanya Liza.


Rick mengalihkan perhatiannya pada Liza. “Segera setelah ini, Liza.”


Liza menganggukkan kepala lantas mengalihkan perhatian dari sosok Rick. Lelaki itu tetap terlihat menawan hari ini. Padahal ia hanya mengenakan kemeja putih berlengan pendek yang dimasukkan rapi ke dalam celana jeans berwarna hitamnya.


“Tetangga sebelah gadis itu yang menemukannya pertama kali,” lanjut Rick. “Dan yang menjadi pertanyaan adalah posisi pintu rumah gadis itu yang terkunci dari dalam. Pintu itu baru lepas dari kosennya setelah warga sekitar mendobrak masuk.”


Nah! Misteri dan teka-teki.


Mata Anna kembali melebar. Iris matanya yang hitam berkilat penuh petualangan. Inilah yang ia tunggu selama ini. Hasrat yang sekian lama dipendamnya hingga membuat darahnya mendidih.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D