Victoria berjalan sedikit berjinjit keluar dari kamar mandi pribadinya yang
terhubung dengan kamar tidurnya. Beberapa air menetes ke lantai dari ujung
rambutnya. Seperti hujan yang mengguyur deras di luar sana. Cepat-cepat ia
menyambar handuk untuk membungkus rambutnya. Sementara bibirnya yang yang penuh
merekah itu bersiul dengan riang.
Dinding kamar Victoria dicat warna merah muda yang lembut. Perabot di
dalamnya begitu menunjukkan bahwa penghuni kamar itu adalah seorang gadis.
Tempat tidurnya berbalut seprai dengan motif polkadot. Sepasang nakas lengkap
dengan lampu tidur diletakkan di kedua sisi tempat tidurnya. Tirai panjang
menjuntai menutupi jendela kamarnya, selalu diganti setiap seminggu sekali.
Bukan masalah jika Victoria mendekorasi kamarnya sendiri sesuai
keinginannya. Ia tinggal sendirian di kota besar ini. Sejak kuliah, Victoria
memang sudah terbiasa hidup mandiri. Setelah lulus, ia langsung diterima
bekerja pada sebuah perusahaan ternama. Dan dengan hasil jerih payahnya itu, ia
bisa pindah dari kamar indekosnya yang sempit untuk menyewa sebuah rumah yang
dekat dengan kantornya.
Rumah itu sebenarnya cukup sederhana. Dinding luarnya hanya dicat dengan
warna konservatif yaitu putih. Tidak akan ada yang menyangka bahwa kamar tidur
rumah ini didekorasi seperti kamar putri kerajaan. Victoria memanfaatkan
pekarangannya yang sempit untuk menanam beberapa jenis bunga. Dan pada waktunya
mekar, pekarangannya akan tampak begitu cantik.
Sebagai seorang gadis yang memiliki karier cemerlang, bukan berarti
menghambat Victoria untuk mempertahankan kemolekan penampilannya. Pola makan
sehari-harinya selalu diperhatikan. Jangan sampai ada lemak tidak diinginkan
yang terdampar di sudut tubuh semampainya. Ia juga rutin mengunjungi salon
dengan jadwal berbeda untuk perawatan yang berbeda pula. Bahkan baru-baru ini
mewarnai rambut panjangnya.
Victoria duduk di hadapan meja riasnya yang penuh dengan bedak, lipstik,
dan alat rias dari merk ternama yang berkualitas. Secara saksama, ia
memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Begitu merasa riasannya sudah
simetris sempurna, ia melepas handuk yang membungkus rambutnya. Perlahan, Victoria
mengusap-usap rambut kusutnya dengan handuk. Lalu ia menyisir rambutnya sebelum
akhirnya meniupkan udara panas dari ujung hair-dryer-nya.
Banyak rekan kerja yang menentang warna rambut yang dipilih Victoria.
Padahal menurut dirinya, warna pirang adalah warna rambut yang cantik untuk
seorang gadis. Lagipula, pihak perusahaannya tidak melarang pekerjanya untuk
mewarnai rambut mereka dengan warna tertentu. Sehingga Victoria tetap
mempertahankan warna rambutnya.
Semua kekhawatiran rekan kerjanya itu bukan tidak beralasan. Akhir-akhir
ini, memang sedang ramai diberitakan mengenai pembunuhan berantai yang
menyerang gadis dengan rambut dicat pirang. Tapi Victoria tidak peduli. Sejak
dulu, ia selalu merasa mampu menjaga dirinya sendiri. Ia juga tidak pernah
lalai dengan keamanan rumah kecilnya. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan?
Lagi pula, beberapa hari terakhir ini Victoria baru saja berkenalan dengan
seorang lelaki yang membuatnya berbunga-bunga. Walaupun tidak setampan model
idola Victoria yaitu Max Dawson, tapi
lelaki itu memiliki wajah yang tampan. Dan selain tubuhnya yang gagah,
pekerjaan lelaki itu juga membuat Victoria nyaman dan merasa aman.
Victoria pertama kali berkenalan dengan lelaki itu sekitar seminggu yang
lalu. Mereka sering bertemu saat jam makan siang di kafetaria yang dekat dengan
tempat Victoria bekerja. Hanya melalui obrolan-obrolan singkat saat makan siang
itu, entah mengapa ia merasa bahwa lelaki itu orang yang menyenangkan. Padahal
mereka bahkan belum bertukar kontak sama sekali. Dan kencan malam ini juga
diputuskan saat mereka bertemu kemarin siang.
Lelaki itu tidak akan datang menjemput Victoria di rumahnya. Sebuah
restoran Prancis yang ada di pusat kota, menjadi tempat janjian mereka berdua
malam ini. Dan Victoria merasa tidak sabar untuk segera bertemu lelaki itu. Ia
cukup berharap bisa menjalin hubungan yang lebih dengan lelaki itu.
Tepat pukul enam malam, Victoria sudah siap dengan penampilannya yang
sempurna. Ia memilih sackdress polos berwarna merah muda untuk kencan
pertamanya kali ini. Stiletto berwarna senada dengan bajunya, membungkus cantik
kaki jenjangnya. Sementara rambutnya dibiarkan tergerai sehalus satin
membingkai wajahnya yang cantik.
Victoria baru saja hendak menggenggam handphone-nya
untuk memesan taksi tapi tiba-tiba saja ia tersentak. Punggungnya menegak saat
mendengar bel rumahnya berdering sumbang. Ia melirik jam tangannya lalu
mengernyitkan kening. Siapa yang bertamu dalam keadaan hujan seperti ini? Untuk
menjawab keheranannya, ia berjalan perlahan keluar dari kamarnya. Sebelum
membuka pintu utama, terlebih dulu ia memeriksa penampilannya pada cermin besar
yang tergantung di samping pintu.
Begitu pintu terbuka, mata Victoria langsung terbelalak. Ia mengatupkan
bibirnya yang nyaris berteriak. Apakah ini mimpi? Bagaimana mungkin lelaki itu
ada di sini... di rumahnya? Sementara ia merasa tidak pernah memberitahukan
alamat rumahnya kepada lelaki ini.
“Kenapa kau ada di sini?” tanya Victoria sedikit melengking. Sedetik yang
lalu ia nyaris memekik dengan riang melihat lelaki di hadapannya. “Bukankah
kita akan bertemu di restoran Prancis pukul tujuh malam?”
Lelaki itu hanya bergeming. Lalu perlahan masuk tanpa diminta. Victoria
masih merasa bingung, jadi ia membiarkan saja lelaki itu memasuki rumahnya.
Lagi pula jika lelaki ini memang tipikal yang suka memberikan kejutan, maka itu
menjadi nilai tambah di mata Victoria.
“Kenapa kau mengenakan jas hujan plastik seperti itu?” tanya Victoria
heran. Biasanya lelaki itu datang mengendarai mobil pribadinya untuk makan di
restoran. Apa mungkin mobilnya sedang di bengkel atau—
Benak Victoria yang dipenuhi segala dugaan, mendadak kosong seketika.
Lelaki itu tiba-tiba saja mengecup bibirnya dengan lembut. Perlahan, ciuman
lelaki itu semakin intens dan dalam. Sehingga Victoria mulai terbuai dengan
ciuman pertama mereka.
“Aku suka warna rambutmu,” bisik lelaki itu di tengah ciuman mereka. Dan Victoria
tersenyum bahagia mendengarnya. Selama ini, lelaki itu memang selalu memuji
warna pilihannya itu. Sepertinya, Victoria tidak salah jika memilih lelaki ini
sebagai pendamping—
Sial. Victoria terkejut dan nyaris berteriak. Tapi mulutnya terbungkam
ciuman lelakinya. Ia merasakan sengatan menyakitkan yang menusuk dadanya. Gadis
itu meronta untuk melepaskan diri. Dan begitu pelukan brengsek itu melonggar,
ia mendorong lelaki itu dengan tenaga terakhirnya.
Kepala Victoria terasa berputar-putar. Dengan pandangan yang mengabur
karena air mata, ia bisa melihat lelaki itu menyeringai kepadanya. Perasaan
muak memenuhi dadanya hingga membuat ia ingin muntah. Begitu kepalanya berputar
ke arah cermin di samping pintu, ia melihat sackdress merah mudanya berubah
warna menjadi merah menyala.
Darah menetes ke lantai seolah menyambut Victoria yang kemudian berbaring
di sana. Air mata menitik di sudut mata gadis itu saat kegelapan merenggut
penuh kesadarannya. Ia ditinggalkan terbaring dalam genangan darahnya sendiri.
Ternyata kencan pertamanya harus berakhir sebelum sempat dimulai....
***
“Semoga saja terjadi sesuatu,” gumam Anna sambil menghempaskan pantatnya ke
sofa untuk satu orang itu.
Liza —sahabat baik sekligus rekan kerjanya— memandangnya tidak setuju.
“Berhati-hatilah dengan keinginanmu, Anna. Hasratmu akan sensasi menegangkan
benar-benar membuatku khawatir.”
“Apa kau tidak bosan, Liza?” Anna menyandarkan tengkuknya pada sandaran
sofa kelabu itu. Matanya terpejam dan masa lalu terbayang di benaknya. “Sejak
lulus kuliah, kita diterima bekerja begitu saja sebagai detektif di sini. Itu
semua karena prestasi kita dalam memecahkan kasus selama ini. Semua itu terasa
terlalu luar biasa bagiku.”
“Benar.” Liza menyetujui kata-kata Anna. Ia membetulkan letak kacamatanya
yang merosot dengan jari tengahnya. “Lalu apa yang kauinginkan sekarang?
Bukankah menyenangkan hidup kita jadi begitu mudah?”
“Ya, benar. Hidup kita benar-benar mudah.” Anna kembali duduk tegak. “Tapi
coba lihat akhir-akhir ini. Kasus yang datang ke kantor ini hanya pencarian
kucing hilang, menguntit suami yang diduga selingkuh, dan beberapa kasus kecil
pencurian.”
“Bukankah itu baik? Apa kau tidak suka jika dunia dalam keadaan damai dan
tentram?”
“Bukan aku tidak suka, Liza. Hanya saja....” Anna mengusap tengkuknya yang
terbuka karena rambutnya digelung di atas kepalanya. Ia mencoba menemukan
kata-kata yang tepat. “Bukankah keadaan selalu tenang sebelum badai?”
Liza mengangkat satu alisnya. “Jadi, kau mengharapkan ada seseorang yang
mati demi memuaskan hasratmu akan sensasi ini? Oh! Jangan gila, Anna!”
“Jangan salah paham, Liza!” ucap Anna sambil mengangkat kedua tangannya
setinggi bahu. “Bukan kematian yang aku inginkan. Mungkin seperti kasus
pencurian berlian yang sangat sempurna atau penculikan seorang anak pejabat.”
“Aku tidak ingin semua itu terjadi.” Liza mengangkat bahunya pasrah.
“Bukankah seharusnya sebisa mungkin kita mencegah hal buruk itu terjadi? Dari
pada harus memecahkan teka-teki di balik suatu kasus. Bukan begitu, Anna?”
“Kau benar, Liza,” gumam Anna. “Tapi kita bekerja sebagai detektif bukan superhero.”
“Coba kau ambil jatah cutimu dan pergilah berlibur,” usul Liza. “Semoga
setelah itu pikiranmu akan kembali jernih.”
“Sebagai detektif kita harus membuat sel abu-abu otak kita terus bekerja.”
“Kata-kata yang bagus, Anna. Tapi sayang tidak orisinil.” Liza menyahut
dengan sinis.
“Lagi pula dunia ini dipenuhi dengan kebencian,” lanjut Anna tanpa
menghiraukan usulan Liza. “Akan ada saja manusia yang merasa dengki dan loba
akan harta yang tidak dimilikinya. Dan itu bisa saja memicu tindakan kriminal apapun. Dan
kita bertugas memecahkan teka-teki dan menemukan bukti untuk menyeret si pelaku
ke penjara dan mendapat hukuman yang setimpal.”
“Tapi dunia ini akan lebih berbahaya jika dipenuhi orang yang haus akan
sensasi kotor seperti—“
Kata-kata Liza mendadak terhenti saat seseorang membuka pintu ruang kerja
mereka. Diam-diam ia merapikan rok dan cara duduknya lalu berdeham singkat. Ia
juga cepat-cepat membenahi posisi kacamatanya yang kembali merosot.
“Apa aku mengganggu waktu kalian, Ladies?” tanya
lelaki itu sambil tersenyum jenaka. Kepalanya melongok dari balik daun pintu.
“Tentu saja tidak,” sahut Anna. “Ada apa, Rick?”
Lelaki yang dipanggil Rick itu melangkah masuk lalu duduk di sofa panjang
kelabu di dekat sofa tempat duduk Anna. Ia meletakkan setumpuk kertas ke atas
meja. Kertas-kertas laporan yang sangat akrab dengan perkerjaan mereka
sehari-hari.
Liza bangkit dari kursi di balik meja kerjanya. Ia melangkah perlahan lalu
duduk seanggun mungkin di samping Rick. Matanya ikut memperhatikan tumpukan
kertas di atas meja.
“Ada kasus,” jawab Rick sambil membeberkan tumpukan kertasnya. “Seorang
gadis ditemukan meninggal berlumuran darah di rumahnya pukul lima tiga puluh
pagi ini.”
Mata Anna melebar. Punggungnya menegak seperti kucing yang dihadapkan
dengan semangkuk penuh ikan segar. Dan ia tersenyum malu-malu saat menyadari Liza
memperhatikannya sambil memelotot penuh kritik.
“Sayang sekali kau harus bertemu dengan kasus pagi ini, Rick. Padahal kau
baru saja pulang dari liburanmu,” ucap Anna berusaha mengalihkan perhatiaan Liza.
Rick terkekeh. “Tidak masalah. Bukankah itu memang sudah menjadi tugas
kita?”
“Ya. Kau benar, Rick.” Anna menimpali kata-kata Rick tapi matanya berkilat
geli melihat Liza yang masih memelototinya.
“Lalu kapan kita bisa segera ke TKP (Tempat Kejadian Perkara)?” tanya Liza.
Rick mengalihkan perhatiannya pada Liza. “Segera setelah ini, Liza.”
Liza menganggukkan kepala lantas mengalihkan perhatian dari sosok Rick.
Lelaki itu tetap terlihat menawan hari ini. Padahal ia hanya mengenakan kemeja putih
berlengan pendek yang dimasukkan rapi ke dalam celana jeans berwarna hitamnya.
“Tetangga sebelah gadis itu yang menemukannya pertama kali,” lanjut Rick.
“Dan yang menjadi pertanyaan adalah posisi pintu rumah gadis itu yang terkunci
dari dalam. Pintu itu baru lepas dari kosennya setelah warga sekitar mendobrak
masuk.”
Nah! Misteri dan teka-teki.
Mata Anna kembali melebar. Iris matanya yang hitam berkilat penuh
petualangan. Inilah yang ia tunggu selama ini. Hasrat yang sekian lama
dipendamnya hingga membuat darahnya mendidih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D