Forst memperhatikan beberapa poster yang
ditempel pada dinding koridor. Di sana tertulis berbagai macam bagian dari
tumbuhan. Seperti perbedaan tumbuhan monokotil dan dikotil, juga jenis akar
tunggang dan akar serabut. Ia membaca semua semua penjelasan itu dengan
saksama. Demi lebih mengenal teman-temannya.
Sebelum kemari, Karen juga mengajak Forst
berjalan-jalan di daerah sekitar laboratorium. Di sana terdapat berbagai macam tumbuhan
yang dibudidayakan di sini. Bahkan saat Forst bertanya pada tumbuhan-tumbuhan
itu, mereka bercerita bahwa perawat kebun selalu memperlakukan mereka dengan
sangat baik.
“Forst,” Karen bergumam dan membuyarkan
konsentrasi Forst. Lelaki itu menoleh dan menatapnya leakt-lekat hingga
membuatnya tersipu. “Ini jas lab untukmu.”
Forst terpana. Sebenarnya ruangan apa yang
baru dimasuki Karen tadi? Apakah ruangan itu selalu bisa mengubah penampilan
seorang gadis?
Mata Forst mengerjap beberapa kali. Penampilan
Karen benar-benar berbeda dari sebelumnya. Jas lab berwarna putih membalut
tubuhnya. Rambut ikalnya digelung rapi. Sebuah kacamata berbingkai hijau
bertengger di wajahnya. Entah mengapa setiap kali melihat Karen, Forst selalu
merasa bahwa gadis itu semakin... cantik.
Forst merasa pipinya merona. Kata-kata itu
terasa asing di lidah Forst. Kapan terakhir kali ia menganggap seorang gadis
cantik? Sepertinya sudah lama sekali. Biasanya ia lebih sering memuji
kecantikan bunga-bunga yang tengah mekar.
Tapi kali ini Forst memuji kecantikan
manusia. Apakah itu salah?
“Forst?” panggil Karen dan menarik Forst
dari lamunannya. Kening gadis itu mengernyit heran. “Apa kau baik-baik saja?”
Forst tergeragap. “Te-tentu saja aku
baik-baik saja.” Ia cepat-cepat meraih jas lab yang disodorkan Karen lalu
mengenakannya.
Tiba-tiba saja Karen secara impulsif
membantu Forst merapikan jas labnya. Gadis itu menepuk-nepuk bahu Forst,
mengusir debu yang menempel di sana. Dan membuat Forst tersipu sekali lagi.
Tidak cukup sampai di situ.
Forst menelan ludah saat Karen menggenggam
lembut tangannya. Gadis itu menariknya melintasi koridor. Ia hanya bisa
mengikuti langkah gadis itu dengan jantung berdebar-debar. Ini pertama kalinya
seorang gadis membuat Forst seperti ini.
“Ayo, aku akan memperkenalkanmu pada
Profesor!”
***
Profesor yang dimaksud oleh Karen ternyata
memiliki penampilan yang jauh berbeda dari bayangan Forst. Alih-alih botak dan
beruban, Profesor itu justru memiliki rambut hitam yang menjuntai sebatas
bahunya. Usianya mungkin sepuluh tahun lebih tua dari Forst. Lelaki itu bahkan
tampak lebih pantas menjadi model majalah daripada berkutat dengan penemuannya
di dalam laboratorium.
Saat Karen dan Forst memasuki
laboratorium, Profesor itu tampak sibuk dengan mikroskop di atas meja. Terlalu
fokus hingga tidak menyadari kedatangan mereka. Hingga Karen harus menepuk bahu
sang Profesor untuk mengalihkan atensinya.
Sesaat Profesor itu tampak terkejut, tapi
dengan cepat menguasai diri. Saat Karen memperkenalkan Forst padanya, Profesor
itu membenahi letak kacamatanya lalu menjabat tangan Forst dengan hangat. Bahkan
mengucapkan selamat datang sambil tersenyum ramah.
“Apa Anda tidak tidur lagi, Profesor?”
tanya Karen sambil memicingkan mata. Ia sangat hafal dengan kebiasaan
Profesornya ini.
Profesor itu tegeragap mendengar tuduhan
asistennya yang tanpa basa-basi itu. Sedetik kemudian, ia mengangguk rikuh. Laboratorium
ini sudah seperti rumah bagi dirinya.
“Bukankah aku sudah sering mengingatkan
tentang pentingnya istirahat, Profesor?” Mata Karen melotot tidak suka. Sejak dahulu
Profesornya ini memang keras kepala. “Bagaimana penemuan ini bisa berhasil jika
Anda tidak memperhatikan kesehatan? Bukankah Anda sendiri yang mengatakan bahwa
penemuan mutakhir tanpa kasih sayang sama dengan penghancuran?”
“Benar.” Profesor itu menunduk kaku. “Aku
hanya tidak ingin membuang waktu, Karen.”
“Sayang diri Anda sendiri, Profesor. Kita
tidak akan membuang waktu lagi.” Karen memiringkan kepalanya. Seulas senyum
sayang terukir di wajahnya. “Terlebih ada Forst yang akan ikut serta dalam penelitian
ini.”
Profesor itu mengangkat wajahnya,
menunjukkan matanya yang berbinar. “Benarkah yang dikatakan Karen itu, Forst?”
“T-tentu saja,” sahut Forst sedikit
tergeragap. Ia merasa bingung ditatap penuh harap seperti itu.
“Baiklah. Karena Forst sudah setuju,
bagaimana jika kita segera memulai berbagai percobaan untuk hari ini?”
***
“Eureka! Eureka! Eureka!”
Profesor itu bersorak senang setengah
melompat. Tangannya mengangkat labu ukur berisi cairan jingga itu tinggi-tinggi
di atas kepalanya. Seolah itu adalah mahkota yang akan membuatnya jadi raja.
Dan perasaan bahagia itu menular begitu
saja. Karen serta merta memeluk erat Forst yang ada di sampingnya. Tindakan
impulsif itu membuat Forst tergugu dan tersipu. Sekali lagi jantungnya berdebar
tidak menentu.
Hampir dua belas jam lamanya mereka
bertiga berkutat dengan segala macam percobaan di laboratorium. Forst juga
membantu dengan mencampurkan beberapa cairan dan serbuk yang dimilikinya.
Hingga akhirnya penelitian itu membuahkan hasil.
“Lebih baik cepat-cepat kita lihat khasiat
cairan ini terhadap tanaman,” ucap Profesor. Matanya tidak bisa lepas dari
cairan itu. Penemuan besarnya. “Karen, cepat ambilkan tanaman dari greenhouse.”
“Baik, Profesor,” sahut Karen cepat. Lalu
ia memacu langkahnya keluar ruangan.
Beberapa menit kemudian, Karen sudah
kembali dengan membawa sebuah pot tanaman di tangannya. Dengan sigap, Forst
mengambil alih pot tersebut lalu mengangkatnya ke atas meja.
Apa
yang akan kalian lakukan padaku?
Forst tersenyum lembut lalu menyapa ramah
tanaman berdaun lebat itu. “Kami akan memberimu semacam vitamin yang bisa
melindungimu dari serangan luar.”
Hei,
kau bisa mengerti kata-kataku?
“Hei, Forst. Apa kau mengerti bahasa
tanaman?”
Baik tanaman itu maupun Profesor, tampak
takjub dengan kemampuan Forst. Sementara Forst hanya tersenyum dan
menganggukkan kepal untuk menjawab kedua pertanyaan senada itu.
“Bagaimana jika kita mulai saja sekarang?”
tawar Profesor yang tampak tidak sabar.
“Silakan, Profesor. Ia juga sudah merasa
siap,” jawab Forst sambil melangkah mundur, memberikan ruang untuk Profesor.
Saat Profesor menggunakan pipet tetes
untuk memindahkan beberapa tetes cairan jingga itu, Forst berdoa dalam hait.
Semoga saja percobaan ini berhasil. Ia ingin semua tumbuhan di bumi bisa
terlindungi.
Tiga tetes cairan tampak mulai meresap ke
dalam akar tanaman tersebut. Tujuh detik berikutnya terasa begitu menegangkan
hingga akhirnya tubuh tanaman itu tampak bersinar jingga. Itu pertanda bahwa
cairan itu bekerja dengan sempurna.
Tapi sepertinya hanya Forst yang mampu
melihat sinar itu. Sontak ia terbelalak bahagia. Sementara Profesor dan Karen
malah mengernyitkan kening dengan bingung.
“Apakah itu berhasil?” gumam Karen
skeptis.
“Sepertinya berhasil,” sahut Forst dengan
pandangan berbinar.
“Maukah kau mencoba membuktikannya,
Forst?” tanya Profesor.
Forst menoleh dan mengernyitkan alisnya.
“Tapi... bagaimana caranya?”
“Patahkan salah satu tangkainya.”
“Apa?” Forst berseru dengan nada protes.
“Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Bukankah itu... akan menyakitkan?”
“Kau harus melakukannya, Forst,” rayu
Karen dengan lembut. “Bukankah kau ingin melindungi teman-temanmu?”
Benar juga. Forst menyerah begitu saja.
Karen benar. Ia harus berani melakukan hal ini.
“Kau pasti bisa, Forst.” Karen kembali
memberi semangat.
Forst mengangguk. Lalu perlahan ia
melangkah mendekat. Ia menatap penuh maaf ke arah tanaman itu.
“Apa yang kaurasakan, kawan?”
Entah
kenapa, aku merasa sekokoh pohon jati. Tanaman itu berujar lalu tersenyum.
“Benarkah itu?”
Tentu
saja. Coba patahkan salah satu tangkaiku agar kaupercaya.
“Baiklah.”
Forst menganggukkan kepalanya. Takut-takut
ia mengulurkan tangannya untuk mencengkram tangkai setebal tusuk gigi dan
tampak rapuh itu. Lalu ia memejamkan mata dan mencoba mematahkan begitu saja.
Tapi tidak ada yang terjadi.
Cepat
buka matamu. Lihatlah, aku tidak terluka sedikitpun.
Forst mendengar tanaman itu bersorak
riang, tapi ia tidak bisa percaya begitu saja. Ia membuka matanya, lalu mencoba
mematahkan tangkai itu sekali lagi. Dan benar saja tidak ada reaksi apa-apa.
Tangkai itu kini sekokoh paku baja.
Profesor, Forst, dan Karen saling melempar
tatapan tidak percaya. Mereka tidak menyangka bahwa percobaan kali ini berhasil
begitu saja. Kehadiran Forst benar-benar seperti keajaiban.
“Baiklah. Aku harus bergegas menulis
laporan penelitian ini sebelum pukul tujuh malam. Selagi masih segar di otak,”
ucap Profesor lalu bergerak lincah menulis di buku catatannya.
Sebelum
pukul tujuh? Kening Forst
mengernyit saat mendengar kata-kata itu. Matanya melirik perlahan ke arah jam
tangannya yang menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh tujuh menit.
Benar juga. Forst tiba-tiba teringat bahwa
ia harus kembali ke Derion pada pukul tujuh!
***
Bintang-bintang bertaburan di langit
malam. Tampak berkelap-kelip ceria ke arah Forst dan Karen yang tengah berjalan
beriringan. Dilihat dari manapun, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang
tengah kencan.
Profesor itu memberi Forst beberapa botol
cairan penemuan bersama mereka. Dan Forst segera menggunakan cairan itu untuk
melindungi teman-temannya. Sehingga ia bisa pergi dengan perasaan tenang.
“Aku tidak percaya kau akan pergi, Forst.
Bukankah kita baru saja melewati waktu yang menyenangkan bersama?” gumam Karen
memecah keheningan di antara mereka yang menurutnya sudah terlalu lama.
“Maafkan aku. Tapi janji ini sudah kubuat
sebelum kita bertemu,” jawab Forst dengan suara perlahan. Ia belum bisa
menceritakan tentang Derion kepada Karen. Tidak secepat ini. “Aku harap kita
bisa bertemu lagi... secepatnya.”
“Aku akan menunggu,” ujar Karen. “Dan aku
tidak keberatan jika kau ingin menginap di flatku. Bukankah tidur di hutan akan
membuatmu kedinginan?” tambah gadis itu lantas tertawa jenaka.
“Tidak juga. Aku sudah terbiasa.” Forst
ikut terkekeh. “Lagipula ada teman-teman yang menjagaku.”
“Benar juga.” Karen kembali terkekeh
pelan. “Sampaikan salamku untuk teman-temanmu.”
“Tentu saja akan aku sampaikan.”
“Ini ada hadiah dari Profesor untukmu.”
Karen menyerahkan sebuah kantung kepada Forst. “Orang itu sudah melakukan
berbagai penelitian selama dua belas tahun terakhir, dan itu adalah salah satu
penemuannya yang lumayan berhasil. Tapi sayangnya belum ada yang menghargai
penemuan ini. Tempelkan saja di punggungmu, dan kau bisa terbang selama
beberapa menit.”
“Benarkah?” Mata Frost berkilat senang.
“Sampaikan terima kasihku untuk Profesor, ya.”
Waktu terasa bergerak cepat. Tanpa mereka
sadari, langkah mereka sudah terhenti di dekat hutan tempat pertama kali mereka
bertemu tadi pagi. Sebentar lagi waktu perpisahan sudah dekat.
“Mungkin dalam waktu dekat, Profesor akan
mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan penemuan besar ini.” Karen
mengigit bibirnya sejenak lalu kembali menatap Forst. “Aku harap kau bersedia
hadir. Bagaimanapun ini adalah penemuan kita bertiga.”
“Akan aku usahakan,” jawab Forst lantas
tersenyum.
“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa,
Forst,” Karen berkata lalu berjinjit dan mengecup cepat pipi kanan Forst.
Tanpa sempat saling bertatapan mata, gadis
itu sudah pergi menjauh. Sementara Forst terpaku di tempatnya berdiri dengan
wajah terbakar.
“Kau. Terlambat. Forst.”
Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan
perasaan Forst yang tengah melambung. Ia segera memutar tubuhnya untuk mencari
pemilik suara. Tapi tidak ada di mana-mana. Bahkan pohon-pohon di hutan enggan
memberi tahunya. Mereka malah menyoraki Forst dengan mengungkit kecupan singkat
di pipinya tadi.
Forst tercengang. Ia melihat sesuatu
sebesar telunjuk melayang-layang di hadapan wajahnya. Sesuatu itu seperti
capung atau kupu-kupu yang diliputi cahaya putih-kehijauan.
Forst berkedip-kedip dan mulai menajamkan
penglihatannya. Di tengah cahaya yang berpendar, tampaklah sosok yang
dikenalnya. Kemilau rambut hijau panjang tergerai, disertai gaun hijau dan
tubuh semampai. Matanya bersinar galak, tangan disilangkan di depan dadanya, dan
sepasang sayap transparan berkibar di punggungnya. Sosok seorang gadis cantik itu
tampak mengapung di udara.
Perlahan bibir gadis itu bergerak lalu
bersuara dengan merdu tapi menusuk telinga Forst. “Bukankah sudah kukatakan
jangan terlambat, Forst? Pukul tujuh malam. Bukan pukul tujuh lebih lima menit.
Apakah jam di dunia manusia bergerak lebih lambat, huh?”
Suara ketus itu. Bukankah itu...
“Selva?” Mata Forst terbelalak tidak
percaya. Ia bertanya tanpa peduli pada gerutuan Selva. “Kenapa ukuranmu menjadi
sekecil ini?”
“Seperti inilah wujud kami jika menyebrang
ke dunia manusia,” jawab Selva dengan nada ketus. Bahkan lebih ketus daripada
sebelumnya. Dan walaupun tubuhnya kecil, tapi suara gadis itu tetap
menggelegar.
Selva mendengus kesal saat melihat Forst
yang masih menatapnya takjub. Ia tidak boleh membuang waktu seperti ini.
Secepatnya mereka harus kembali ke Derion.
“Sampai kapan kau akan menatapku seperti
itu? Kita harus bergegas,” Selva meliuk cepat di udara dan terbang ke dalam
hutan yang gelap.
Forst dengan cepat mengikuti gadis itu. Ia
tidak ingin disebut lamban lagi oleh gadis ini. Lagipula energinya terasa penuh
sekarang.
“Apa yang akan kita lakukan malam ini,
Selva?” tanya Forst sambil berlari.
“Berlatih pedang.”
***
Tubuh Forst gemetar. Walaupun pakaian
melindung membungkus sempurna tubuhnya tapi tetap saja ia ketakutan. Lawannya
kali ini adalah Selva. Dan walaupun gadis itu dijuluki sebagai ahli pedang
terburuk dalam rasnya, tetap saja gadis itu terlalu kuat bagi Forst.
Para peri ahli pedang serba hijau
mengajarkan teknik pedang kepada para peri yang lainnya. Forst dan Selva berada
di tingkatan yang sama. Dan sekarang adalah saat di mana mereka berlatih
tanding untuk mengukur pemahaman belajar mereka.
Tidak sedikitpun Selva berbaik hati kepada
Forst. Gadis itu terus saja menyerbu
maju dengan kekuatan penuh untuk mendaratkan serangan kuat ke arah lawannya. Sementara
Forst yang masih belum sempurna mempersiapkan kuda-kuda membuatnya memberikan
banyak celah untuk diserang. Ia hanya bisa menghindar setengah berlari atau
menggerakkan pedangnya tidak beraturan untuk melindungi dirinya sendiri.
Entah mengapa, Forst merasa Selva seperti
sedang terbakar amarah. Sebenarnya apa yang membuat gadis itu marah? Dan kepada
siapa ia marah? Jika memang Forst yang membuat Selva marah, apa kesalahan yang
sudah diperbuatnya?
Selva memang ketus dan kaku. Tapi kali ini
berbeda. Gadis itu selalu tampak geram. Serangannya begitu membabi buta. Seolah
setiap gerakan Forst adalah kain merah yang berkibar di hadapan banteng.
Dengan tekad ingin mengimbangi gerakan
Selva, Forst mendadak mulai mempercepat gerakannya. Ia menyerang dalam sudut rendah
seolah sedang meluncur. Pedang kayunya memenghunus ke atas dari bagian kiri
bawahnya. Gerakan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi Selva, tapi karena
itu dilakukan secara tiba-tiba membuat ia harus cepat-cepat mengelak dari
serangan Forst.
Selva mengayunkan pedang kayunya cepat ke arah ke lengan kiri bawah Forst. Seharusnya
itu bisa menjadi serangan telak, tapi tanpa dinyanya, serangan itu hanya menebas
ruangan hampa. Kening Selva mengernyit
tidak percaya. Mana mungkin lelaki ini bisa mengelak dari serangannya?
Tanpa membuang waktu, Forst mengarahkan
serangannya yang ditujukan pada bagian kiri Selva yang masih tampak
terkejut. Pedang kayu di tangan
Forst menghunus cepat. Sayangnya, Selva berhasil mengelak walaupun sempat
diliputi perasaan panik.
Lelaki
ini mulai serius rupanya! Selva menggeram dalam hati. Dengan cepat emosi mengisi seluruh tubuhnya, membuat
darahnya seakan-akan mendidih.
Semakin serius, Selva memulai serangan
gencar yang bertubi-tubi. Ia menghunuskan ujung pedang kayunya secara terus
menerus. Dan di satu sisi, Forst selalu berhasil mengelak dan mengelak. Hal itu
tentu saja membuat Selva merasa sebal.
Dengan memanfaatkan celah yang ada, Selva
menghapus jarak di antara mereka lalu menghujamkan pedang kayunya ke arah Forst.
Dan cara itu rupanya berhasil. Forst mulai kehilangan keseimbangan dan terhuyung-huyung ke belakang.
Tidak sedikitpun Selva membiarkan Forst
meninggalakan area penyerangannya. Tidak sebelum serangan penghabisan yang diarahkan
secara langsung ke kaki Forst. Tidak sedikitpun Selva menahan diri dalam
menyerang. Begitu Forst jatuh tergeletak di atas rumput, Selva bersiap
menghunuskan pedang itu ke leher Forst. Lelaki itu memejamkan mata dan bersiap
menerima rasa sakit.
“Ya. Pertandingan selesai. Pemenanganya
Selva.”
Suara itu menggema dan mengehentikan
tikaman pedang Selva di udara. Hanya beberapa sentimeter sebelum menusuk leher
Forst. Gadis itu sepertinya memang berniat membunuhnya.
Selva bangkit cepat dari lututnya,
membiarkan pedang kayunya tergeletak di samping Forst. Ia berjalan meninggalkan
area latihan tanpa berkata apa-apa. Seulas senyum tersungging di wajahnya.
Setidaknya sedikit perasaan menyakitkan yang mengapung dalam hatinya mulai
sedikit berkurang.
“Kau baik-baik saja, Forst?” Saki bertanya
dengan panik dan membantu Forst bangkit. Area rerumputan ini akan segera
digunakan untuk pertandingan latihan selanjutnya.
“Aku baik-baik saja, Saki. Terima kasih
banyak,” jawab Forst. Ia berjalan tertatih-tatih dengan Saki yang menyangga
satu lengannya di bahu gadis itu. “Entah kenapa aku merasa Selva seperti ingin
membunuhku tadi.”
“Aku juga merasakannya, Forst. Selva
seperti sedang dibakar emosi,” ujar Saki sambil membantu Forst duduk di tepi
lapangan. Seorang peri biru dan kuning mulai memasuki area pertandingan. “Tapi
kau hebat, Forst. Kau bisa membuat Selva menjadi serius seperti tadi. Biasanya
ia sangat membenci latihan pedang seperti ini.”
Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva
bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit.
^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D