Senin, 06 April 2015

Once Upon A Time In The Forest Part 4



Forst memperhatikan beberapa poster yang ditempel pada dinding koridor. Di sana tertulis berbagai macam bagian dari tumbuhan. Seperti perbedaan tumbuhan monokotil dan dikotil, juga jenis akar tunggang dan akar serabut. Ia membaca semua semua penjelasan itu dengan saksama. Demi lebih mengenal teman-temannya.

Sebelum kemari, Karen juga mengajak Forst berjalan-jalan di daerah sekitar laboratorium. Di sana terdapat berbagai macam tumbuhan yang dibudidayakan di sini. Bahkan saat Forst bertanya pada tumbuhan-tumbuhan itu, mereka bercerita bahwa perawat kebun selalu memperlakukan mereka dengan sangat baik.

“Forst,” Karen bergumam dan membuyarkan konsentrasi Forst. Lelaki itu menoleh dan menatapnya leakt-lekat hingga membuatnya tersipu. “Ini jas lab untukmu.”

Forst terpana. Sebenarnya ruangan apa yang baru dimasuki Karen tadi? Apakah ruangan itu selalu bisa mengubah penampilan seorang gadis?

Mata Forst mengerjap beberapa kali. Penampilan Karen benar-benar berbeda dari sebelumnya. Jas lab berwarna putih membalut tubuhnya. Rambut ikalnya digelung rapi. Sebuah kacamata berbingkai hijau bertengger di wajahnya. Entah mengapa setiap kali melihat Karen, Forst selalu merasa bahwa gadis itu semakin... cantik.

Forst merasa pipinya merona. Kata-kata itu terasa asing di lidah Forst. Kapan terakhir kali ia menganggap seorang gadis cantik? Sepertinya sudah lama sekali. Biasanya ia lebih sering memuji kecantikan bunga-bunga yang tengah mekar.

Tapi kali ini Forst memuji kecantikan manusia. Apakah itu salah?

“Forst?” panggil Karen dan menarik Forst dari lamunannya. Kening gadis itu mengernyit heran. “Apa kau baik-baik saja?”

Forst tergeragap. “Te-tentu saja aku baik-baik saja.” Ia cepat-cepat meraih jas lab yang disodorkan Karen lalu mengenakannya.

Tiba-tiba saja Karen secara impulsif membantu Forst merapikan jas labnya. Gadis itu menepuk-nepuk bahu Forst, mengusir debu yang menempel di sana. Dan membuat Forst tersipu sekali lagi.

Tidak cukup sampai di situ.

Forst menelan ludah saat Karen menggenggam lembut tangannya. Gadis itu menariknya melintasi koridor. Ia hanya bisa mengikuti langkah gadis itu dengan jantung berdebar-debar. Ini pertama kalinya seorang gadis membuat Forst seperti ini.

“Ayo, aku akan memperkenalkanmu pada Profesor!”

***

Profesor yang dimaksud oleh Karen ternyata memiliki penampilan yang jauh berbeda dari bayangan Forst. Alih-alih botak dan beruban, Profesor itu justru memiliki rambut hitam yang menjuntai sebatas bahunya. Usianya mungkin sepuluh tahun lebih tua dari Forst. Lelaki itu bahkan tampak lebih pantas menjadi model majalah daripada berkutat dengan penemuannya di dalam laboratorium.

Saat Karen dan Forst memasuki laboratorium, Profesor itu tampak sibuk dengan mikroskop di atas meja. Terlalu fokus hingga tidak menyadari kedatangan mereka. Hingga Karen harus menepuk bahu sang Profesor untuk mengalihkan atensinya.

Sesaat Profesor itu tampak terkejut, tapi dengan cepat menguasai diri. Saat Karen memperkenalkan Forst padanya, Profesor itu membenahi letak kacamatanya lalu menjabat tangan Forst dengan hangat. Bahkan mengucapkan selamat datang sambil tersenyum ramah.

“Apa Anda tidak tidur lagi, Profesor?” tanya Karen sambil memicingkan mata. Ia sangat hafal dengan kebiasaan Profesornya ini.

Profesor itu tegeragap mendengar tuduhan asistennya yang tanpa basa-basi itu. Sedetik kemudian, ia mengangguk rikuh. Laboratorium ini sudah seperti rumah bagi dirinya.

“Bukankah aku sudah sering mengingatkan tentang pentingnya istirahat, Profesor?” Mata Karen melotot tidak suka. Sejak dahulu Profesornya ini memang keras kepala. “Bagaimana penemuan ini bisa berhasil jika Anda tidak memperhatikan kesehatan? Bukankah Anda sendiri yang mengatakan bahwa penemuan mutakhir tanpa kasih sayang sama dengan penghancuran?”

“Benar.” Profesor itu menunduk kaku. “Aku hanya tidak ingin membuang waktu, Karen.”

“Sayang diri Anda sendiri, Profesor. Kita tidak akan membuang waktu lagi.” Karen memiringkan kepalanya. Seulas senyum sayang terukir di wajahnya. “Terlebih ada Forst yang akan ikut serta dalam penelitian ini.”

Profesor itu mengangkat wajahnya, menunjukkan matanya yang berbinar. “Benarkah yang dikatakan Karen itu, Forst?”

“T-tentu saja,” sahut Forst sedikit tergeragap. Ia merasa bingung ditatap penuh harap seperti itu.

“Baiklah. Karena Forst sudah setuju, bagaimana jika kita segera memulai berbagai percobaan untuk hari ini?”

***

Eureka! Eureka! Eureka!”

Profesor itu bersorak senang setengah melompat. Tangannya mengangkat labu ukur berisi cairan jingga itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Seolah itu adalah mahkota yang akan membuatnya jadi raja.

Dan perasaan bahagia itu menular begitu saja. Karen serta merta memeluk erat Forst yang ada di sampingnya. Tindakan impulsif itu membuat Forst tergugu dan tersipu. Sekali lagi jantungnya berdebar tidak menentu.

Hampir dua belas jam lamanya mereka bertiga berkutat dengan segala macam percobaan di laboratorium. Forst juga membantu dengan mencampurkan beberapa cairan dan serbuk yang dimilikinya. Hingga akhirnya penelitian itu membuahkan hasil.

“Lebih baik cepat-cepat kita lihat khasiat cairan ini terhadap tanaman,” ucap Profesor. Matanya tidak bisa lepas dari cairan itu. Penemuan besarnya. “Karen, cepat ambilkan tanaman dari greenhouse.”

“Baik, Profesor,” sahut Karen cepat. Lalu ia memacu langkahnya keluar ruangan.

Beberapa menit kemudian, Karen sudah kembali dengan membawa sebuah pot tanaman di tangannya. Dengan sigap, Forst mengambil alih pot tersebut lalu mengangkatnya ke atas meja.

Apa yang akan kalian lakukan padaku?

Forst tersenyum lembut lalu menyapa ramah tanaman berdaun lebat itu. “Kami akan memberimu semacam vitamin yang bisa melindungimu dari serangan luar.”

Hei, kau bisa mengerti kata-kataku?

“Hei, Forst. Apa kau mengerti bahasa tanaman?”

Baik tanaman itu maupun Profesor, tampak takjub dengan kemampuan Forst. Sementara Forst hanya tersenyum dan menganggukkan kepal untuk menjawab kedua pertanyaan senada itu.

“Bagaimana jika kita mulai saja sekarang?” tawar Profesor yang tampak tidak sabar.

“Silakan, Profesor. Ia juga sudah merasa siap,” jawab Forst sambil melangkah mundur, memberikan ruang untuk Profesor.

Saat Profesor menggunakan pipet tetes untuk memindahkan beberapa tetes cairan jingga itu, Forst berdoa dalam hait. Semoga saja percobaan ini berhasil. Ia ingin semua tumbuhan di bumi bisa terlindungi.

Tiga tetes cairan tampak mulai meresap ke dalam akar tanaman tersebut. Tujuh detik berikutnya terasa begitu menegangkan hingga akhirnya tubuh tanaman itu tampak bersinar jingga. Itu pertanda bahwa cairan itu bekerja dengan sempurna.

Tapi sepertinya hanya Forst yang mampu melihat sinar itu. Sontak ia terbelalak bahagia. Sementara Profesor dan Karen malah mengernyitkan kening dengan bingung.

“Apakah itu berhasil?” gumam Karen skeptis.

“Sepertinya berhasil,” sahut Forst dengan pandangan berbinar.

“Maukah kau mencoba membuktikannya, Forst?” tanya Profesor.

Forst menoleh dan mengernyitkan alisnya. “Tapi... bagaimana caranya?”

“Patahkan salah satu tangkainya.”

“Apa?” Forst berseru dengan nada protes. “Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Bukankah itu... akan menyakitkan?”

“Kau harus melakukannya, Forst,” rayu Karen dengan lembut. “Bukankah kau ingin melindungi teman-temanmu?”

Benar juga. Forst menyerah begitu saja. Karen benar. Ia harus berani melakukan hal ini.

“Kau pasti bisa, Forst.” Karen kembali memberi semangat.

Forst mengangguk. Lalu perlahan ia melangkah mendekat. Ia menatap penuh maaf ke arah tanaman itu.

“Apa yang kaurasakan, kawan?”

Entah kenapa, aku merasa sekokoh pohon jati. Tanaman itu berujar lalu tersenyum.

“Benarkah itu?”

Tentu saja. Coba patahkan salah satu tangkaiku agar kaupercaya.

“Baiklah.”

Forst menganggukkan kepalanya. Takut-takut ia mengulurkan tangannya untuk mencengkram tangkai setebal tusuk gigi dan tampak rapuh itu. Lalu ia memejamkan mata dan mencoba mematahkan begitu saja.

Tapi tidak ada yang terjadi.

Cepat buka matamu. Lihatlah, aku tidak terluka sedikitpun.

Forst mendengar tanaman itu bersorak riang, tapi ia tidak bisa percaya begitu saja. Ia membuka matanya, lalu mencoba mematahkan tangkai itu sekali lagi. Dan benar saja tidak ada reaksi apa-apa. Tangkai itu kini sekokoh paku baja.

Profesor, Forst, dan Karen saling melempar tatapan tidak percaya. Mereka tidak menyangka bahwa percobaan kali ini berhasil begitu saja. Kehadiran Forst benar-benar seperti keajaiban.

“Baiklah. Aku harus bergegas menulis laporan penelitian ini sebelum pukul tujuh malam. Selagi masih segar di otak,” ucap Profesor lalu bergerak lincah menulis di buku catatannya.

Sebelum pukul tujuh? Kening Forst mengernyit saat mendengar kata-kata itu. Matanya melirik perlahan ke arah jam tangannya yang menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh tujuh menit.

Benar juga. Forst tiba-tiba teringat bahwa ia harus kembali ke Derion pada pukul tujuh!

***

Bintang-bintang bertaburan di langit malam. Tampak berkelap-kelip ceria ke arah Forst dan Karen yang tengah berjalan beriringan. Dilihat dari manapun, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang tengah kencan.

Profesor itu memberi Forst beberapa botol cairan penemuan bersama mereka. Dan Forst segera menggunakan cairan itu untuk melindungi teman-temannya. Sehingga ia bisa pergi dengan perasaan tenang.

“Aku tidak percaya kau akan pergi, Forst. Bukankah kita baru saja melewati waktu yang menyenangkan bersama?” gumam Karen memecah keheningan di antara mereka yang menurutnya sudah terlalu lama.

“Maafkan aku. Tapi janji ini sudah kubuat sebelum kita bertemu,” jawab Forst dengan suara perlahan. Ia belum bisa menceritakan tentang Derion kepada Karen. Tidak secepat ini. “Aku harap kita bisa bertemu lagi... secepatnya.”

“Aku akan menunggu,” ujar Karen. “Dan aku tidak keberatan jika kau ingin menginap di flatku. Bukankah tidur di hutan akan membuatmu kedinginan?” tambah gadis itu lantas tertawa jenaka.

“Tidak juga. Aku sudah terbiasa.” Forst ikut terkekeh. “Lagipula ada teman-teman yang menjagaku.”

“Benar juga.” Karen kembali terkekeh pelan. “Sampaikan salamku untuk teman-temanmu.”

“Tentu saja akan aku sampaikan.”

“Ini ada hadiah dari Profesor untukmu.” Karen menyerahkan sebuah kantung kepada Forst. “Orang itu sudah melakukan berbagai penelitian selama dua belas tahun terakhir, dan itu adalah salah satu penemuannya yang lumayan berhasil. Tapi sayangnya belum ada yang menghargai penemuan ini. Tempelkan saja di punggungmu, dan kau bisa terbang selama beberapa menit.”

“Benarkah?” Mata Frost berkilat senang. “Sampaikan terima kasihku untuk Profesor, ya.”

Waktu terasa bergerak cepat. Tanpa mereka sadari, langkah mereka sudah terhenti di dekat hutan tempat pertama kali mereka bertemu tadi pagi. Sebentar lagi waktu perpisahan sudah dekat.

“Mungkin dalam waktu dekat, Profesor akan mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan penemuan besar ini.” Karen mengigit bibirnya sejenak lalu kembali menatap Forst. “Aku harap kau bersedia hadir. Bagaimanapun ini adalah penemuan kita bertiga.”

“Akan aku usahakan,” jawab Forst lantas tersenyum.

“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa, Forst,” Karen berkata lalu berjinjit dan mengecup cepat pipi kanan Forst.

Tanpa sempat saling bertatapan mata, gadis itu sudah pergi menjauh. Sementara Forst terpaku di tempatnya berdiri dengan wajah terbakar.

“Kau. Terlambat. Forst.”

Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan perasaan Forst yang tengah melambung. Ia segera memutar tubuhnya untuk mencari pemilik suara. Tapi tidak ada di mana-mana. Bahkan pohon-pohon di hutan enggan memberi tahunya. Mereka malah menyoraki Forst dengan mengungkit kecupan singkat di pipinya tadi.

Forst tercengang. Ia melihat sesuatu sebesar telunjuk melayang-layang di hadapan wajahnya. Sesuatu itu seperti capung atau kupu-kupu yang diliputi cahaya putih-kehijauan.

Forst berkedip-kedip dan mulai menajamkan penglihatannya. Di tengah cahaya yang berpendar, tampaklah sosok yang dikenalnya. Kemilau rambut hijau panjang tergerai, disertai gaun hijau dan tubuh semampai. Matanya bersinar galak, tangan disilangkan di depan dadanya, dan sepasang sayap transparan berkibar di punggungnya. Sosok seorang gadis cantik itu tampak mengapung di udara.

Perlahan bibir gadis itu bergerak lalu bersuara dengan merdu tapi menusuk telinga Forst. “Bukankah sudah kukatakan jangan terlambat, Forst? Pukul tujuh malam. Bukan pukul tujuh lebih lima menit. Apakah jam di dunia manusia bergerak lebih lambat, huh?”

Suara ketus itu. Bukankah itu...

“Selva?” Mata Forst terbelalak tidak percaya. Ia bertanya tanpa peduli pada gerutuan Selva. “Kenapa ukuranmu menjadi sekecil ini?”

“Seperti inilah wujud kami jika menyebrang ke dunia manusia,” jawab Selva dengan nada ketus. Bahkan lebih ketus daripada sebelumnya. Dan walaupun tubuhnya kecil, tapi suara gadis itu tetap menggelegar.

Selva mendengus kesal saat melihat Forst yang masih menatapnya takjub. Ia tidak boleh membuang waktu seperti ini. Secepatnya mereka harus kembali ke Derion.

“Sampai kapan kau akan menatapku seperti itu? Kita harus bergegas,” Selva meliuk cepat di udara dan terbang ke dalam hutan yang gelap.

Forst dengan cepat mengikuti gadis itu. Ia tidak ingin disebut lamban lagi oleh gadis ini. Lagipula energinya terasa penuh sekarang.

“Apa yang akan kita lakukan malam ini, Selva?” tanya Forst sambil berlari.

“Berlatih pedang.”

***

Tubuh Forst gemetar. Walaupun pakaian melindung membungkus sempurna tubuhnya tapi tetap saja ia ketakutan. Lawannya kali ini adalah Selva. Dan walaupun gadis itu dijuluki sebagai ahli pedang terburuk dalam rasnya, tetap saja gadis itu terlalu kuat bagi Forst.

Para peri ahli pedang serba hijau mengajarkan teknik pedang kepada para peri yang lainnya. Forst dan Selva berada di tingkatan yang sama. Dan sekarang adalah saat di mana mereka berlatih tanding untuk mengukur pemahaman belajar mereka.

Tidak sedikitpun Selva berbaik hati kepada Forst.  Gadis itu terus saja menyerbu maju dengan kekuatan penuh untuk mendaratkan serangan kuat ke arah lawannya. Sementara Forst yang masih belum sempurna mempersiapkan kuda-kuda membuatnya memberikan banyak celah untuk diserang. Ia hanya bisa menghindar setengah berlari atau menggerakkan pedangnya tidak beraturan untuk melindungi dirinya sendiri.

Entah mengapa, Forst merasa Selva seperti sedang terbakar amarah. Sebenarnya apa yang membuat gadis itu marah? Dan kepada siapa ia marah? Jika memang Forst yang membuat Selva marah, apa kesalahan yang sudah diperbuatnya?

Selva memang ketus dan kaku. Tapi kali ini berbeda. Gadis itu selalu tampak geram. Serangannya begitu membabi buta. Seolah setiap gerakan Forst adalah kain merah yang berkibar di hadapan banteng.

Dengan tekad ingin mengimbangi gerakan Selva, Forst mendadak mulai mempercepat gerakannya. Ia menyerang dalam sudut rendah seolah sedang meluncur. Pedang kayunya memenghunus ke atas dari bagian kiri bawahnya. Gerakan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi Selva, tapi karena itu dilakukan secara tiba-tiba membuat ia harus cepat-cepat mengelak dari serangan Forst.

Selva mengayunkan pedang kayunya cepat  ke arah ke lengan kiri bawah Forst. Seharusnya itu bisa menjadi serangan telak, tapi tanpa dinyanya, serangan itu hanya menebas ruangan hampa.  Kening Selva mengernyit tidak percaya. Mana mungkin lelaki ini bisa mengelak dari serangannya?

Tanpa membuang waktu, Forst mengarahkan serangannya yang ditujukan pada bagian kiri Selva yang  masih tampak  terkejut.  Pedang kayu di tangan Forst menghunus cepat. Sayangnya, Selva berhasil mengelak walaupun sempat diliputi perasaan panik.

Lelaki ini mulai serius rupanya! Selva menggeram dalam hati. Dengan cepat emosi mengisi seluruh tubuhnya, membuat darahnya seakan-akan mendidih.

Semakin serius, Selva memulai serangan gencar yang bertubi-tubi. Ia menghunuskan ujung pedang kayunya secara terus menerus. Dan di satu sisi, Forst selalu berhasil mengelak dan mengelak. Hal itu tentu saja membuat Selva merasa sebal.
Dengan memanfaatkan celah yang ada, Selva menghapus jarak di antara mereka lalu menghujamkan pedang kayunya ke arah Forst. Dan cara itu rupanya berhasil. Forst mulai kehilangan keseimbangan dan  terhuyung-huyung ke belakang.

Tidak sedikitpun Selva membiarkan Forst meninggalakan area penyerangannya. Tidak sebelum serangan penghabisan yang diarahkan secara langsung ke kaki Forst. Tidak sedikitpun Selva menahan diri dalam menyerang. Begitu Forst jatuh tergeletak di atas rumput, Selva bersiap menghunuskan pedang itu ke leher Forst. Lelaki itu memejamkan mata dan bersiap menerima rasa sakit.

“Ya. Pertandingan selesai. Pemenanganya Selva.”

Suara itu menggema dan mengehentikan tikaman pedang Selva di udara. Hanya beberapa sentimeter sebelum menusuk leher Forst. Gadis itu sepertinya memang berniat membunuhnya.

Selva bangkit cepat dari lututnya, membiarkan pedang kayunya tergeletak di samping Forst. Ia berjalan meninggalkan area latihan tanpa berkata apa-apa. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Setidaknya sedikit perasaan menyakitkan yang mengapung dalam hatinya mulai sedikit berkurang.

“Kau baik-baik saja, Forst?” Saki bertanya dengan panik dan membantu Forst bangkit. Area rerumputan ini akan segera digunakan untuk pertandingan latihan selanjutnya.

“Aku baik-baik saja, Saki. Terima kasih banyak,” jawab Forst. Ia berjalan tertatih-tatih dengan Saki yang menyangga satu lengannya di bahu gadis itu. “Entah kenapa aku merasa Selva seperti ingin membunuhku tadi.”

“Aku juga merasakannya, Forst. Selva seperti sedang dibakar emosi,” ujar Saki sambil membantu Forst duduk di tepi lapangan. Seorang peri biru dan kuning mulai memasuki area pertandingan. “Tapi kau hebat, Forst. Kau bisa membuat Selva menjadi serius seperti tadi. Biasanya ia sangat membenci latihan pedang seperti ini.”



Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D