Selasa, 07 April 2015

Love For Money part 1


"Satu dua tiga empat lima—"

"Dari mana kau mendapat uang sebanyak itu, Stella?" Seorang wanita paruh baya tiba-tiba muncul di belakangku yang tengah menghitung sejumlah uang hasil kerjaku siang ini.

"Tante." Aku berjingkat, buru-buru menyembunyikan uang itu.

"Tidak usah disembunyikan. Aku sudah melihatnya." Kata wanita itu sinis. "Kau lihat John?" Wanita itu mengedarkan pandangannya kedalam rumah sempit yang kusewa ini.

Aku menggeleng. "Aku tak melihatnya sejak kemarin. Jangan khawatir, John pasti akan pulang." Orang ini benar-benar terlalu protektif untuk anak laki-lakinya yang sudah berusia dua puluh satu tahun. Membuatku tertawa geli ketika membayangkan wajah John yang menggebu-gebu ketika menceritakan ibunya.

"Jangan tertawa. Nanti kau akan merasakan punya anak laki-laki bandel seperti John." Wanita itu menggerutu kemudian melangkah pergi meninggalkanku.

"Enam tujuh de—"

"Dia sudah pergi?" Lelaki yang bersembunyi di balik lemari itu muncul ke hadapanku dengan tiba-tiba kemudian merampas seluruh uang yang ada di tanganku.

"Johnie kembalikan uangku!" Sial! Lagi-lagi.

"Ayolah Stella, aku hanya pinjam. Bukan minta." ujar lelaki itu mengedipkan sebelah matanya padaku.

"Kau selalu meminjam dan tak pernah mengembalikannya padaku. Johnie, tidakkah kau tahu betapa sulitnya aku mencari uang ini?" Ya, ini tak mudah. Aku harus berlari kesana kemari, bahkan rela dicaci maki hingga ditampar. Tapi hanya dengan cara ini aku bisa bertahan hidup. 

"Baiklah. Aku pinjam setengahnya." Kemudian Johnie memberikan setengah uang itu padaku sebelum dia meninggalkanku. 

Johnie. Dia bukan siapa-siapa. Dia hanyalah teman akrab yang tumbuh bersama denganku sejak kami kecil. Dia sering menghabiskan uang ibunya untuk narkoba, mabuk dan judi. Tidak heran ibunya yang begitu protektif selalu memberikan pengawasan ketat pada lelaki itu. 

Sejak enam bulan yang lalu Johnie sering keluar masuk penjara. Berkali-kali ibunya mengeluarkan banyak uang untuk mengeluarkan lelaki itu. Kupikir sebaiknya ibu Johnie membiarkan dia membusuk di sel itu, agar dia jera dan tak lagi mengulangi kesalahan-kesalahan bodohnya. Namun tak ada gunanya aku berdebat dengan wanita super itu. Dia terlalu memanjakan anak laki-laki kesayangannya.

Sejak dulu Johnie selalu meminta uang dariku jika ibunya tak memberikannya uang. Terlebih setelah Johnie tahu bahwa aku mendapatkan banyak penghasilan dari pekerjaanku. Lalu kenapa aku memberinya? Tentu saja karena aku mencintai lelaki yang terlahir lebih muda dariku. Ya, dia tak perlu tahu tentang perasaanku padanya. Melihatnya saja cukup membuatku bahagia.

Jam di ponselku menunjukkan pukul lima sore. Aku harus segera membersihkan diriku. Aku punya janji dengan seseorang malam ini. 

"Stella, mau kemana?" Johnie berteriak dari kerumunan lelaki yang tengah bermain kartu di tepi sungai. Judi. Aku tahu itu.

"Ada urusan." Ujarku sambil lalu. Aku tahu, dia tak akan mengejarku. Permainan kartunya pasti lebih penting. Sudahlah, jika dia menang kuharap uangku akan kembali secepatnya.

"Stella tunggu." Aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Aku menghentikan langkahku. Seulas senyum tersungging di bibirku. Ternyata pikiranku salah tentang lelaki itu.

"Mau kemana kau dengan pakaian seperti ini?" Ia menjelajahi tubuhku dengan matanya.

"Johnie, ini tak ada urusannya denganmu. Aku harus pergi sekarang. Seseorang akan menungguku."

"Siapa? Pacarmu?"

Aku tersenyum, menggelengkan kepalaku perlahan. "Tidak, ini tentang pekerjaanku. Aku harus pergi. Sebelum jam sembilan aku pasti pulang." Terkadang dia seperti kakakku, begitu protektif padaku. Namun di lain sisi dia benar-benar seperti adik laki-laki yang sangat merepotkanku.

"Stella, beri aku uang lagi. Aku janji akan mengembalikannya malam ini. Em— aku hampir kalah." Ujar Johnie terbata-bata. Sial! Ternyata di pikirannya hanya ada judi.

"Aku pergi." Aku meninggalkannya tanpa memberinya uang, melangkah terburu-buru dengan tumit dua belas sentiku. Oh Tuhan, aku terlambat. Ini sudah hampir jam tujuh.

Bruk

Mati aku!

"Stella." Suara yang sangat lantang dan begitu familiar mendekatiku. Aku bergegas untuk berdiri dari tempatku terjatuh dan membereskan rokku yang sedikit tersingkap.

"Tenang. Aku baik-baik saja Johnie." Ini benar-benar memalukan. Terlebih teman-teman Johnie tertawa tertahan di belakang lelaki itu. 

"Benar kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk. Tersenyum untuk meyakinkan Johnie, kemudian aku melangkah meninggalkannya. Lututku terasa perih. Namun aku berusaha untuk tetap melangkah agar tak membuat Johnie khawatir.
***
Sudah sepuluh menit aku menunggu lelaki itu. Waktu singkat itu kugunakan untuk membersihkan lututku yang berdarah. Seharusnya aku tak perlu terburu-buru hingga kejadian memalukan itu tak perlu terjadi di depan mata Johnie. Aku meringis kesakitan ketika alkohol menyentuh luka di lututku.

Ini hampir setengah delapan. Entah mengapa jalan ini tak seramai biasanya. Terlebih gereja di depan taman kecil tempatku menunggu selalu memiliki aktivitas setiap hari.Tapi tidak untuk hari ini. Aku merasa seseorang memperhatikanku dari kejauhan. Aku memandang sekelilingku. 

Perasaanku benar-benar buruk kali ini. Aku berdiri, melangkah untuk mendekat di gereja yang terang benderang itu. Kemudian sepasang tangan yang besar mencengkeram kedua lenganku.

"Selamat malam Anastasia."

Bersambung ke part 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D