Jumat, 24 April 2015

Keajaiban Bersampul Merah


Yoga termenung di atas tempat duduknya, mata sayunya memandang wajah yang tak asing itu. Mata indah seorang gadis yang tengah duduk di kursi perpustakaan paling ujung itu tertutup oleh kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Ini adalah kali pertama Yoga melihat langsung gadis itu. Tapi menurutnya ia telah puluhan kali atau bahkan ratusan kali melihat wajah itu. Wajah yang selalu muncul dalam mimpinya, wajah yang selalu membuatnya penasaran.

Gadis itu membalik buku bersampul hijau yang sedari tadi dibacanya. Namun setelah hampir satu jam lamanya Yoga justru masih berada di halaman pertama, membuka bukunya tanpa melihatnya sedikitpun. Tentu saja, gadis itu lebih menyita seluruh perhatiannya ketimbang buku-buku perpustakaan yang hampir seluruhnya telah ia baca.

Gadis itu menutup bukunya, kemudian berdiri. Yoga bergegas mengembalikan perhatian pada buku malang yang ada di tangannya. Kursi yang berada tepat di hadapan Yoga ditarik, kemudian seseorang menempatinya. 

“Kakak kenapa melihatiku dari tadi?” Tanya gadis itu dengan nada sedikit ketus.

“Aku tidak melihatimu.” Yoga mencoba membuat dirinya tampak tenang. Matanya kembali pada buku sastra membosankan yang justru terlihat menarik di mata Yoga.

“Bohong. Aku tahu kakak melihatiku. Apa ada yang salah denganku?” Gadis itu menopang dagu dengan sebelah tangannya, memandang Yoga yang berpura-pura tenggelam dalam bacaannya. 

“Tidak ada. Aku juga tidak melihatimu. Sudah, aku mau baca.” Yoga ketus. Tapi bukan itu maksudnya, ia hanya bingung bagaimana cara membuat dirinya tenang. Suasana hening menyelimuti mereka berdua untuk beberapa saat.

“Aku pernah melihat kakak beberapa kali dalam mimpiku.” Pernyataan gadis itu sontak mendapatkan perhatian penuh dari Yoga. Yoga menutup bukunya, melipat tangan di atas meja dan menatap gadis itu dalam-dalam untuk menuntut cerita lebih.

“Ah sudahlah. Aku Ririn. Nama kakak siapa?” Gadis itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman, Yoga pun menjabat tangan gadis bernama Ririn itu.

“Aku Yoga.”

Sejak itu, setiap hari Yoga selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan, ditemani buku-buku sastra tebal yang sudah beberapa kali ia baca demi mendapatkan kesempatan bertemu Ririn. Mereka pun semakin dekat sejak perkenalan itu sebulan yang lalu. 

Lambat laun perasaan Yoga pada Ririn mulai berubah. Rasa penasaran yang berubah menjadi persahabatan, kini mulai berubah menjadi cinta. 

“Rin, aku menyukaimu.” Ujar Yoga ketika mereka duduk bersama di bangku depan perpustakaan. Ririn yang tengah menikmati roti coklat itu berhenti mengunyah dan menatap Yoga lekat-lekat.

“Kakak serius?” Tanya Ririn meyakinkan kakak tingkatnya itu. 

“Tentu saja aku serius. Apa kau keberatan untuk merubah hubungan kita menjadi—” Yoga memberikan jeda sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya “—pacaran?” Yoga menelan ludah, khawatir dengan jawaban Ririn.

Ririn tak menunjukkan ekspresi bahagia, lega, maupun kecewa. Wajahnya begitu datar, membuat jantung Yoga seakan hendak meloncat dari tenggorokannya.

“Kau keberatan? Jika begitu aku tak akan memaksamu.” Nada kecewa terdengar dari suara Yoga. 

“Kakak ingat saat pertama kali kita bertemu, aku mengatakan pada kakak bahwa aku berkali-kali memimpikan kakak meski kita tak pernah bertemu sebelumnya?”

Yoga mengangguk. Dia ingat betul Ririn pernah mengatakan itu. Bagaimana bisa Ririn pun juga memimpikan dirinya, masih menjadi sebuah pertanyaan besar dalam diri Yoga. Namun Yoga tak pernah punya keberanian untuk menanyakannya.

“Tahun lalu, sebelum aku lulus SMA, aku pernah menemukan sebuah buku ramalan di perpustakaan sekolah. Disana tertulis bahwa aku harus menuliskan apa yang ingin diramalkan pada sebuah kertas. Lalu aku menulis ‘jodoh’ dan kuselipkan di dalam buku itu.” Ririn menarik nafas kemudian mengembuskannya perlahan. 

“Lalu apa yang terjadi?”

“Keesokannya kubuka kembali buku itu dan aku menemukan tulisan lain pada kertasku. Enam belas Januari dua ribu lima belas, perpustakaan. Begitu yang tertulis dan itu adalah hari dimana kita bertemu untuk pertama kalinya.”

Yoga terdiam. Apa yang diceritakan Ririn, ia pernah memimpikannya. Seorang gadis mengenakan seragam SMA dengan sebuah buku bersampul merah.

“Apakah buku itu bersampul merah?” Tanya Yoga ragu. Ririn membelalakkan matanya, menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya.

“Kakak pernah menemukan buku itu?” 

Yoga menggeleng. “Aku pernah memimpikan seorang gadis tengah menggenggam buku itu dan sejak saat itu gadis itu berulang kali muncul dalam mimpiku. Dan hari dimana pertama kali kita bertemu, aku sangat yakin bahwa itu adalah kau. Kau adalah gadis yang sama dengan gadis yang ada dalam mimpiku. ”

“Apa mungkin kakak adalah jodohku?” Pemikiran Ririn membuat Yoga berbunga-bunga. Dan senyuman pun melebar di bibir Yoga.

“Lalu mengapa kita tak mencobanya sebagai awal?” Ekpresi Ririn melembut, disusul seulas senyum tersungging di bibirnya.

“Tentu saja.”
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D