Padang rumput yang hijau terhampar luas di
hadapan kita. Tanpa menunggu lebih lama, kita berlari bersama. Begitu ceria
dengan langkah lebar melompat bagai sepasang rusa yang tengah jatuh cinta. Cahaya bulan menerpa kita seperti lampu sorot
di atas panggung.
Aku beberapa langkah di depanmu. Dan kau
terus berlari mengejarku. Dalam gelak tawa bercampur napas yang tersengal,
tiba-tiba kau menarik tanganku begitu saja. Langkah berhenti mendadak bagai
kapal yang sudah menjatuhkan jangkarnya.
“Jangan lari!” katamu.
Aku menelengkan kepala ke satu sisi. “Kenapa?”
Kau terdiam dalam gumaman yang tidak
jelas. “Aku bisa melihat musuh mengintai kita di sana,” jawabmu lantas
menarikku untuk tiarap di atas rerumputan hijau.
Tubuh kita tersembunyi. Tapi aku bisa
melihat dengan jelas sorot matamu yang jenaka. Sebenarnya berapa usia kita? Benarkah
kita siap menikah bulan depan? Jika bercanda kita layaknya anak-anak berusia
delapan?
Dan kau bahkan belum pernah menciumku
selama tiga tahun hubungan kita.
Aku memutar tubuh dan berbaring menantang
langit. Cahaya bulan tampak begitu indah. Kelap-kelip bintang juga tampak
menemani dengan setia. Aku harap cinta
kita akan abadi selamanya. Selalu bersama tanpa pernah terpisah.
Tiba-tiba bayangan hitam menghalangi
cahaya bulan. Aku mematung dalam diam. Kau tengah tertelungkup di sisiku dengan
kepala mendongak menutupi cahaya bulan yang menyinari wajahku sebelumnya. Dan sebelum
aku sempat memikirkan sesuatu, kau menghapus jarak antara kita. Lalu perlahan
mengecup bibirku dengan lembut. Semua terjadi begitu cepat hingg rasanya seperti
bulan jatuh menimpa kita berdua.
Di bawah bayangan bulan... ciuman pertama
kita.
Flash
Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di
Facebook dan Twitter @nulisbuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D