Jumat, 10 April 2015

Lembar Pengikat Jiwa


Sepucuk surat berbentuk hati. Kembali gadis itu menemukannya di lantai, tepat setelah ia membuka pintu depan rumahnya. 

Sudah sekitar tiga bulan ini setiap hari Rabu, ia akan menemukan sepucuk surat berwarna merah muda berbentuk hati yang dengan jelas tertulis namanya dengan tinta warna merah. Tapi kali ini berbeda. Sebuah surat berbentuk hati berwarna kuning dengan tinta biru.

Gadis itu meraihnya, kemudian memutar langkah untuk menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Gadis yang akrab disapa Liana itu membuka laci nakas di samping ranjangnya, meraih beberapa lembar kertas berwarna merah muda. 

Jangan takut, aku akan selalu melindungimu. 

Begitu isi suratnya. Kemudian ia kembali menatap surat yang baru saja ia dapatkan. Mungkin kertasnya habis, pikir Liana dalam hati, membuat ia terkikik geli. Ia membaca isi pesan tersebut. 

Aku akan melakukan sesuatu untukmu, secepatnya.

Siapa sebenarnya orang yang begitu rajin mengirimkan surat itu setiap hari Rabu masih menjadi tanda tanya besar untuk Liana. Pernah pada suatu ketika Liana mencoba menemukan pelakunya dengan mengintai pada Selasa malam. Namun sia-sia, karena Liana tak mampu untuk tetap terjaga. Dan anehnya Liana terbangun di atas tempat tidurnya.

“Liana cepat keluar.” Teriak seorang wanita yang membuyarkan lamunan Liana.

“Iya ma.” Liana bergegas memasukkan surat tersebut ke dalam nakas dan mempercepat langkahnya untuk turun.

“Sudah siang masih males-malesan. Ayo berangkat. Nanti kamu terlambat Liana.”

“Iya mama.” Liana mendorong kursi roda ibunya sampai di ruang tamu. “Liana berangkat dulu. Mama hati-hati di rumah.” Tak lupa Liana menunduk untuk mencium pipi ibunya.

***

“Liana, ini kenapa lagi?” Ujar lelaki itu begitu melihat memar di tulang pipi Liana. “Ayahmu lagi?” Liana mengangguk. 

“Semalam orang itu mabuk lagi dan mama kembali menjadi sasaran. Lalu dia menghajarku ketika aku berusaha melindungi mama.”

“Liana harusnya kau lebih berani melawannya.”

“Tidak, Edo. Bagaimanapun juga dia adalah ayahku. Aku tak boleh bertindak kurang ajar padanya.”

“Tapi dia cuma ayah tirimu Liana. Dia—” Kalimat Edo terhenti ketika melihat wajah cantik gadisnya dibasahi oleh air mata.

“Maafkan aku Liana. Aku akan mencoba melakukan sesuatu untukmu.”

Deg.

Liana teringat akan surat yang didapatkannya tadi pagi. Apakah mungkin Edo yang mengirimkannya? Kata-kata yang diucapkan oleh Edo, membuat Liana teringat pada surat tadi pagi.

“Apa kau yang mengirimnya?”

“Mengirim apa?” Edo balas bertanya.

“Surat berbentuk hati yang dikirim setiap hari Rabu.”

“Liana jangan bercanda. Sejak kapan aku jadi orang kurang kerjaan dengan mengirimimu surat cinta?” 

Liana terdiam. Tentu saja, Liana tahu benar, Edo, kekasihnya sejak tiga tahun terakhir itu tak akan pernah mau melakukan hal seromantis itu.

***

“Liana! Bersihkan ini!” Suara sang ayah yang sudah beberapa hari tak terdengar, menggema ke seluruh ruangan di rumah itu. Liana segera berlari secepat kilat sebelum sang ayah menghukumnya. Liana terperanjat begitu melihat sang ibu tergeletak di lantai dengan makanan yang tercecer di sekitarnya.

“Ayah, ada apa ini?” Liana segera menghampiri ibunya yang tengah menangis sesegukan menyembah kaki ayahnya. “Mama, ayo bangun.” Liana menuntun ibunya menuju kursi rodanya. Namun langkahnya terhenti ketika rambut panjangnya ditarik oleh ayah tirinya.

“Apa kau tuli, ha? Sudah kubilang bersihkan rumah ini!” Pria itu berteriak tepat di telinga Liana. Mata Liana berkilat penuh kemarahan, kemudian menatap mata ayahnya lekat-lekat.

“Kau pikir kau ini siapa? Papaku saja tak 
pernah melakukan ini padaku."

Plak.

Sebuah tamparan melayang di wajah cantik Liana. Liana mendengus kesal kemudian meraih vas di meja, lantas ia melemparkannya tepat pada pada wajah ayahnya.

“Sialan kau Liana!” Ayahnya semakin murka. Ia mengambil pecahan vas di lantai kemudian menggores wajah Liana.

“Dasar anak tidak tahu diri!” Ayahnya kembali berteriak dan mendorong tubuh Liana dengan kasar hingga tersungkur.

“Laki-laki biadab!” Wajah Liana begitu merah. Merah karena amarah bercampur darah yang mengalir di wajahnya. Ekspresi wajahnya begitu mengerikan, membuat ibunya ketakutan. Ibunya pun berusaha memegangi tangan Liana agar tak kembali
menyerang ayahnya. Kilatan kebencian di matanya tampak begitu kejam. Terlebih tiga bulan terakhir, gadis itu benar-benar seperti orang lain di depan ayahnya.

***

Liana duduk di depan meja rias di kamarnya. Ia mengernyitkan dahi memandang luka di wajahnya. Kenapa ini? Tanya Liana dalam hati sambil memegang pipinya. Ketika ia bangun dari tidurnya, ia hanya merasakan rasa perih di bagian kiri wajahnya. 

Jam dindingnya menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Saatnya ia berangkat ke sekolah atau ia akan terlambat. Sesampainya di sekolah ia melihat sosok tampan yang selalu menentramkan hatinya, tengah tersenyum padanya. Lalu senyum itu memudar begitu langkahnya mendekati Liana.

“Ini?” Edo menunjuk luka di wajah Liana. “Lagi?”

Liana terdiam sejenak. “Sebenarnya ada hal yang ingin kubicarakan padamu, Edo.”

“Apa itu? Katakan saja.”

“Aku merasa ada kejanggalan akhir-akhir ini. Luka ini, sebenarnya aku tak tahu kapan aku mendapatkannya. Begitu bangun, wajahku terasa perih.”

“Apa maksudmu?”

“Entahlah, kadang kala aku terasa seperti bermimpi. Luka yang disini
juga—” Liana menunjuk tangan kanannya. “—aku tak pernah ingat kapan aku mendapatkannya.”

Edo mengernyitkan dahinya. “Kenapa bisa seperti itu?”

“Itu juga membingungkanku. Ah sudahlah. Oh iya, ini hari Selasa. Besok aku pasti akan mendapatkan surat itu lagi.” Ujar Liana kembali ceria.

“Tapi, benar bukan kau yang mengirimnya?” Liana meyakinkan.

“Bukan sayang, aku bersumpah. Jika aku bisa mengatakannya langsung padamu,
untuk apa aku menulis surat?” Siapa pengirim surat misterius itu mulai mengusik pikiran Edo.

***

Jam tangannya menunjukkan pukul sepuluh malam. Lelaki itu bersembunyi di antara pepohonan besar di depan rumah Liana. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Tak ada tanda-tanda sang pengirim surat misterius akan menunjukkan batang hidungnya. Hingga di detik terakhir ketika ia hendak mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pengintaiannya, pintu rumah Liana terbuka.

“Liana.” Gumam Edo. Gadis itu menggenggam sebuah kertas berwarna kuning di tangannya, kemudian ia meletakkan kertas itu di depan pintunya.

“Liana tunggu.” Panggil Edo yang tengah berusaha mendekati Liana. Gadis itu menghentikan langkahnya, membalik badan untuk menatap lelaki yang kini tengah berdiri di hadapannya.

“Mau apa kau kemari?” Tanya Liana malas. Jawaban Liana membuat Edo mengerutkan dahi.

“Siapa kau sebenarnya?” Tanya Edo penasaran. Tentu saja. Liana tak akan pernah seketus itu jika berbicara padanya.

“Siapa? Tentu saja aku Liana.”

“Bukan! Kau bukan Liana. Liana tak akan sekasar ini padaku. Cepat katakan siapa kau?” Suara Edo terdengar mengancam. Liana hanya diam sambil menyunggingkan senyum masam.

“Katakan!” Edo menarik pergelangan tangan Liana kasar, membuat gadis itu marah.

“Lepaskan tanganmu!” Gadis itu menampik tangan Edo dengan kasar. “Ya, aku bukan Liana, aku Riana. Anak bodoh itu terlalu lemah untuk menghadapi tua bangka itu.”

“Lalu mengapa kau memberikan surat itu untuk Liana?”

“Aku hanya ingin berkomunikasi dengannya. Gadis bodoh itu tak pernah menyadari ketika tubuhnya ku ambil alih.”

“Lalu mengapa kau pilih hari ini?”

“Aku hanya ingin mengingatkan kembali tentang hari kematian papa dan kak Alan. Lalu cacatnya mama yang membuat hari Rabu begitu mengerikan untukku. Semua itu karena lelaki biadab itu. Aku tak akan membiarkan lelaki itu menyakiti tubuh Liana. Dan akan kubuat lelaki itu menyesal seumur hidupnya.” Sorot mata Riana berapi-api dan penuh dendam.

“Liana—”

“Jangan panggil aku Liana! Aku tak sudi kau samakan dengan gadis itu. Dan kau, jangan sekali-sekali mencampuri urusanku, atau aku akan membuat perhitungan denganmu.”

Brak.

Riana membanting pintu tepat di hadapan Edo.

***

“Riana? Aku tahu.” Seulas senyum tersungging di bibir bu Mira, ibu Liana. “Liana sering mengatakan bahwa dia adalah Riana. Itu terjadi sejak beberapa bulan yang lalu, tepatnya ketika Liana selalu mendapatkan surat itu setiap hari Rabu.”

“Apa mungkin Liana memiliki kepribadian ganda?” Tanya Edo ragu.

“Itu yang mengganggu pikiranku. Sejak kecil Liana tak pernah bersikap kasar pada siapapun, ia selalu lembut dan sopan. Tapi sejak ayah tirinya menyiksa kami, terlebih setelah Alan meninggal karena melindungi kami, Liana menjadi lebih kasar. Seperti bukan Liana yang ku kenal.”

“Surat itu—” Edo memberi jeda pada kalimatnya. “—Riana yang menaruhnya. Ia menaruhnya setiap hari Rabu karena ingin mengingatkan tentang kematian papanya dan kak Alan dan musibah yang menimpa tante. Tadi malam aku melihatnya.”

Ibu Liana membelalakkan matanya tak percaya. “Jadi itu benar? Widodo pernah mengatakan ia melihat Liana membuka pintu tengah malam, namun kupikir itu tak mungkin karena Liana tak akan mampu terjaga lebih dari jam sepuluh malam.”

“Tapi itu be—”

Pyar!

Suara pecahan sesuatu mengagetkan mereka berdua. Edo bergegas mendorong kursi roda bu Mira menuju asal suara.

“Diam kau Widodo! Aku akan membunuhmu sekarang juga!” Suara Liana terdengar lantang. 

Edo dan bu Mira begitu terkejut ketika melihat Liana menggenggam sebuah pisau yang ditodongkan ke tubuh ayahnya.

“Liana hentikan.” Teriak Ibu Liana dan Edo bersamaan.

“Liana jangan Liana, hentikan.” Sang ayah memohon.

“Liana, Liana, Liana. Sudah ku bilang aku Riana! Widodo, kau telah menyakiti keluarga kami. Kau membunuh papa agar bisa menikahi mama lalu merampas warisan papa? Dan kau membunuh kak Alan karena kau merasa dia menghalangimu? Widodo, kau akan mendapatkan balasan dariku!” Tawa Riana menggelegar, membuat suasana begitu mencekam. 

Jleb.

Teriakan keluar dari mulut ayahnya tepat setelah pisau di tangan Riana tertancap di dada ayahnya. Membuat pria itu limbung dan jatuh ke lantai dengan tubuhnya bersimbah darah.

“Selamat tinggal, Widodo.” Senyuman terukir di wajah cantik Liana. Kemudian gadis itu menatap ibunya yang terduduk kaku di kursi rodanya.

“Kita bebas, mama.”

TAMAT

2 komentar:

  1. Waw, alurnya mengesankan. Saya suka. Cuma cerita tentang keluarga Liananya kurang, jd saya sebagai pembaca tidak memiliki cukup dukungan untuk tokoh utamanya. Semangat terus berkarya! Salam sastra. ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kak sudah berkunjung dan meninggalkan jejak ^^
      Cerpen ini dulu pernah diikut sertakan dalam event menulis kak, sehingga ada maksimal berapa halaman atau kata gitu *lupa* :P
      Tapi sayang kurang beruntung.hehehehe.
      Maka dari itu nggak bisa menceritakan keluarga Liana dg detai. hehehe
      Makasih masukannya kak. Salam sastra ^^

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D