Aku sangat yakin lelaki itu salah orang. Lelaki itu mencengkeram lengan Stella hingga gadis itu meronta. Tanpa berpikir panjang, aku segera melangkah, menyerbu lelaki yang tak lama lagi akan berbuat kurang ajar pada gadisku. Dia milikku. Tak ada seorangpun yang boleh menyentuhnya!
"Johnie.. Apa yang kau lakukan?" Suara Stella seolah menyadarkanku. "Harry, kau baik-baik saja?"
"Aku tidak apa-apa Anastasia." Ujar lelaki itu sambil menyentuh ujung bibirnya yang berdarah.
Anastasia? Apa Stella yang dimaksud oleh lelaki itu?
"Tunggu sebentar Harry." Ujar Stella yang kemudian menarikku untuk menjauh dari lelaki sialan itu.
"Apa yang terjadi Stella?" Tentu saja aku menuntut penjelasan dari gadis itu setelah apa yg terjadi. Stella meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir merahnya yang seksi itu. Membuatku ingin melahapnya sesegera mungkin.
"Aku akan menjelaskannya padamu nanti, John. Nanti setelah aku pulang." Stella memelankan suaranya, bahkan nyaris berbisik. "Sekarang kau pulanglah. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku."
"Pekerjaan apa?" Stella membuatku geram. Terlebih setelah gadis itu melotot dan memberiku isyarat untuk segera pergi. Aku mematung menatap Stella yang berjalan menjauh dari hadapanku bersama lelaki yang melingkarkan tangannya di pinggang Stella. Dengan amarah yang telah memuncak, akupun kembali ke rumah Stella, menunggunya kembali ke rumah.
Rumah ini memang kecil. Namun aku lebih nyaman berada di sini dari pada rumahku sendiri yang dijaga oleh singa betina. Bagiku berada di dekat Stella membuatku bahagia. Ya, meski aku tahu dia hanya menganggapku sebagai seorang adik.
Kami tumbuh bersama sejak kecil. Bermain bersama, tidur siang bersama, berebut makanan dan mainan, meributkan seragam sekolah kami yang berbeda. Tentu saja, karena usia kami yang berbeda tiga tahun.
Sejak kecil aku selalu menginginkan Stella menjadi pengantinku, terlebih setelah gadis itu dewasa dan berubah menjadi gadis yang sangat cantik dan mandiri. Tapi tidak untuknya, ia selalu ingin mencari lelaki yang lebih tua darinya. Karena itu aku tak pernah menyatakan perasaanku padanya. Bukan karena aku takut ditolak, tapi aku takut setelah dia menolakku hubungan kami akan canggung.
Aku selalu memperhatikan pertumbuhannya. Kakinya yang jenjang, tubuhnya yang kini semakin langsing, dada dan pantatnya yang berisi. Oh Tuhan, gadis itu begitu... seksi. Mengingat betapa seksi dirinya mengenakan gaun hitam mini yang kontras dengan warna kulitnya. Memamerkan paha dan belahan dada. Lalu... Lalu lelaki yang ia panggil Harry itu akan meletakkan tangan kotornya pada tubuh Stella, dan.. Oh tidak!
"Stella!" Pemikiran itu membuatku benar-benar marah. Aku mengerang mendapati jam yang menunjukkan pukul delapan itu. Entah mengapa waktu terasa berjalan sangat lambat. Sejak setengah jam yang lalu aku mondar mandir di dalam eumah kecil itu. Aku terus menghubungi ponsel Stella namun ponselnya tidak aktif.
Kerja apa dia? Malam hari dengan pakaian seperti itu? Pikiran tentang pekerjaan Stella benar-benar menggangguku.
"Stella, sialan kau!" aku berteriak dan menendang kursi di hadapanku hingga terguling. Aku perlu meluapkan emosi yang ada di kepalaku atau aku akan gila karena memikirkan Stella.
"Apa sih yang kau lakukan?" Suara itu melengking menusuk telingaku.
"Kau sudah pulang? Dari mana saja kau? Kau bilang kau mau cerita padaku? Kau—"
"Johnie. Diam dan tunggu aku mengganti pakaianku." Kata gadis itu sambil berlalu menutup pintu kamarnya.
Entahlah kurasa ini tak seperti biasanya. Dia tak pernah seperti itu padaku. Apakah dia marah karena aku memukul lelaki itu? Apa lelaki itu kekasihnya? Perasaanku benar-benar kacau saat ini. Sepuluh menit terlewat, namun tak ada tanda-tanda gadis itu keluar dari kamarnya. Kuputuskan untuk mengetuk pintunya, dan tepat sebelum tanganku sampai pada daun pintunya, gadis itu keluar.
"Stella, apa yang terjadi tadi? Siapa lelaki itu? Kenapa dia memanggilmu Anastasia?" Aku memberondongnya dengan beberapa pertanyaan. Tak sabar untuk mendengar penjelasannya.
"Dia klienku, John. Tadi itu hanya pekerjaan dan Anastasia adalah nama ketika aku bekerja."
"Apa seorang klien bisa bebas memelukmu seperti itu? Apa kau mengijinkan dia menyentuh tubuhmu, ha? Kau pikir pekerjaan macam apa itu?" Nadaku semakin meninggi. Rasa kesal membayangkan lelaki lain menyentuh tubuh Stella sungguh tak bisa ku hindari.
"Punya hak apa kau marah seperti itu padaku? Aku hanya berusaha mendapatkan uang. Aku harus menghidupi diriku sendiri. Kau tahu aku sebatang kara bukan? Kau pikir aku harus meminta pada siapa jika aku tak berusaha mencarinya sendiri?"
"Aku tahu. Aku tahu. Aku hanya bertanya, apa yang kau kerjakan dengan bayaran mahal, berdandan seksi dan pergi malam hari bersama seorang lelaki yang melingkarkan tangannya di pinggangmu?" Wajah Stella memerah. Aku yakin dia benar-benar marah kali ini.
"Apa kau pikir aku menjual diriku? Menjadi seorang pelacur? Maaf Johnie, mungkin di matamu aku memang perempuan hina. Tapi aku tak akan melakukan hal itu! Kau mengenalku sejak kau mulai bernafas. Aku tak pernah menyangka bahwa pikiranmu padaku sepicik itu John!"
"Stella, maaf. Aku hanya—"
"Apa? Aku tak seperti kau yang menghabiskan uang ibumu untuk berjudi. Aku tak punya tempat untuk meminta John. Bukankah kau juga menikmati hasil pekerjaanku?" Senyum sinis tersungging dari bibir gadis itu. Dia benar-benar seperti orang lain.
Benar. Usiaku sudah dua puluh satu tahun. Dan aku hanya bermain-main menghabiskan harta orang tuaku. Sedang Stella harus mati-matian menghidupi dirinya sendiri sejak dia berusia tujuh belas tahun. Seharusnya aku malu, aku sebagai laki-laki justru ikut memenggunakan hasil keringatnya.
"Lebih baik sekarang kau pulang, Johnie. Aku lelah. Aku ingin istirahat." Ia mendorongku keluar dari rumah kecilnya, kemudian mengunci pintunya.
Aku melangkah menuju markas besarku, duduk bersama teman-temanku. Menyalakan sebatang rokok, membagi kartu dan membuka sebotol minuman. Entah mengapa yang kulakukan kali ini benar-benar tak mengurangi kemarahanku sedikitpun.
Ponselku menunjukkan pukul sebelas malam. Pikiranku masih dipenuhi oleh Stella. Aku harus menyelesaikan masalah ini sebelum aku benar-benar gila karena memikirkannya.
Aku meninggalkan teman-temanku, melangahkan kakiku menuju rumah kecil bercat abu-abu muda yang sedikit kusam di beberapa sisinya.
"Stella. Buka pintunya." Aku mengetuk pintu itu beberapa kali. Namun tak ada jawaban dari Stella. Kucoba untuk mengetuknya kembali. Sunyi. Ia benar-benar tak menghiraukanku. Entah karena dia benar-benar tidur atau marah padaku.
Entah apa yang merasukiku, secara impulsif kutendang pintu di hadapanku hingga roboh. Mataku tertuju pada seorang gadis yang berdiri dengan kakinya yang mengetuk lantai tangannya dilipat di depan dada. Wajahnya merah, hampir semerah pakaian yang ia kenakan. Pakaian yang begitu pas dengan tubuhnya, membuat gadis itu tampak begitu... seksi.
"Berhenti menelanjangiku dengan matamu Johnie. Apa yang kau lakukan dengan pintuku?" Nadanya rendah. Aku tahu pasti sebentar lagi dia akan mengomel dan menghajarku.
Beberapa detik telah berlalu. Tak ada tanda-tanda Stella akan menyerangku. Dia masih diam di tempatnya.
"Maafkan aku Stella. Tadi aku hanya bermaksud mendobraknya, tapi entah mengapa pintumu lebih memilih untuk roboh."
"Kau sudah mabuk John. Pulanglah, atau aku akan memanggil ibumu." Celaka. Singa betina itu pasti akan mencakarku setelah mengetahui apa yang terjadi.
"Tapi pintumu rusak. Jika aku tidak disini, bagaimana jika seseorang menyusup kemudian mencuri barang-barangmu? Tak hanya itu, bagaimana jika dia menyusup kekamarmu kemudian memperkosamu? Lalu bagaimana jika mereka membu—"
"Hentikan John! Terserah kau saja. Besok pagi aku ada pekerjaan. Setelah kau bangun cepat bereskan pintuku." Ujar Stella sebelum menutup pintu kamarnya. Syukurnya, setidaknya dia tidak mendiamkanku seperti tiga tahun yang lalu, ketika aku membuat hubungannya dan kekasihnya hancur. Karena aku tak akan membiarkan seorangpun memiliki Stella.
***
Cahaya matahari masuk dari pintu yang terbuka lebar. Aku mengerjapkan mataku untuk menyesuaikan mataku dengan cahaya yang begitu terang. Suara tumit sepatu yang mengetuk lantai menarik perhatianku.
"Aku harus pergi. Aku ada pekerjaan."
"Stella tunggu. Tidak bisakah kau memberitahuku apa pekerjaanmu?"
"John, sudah ku bilang aku bukan pelacur. Jadi kau tenang saja."
"Tapi mengapa kau tak mau memberitahuku?"
"Karena aku tidak mau!" Ujar Stella yang kemudian melangkah pergi meninggalkanku.
Tidak. Aku tak bisa diam saja. Aku bisa gila karena pikiranku sendiri. Aku harus tahu apa pekerjaan gadis itu!
Bersambung ke part 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D