Entah mengapa hariku terasa begitu buruk akhir-akhir ini. Terlebih setelah beberapa hari yang lalu aku melihat Johnie bersama gadis itu. Gadis yang pernah menjadi kekasihnya beberapa tahun silam. Apakah John akan kembali padanya? Entahlah, yang jelas itu membuat suasana hatiku benar-benar buruk.
Aku
menantang matahari pagi, berjalan dengan tumitku yang tinggi. Untunglah aku
sudah terbiasa berjalan dengan tumit setinggi ini, tentu saja setelah latihan
berbulan-bulan ala model profesional yang berjalan di atas catwalk.
Aku
sampai di sebuah bangunan tinggi bertuliskan Dortman’s House. Sebuah gedung
yang hampir penuh dengan kaca, terlihat mewah dan berkelas. Aku merapikan gaun
dan kacamataku, melangkah dengan harga diri tinggi menuju ke dalam gedung itu.
“Selamat
pagi, saya ingin bertemu dengan Mr. James. Saya sudah ada janji dengan beliau.”
Aku berkata pada gadis berambut coklat yang digelung dengan rapi.
“Tentu,
silahkan masuk.” Dengan ramah gadis itu mempersilahkanku masuk ke ruangan
James.
Ruangan
yang sangat familiar untukku. Dengan dekorasi klasik yang didominasi warna
coklat dan barang-barang mahal yang mengisi setiap sudut ruangan. Siapa yang
tak kenal James? CEO Dortman Enterprise yang sukses di usia muda. Taipan tampan
yang menikah dengan seorang model berkelas internasional yang lebih tua enam
tahun darinya.
“Selamat
pagi Mr. James.” Ujarku sambil melepas kacamata hitamku.
“Stella.”
Mata lelaki itu terbelalak menatapku. Apakah baginya aku adalah sebuah kejutan?
Entahlah. Mungkin saja nona Stella yang cantik ini akan selalu membuatnya
terkejut setiap saat.
“Tak
perlu terkejut James.” Aku bersandar pada meja kerja lelaki itu. “Bagaimana
pendapat istrimu tentang gadis yang kau ajak makan malam tempo hari?”
“Anastasia,
kau benar-benar perempuan licik!” Ujar James yang mencoba meredam kemarahannya.
“Istrimu
itu yang terlalu berlebihan. Itu hanya foto James, apapun bisa terjadi.”
James
menghela nafasnya yang tampak begitu menyiksa untuknya. Rahangnya menegang,
punggungnya menegak. Mungkin dadanya seakan hendak meledak. Oh, teman —mungkin
tepatnya mantan musuh— yang sudah lama ku kenal ini wajahnya begitu kusut dan makin
menua. Maaf James, aku tak punya pilihan
lain.
“Lalu
apa yang kau mau sekarang?” Nadanya sedikit keras. Ia melonggarkan dasinya yang
sebenarnya justru ingin kuikat dengan kencang di lehernya.
“Aku
butuh uang.” Wajah James semakin memerah mendengar kata-kataku. “Atau aku akan
membongkar semuanya pada istrimu. Tentang perselingkuhanmu dengan gadis itu.”
Lelaki
itu terdiam untuk beberapa saat. Aku tahu darahnya mendidih. Tapi aku tak
mungkin mundur. Aku sudah melangkah sejauh ini. Permainan ini harus kuteruskan
atau aku akan menjadi gelandangan cantik karena diusir oleh pemilik rumahku
yang sewanya tak kubayar selama beberapa bulan.
“Diam
kau sialan. Berapa uang yang kau minta?”
“Secukupnya.
Harga yang pantas untuk tutup mulut.” Aku tahu James adalah lelaki bijak. Dia
sangat membutuhkan investasi istrinya untuk perusahaanya. Tak perlu berdebat
lebih lama hingga lelaki itu menandatangani cek untukku. Aku mengucapkan
selamat tinggal dengan senyum yang cukup lebar sebelum meninggalkan perusahaan
besar itu.
***
Lusa
tanggal dua puluh tujuh. Hari ulang
tahun Johnie. Aku ingin memberikan kejutan padanya. Sepasang sepatu berwarna
abu-abu yang terpajang di etalase bagian depan sebuah toko sepatu menarik
perhatianku. Itu adalah sepatu yang sama seperti yang diinginkan Johnie
beberapa bulan yang lalu. Hingga akupun memutuskan membelinya untuk hadiah
Johnie.
Setelah
membeli hadiah dan beberapa kebutuhaku, aku bergegas pulang dan mempersiapkan
sesuatu untuk Johnie.
“Stella…
Stella…” Suara seorang wanita membuatku membalikkan badan ketika aku hampir
mencapai pintu rumah yang untungnya telah diperbaiki oleh Johnie.
“Ada
apa, tante?” Jantungku berdegup kencang ketika melihat wanita itu menangis
sesegukan hingga wajahnya memerah.
“Johnie...
polisi membawa Johnie tadi siang.”
“Apa
lagi yang dilakukan Johnie? Anak itu kenapa tak berubah juga.” Aku menggerutu
kesal.
“Dia
memukul kepala seseorang gadis hingga gadis itu mengalami pendarahan hebat di
kepalanya.”
Antara
panik, marah, bingung, bercampur aduk dalam diriku. Bagaimana bisa dia
melanggar janjinya padaku untuk tak melakukan hal-hal kriminal lagi.
“Stella,
bisakah kau membantuku?”
“Untuk?”
“Bantulah
aku untuk menebusnya dari penjara. Aku tak punya uang lagi Stella, aku harus
membayar biaya pengobatan korban John. Kumohon, apa kau tega John memakan
makanan anjing di sana?”
“Dari
mana aku mendapatkan uang untuk menebus Johnie?” Tentu saja, biaya untuk
menebus Johnie tidak sedikit. Bahkan bukannya tak mungkin jika hal itu akan
menghabiskan uang yang kuperas dari James tadi pagi. Tapi apakah aku akan
setega itu melihat lelaki yang kucintai mendekam di penjara di hari ulang
tahunnya?
“Aku
akan mengusahakannya.”
***
Handukku masih membungkus rapi rambutku yang
basah. Aku duduk di sofa abu-abu yang biasa ditempati oleh Johnie sambil
memikirkan cara untuk membebaskannya. Tak mungkin aku harus memeras James lagi.
Aku masih memiliki hati nurani meski itu tak mendominasi. Ponselku berbunyi
kala aku masih berusaha memutar otakku.
Makan malam
besok di Red Hill, Ana?
Harry.
Harry? Lelaki kaya
itu masih saja terus-menerus mengejarku. Tidakkah cukup penolakanku kemarin?
Melihat raut wajah Johnie ketika aku dan Harry meninggalkannya semalam
membuatku cukup terluka hingga aku mampu membuat keputusan bijak untuk Harry.
Ini demi kebaikanku, Harry dan tentu saja Johnie. Demi Johnie? Kurasa suatu ide cemerlang terlintas di benakku.
Oke. Kita akan bertemu di Red Hill jam 7.
Aku akan
menjemputmu di rumahmu Ana. Berikan alamatnya.
Sial. Ini tak
boleh terjadi atau kedokku akan terbongkar.
Tidak Harry.
Aku akan menemuimu di Red Hill atau tidak ada makan malam.
Baik.
Kutunggu jam 7, cantik.
***
Sebuah
restoran mewah bergaya konservatif Cina yang didominasi oleh warna merah yang
tampak begitu elegan. Disetiap sudutnya terdapat hiasan-hiasan dengan tulisan
Cina yang tentu saja tak bisa ku baca. Benar-benar jauh dari bayanganku. Red Hill, yang awalnya kupikir adalah
sebuah restoran Eropa bergaya modern ternyata adalah sebuah restoran Cina yang
tampak sangat mewah.
Aku
mencoba menutup rasa kagumku dengan terus berjalan untuk mencari lelaki yang
memiliki janji denganku malam ini.
“Anastasia.”
Senyuman tersungging di wajahnya. Kemudian ia berdiri dan menarik kursi di
hadapannya untukku. Aku segera memutuskan pesanan secara acak karena aku tahu
aku tak akan bisa menikmatinya nanti.
“Jadi
bagaimana dengan bisnismu?” Aku mulai membuka percakapan untuk mencairkan
suasana ini.
“Berjalan
lancar. Aku memang jenius. Kau tahu itu Ana.” Dia tertawa dengan bangga. Ini
membuatku muak. Tapi sayang aku masih harus bertahan.
Demi Johnie. Demi Johnie. Demi
Johnie.
Mantra sihir yang terus kuulang untuk bertahan di hadapan lelaki sombong ini.
“Aku
butuh modal usaha. Kira-kira empat sampai lima ratus juta.” Nominal yang cukup besar
memang dan nyaris membuat bola mata lelaki itu melompat keluar.
“Untuk
usaha apa?”
“Sebuah butik. Kurasa itu nominal kecil untukmu
bukan? Seorang pengusaha yang kaya raya. Bisakah kau memberiku pinjaman tanpa
bunga?”
Dia
terdiam sejenak untuk berpikir.
“Aku
bahkan bisa memberimu cuma-cuma Anastasia. Tentu saja dengan syarat.”
“Apa itu?”
Harry meraih tanganku dan menggenggamnya. Matanya menatap ke dalam mataku seraya berkata, “Menikahlah denganku.”
Harry meraih tanganku dan menggenggamnya. Matanya menatap ke dalam mataku seraya berkata, “Menikahlah denganku.”
Bersambung ke part 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D