Selasa, 30 Desember 2014

My Destiny



Duk.. Duk.. Duk.. Duk..

Suara langkah sepatu berhak tinggi menggema di sepanjang lorong gedung di lantai dua. Semua mata memperhatikannya, bahkan tak jarang mereka menoleh dua kali ketika berpapasan dengannya. Rok mini lima belas senti di atas lutut yang mengekspos kaki jenjangnya, kemeja merah menyala tanpa lengan, tas jinjing bermerk Prada yang mengkilat, rambut ikal panjang berwarna pirang tergerai indah, lipstik yang senada dengan kemeja dan kaca mata hitam melengkapi penampilannya yang begitu mencolok di lantai kedua sebuah perusahaan desain arsitektur.

Tatapan kagum, iri, bahkan geli dari para pegawai ditujukan pada wanita itu. Wanita salah kostum. Langkahnya terhenti di depan dua orang pegawai yang tengah menatapnya sinis sambil berbisik-bisik satu sama lain. Diangkatnya kacamata hitam yang sedari tadi menutup mata indahnya. Tatapan angkuh dan mengintimidasi yang memancar dari kedua mata indahnya membuat kedua pegawai itu segera menyingkir dari hadapannya. Kembali dilangkahkan kakinya menuju ruangan yang berada di ujung lorong.

Meja sekretaris di depan ruangan tersebut kosong. Tanpa ragu ia melangkah membuka pintu yang ada di hadapannya. Begitu romantis. Dua sejoli dihadapannya sedang berpelukan erat dengan bibir yang saling berpagut mesra. Entah berapa lama mereka melakukannya sehingga tak memperhatikan bahwa seseorang tengah memperhatikan mereka. Wanita itu menyilangkan kedua tangannya, menikmati pertunjukan didepannya.

“Belum selesai juga?” Tanya wanita itu dengan nada jijik. Kedua sejoli itu terkesiap, segera melepaskan diri.

“Amanda, ini tidak seperti yang kau lihat. Kau salah paham.” Sang pria berusaha meyakinkan Amanda dengan menggenggam kedua tangannya.

“Oh.. Aku salah lihat? Maafkan aku sayang, mungkin ada gangguan di mataku.” Kata Amanda dengan nada sedih. Sedetik kemudian, ekspresi muak kembali terpasang di wajahnya. “Kau benar-benar brengsek! Dan kau, jalang, segera kemasi barangmu, ajukan surat pengunduran diri saat ini juga! Kalian menjijikkan.”

Amanda memutar tubuhnya, meninggalkan ruangan tersebut tanpa lupa membanting pintu untuk menunjukkan kemurkaannya. Dia begitu geram melihat kekasihnya tengah bermesraan dengan sekretaris jalang itu tepat di depan matanya. Suara langkah terburu buru terdengar menggema di belakang wanita itu.

“Amanda, tolong dengarkan aku. Aku ingin kau mendengarkan penjelasanku sebentar.” Amanda menghentikan langkahnya mendengar suara parau kekasihnya. Ditatapnya pria yang kini berada di hadapannya. Wajahnya pucat pasi dan suara paraunya terdengar begitu gugup.   

“Tiga menit.” Ucap Amanda tak acuh. Hening. Pria itu seolah kehilangan suaranya. Mulutnya terbuka, kemudian tertutup kembali bagai seekor ikan yang kehabisan nafas. Pandangan mengintimidasi putri pemilik perusahaan desain arsitektur tersebut nampaknya memang selalu membuat nyali lawan bicaranya menciut. Tak ingin membuang-buang waktunya, Amanda melangkah meninggalkan pria tampan dihadapannya.

“Amanda.. Tunggu Amanda. Aku.. Aku..” Pria itu terbata-bata, tidak tahu harus mengatakan apa pada kekasih yang telah tiga bulan bersamanya. Ia menggigit bibirnya, menyesali tindakan bodohnya yang dapat mengancam karirnya sebagai seorang arsitek.

“Kita akhiri semuanya disini. Jika kau khawatir tentang karirmu, tenang saja. Aku tak akan mengatakannya pada ayah. Hanya saja, rasanya begitu menjijikkan jika perusahaan ayahku kau gunakan untuk hal yang tidak bermoral seperti itu.” Tegas Amanda. Pria itu kembali bungkam, tubuhnya membeku oleh mulut pedas Amanda. Beberapa pasang mata sibuk memperhatikan sinetron sesaat antara putri pemilik perusahaan dengan arsitek tampan ternama.

*** 

Amanda mendatangi toko buku langganannya yang terletak tak jauh dari perusahaan ayahnya. Wajahnya yang masih begitu kacau sedikit tersembunyi berkat kacamata gelap yang dikenakannya. Gadis itu selalu dapat membuat orang lain memberikan perhatian lebih padanya karena penampilannya yang selalu glamor. Beberapa rak buku favoritnya telah ia lewati begitu saja tanpa melirik sedikitpun. Kakinya yang jenjang masih terus melangkah dengan anggun menaiki tangga menuju ke lantai dua.

“Riiiiik.. Eriiiiiik..” Teriak Amanda serak. Tanpa menunggu lama, seorang pria tampan mengenakan setelan kaos hitam dan jeans belel dengan rambut yang berantakan keluar dari sebuah ruangan. Tanpa bergeming, pria itu merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa ragu Amanda berhambur kedalam pelukan pria itu. Tangisnya yang telah ia tahan demi menjaga imejnya dihadapan semua orang akhirnya meledak dalam pelukan pria itu. Pria itu mengusap pelan punggung Amanda untuk menenangkannya.

Amanda tak pernah sungkan menunjukkan suasana hatinya pada Erik. Karena Erik telah mengetahui segala kelemahannya. Bagaimapun juga, ia adalah wanita. Seberapa tangguh pun ia mengenakan topeng untuk menutupi segala kelemahannya, topeng tetap memiliki celah. Dan Erik telah menemukan celah tersebut.

Setelah Amanda tenang, disodorkannya segelas air dingin di hadapan Amanda. Pria itu tertawa melihat wajah Amanda yang kacau dengan mata sembab yang masih basah. Ia mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, kemudian ia menyangga dagunya dengan sebelah tangan yang bertumpu pada lututnya.

“Jadi, bukankah ini sudah yang ke lima kalinya dalam setahun ini?” Tanya pria tampan pemilik toko buku langganan Amanda tersebut. Amanda mengangguk murung. Diteguknya setengah gelas air dihadapannya untuk mendinginkan hatinya.

“Kenapa akhirnya selalu seperti ini? Kapan akan ada lelaki yang tulus mencintaiku?” Air mata mengalir membasahi wajah cantiknya. Ia kembali menangis sesenggukan mengingat deretan mantan kekasihnya yang selalu berkhianat padanya. Parasnya yang cantik dan anggun, auranya yang berani sering kali membuat para pria menggilainya dan bertekuk lutut padanya. Namun meski begitu, rasa-rasanya tak ada satupun dari mereka yang benar-benar mencintai Amanda. Mereka hanya memburu kecantikan dan kekayaan yang dimiliki oleh Amanda.

Tawa terpingkal-pingkal justru keluar dari mulut Erik. Jika membayangkan perkenalannya dengan wanita dihadapannya tiga tahun yang lalu saat pertama ia membuka toko bukunya, ia tak akan pernah menyangka bahwa wanita sombong yang menggunakan mulut pedasnya untuk mencela tokonya adalah wanita yang sedang sesenggukan dihadapannya. Alis Amanda mengkerut, tak terima atas tawa yang muncul dari mulut Erik.

“Jangan salah paham, aku hanya teringat masa lalu. Bagaimana bisa wanita angkuh sepertimu selalu menangis seperti ini setelah dikhianati oleh pacarmu.”

“Harusnya seseorang perlu mengkhianatimu agar kau tahu bagaimana rasanya dikhianati.” Nada bicara Amanda semakin meninggi karena kesal.

“Sudahlah. Aku tahu rasanya. Cuci wajahmu. Make upmu benar-benar berantakan.” Seru Erik sambil melemparkan handuk ke pangkuan Amanda.

“Tapi aku tidak membawa make up untuk memperbaikinya lagi.” Rengek Amanda manja.

“Kau cantik tanpa make up.” Erik melemparkan seulas senyum menawannya sebelum menuruni tangga untuk mengecek toko buku miliknya di lantai bawah. Semburat kemerahan menghiasi wajah cantik Amanda. Seulas senyuman pun tersungging di bibir merah Amanda. 


***

Duk.. Duk.. Duk.. Duk..

Kembali langkah sepasang sepatu hak tinggi mengetuk lantai kedua perusahaan desain arsitektur tersebut. Kali ini bukan rok mini dengan penampilan mencolok seperti biasa yang membuat para pegawai memperhatikan wanita itu. Setelan celana jeans belel dengan kemeja putih, rambut pirang yang diikat ekor kuda, make up tipis dengan lipstik pink segar menghiasi bibirnya. Tentunya hal ini dipandang sebagai sesuatu yang aneh karena ini bukanlah hal biasa, putri pemilik perusahaan tersebut berpenampilan sederhana meski tetap dengan pembawaannya yang angkuh dan mengintimidasi.

Brak

Meja sekretaris yang dipukul oleh Amanda, membuat sekelilingnya memberikan perhatian penuh pada Amanda.

“Kenapa kau masih disini? Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?” Tanya Amanda pada sekretaris yang berdiri kaku menundukkan kepala. “Dasar jalang tak tahu malu!” Tangan Amanda sudah hampir melayang ke wajah sekretaris tersebut. Namun sebuah tangan besar menghentikannya.

“Apa yang kau lakukan?” Bentak seorang pria yang berdiri di belakang Amanda.

“Oh, Alvin sayang, sang pangeran menyelamatkan gadis jalangnya?” Sindiran sinis terlontar dari mulut Amanda.

“Amanda, kau tidak bisa melakukan ini.” Bisik Alvin geram.

“Tentu saja aku bisa melakukan apapun disini. Termasuk membuat kalian berdua dipecat dari perusahaan ini.” Kesombongan merajai hati Amanda. Pengkhianatan mereka berdua benar-benar telah membuatnya murka. “Sekarang kembalikan credit cardku. Aku tak akan rela kau menghamburkan uangku bersama gadis jalang itu.” Perintah Amanda. Ragu-ragu Alvin mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam. Kemudian dengan cepat disahutnya kartu tersebut oleh Amanda. Tanpa banyak bicara, Amanda segera meninggalkan tempat tersebut dengan beberapa padang mata yang masih melekatkan pandangan mereka padanya.

*** 

Diraihnya sebuah novel terjemahan tebal dari rak buku yang berada di dekat meja kasir. Kemudian ia membaca sekilas blurb yang ada di sampul belakang novel tersebut. Lalu dirobeknya plastik segel novel tersebut. Seorang pegawai baru, bersiap untuk menegurnya namun Erik melarang. Dari kejauhan Erik bersandar pada dinding dengan tatapan lurus memperhatikan wanita yang memiliki penampilan lain hari ini.

“Namanya Amanda kalau tidak salah. Iya, putrinya Pak Irwan kan?” Kata seorang wanita dengan setelan pakaian kerja seraya membolak-balik sebuah buku resep.

“Iya, kasihan. Dikhianati pak Alvin sama sekretarisnya. Mukanya judes sih. Pantes cowok pada kabur. Kalau aku jadi cowok juga aku pasti milih sekretaris itu. Cantik, ramah, kalem lagi” Sahut temannya sambil tertawa.

Erik yang memang memiliki pembawaan tenang hanya mendengarkan kedua wanita itu berceloteh sambil matanya tetap mengawasi reaksi Amanda. Wanita itu berdiri mematung. Pandangannya kosong menatap rak buku dihadapannya.  Erik sangat paham tentang rapuhnya hati wanita angkuh yang selalu mengisi hatinya. Ia segera mengambil langkah merengkuh pinggang wanita itu dan membawanya ke lantai dua.

Suasana hening tercipta di dalam ruangan temaram di lantai dua. Matahari senja menelusup samar dari balik tirai. Amanda menaikkan kedua kakinya ke sofa, menenggelamkan wajahnya di antara lututnya. Isakan tertahan terdengar begitu pelan oleh Erik yang duduk di sampingnya. Tak banyak yang bisa ia ucapkan karena ia bukanlah tipe pria pembual yang lihai merangkai kata-kata. Cukup lama terjebak dalam suasana hening untuk mendengar isak tangis gadis yang dicintainya itu, membuat Erik berpikir ia harus melakukan sesuatu.

“Sudahlah, jangan dengarkan mereka. Yang mereka katakan itu tidak benar.” Erik mencoba menghibur.

“Tapi mereka memang benar. Aku judes. Sampai sekarang tak ada pria yang benar-benar mencintaiku.” Amanda tak lagi dapat menahan tangisnya. Agaknya rasa kesal dalam hatinya mulai meluap. Erik menggenggam tangan Amanda untuk memberikan sedikit rasa tenang padanya. Karena Amanda tak dapat membendung lagi kesedihannya, ia berhambur memeluk Erik dan berteriak dengan kencang untuk melepas rasa kesalnya.

“Kecilkan suaramu, bodoh! Pegawai dan pelanggan bisa berpikir yang tidak-tidak” Bisik Erik sambil menggoyang bahu Amanda.

“Tidak mau! Mereka semua brengsek! Mereka hanya mengincar fisik dan hartaku. Jika selalu seperti ini kapan aku menikah? Aku ingin menikah! Aku tak mau jadi perawan tua!” Amanda berteriak, meronta seperti seorang anak kecil yang kehilangan bonekanya. Erik pun merengkuhnya dalam sebuah ciuman lembut yang dalam untuk membungkam mulut Amanda.

“Aku yang akan menikahimu.” Tukas Erik serius. Amanda seolah kehilangan suaranya. Jantungnya berdebar kencang mengingat segala sesuatu yang serba mendadak. Amanda membeku menatap pria dihadapannya yang tak pernah disangkanya akan begitu berani.

“Mengapa kau mau menikahiku?” Tanya Amanda begitu mendapatkan kembali suaranya meski serak dan terbata-bata.

“Karena aku mencintaimu. Tak peduli bagaimana angkuhnya dirimu, keras kepalamu, mulut pedasmu, rapuhnya hatimu, aku mencintaimu. Bagaimanapun orang lain memandangmu, selama itu adalah kau, aku akan tetap mencintaimu.” Erik menatap lekat-lekat mata bulat Amanda untuk meyakinkannya.

Kedatangan Amanda memang telah merubah pandangan Erik tentang wanita. Erik begitu paham dengan arti sebuah pengkhianatan. Begitu menyakitkan. Namun Amanda begitu kuat oleh sebuah pengkhianatan yang bertubi-tubi setelah tiga tahun Erik mengenalnya dan itu telah menumbuhkan sesuatu dalam hati Erik. Sesuatu yang membuatnya selalu ingin melihatnya bahagia, melindunginya bahkan memilikinya.

Setiap kali Amanda menangis di pelukan Erik karena pengkhianatan yang dilakukan kekasihnya, saat itu pula dorongan untuk memilikinya semakin kuat. Namun Amanda yang selalu berdampingan dengan pengusaha muda maupun orang-orang sukses lainnya, membuat Erik menahan diri mengingat dia hanya pengusaha sebuah toko buku. Tetapi, ia tak bisa lagi berlama-lama membiarkan wanita yang dicintainya itu tersakiti oleh orang lain.

“Kupikir kau tak pernah memiliki rasa itu untukku.” Mata sembab Amanda nampak berbinar. “Ekspresimu selalu datar. Aku tak pernah bisa menebak perasaanmu.” Amanda memberi jeda. “Apakah ini nyata?” gumam Amanda meyakinkan.

“Ini nyata Amanda. Mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi apakah kau mau menikah denganku?” Digenggamnya tangan Amanda dengan erat seolah tak ingin melepaskannya. Amanda mengurai senyum di bibirnya.

“Tentu saja, Erik.” Jawab Amanda mantap.

Sekian lama ia nantikan, Erik, pria mandiri yang selalu mendapatkan hatinya sejak pertemuan pertamanya. Pria yang selalu dapat memberikan kedamaian di hatinya. Pria yang dapat menerima segala kelemahannya. Dan dialah pria yang telah ditakdirkan Tuhan untuknya.

TAMAT

2 komentar:

  1. Antara kasihan dan pingin ketawa sama kelakuanne Amanda. hahahaha

    BalasHapus
  2. hahahaha.. amanda aslinya baik looo :v

    BalasHapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D