Jumat, 26 Desember 2014

Titik Kelabu


Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Jin setan kang tak utusi
Dadyo sebarang
Wojo lelayu sabet

Tembang Lingsir Wengi yang telah ratusan kali diputar untuk latar musik teater selama empat bulan terakhir, selalu membuat bulu kuduk Arya merinding. Ditambah lagi mendengar cerita mistis teman-temannnya sehabis latihan malam ini membuatnya bergidik ngeri. Yang ia ketehui, tembang itu pernah populer untuk memanggil kuntilanak. Namun, sang sutradara mengelak. Menurutnya, itu hanya tembang yang di gunakan untuk film kuntilanak, bukan untuk memanggil kuntilanak, makhluk halus atau sejenisnya. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangannya. Hampir jam delapan malam. Arya berpamitan untuk pulang karena tak tahan dengan suasana yang kian mencekam di ruang teater.

Di tempat yang sama, untuk kesekian kalinya Arya menghentikan motornya untuk menatap gadis mungil berambut hitam legam sebahu itu tengah menatap sebuah rumah yang berdiri megah di perumahan elit dekat kostnya. Gadis itu menatap jendela gelap di lantai dua, mulutnya terlihat komat-kamit seperti mengatakan sesuatu.

Dia berbicara sendiri! Namun Arya segera membuang pikirannya jauh-jauh. Dilayangkan pandangannya mengikuti arah mata gadis tersebut. Sepi dan gelap. Arya menelan ludah melihat gadis itu berbicara dengan ekspresi wajah yang berubah-ubah pada jendela di lantai dua. Merasa diperhatikan, gadis mungil tersebut menoleh memandang Arya.

Sial.

Bulu kuduk di sekitar tengkuknya merinding, jantungnya berdebar, tubuhnya terasa kaku bagai sebuah batu. Gadis itu tersenyum pada Arya. Mental Arya yang telah terguncang sejak latihan teater tadi membuatnya memacu motornya dengan kencang agar segera sampai di kostnya.

“Bang, tahu rumah pojok dekat lapangan nggak?” Tanya Arya pada penjual sate keliling yang berhenti di depan kost. Arya sengaja menunggu penjual sate berteriak menyuarakan dangangannya karena malam ini nyalinya telah menciut untuk berkeliaran mencari makan dan melewati rumah tersebut.

“Oh, itu rumah Pak Akbar. Dari dulu dikontrakin nggak ada yang mau mas.” Jelas tukang sate tersebut yang memang telah mengenal kawasan perumahan itu sejak sembilan tahun lalu.

“Disitu sering ada perempuan rambut segini ya bang?” Arya memperagakan rambut sebahu gadis itu dengan kedua tangannya. “Saya sering lihat dia ngomong sendiri.” Lanjutnya. Si penjual sate mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Arya dan mencoba mengingat sosok yang dimaksud oleh Arya.

“Wah, saya nggak inget mas. Mungkin mas salah lihat kali.” Kata penjual sate tertawa sambil memberikan sebungkus sate pesanan Arya.
***
Sudah seminggu Arya tidak lagi melihat gadis itu di rumah mewah yang ada di ujung jalan. Dia begitu penasaran tentang siapa gadis itu. Apakah dia manusia atau hantu seperti di film-film. Arya terlarut dalam pikirannya hingga ia tak menyadari seseorang tengah memperhatikannya.

 Dung..Dung..Dung

Suara gendang yang ditabuh tepat di samping telinga Arya telah membuyarkan lamunannya. Keisengan teman-teman teaternya, kadang membuatnya geram.  Namun Arya sadar melamun saat jam latihan adalah sebuah kesalahan. Ketika Arya bangun dari duduknya, sekilas ia melihat seorang gadis tersenyum padanya. Itu dia. Gadis yang sering dilihatnya berbicara sendiri sedang tersenyum padanya di balik pintu kaca ruang teater. Arya menyenggol Udin yang sedang berusaha menghafalkan teks bagiannya.

“Din, perempuan itu siapa sih? Pernah lihat?” Arya mencoba menunjuk gadis itu dengan gerak matanya. Setelah melihatnya dengan seksama, Udin menggeleng pelan. Dia mengatakan bahwa dia tak pernah melihat gadis itu sebelumnya. Tembang Lingsir Wengi kembali diputar sebagai pertanda pemain harus siap berada di balik panggung. Latihan dimulai, namun pikiran Arya masih saja tertuju pada gadis mungil tersebut.

Pukul tujuh malam latihan telah usai, Arya bergegas menuju parkiran motornya untuk segera pulang karena latihan keras membuat tubuhnya benar-benar lelah. Seseorang tiba-tiba menghadang jalan Arya. Betapa terkejutnya ia melihat sesosok cantik di hadapannya.

“Mau kemana?” Tanya gadis itu dengan senyum simpul di bibirnya yang menambah kecantikannya.

“Mau pulang.” Arya mengernyitkan dahi, memandang lekat-lekat gadis yang tidak asing lagi baginya. “Kau bukannya perempuan yang biasanya bicara sen-, ah maaf maksudku biasa di rumah ujung itu bukan?” Gadis itu tersenyum lebar.

“Ternyata benar kau memperhatikanku. Jangan salah paham, aku tidak berbicara, aku hanya berdoa.” Tukasnya. “Aku Shela.” Diulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Arya.” Secara impulsif Arya menjabat tangan mungil Shela. “Kenapa masih di kampus? Mahasiswa sini?” Tanya Arya penasaran. Gadis itu mengangguk. Dia memberi penjelasan singkat bahwa dia adalah mahasiswi komunikasi tahun kedua, setingkat diatas Arya dan dia sedang menunggu seseorang. Arya yang memang sudah sangat lelah akhirnya berpamitan untuk pulang terlebih dahulu.

“Besok, jika tidak keberatan aku tunggu di kantin ya jam 2 siang. Aku yang traktir.” Ucap gadis itu, membuat Arya membalik badan, menatap gadis yang tengah melambaikan tangan padanya. Arya mengangguk sambil mengacungkan jempolnya tanda setuju dengan ajakan Shela.
***
Datang. Tidak. Datang. Tidak. Arya sedang bimbang antara datang ke kantin atau tidak. Setelah menghitung manik-manik gelang yang ia temukan di ruang teater, ia mendapati ‘datang’ sebagai manik-manik terakhir pada gelangnya, akhirnya Arya meraih tasnya dan melangkahkan kakinya menuju ke kantin.

Dilemparkan pandangannya kesekeliling kantin hingga matanya mendapatkan seorang gadis menggunakan blazer biru tua dengan rambut hitam sebahu tengah duduk sendiri dengan menyangga dagunya. Dengan mantap Arya mendekati meja tersebut.

“Sudah lama? Maaf aku terlambat.” Kata Arya menarik kursi di hadapan Shela.

“Tidak apa-apa. Aku juga baru saja sampai.” Senyum manis Shela melebar begitu melihat Arya dihadapannya. Shela segera meminta Arya untuk memesankan makanan dan minuman untuk mereka berdua.

“Ada apa sampai seorang perempuan cantik ini mau mentraktirku?” Goda Arya sambil menyeruput kopi susu yang dipesannya.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Aku sering melihatmu lewat rumah mewah itu.” Shela tersenyum membayangkan wajah ketakutan Arya tiap kali melihatnya di depan rumah itu. “Jangan-jangan kau berpikir aku ini setan?” Arya terdiam sesaat karena tebakan Shela yang sama sekali tidak meleset.

“Ah, ti- tidak.” Jawab Arya gugup. “Aku tak pernah berpikir seperti itu.” Tawa terpaksa keluar dari mulut Arya karena rasa segannya pada gadis itu.  “Kalau boleh tahu, kenapa kau selalu menatap jendela itu?” Lanjut Arya yang penasaran. Hening. Senyum gadis itu perlahan memudar, raut wajahnya yang riang berubah drastis seolah ia memiliki sebuah kenangan pahit dengan rumah tersebut.

“Itu rumah Pak Akbar. Beliau memiliki tiga orang anak. Anak keduanya, Andra, dia adalah pacarku.” Shela menghela nafas besarnya untuk memberikan jeda pada ceritanya. “Dia tampan, pandai dan tentu saja aku mencintainya.” Pandangannya menerawang membayangkan wajah tampan kekasihnya sambil menyunggingkan senyum getir di bibirnya. “Titik Kelabu.” Shela memberi sebuah klu untuk Arya. Arya terdiam sejenak mendengar dua kata yang sama sekali tidak asing di telinganya.

“Itu judul drama teater yang sebentar kami pentaskan.” Kata Arya menanggapi. Shela mengangguk. Arya semakin penasaran mengapa gadis itu menyebut judul drama tersebut. Arya mengerutkan dahinya, berharap Shela segera melanjutkan ceritanya.

“Dia sangat menginginkan peran sebagai Mahendra.” Sekali lagi Shela menggantung ceritanya dan meminum jus leci dihadapannya.

“Itu peranku.” Sahut Arya menanggapi pernyataan Shela. Shela mengangguk pelan.

“Dia mendapatkannya.” Kembali diberikannya jeda untuk ceritanya. “Tapi dia tak dapat mementaskannya. Seminggu sebelum pementasaan, ia mengalami kecelakaan. Dan sayangnya tak ada yang dapat menolongnya.” Air mata yang sejak tadi tertahan tak dapat lagi dibendungnya. Kepedihan begitu terlihat nyata di raut wajahnya. “Padahal aku begitu ingin melihat orang yang kucintai memainkan drama itu.”

“Kenapa?” Tanya Arya memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.

“Karena aku membuat naskah itu untuknya.” Mata Arya terbelalak tak percaya. Andhini Shela Satriani, penulis naskah Titik Kelabu adalah gadis mungil yang sedang duduk dihadapannya.

Setahun lalu, Teater Topeng Kaca mengadakan lomba menulis naskah dan naskah Shela terpilih menjadi naskah terbaik. Sesuai dengan perjanjian, naskah terbaik akan dipentaskan. Andra, anggota teater tersebut, mati-matian berusaha untuk mengikuti casting sebagai Mahendra demi kekasihnya yang telah membuat naskah tersebut sebagai hadiah satu tahun mereka pacaran. Tentu saja peran itu didapatkan dengan mudah oleh Andra, karena tokoh Mahendra adalah cerminan Andra. Segala sesuatu tentang Mahendra ada pada diri Andra. Hingga hari itu, tepat seminggu sebelum pementasan, Andra mengajak Shela untuk menyaksikan latihannya. Namun malang, karena menerobos lampu merah, sebuah truk berkecepatan tinggi dari arah berlawanan menghantam mereka hingga maut menjemput Andra saat itu juga dan pementasan dibatalkan.

Shela menghela nafas besar, mengakhiri ceritanya. Perasaannya terasa ringan. Begitu lama ia memendam cerita itu. Arya adalah orang pertama yang mendengar kisah tragisnya setelah kecelakaan setahun yang lalu. Namun di sisi lain kebahagiaan seolah menghangatkan hati Shela. Setelah setahun ia menunggu, akhirnya karyanya tersebut dipentaskan. Meski sangat disayangkan Andra tak dapat memainkan perannya.

Arya melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Pukul empat sore. Obrolan mereka ternyata berlanjut cukup lama hingga tanpa terasa Arya harus melanjutkan latihannya. Pertunjukan kurang seminggu lagi, karena itu ia harus berusaha mati-matian meskipun merasa lelah.

“Shela, maaf. Sudah jam empat, aku harus latihan. Mau nonton?” Arya menawarkan pada sang penulis untuk menyaksikan latihannya.

“Boleh?” Shela terbelalak tak percaya karena mendapatkan sebuah kesempatan menonton latihan Titik Kelabu.

“Tentu saja. Sebuah kehormatan sang penulis bisa hadir menyaksikan Mahendra.” Puji Arya membuat gadis itu merona malu. “Aku heran kenapa harus menggunakan tembang Jawa. Itu membuatku merinding. Seperti di film Kuntilanak.” Protes Arya pada sang penulis.

“Kuntilanak?” Ulang Shela mengkonfirmasi ucapan Arya. Arya mengangguk. “Arya, aku tidak mengerti kenapa kau menghubungkan tembang itu dengan kuntilanak. tapi bukan itu maksudku. Di dalam lagu itu ada makna kebaikan yang tersirat. Sesuai dengan tema ceritanya.” Arya mengangguk, mencoba memahami maksud Shela. Namun tetap saja ia merasa ngeri ketika mendengarnya ratusan kali selama empat bulan terakhir.

Latihan dimulai, Shela duduk di sudut ruangan memperhatikan akting Arya yang memerankan Mahendra. Dia begitu antusias melihat latihan drama. Seulas senyum puas menghiasi wajah cantik Shela.
***
Pukul enam tiga puluh. Latihan telah selesai. Mata Arya menatap sudut ruangan tempat Shela menunggu, namun ia tak menemukan sosok yang dicarinya.

“Ran, lihat perempuan yang tadi duduk disitu?” Tanya Arya menunjuk tempat yang dimaksud. Namun Rani tak melihatnya. Begitu pula jawaban Dedi dan Ana setelah Arya memberi pertanyaan yang sama pada mereka.

Setelah beristirahat sejenak, tepat pukul tujuh malam Arya memutuskan untuk pulang. Sesampainya di dekat rumah mewah dekat kostnya, ia sengaja menurunkan kecepatannya. Tepat seperti dugaannya, dilihatnya gadis itu berdiri di tempat yang sama seperti biasa. Arya melajukan motornya agar dapat memperhatikannya dari jauh.

Arya memarkirkan motornya beberapa meter dari rumah tersebut. Ia mengendap-endap mendekati Shela tanpa sepengetahuannya. Ia berdiri dibelakang Shela, bersiap-siap untuk mengagetkannya.

“Harusnya aku bisa melihatmu sebagai Mahendra.” Kata Shela dengan suara yang bergetar seolah menahan tangisnya. Arya melangkah lebih mendekat. Namun langkahnya terhenti ketika Shela meneruskan kata-katanya. “Kau ingat lelaki yang kau bilang selalu memperhatikanku disini? dia yang menggantikan peranmu. Aku cukup senang dia mendapatkan peran itu.” Isakan kecil keluar dari mulut Shela. “Andra, apakah kau benar-benar rela melepaskanku bersamanya? Aku benar-benar mencintai Arya,  maafkan aku.”

Arya yang mendengarkan ucapan Shela perlahan mendekat. Merengkuh gadis itu dalam dekapannya. Gadis mungil yang terlihat begitu rapuh, benar-benar membuat Arya ingin melindunginya. Gadis itu terkesiap dan segera membalikkan tubuhnya, memastikan pemilik lengan kekar yang telah merengkuhnya.

“Apa itu benar?” Tanya Arya meyakinkan ucapan Shela. Shela mengangguk pelan. Kembali didekapnya gadis mungil yang terlihat menanggung beban begitu berat di pundaknya. Tangisnya meledak dalam pelukan Arya. Arya mengusap punggung gadis itu untuk menenangkannya. Namun tangisnya justru semakin menjadi. Beberapa menit selanjutnya, perlahan tangis gadis itu mereda.

“Akan kuantarkan kau pulang.” Kata Arya menggandeng tangan Shela. Shela mengangguk, melangkah pelan di belakang Arya. Beberapa menit kemudian sampailah mereka didepan sebuah rumah bercat biru muda. Rumah yang indah meski tak semegah rumah Andra. Jaraknya pun cukup jauh dari rumah Andra.

“Terima kasih. Maafkan aku telah merepotkanmu.” Kata Shela mengembangkan senyum manis di bibirnya.

“Aku tak merasa direpotkan. Masuklah. Sudah malam.” Arya mengusap rambut Shela, membuat wajah gadis itu merona. Shela melambaikan tangannya sebagai perpisahan untuk Arya, kemudian masuk melewati pagar rumahnya.
***
Kostum sudah dikenakan. Teks telah dihafalkan di luar kepala. Kepercayaan diri pun telah dikumpulkan. Para pemain telah siap di belakang panggung untuk pementasan Titik Kelabu. Gadis itu tersenyum, duduk di kursi penonton bagian paling depan. Dilambaikanya tangannya pada Arya yang tengah memperhatikannya.

Tembang Lingsir Wengi yang menjadi pembuka pementasan tersebut telah terdengar mendayu-dayu. Semua pemain mulai mempersiapkan diri mereka untuk memerankan peran mereka masing-masing. Setiap pemain mengeluarkan kepiawaiannya dalam berakting dalam drama berdurasi lima puluh menit itu.

Tepuk tangan penonton dan sorak sorai kagum terhadap suksesnya pementasan tunggal tersebut menandai akhir dari acara yang telah dipersiapkan dengan sempurna. Tangis haru mengalir dari mata indah Shela. Ia tak pernah menyangka karyanya akan menjadi seindah ini. Arya yang telah menyelesaikan tugasnya berhambur memeluk Shela.

“Bagaimana?” Tanya Arya bangga.

“Luar biasa. Aku benar-benar terpesona. Aku tak pernah menyangka karyaku dijadikan sebuah pentas tunggal dan menjadi seindah ini. Dan kau Mahendra, aku benar-benar bangga padamu.” Shela menirukan dialog salah satu pemain dalam drama tersebut.

“Terima kasih.” Arya mengecup kening Shela. “I love you, Shela.” Bisiknya di telinga Shela.

“I love you, too.” Balas Shela malu-malu.

“Arya.” panggil salah satu teman teaternya.

“Sebentar ya. Tunggu disini sebentar.” Arya yang sedang bersama dengan Shela, berpamitan sejenak untuk mengikuti langkah temannya menuju ruang teater. Sesaat kemudian langkahnya terhenti sejenak, kemudian berbalik mendekati Shela. Dikecupnya bibir merah muda Shela dengan cepat kemudian kembali untuk berkumpul dengan teman-teman teaternya.

“Luar biasa. Pementasan ini benar-benar sempurna.” Kata sang sutradara gembira.

“Tentu saja, naskahnya benar-benar bagus. Apa lagi artisnya, luar biasa.” Sahut asisten sutradara dengan memberikan tepuk tangan yang diikuti oleh seluruh anggota.

“Aku kenal penulis naskahnya. Benar-benar cantik dan cerdas.” Arya membanggakan gadis mungil yang selalu menemaninya latihan seminggu terakhir ini.

“Kau mengenalnya?” Sang ketua teater membuka suara. Arya mengangguk.

“Dia ada didepan.” Arya menunjuk pintu kaca dengan ibu jarinya.

“Jangan bercanda. Dia sudah meninggal setahun yang lalu, kecelakaan bersama pacarnya. Makanya dulu pementasannya gagal. Aku yang jadi sutradaranya.” Jelas sang sutradara membanggakan diri, menepuk-nepuk dadanya. “Kau masih ingat Andra kan, Ben? Waktu itu si Shela masih mahasiswa baru.” Sang sutradara mengingatkan Beni, senior Teater Topeng Kaca yang sudah empat tahun aktif dalam kegiatan teater.

“Iya, aku ingat. Tapi yang aku tahu Andra memang meninggal, sedangkan Shela masih koma.” kata Beni yang masih meragukan pernyataannya sendiri.

“Kalian jangan bercanda. Kan seminggu ini dia ikut latihan. Dia mungil kan? Rambutnya segini?” Arya menepuk pundaknya untuk menunjukkan panjang rambut Shela.

“Iya benar. Kau itu yang bercanda. Bikin takut saja. Orang udah mati masih dibawa-bawa” Sang sutradara kembali berseru.

Arya yang tidak terima, segera keluar untuk menemukan Shela dan berniat membawanya untuk diperlihatkan pada teman-temannya. Namun sayang, meski telah berkeliling kampus, Arya tak dapat menemukan Shela. Arya mengacak-acak rambutnya karena kesal. Tubuhnya terasa lemas, semangat dan kepercayaan dirinya seolah menguap. Dengan langkah gontai Arya kembali pada teman-temannya.  

Sejak itu Arya tak lagi melihatnya. Di kampus, maupun di depan rumah Andra. Hatinya hancur, semangatnya hilang, pikirannya selalu tertuju pada Shela, gadis yang dicintainya. Tanpa pesan Shela telah menghilang. Bahkan rumah bercat biru muda yang pernah ia datangi, ternyata sudah lama kosong. Orang tua Shela menjualnya beberapa bulan setelah kecelakaan itu. Tetangganya tak mengetahui alamat rumahnya yang baru. Pun dengan kondisi Shela yang memang koma atau justru telah tiada.

Sudah empat bulan sejak saat itu. Teman-teman Arya berharap ia dapat menemukan seseorang yang dapat menggantikan Shela di hatinya. Arya menolak, bagaimanapun juga meski dengan waktu yang singkat, Shela mampu membuat Arya jatu cinta hingga begitu dalam.

“Tinggal pilih-pilih, bro. Lihat mahasiswa baru pada seger-seger. Fresh from the oven.” Gurau Udin untuk mengembalikan semangat Arya. Namun agaknya itu tak cukup membuat semangatnya kembali.

“Udah ah, percuma nawarin mahasiswa baru. Nggak minat. Aku mau pulang.” Arya mempercepat langkahnya, meninggalkan Udin yang sedang sibuk menebar pesona untuk para mahasiswa baru.

“Mau kemana?” Tanya seorang gadis yang menghalangi langkah Arya.

“Mau pulang.” Jawab Arya ketus, berharap gadis itu segera menyingkir dari hadapannya. Namun gadis itu tetap bergeming. Dengan malas, diangkatnya kepalanya yang tertunduk. Ia terperangah, tak percaya dengan pengelihatannya sendiri. Gadis mungil dengan rambut hitam sebahu yang hampir membuatnya gila selama empat bulan terakhir tengah tersenyum di hadapan Arya.

Shela.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D