Ojo
tangi nggonmu guling
Awas
jo ngetoro
Aku
lagi bang wingo wingo
Jin
setan kang tak utusi
Dadyo
sebarang
Wojo
lelayu sabet
Tembang
Lingsir Wengi yang telah ratusan kali diputar untuk latar musik teater selama
empat bulan terakhir, selalu membuat bulu kuduk Arya merinding. Ditambah lagi
mendengar cerita mistis teman-temannnya sehabis latihan malam ini membuatnya
bergidik ngeri. Yang ia ketehui, tembang itu pernah populer untuk memanggil
kuntilanak. Namun, sang sutradara mengelak. Menurutnya, itu hanya tembang yang
di gunakan untuk film kuntilanak, bukan untuk memanggil kuntilanak, makhluk
halus atau sejenisnya. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangannya. Hampir
jam delapan malam. Arya berpamitan untuk pulang karena tak tahan dengan suasana
yang kian mencekam di ruang teater.
Di
tempat yang sama, untuk kesekian kalinya Arya menghentikan motornya untuk
menatap gadis mungil berambut hitam legam sebahu itu tengah menatap sebuah rumah
yang berdiri megah di perumahan elit dekat kostnya. Gadis itu menatap jendela
gelap di lantai dua, mulutnya terlihat komat-kamit seperti mengatakan sesuatu.
Dia berbicara
sendiri!
Namun Arya segera membuang pikirannya jauh-jauh. Dilayangkan pandangannya
mengikuti arah mata gadis tersebut. Sepi dan gelap. Arya menelan ludah melihat
gadis itu berbicara dengan ekspresi wajah yang berubah-ubah pada jendela di
lantai dua. Merasa diperhatikan, gadis mungil tersebut menoleh memandang Arya.
Sial.
Bulu
kuduk di sekitar tengkuknya merinding, jantungnya berdebar, tubuhnya terasa kaku
bagai sebuah batu. Gadis itu tersenyum pada Arya. Mental Arya yang telah terguncang
sejak latihan teater tadi membuatnya memacu motornya dengan kencang agar segera
sampai di kostnya.
“Bang,
tahu rumah pojok dekat lapangan nggak?” Tanya Arya pada penjual sate keliling
yang berhenti di depan kost. Arya sengaja menunggu penjual sate berteriak
menyuarakan dangangannya karena malam ini nyalinya telah menciut untuk
berkeliaran mencari makan dan melewati rumah tersebut.
“Oh,
itu rumah Pak Akbar. Dari dulu dikontrakin nggak ada yang mau mas.” Jelas
tukang sate tersebut yang memang telah mengenal kawasan perumahan itu sejak sembilan
tahun lalu.
“Disitu
sering ada perempuan rambut segini ya bang?” Arya memperagakan rambut sebahu
gadis itu dengan kedua tangannya. “Saya sering lihat dia ngomong sendiri.” Lanjutnya.
Si penjual sate mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Arya dan mencoba
mengingat sosok yang dimaksud oleh Arya.
“Wah,
saya nggak inget mas. Mungkin mas salah lihat kali.” Kata penjual sate tertawa
sambil memberikan sebungkus sate pesanan Arya.
***
Sudah
seminggu Arya tidak lagi melihat gadis itu di rumah mewah yang ada di ujung
jalan. Dia begitu penasaran tentang siapa gadis itu. Apakah dia manusia atau hantu
seperti di film-film. Arya terlarut dalam pikirannya hingga ia tak menyadari seseorang
tengah memperhatikannya.
Dung..Dung..Dung
Suara
gendang yang ditabuh tepat di samping telinga Arya telah membuyarkan lamunannya.
Keisengan teman-teman teaternya, kadang membuatnya geram. Namun Arya sadar melamun saat jam latihan
adalah sebuah kesalahan. Ketika Arya bangun dari duduknya, sekilas ia melihat seorang
gadis tersenyum padanya. Itu dia. Gadis yang sering dilihatnya berbicara sendiri
sedang tersenyum padanya di balik pintu kaca ruang teater. Arya menyenggol Udin
yang sedang berusaha menghafalkan teks bagiannya.
“Din,
perempuan itu siapa sih? Pernah lihat?” Arya mencoba menunjuk gadis itu dengan
gerak matanya. Setelah melihatnya dengan seksama, Udin menggeleng pelan. Dia
mengatakan bahwa dia tak pernah melihat gadis itu sebelumnya. Tembang Lingsir
Wengi kembali diputar sebagai pertanda pemain harus siap berada di balik
panggung. Latihan dimulai, namun pikiran Arya masih saja tertuju pada gadis
mungil tersebut.
Pukul
tujuh malam latihan telah usai, Arya bergegas menuju parkiran motornya untuk
segera pulang karena latihan keras membuat tubuhnya benar-benar lelah.
Seseorang tiba-tiba menghadang jalan Arya. Betapa terkejutnya ia melihat
sesosok cantik di hadapannya.
“Mau
kemana?” Tanya gadis itu dengan senyum simpul di bibirnya yang menambah
kecantikannya.
“Mau
pulang.” Arya mengernyitkan dahi, memandang lekat-lekat gadis yang tidak asing
lagi baginya. “Kau bukannya perempuan yang biasanya bicara sen-, ah maaf
maksudku biasa di rumah ujung itu bukan?” Gadis itu tersenyum lebar.
“Ternyata
benar kau memperhatikanku. Jangan salah paham, aku tidak berbicara, aku hanya
berdoa.” Tukasnya. “Aku Shela.” Diulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Arya.”
Secara impulsif Arya menjabat tangan mungil Shela. “Kenapa masih di kampus?
Mahasiswa sini?” Tanya Arya penasaran. Gadis itu mengangguk. Dia memberi
penjelasan singkat bahwa dia adalah mahasiswi komunikasi tahun kedua, setingkat
diatas Arya dan dia sedang menunggu seseorang. Arya yang memang sudah sangat
lelah akhirnya berpamitan untuk pulang terlebih dahulu.
“Besok,
jika tidak keberatan aku tunggu di kantin ya jam 2 siang. Aku yang traktir.” Ucap
gadis itu, membuat Arya membalik badan, menatap gadis yang tengah melambaikan
tangan padanya. Arya mengangguk sambil mengacungkan jempolnya tanda setuju dengan
ajakan Shela.
***
Datang.
Tidak. Datang. Tidak. Arya sedang bimbang antara datang ke kantin atau tidak.
Setelah menghitung manik-manik gelang yang ia temukan di ruang teater, ia mendapati
‘datang’ sebagai manik-manik terakhir pada gelangnya, akhirnya Arya meraih tasnya
dan melangkahkan kakinya menuju ke kantin.
Dilemparkan
pandangannya kesekeliling kantin hingga matanya mendapatkan seorang gadis
menggunakan blazer biru tua dengan
rambut hitam sebahu tengah duduk sendiri dengan menyangga dagunya. Dengan mantap
Arya mendekati meja tersebut.
“Sudah
lama? Maaf aku terlambat.” Kata Arya menarik kursi di hadapan Shela.
“Tidak
apa-apa. Aku juga baru saja sampai.” Senyum manis Shela melebar begitu melihat Arya
dihadapannya. Shela segera meminta Arya untuk memesankan makanan dan minuman
untuk mereka berdua.
“Ada
apa sampai seorang perempuan cantik ini mau mentraktirku?” Goda Arya sambil
menyeruput kopi susu yang dipesannya.
“Tidak
apa-apa. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Aku sering melihatmu lewat
rumah mewah itu.” Shela tersenyum membayangkan wajah ketakutan Arya tiap kali
melihatnya di depan rumah itu. “Jangan-jangan kau berpikir aku ini setan?” Arya
terdiam sesaat karena tebakan Shela yang sama sekali tidak meleset.
“Ah,
ti- tidak.” Jawab Arya gugup. “Aku tak pernah berpikir seperti itu.” Tawa
terpaksa keluar dari mulut Arya karena rasa segannya pada gadis itu. “Kalau boleh tahu, kenapa kau selalu menatap
jendela itu?” Lanjut Arya yang penasaran. Hening. Senyum gadis itu perlahan
memudar, raut wajahnya yang riang berubah drastis seolah ia memiliki sebuah
kenangan pahit dengan rumah tersebut.
“Itu
rumah Pak Akbar. Beliau memiliki tiga orang anak. Anak keduanya, Andra, dia
adalah pacarku.” Shela menghela nafas besarnya untuk memberikan jeda pada
ceritanya. “Dia tampan, pandai dan tentu saja aku mencintainya.” Pandangannya
menerawang membayangkan wajah tampan kekasihnya sambil menyunggingkan senyum
getir di bibirnya. “Titik Kelabu.” Shela memberi sebuah klu untuk Arya. Arya
terdiam sejenak mendengar dua kata yang sama sekali tidak asing di telinganya.
“Itu
judul drama teater yang sebentar kami pentaskan.” Kata Arya menanggapi. Shela
mengangguk. Arya semakin penasaran mengapa gadis itu menyebut judul drama
tersebut. Arya mengerutkan dahinya, berharap Shela segera melanjutkan
ceritanya.
“Dia
sangat menginginkan peran sebagai Mahendra.” Sekali lagi Shela menggantung
ceritanya dan meminum jus leci dihadapannya.
“Itu
peranku.” Sahut Arya menanggapi pernyataan Shela. Shela mengangguk pelan.
“Dia
mendapatkannya.” Kembali diberikannya jeda untuk ceritanya. “Tapi dia tak dapat
mementaskannya. Seminggu sebelum pementasaan, ia mengalami kecelakaan. Dan
sayangnya tak ada yang dapat menolongnya.” Air mata yang sejak tadi tertahan
tak dapat lagi dibendungnya. Kepedihan begitu terlihat nyata di raut wajahnya.
“Padahal aku begitu ingin melihat orang yang kucintai memainkan drama itu.”
“Kenapa?”
Tanya Arya memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.
“Karena
aku membuat naskah itu untuknya.” Mata Arya terbelalak tak percaya. Andhini
Shela Satriani, penulis naskah Titik Kelabu adalah gadis mungil yang sedang
duduk dihadapannya.
Setahun
lalu, Teater Topeng Kaca mengadakan lomba menulis naskah dan naskah Shela
terpilih menjadi naskah terbaik. Sesuai dengan perjanjian, naskah terbaik akan
dipentaskan. Andra, anggota teater tersebut, mati-matian berusaha untuk
mengikuti casting sebagai Mahendra
demi kekasihnya yang telah membuat naskah tersebut sebagai hadiah satu tahun
mereka pacaran. Tentu saja peran itu didapatkan dengan mudah oleh Andra, karena
tokoh Mahendra adalah cerminan Andra. Segala sesuatu tentang Mahendra ada pada diri
Andra. Hingga hari itu, tepat seminggu sebelum pementasan, Andra mengajak Shela
untuk menyaksikan latihannya. Namun malang, karena menerobos lampu merah,
sebuah truk berkecepatan tinggi dari arah berlawanan menghantam mereka hingga
maut menjemput Andra saat itu juga dan pementasan dibatalkan.
Shela
menghela nafas besar, mengakhiri ceritanya. Perasaannya terasa ringan. Begitu
lama ia memendam cerita itu. Arya adalah orang pertama yang mendengar kisah
tragisnya setelah kecelakaan setahun yang lalu. Namun di sisi lain kebahagiaan
seolah menghangatkan hati Shela. Setelah setahun ia menunggu, akhirnya karyanya
tersebut dipentaskan. Meski sangat disayangkan Andra tak dapat memainkan
perannya.
Arya
melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Pukul empat sore. Obrolan mereka
ternyata berlanjut cukup lama hingga tanpa terasa Arya harus melanjutkan
latihannya. Pertunjukan kurang seminggu lagi, karena itu ia harus berusaha
mati-matian meskipun merasa lelah.
“Shela,
maaf. Sudah jam empat, aku harus latihan. Mau nonton?” Arya menawarkan pada
sang penulis untuk menyaksikan latihannya.
“Boleh?”
Shela terbelalak tak percaya karena mendapatkan sebuah kesempatan menonton
latihan Titik Kelabu.
“Tentu
saja. Sebuah kehormatan sang penulis bisa hadir menyaksikan Mahendra.” Puji Arya
membuat gadis itu merona malu. “Aku heran kenapa harus menggunakan tembang
Jawa. Itu membuatku merinding. Seperti di film Kuntilanak.” Protes Arya pada
sang penulis.
“Kuntilanak?”
Ulang Shela mengkonfirmasi ucapan Arya. Arya mengangguk. “Arya, aku tidak
mengerti kenapa kau menghubungkan tembang itu dengan kuntilanak. tapi bukan itu
maksudku. Di dalam lagu itu ada makna kebaikan yang tersirat. Sesuai dengan
tema ceritanya.” Arya mengangguk, mencoba memahami maksud Shela. Namun tetap
saja ia merasa ngeri ketika mendengarnya ratusan kali selama empat bulan
terakhir.
Latihan
dimulai, Shela duduk di sudut ruangan memperhatikan akting Arya yang memerankan
Mahendra. Dia begitu antusias melihat latihan drama. Seulas senyum puas
menghiasi wajah cantik Shela.
***
Pukul
enam tiga puluh. Latihan telah selesai. Mata Arya menatap sudut ruangan tempat
Shela menunggu, namun ia tak menemukan sosok yang dicarinya.
“Ran,
lihat perempuan yang tadi duduk disitu?” Tanya Arya menunjuk tempat yang
dimaksud. Namun Rani tak melihatnya. Begitu pula jawaban Dedi dan Ana setelah Arya
memberi pertanyaan yang sama pada mereka.
Setelah
beristirahat sejenak, tepat pukul tujuh malam Arya memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di dekat rumah mewah dekat kostnya, ia sengaja menurunkan
kecepatannya. Tepat seperti dugaannya, dilihatnya gadis itu berdiri di tempat
yang sama seperti biasa. Arya melajukan motornya agar dapat memperhatikannya
dari jauh.
Arya
memarkirkan motornya beberapa meter dari rumah tersebut. Ia mengendap-endap mendekati
Shela tanpa sepengetahuannya. Ia berdiri dibelakang Shela, bersiap-siap untuk
mengagetkannya.
“Harusnya
aku bisa melihatmu sebagai Mahendra.” Kata Shela dengan suara yang bergetar
seolah menahan tangisnya. Arya melangkah lebih mendekat. Namun langkahnya
terhenti ketika Shela meneruskan kata-katanya. “Kau ingat lelaki yang kau
bilang selalu memperhatikanku disini? dia yang menggantikan peranmu. Aku cukup
senang dia mendapatkan peran itu.” Isakan kecil keluar dari mulut Shela. “Andra,
apakah kau benar-benar rela melepaskanku bersamanya? Aku benar-benar mencintai
Arya, maafkan aku.”
Arya
yang mendengarkan ucapan Shela perlahan mendekat. Merengkuh gadis itu dalam
dekapannya. Gadis mungil yang terlihat begitu rapuh, benar-benar membuat Arya
ingin melindunginya. Gadis itu terkesiap dan segera membalikkan tubuhnya, memastikan
pemilik lengan kekar yang telah merengkuhnya.
“Apa
itu benar?” Tanya Arya meyakinkan ucapan Shela. Shela mengangguk pelan. Kembali
didekapnya gadis mungil yang terlihat menanggung beban begitu berat di
pundaknya. Tangisnya meledak dalam pelukan Arya. Arya mengusap punggung gadis
itu untuk menenangkannya. Namun tangisnya justru semakin menjadi. Beberapa
menit selanjutnya, perlahan tangis gadis itu mereda.
“Akan
kuantarkan kau pulang.” Kata Arya menggandeng tangan Shela. Shela mengangguk,
melangkah pelan di belakang Arya. Beberapa menit kemudian sampailah mereka didepan
sebuah rumah bercat biru muda. Rumah yang indah meski tak semegah rumah Andra.
Jaraknya pun cukup jauh dari rumah Andra.
“Terima
kasih. Maafkan aku telah merepotkanmu.” Kata Shela mengembangkan senyum manis
di bibirnya.
“Aku
tak merasa direpotkan. Masuklah. Sudah malam.” Arya mengusap rambut Shela,
membuat wajah gadis itu merona. Shela melambaikan tangannya sebagai perpisahan
untuk Arya, kemudian masuk melewati pagar rumahnya.
***
Kostum
sudah dikenakan. Teks telah dihafalkan di luar kepala. Kepercayaan diri pun
telah dikumpulkan. Para pemain telah siap di belakang panggung untuk pementasan
Titik Kelabu. Gadis itu tersenyum, duduk di kursi penonton bagian paling depan.
Dilambaikanya tangannya pada Arya yang tengah memperhatikannya.
Tembang
Lingsir Wengi yang menjadi pembuka pementasan tersebut telah terdengar
mendayu-dayu. Semua pemain mulai mempersiapkan diri mereka untuk memerankan
peran mereka masing-masing. Setiap pemain mengeluarkan kepiawaiannya dalam
berakting dalam drama berdurasi lima puluh menit itu.
Tepuk
tangan penonton dan sorak sorai kagum terhadap suksesnya pementasan tunggal
tersebut menandai akhir dari acara yang telah dipersiapkan dengan sempurna.
Tangis haru mengalir dari mata indah Shela. Ia tak pernah menyangka karyanya
akan menjadi seindah ini. Arya yang telah menyelesaikan tugasnya berhambur
memeluk Shela.
“Bagaimana?”
Tanya Arya bangga.
“Luar
biasa. Aku benar-benar terpesona. Aku tak pernah menyangka karyaku dijadikan
sebuah pentas tunggal dan menjadi seindah ini. Dan kau Mahendra, aku benar-benar bangga padamu.” Shela menirukan
dialog salah satu pemain dalam drama tersebut.
“Terima
kasih.” Arya mengecup kening Shela. “I love you, Shela.” Bisiknya di telinga
Shela.
“I
love you, too.” Balas Shela malu-malu.
“Arya.”
panggil salah satu teman teaternya.
“Sebentar
ya. Tunggu disini sebentar.” Arya yang sedang bersama dengan Shela, berpamitan
sejenak untuk mengikuti langkah temannya menuju ruang teater. Sesaat kemudian
langkahnya terhenti sejenak, kemudian berbalik mendekati Shela. Dikecupnya
bibir merah muda Shela dengan cepat kemudian kembali untuk berkumpul dengan
teman-teman teaternya.
“Luar
biasa. Pementasan ini benar-benar sempurna.” Kata sang sutradara gembira.
“Tentu
saja, naskahnya benar-benar bagus. Apa lagi artisnya, luar biasa.” Sahut
asisten sutradara dengan memberikan tepuk tangan yang diikuti oleh seluruh
anggota.
“Aku
kenal penulis naskahnya. Benar-benar cantik dan cerdas.” Arya membanggakan
gadis mungil yang selalu menemaninya latihan seminggu terakhir ini.
“Kau
mengenalnya?” Sang ketua teater membuka suara. Arya mengangguk.
“Dia
ada didepan.” Arya menunjuk pintu kaca dengan ibu jarinya.
“Jangan
bercanda. Dia sudah meninggal setahun yang lalu, kecelakaan bersama pacarnya.
Makanya dulu pementasannya gagal. Aku yang jadi sutradaranya.” Jelas sang sutradara
membanggakan diri, menepuk-nepuk dadanya. “Kau masih ingat Andra kan, Ben?
Waktu itu si Shela masih mahasiswa baru.” Sang sutradara mengingatkan Beni,
senior Teater Topeng Kaca yang sudah empat tahun aktif dalam kegiatan teater.
“Iya,
aku ingat. Tapi yang aku tahu Andra memang meninggal, sedangkan Shela masih
koma.” kata Beni yang masih meragukan pernyataannya sendiri.
“Kalian
jangan bercanda. Kan seminggu ini dia ikut latihan. Dia mungil kan? Rambutnya segini?”
Arya menepuk pundaknya untuk menunjukkan panjang rambut Shela.
“Iya
benar. Kau itu yang bercanda. Bikin takut saja. Orang udah mati masih
dibawa-bawa” Sang sutradara kembali berseru.
Arya
yang tidak terima, segera keluar untuk menemukan Shela dan berniat membawanya untuk
diperlihatkan pada teman-temannya. Namun sayang, meski telah berkeliling
kampus, Arya tak dapat menemukan Shela. Arya mengacak-acak rambutnya karena
kesal. Tubuhnya terasa lemas, semangat dan kepercayaan dirinya seolah menguap.
Dengan langkah gontai Arya kembali pada teman-temannya.
Sejak
itu Arya tak lagi melihatnya. Di kampus, maupun di depan rumah Andra. Hatinya hancur,
semangatnya hilang, pikirannya selalu tertuju pada Shela, gadis yang dicintainya.
Tanpa pesan Shela telah menghilang. Bahkan rumah bercat biru muda yang pernah
ia datangi, ternyata sudah lama kosong. Orang tua Shela menjualnya beberapa
bulan setelah kecelakaan itu. Tetangganya tak mengetahui alamat rumahnya yang baru.
Pun dengan kondisi Shela yang memang koma atau justru telah tiada.
Sudah
empat bulan sejak saat itu. Teman-teman Arya berharap ia dapat menemukan
seseorang yang dapat menggantikan Shela di hatinya. Arya menolak, bagaimanapun juga
meski dengan waktu yang singkat, Shela mampu membuat Arya jatu cinta hingga begitu
dalam.
“Tinggal
pilih-pilih, bro. Lihat mahasiswa baru pada seger-seger. Fresh from the oven.” Gurau Udin untuk mengembalikan semangat Arya.
Namun agaknya itu tak cukup membuat semangatnya kembali.
“Udah
ah, percuma nawarin mahasiswa baru. Nggak minat. Aku mau pulang.” Arya mempercepat
langkahnya, meninggalkan Udin yang sedang sibuk menebar pesona untuk para mahasiswa
baru.
“Mau
kemana?” Tanya seorang gadis yang menghalangi langkah Arya.
“Mau
pulang.” Jawab Arya ketus, berharap gadis itu segera menyingkir dari
hadapannya. Namun gadis itu tetap bergeming. Dengan malas, diangkatnya kepalanya
yang tertunduk. Ia terperangah, tak percaya dengan pengelihatannya sendiri. Gadis
mungil dengan rambut hitam sebahu yang hampir membuatnya gila selama empat
bulan terakhir tengah tersenyum di hadapan Arya.
Shela.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D