Selasa, 23 Desember 2014

Overdue



“Brak!!” Suara kursi yang dibanting dengan penuh amarah terdengar begitu mengerikan.

“Hentikan Carla! Atau aku akan membunuhmu saat ini juga!!” Ancaman dengan suara gemetar keluar dari mulut seorang wanita yang tengah menodongkan pistol kepada wanita gila di hadapannya.

“Aku tahu kau takkan membunuhku, Diana.” Seulas senyum licik tersungging di bibir Carla yang berlumuran darah. Diana yang kakinya gemetar mundur selangkah demi selangkah untuk menjauhi Carla yang semakin mendekat.

“Kyaaaaa” teriak Diana yang jatuh terduduk karena tersandung sebuah benda di belakangnya. Tangannya meraba kain basah yang di dudukinya. Darah. Diana melihat darah di tangannya. Bau anyir yang sedari tadi menusuk hidungnya ternyata adalah darah yang mengalir dari tubuh pria yang tergeletak mengenaskan dengan tangan dan kaki yang terpisah dari tubuhnya. Rasa mual mengaduk-aduk perut Diana.

“Kau mengerikan Carla!” Teriak Diana histeris, bergegas berdiri dan melesat menuju pintu utama rumahnya. Tawa puas Carla menggelegar memenuhi seisi ruangan.

“Tenang saja adikku tersayang, kau tak perlu lari. Harusnya kau tak melihat semua ini. Sayang sekali, karena kau telah melihatnya, terpaksa kau pun harus segera mengikuti ayah saat ini juga.” kata Carla dengan wajah sedih yang dibuat-buat. Kemudian ia mengikuti Diana dengan santai menuju ke pintu utama. Diana yang berusaha memasukkan kuncinya pada lubang kunci dengan terburu-buru, panik mendengar langkah Carla hingga kuncinya terjatuh. Tanpa ragu lagi, Carla segera mendekat dan mengarahkan pisau tajam yang digenggamnya ke arah tubuh adiknya.

“Kyaaaaaaaaaa!!!!!”

“Sarah!! Berisik!” Kata seorang lelaki yang sedang berdiri di belakang Sarah.

“Kau yang mengagetkanku Vin. Aku sedang konsentrasi menonton ini.” Protes Sarah geram sambil menunjuk laptopnya yang memutar film thriller barat, yang sedang booming di Indonesia.

“Selalu saja menonton film seperti itu. Itu tak baik untuk otakmu.” kata Vino sambil mengacak-acak rambut Sarah. Tanpa peduli omongan Vino, Sarah tetap asyik menonton film tersebut.

“Sar, besok aku ke Surabaya.” Satu kalimat yang membuat Sarah mengalihkan perhatian dari film yang ditontonnya. Sarah terdiam memandang lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama setahun itu.

“Untuk apa? Kenapa kau baru mengatakannya padaku? Berapa hari?” Pertanyaan memberondong keluar dari mulut Sarah.

“Arka sakit. Mama memintaku menemaninya menjenguk Arka. Mungkin seminggu.” Jawab Vino sambil mempermainkan ponsel yang ada di tangannya.

“Oh..Baiklah” Suasana hening menyelimuti sekitar mereka. Sarah masih terus memandang Vino, mengerutkan dahinya, merasakan ada sesuatu yang salah dengan Vino.

“Aku pulang dulu sayang, aku harus bersiap-siap. Kau cepatlah pulang. Hari sudah gelap.” Kata Vino meraih tasnya kemudian berjalan meninggalkan Sarah. Sarah meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan mengetik sebuah pesan singkat.

Apa kabarmu, Arka?

Bimbang antara mengirimnya atau tidak. Akhirnya tanpa ragu lagi, Sarah segera mengirim pesan singkat yang telah ditulisnya. Sarah memainkan ponselnya, menunggu balasan pesan yang telah dikirimnya. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, akhirnya ponsel Sarah berbunyi. Dengan cepat ia membuka isi pesan di ponselnya.

Luar biasa baik. Apa kau merindukanku?

Sarah memejamkan matanya. Harusnya ia tahu jika tindakannya salah. Namun kecurigaannya pada Vino belakangan ini membuatnya harus segera bertindak. Tanpa membalas pertanyaan Arka, Sarah memasukkan ponselnya kedalam saku jaketnya. Kemudian membereskan laptop dan buku-bukunya untuk segera pulang ke rumahnya.

Hari Sabtu pagi. Seperti biasanya, Sarah memulai aktivitasnya dengan segelas teh manis hangat dan biskuit gandum kesukaannya. Udara pagi ini begitu segar berkat hujan semalam yang tak henti-hentinya mengguyur kota Malang. Ponsel di saku celana Sarah bergetar. Segera dibukanya pesan singkat dari kekasihnya, Vino.

Aku berangkat sayang. Sampai jumpa minggu depan. I love you.

Pesan singkat yang dikirim Vino membuatnya teringat akan jawaban Arka semalam.

Benar kau ke Surabaya bersama mama untuk menjenguk Arka?

Tentu saja! Apa kau sedang menuduhku berbohong?

Tidak. Aku hanya bertanya. Jika memang benar, kenapa kau harus marah?! Bye. Berhati-hatilah di jalan. I love you too.

Sarah mengalah, meskipun kecurigaan semakin merajai hati dan pikirannya. Agar tak berlarut-larut dalam kecurigaannya, akhirnya Sarah memutuskan untuk melakukan hobinya, menulis. Tanpa terasa pagi pun telah berganti senja. Cukup lama, bahkan terlalu lama ia meluangkan waktu untuk hobinya. Perutnya mulai berontak karena demi sebuah hobi, membuat Sarah tidak memperhatikan jam makannya. Orang tuanya yang terlalu sibuk pun membuatnya jarang mendapatkan perhatian. Diraihnya jaket abu-abu yang tergantung di pintu kamarnya kemudian Sarah menuju warung terdekat dari rumahnya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dibukanya pesan dari Astrid, adik tingkatnya.

Kak, buruan ke kafe dekat kampus. Sekarang!

Tidak biasanya Astrid mengirim pesan pada Sarah. Pasti ada yang salah, pikirnya. Sarah kembali ke kamarnya, mengambil kunci motor dan memacu motornya secepat mungkin menuju kafe yang dimaksud oleh Astrid. Sungguh mengejutkan. Apa yang dilihatnya membuat kakinya gemetar. Gadis berkemeja ungu itu menangis tersedu. Diusapnya air mata dari kedua pipinya dengan sebelah tangannya. Lalu sebelahnya lagi terhubung dengan tangan seorang lelaki.

Astrid menepuk bahu Sarah bermaksud menenangkannya. Namun mata Sarah masih terfokus pada lelaki yang duduk membelakanginya, hingga ia menyadari sesuatu. Jam tangan yang dipakai lelaki itu adalah jam tangan yang diberikan Sarah pada lelaki itu empat tahun yang lalu saat ia berulang tahun.

“Arka..” Ucapnya pelan.

“Apa?? itu bukan Vino?” Mata Astrid terbelalak kaget. Seulas senyum lega tersungging di bibir tipis Sarah.

“Bukan. Itu adiknya.” Jelas Sarah singkat. Astrid menunduk malu karena menyadari kesalah pahamannya. Berulang kali Astrid meminta maaf karena kesalahannya. Sarah tertawa melihat kepolosan dan maksud baik Astrid. Akhirnya perutnya yang keroncongan membuat ia memutuskan untuk memesan makanan kesukaannya di kafe tersebut. Selagi menunggu pesanannya dihidangkan, sesuatu mulai mengusik pikirannya. Diraihnya ponsel di dalam saku celananya dan diketiknya sebuah pesan singkat untuk kekasihnya.

Kau dimana?

Tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan balasan dari Vino.

Aku di Surabaya sekarang. Ada apa?

Bagaimana keadaan Arka?

Demamnya tinggi. Mungkin besok akan dibawa ke rumah sakit.

Kurang ajar! Batin Sarah dalam hati. Vino telah menggunakan adiknya untuk membohongi Sarah. Darahnya mulai mendidih. Pikirannya kacau. Rasa mual mulai menyerbunya. Sarah yang tengah berkutat dengan pikirannya sendiri tiba-tiba dikagetkan oleh kedatangan lelaki yang memanggil-manggil namanya.

“Arka..” Sarah tercengang melihat lelaki dihadapannya. Lelaki itu menyunggingkan senyum di bibirnya memperlihatkan lesung pipinya yang mempesona.

“Kenapa kau ini? SMSku kau biarkan begitu saja.” Kata Arka cemberut sambil menopang dagunya dengan sebelah tangannya.

“Kau baik-baik saja? Kenapa kau disini?” Sarah balik bertanya tanpa mempedulikan pertanyaan Arka.

“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja kan. Apa salahnya aku pulang kampung, Sar?”

“Vino bilang kau sakit?”

“Lantas kau mengkhawatirkanku?”

“Vino bilang menemani mama ke Surabaya untuk menjengukmu selama seminggu.” Arka mengerutkan kening mendengar jawaban Sarah. Mimik wajahnya yang begitu sedih, suaranya yang bergetar, matanya yang mulai berair membuat Arka tak tahan melihat gadis yang disayanginya itu terluka oleh kakaknya sendiri. Diketiknya nama Vino di layar ponsel empat inchinya, kemudian ia menempelkan ponselnya ke telinga.

“Vin, kau dimana? Jemput aku di terminal.” Kata Arka ketika Vino mengangkat ponselnya.

“Sori, Ka. Setelah ini aku harus ke stasiun.” Tolak Vino.

“Untuk apa? Sekarang?”

“Iya, aku ke Semarang. Setengah jam lagi aku harus berangkat ke stasiun. Kau bisa kan pulang sendiri?” Tanpa menjawab pertanyaan Vino, Arka mematikan telponnya. Ditatapnya gadis di depannya yang tengah mengunyah makanannya dengan perlahan. Dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring kaca terdengar saat gadis itu mempermainkan makanannya.

“Habiskan makananmu.” Kata Arka lembut. Sarah menggeleng pelan, menelungkupkan sendok dan garpunya tanda ia telah menyelesaikan makannya.

“Aku sudah kenyang.” Kata Sarah seraya meraih secangkir teh hangat yang telah dipesannya. Setelah menghabiskannya, ia menuju ke kasir untuk membayar makanannya dan berjalan keluar tanpa berpamitan pada Arka. Arka memandang gadis itu melangkah gontai menuju pintu kafe.
***
Ditatapnya cukup lama gadis yang sedang berusaha memasukkan kunci pada lubang gembok untuk membuka gerbang sebuah rumah. Ia sangat mengerti bahwa gadis itu selalu berpura-pura tegar karena cukup lama ia mengenal gadis berambut ikal tersebut.

Hatinya mulai bimbang, antara memberi tahu sebuah kenyataan atau menyimpannya agar tak melukai gadis kesayangannya itu. Cukup lama ia berkutat dengan pergolakan hatinya hingga sebuah keputusan telah dibuat. Ia tahu apapun resikonya, meski nantinya gadis itu harus menemukan kenyataan terburuk dengan melihat Vino yang mungkin bersama gadis lain.

“Ikut denganku.” Kata Arka yang tiba-tiba berdiri di belakang Sarah. Sarah membalikkan badannya untuk memandang pemilik suara. Sarah mengernyitkan keningnya, tidak mengerti dengan ucapan Arka. Arka menggenggam tangan Sarah kemudian menariknya menuju mobil yang terparkir di depan rumah Sarah. Sarah tak melawan saat Arka menarik tangannya. Pikiran warasnya seolah meninggalkan otaknya, harusnya ia menghindari hal seperti ini karena hal ini bisa jadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Arka memacu mobilnya dengan cepat demi memburu waktu. Sepuluh menit kemudian sampailah mereka berdua di depan stasiun. Belum sempat Sarah dan Arka turun dari mobil, sebuah pemandangan romantis mengejutkan mereka berdua. Vino menggandeng tangan seorang gadis yang baru saja turun dari taksi yang sama.

Arka memandang gadis yang duduk gemetar di sampingnya. Air yang menggenangi matanya seolah tak mampu lagi terbendung hingga menetetes membasahi wajah cantiknya. Emosi Arka yang tertahan akhirnya meledak ketika gadis yang disayanginya itu menangis. Dengan cepat Arka keluar dari dalam mobilnya dan menendang kakaknya hingga jatuh tersungkur. Umpatan kotor bertubi-tubi keluar dari mulut Arka untuk kakak yang selama ini dihormatinya.

“Dia siapa, Vin?” Tanya Sarah dengan suara yang bergetar karena menahan tangisnya.

“Seperti apa yang kau pikirkan.” Jawab Vino acuh yang membuat hati Sarah semakin terasa sakit.

“Lalu, aku?”

“Maaf Sar, aku tidak lagi bisa melanjutkannya denganmu.” Jawabnya santai seraya mengambil tas yang tergeletak dan menggandeng gadis itu menuju ke dalam stasiun. Tangis Sarah pecah. Hatinya terkoyak pedih ketika melihat Vino menggandeng gadis itu dengan mesra. Arka segera merengkuh gadis kesayangannya itu kedalam pelukannya. Menenangkannya dengan caranya. Seperti empat tahun yang lalu.
***
“Lepaskan!” Teriak Sarah sekencang-kencangnya melawan hingar-bingar musik yang dimainkan oleh band kesayangannya. Konser yang penuh sesak itu membuat Sarah terpisah dari teman-temannya dan seseorang berlaku kurang ajar padanya. Sarah terus meronta karena lelaki tersebut terus menerus meraba tubuhnya hingga ia menangis ketakutan. Ia tak bisa menghindar karena semua orang sibuk dengan kesenangannya tanpa mempedulikan gadis yang tengah berjuang untuk menyelamatkan harga dirinya.

Tiba-tiba seseorang menariknya menjauh dari kerumunan tersebut. Kepanikannya semakin menjadi-jadi. Ia terus-menerus meronta hingga menyadari siapa yang telah menariknya.

Arka.

Lelaki tampan berlesung pipi yang merupakan cinta pertamanya yang ia lihat saat class meeting sekolah setahun yang lalu. Ia memang tak pernah punya keberanian untuk berbicara  dengan Arka sebelumnya.  Dan hari ini mungkin kesempatannya untuk berbicara dengan Arka. Tindakan Arka membuatnya bak seorang putri yang diselamatkan pangerannya seperti di cerita dongeng.

Air mata kelegaan mengalir dari mata indah Sarah. Ia terisak membayangkan apa saja yang akan terjadi pada dirinya jika Arka tak menolongnya. Lalu lengan yang begitu kuat merengkuh Sarah dengan erat. Menenangkan tangisnya sambil membisikkan kata-kata yang menenangkah hatinya.

“Aku menyukaimu.” Bisik Arka di telinga Sarah. Dua kata tersebut membuat Sarah membeku. Dua kata yang begitu menghangatkan hatinya. Namun sayangnya setelah kejadian itu, Arka tak pernah lagi mengucapkan kata-kata itu pada Sarah. Bahkan Arka tak pernah mempertanyakan bagaimana perasaan Sarah padanya. Hubungan mereka hanya sebatas teman. Tak ada salah satu dari mereka berdua yang berani memulai untuk menjalin hubungan yang lebih serius.  

Setelah lulus SMA, Arka melanjutkan kuliah sebagai mahasiswa ekonomi di Surabaya. Dan Sarah melanjutkan kuliahnya sebagai mahasiswi sastra di Malang. Sampai akhirnya, Ia bertemu dengan senior yang memiliki paras mirip dengan Arka.

Setahun kemudian Arka kembali disaat Sarah terlanjur menjalin hubungan dengan seniornya, Vino, yang ternyata baru diketahui bahwa dia adalah kakak kandung Arka. Hati Sarah bimbang. Arka terlambat. Berulang kali Arka membujuk agar Sarah memutuskan hubungannya dengan Vino. Namun Sarah tetap pada pendiriannya. Ia memikirkan perasaan Vino meskipun harus mengorbankan perasaannya, dan perasaan Arka tentu saja. Hingga tibalah hari ini. Hari yang sekian lama ditunggu oleh Arka.
***
“Aku mencintaimu.” Bisik Arka lembut di telinga Sarah. Sarah melepaskan dekapan erat Arka. Hatinya berdebar. Ia tak percaya bahwa Arka akan mengatakannya.

“Kenapa kau mengatakan itu jika akhirnya kau meninggalkanku?” Sarah menatap lekat-lekat cinta pertamanya yang tak pernah pudar dari hatinya.

“Maafkan aku. Saat itu aku terlalu penakut. Aku takut kau menolakku, karena sikapmu biasa saja setelah aku mengungkapkan perasaanku.” Jelas Arka. “Kemudian, aku bertemu Nina, sahabatmu dan dia menceritakan semuanya padaku. Tapi aku terlambat. Kau telah menjadi milik Vino.” Lanjutnya. Cukup lama mereka saling menatap satu sama lain. Hingga Arka memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya pada Sarah dan mengecup ringan bibir tipisnya yang lembut.

“Aku tahu aku terlambat, tapi kumohon berikan kesempatan padaku. Aku berjanji akan membahagiakanmu Sarah.” Arka sekali lagi memohon pada Sarah. Sarah membisu, seolah terhipnotis oleh ucapan Arka. Sesaat gadis itu tersadar akan sesuatu dan mengerutkan keningnya.

“Lalu, perempuan  yang bersamamu di kafe kemarin?”

“Dia mantan pacarku. Kami sudah putus saat kau melihatnya kemarin.”  Beberapa detik setelah Arka mengakhiri penjelasan singkatnya, seulas senyum simpul terkembang dari bibir Sarah.

“Aku mencintaimu, Arka. Dan itu tak pernah berubah sedikitpun.” Bisik Sarah sambil melingkarkan tangannya pada leher Arka.
TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D