“Hentikan Carla! Atau aku akan membunuhmu saat
ini juga!!” Ancaman dengan suara gemetar keluar dari mulut seorang wanita yang
tengah menodongkan pistol kepada wanita gila di hadapannya.
“Aku tahu kau takkan membunuhku, Diana.” Seulas
senyum licik tersungging di bibir Carla yang berlumuran darah. Diana yang
kakinya gemetar mundur selangkah demi selangkah untuk menjauhi Carla yang
semakin mendekat.
“Kyaaaaa” teriak Diana yang jatuh terduduk
karena tersandung sebuah benda di belakangnya. Tangannya meraba kain basah yang
di dudukinya. Darah. Diana melihat darah di tangannya. Bau anyir yang sedari
tadi menusuk hidungnya ternyata adalah darah yang mengalir dari tubuh pria yang
tergeletak mengenaskan dengan tangan dan kaki yang terpisah dari tubuhnya. Rasa
mual mengaduk-aduk perut Diana.
“Kau mengerikan Carla!” Teriak Diana histeris,
bergegas berdiri dan melesat menuju pintu utama rumahnya. Tawa puas Carla
menggelegar memenuhi seisi ruangan.
“Tenang saja adikku tersayang, kau tak perlu
lari. Harusnya kau tak melihat semua ini. Sayang sekali, karena kau telah
melihatnya, terpaksa kau pun harus segera mengikuti ayah saat ini juga.” kata
Carla dengan wajah sedih yang dibuat-buat. Kemudian ia mengikuti Diana dengan
santai menuju ke pintu utama. Diana yang berusaha memasukkan kuncinya pada
lubang kunci dengan terburu-buru, panik mendengar langkah Carla hingga kuncinya
terjatuh. Tanpa ragu lagi, Carla segera mendekat dan mengarahkan pisau tajam
yang digenggamnya ke arah tubuh adiknya.
“Kyaaaaaaaaaa!!!!!”
“Sarah!! Berisik!” Kata seorang lelaki yang
sedang berdiri di belakang Sarah.
“Kau yang mengagetkanku Vin. Aku sedang
konsentrasi menonton ini.” Protes Sarah geram sambil menunjuk laptopnya yang
memutar film thriller barat, yang sedang booming di
Indonesia.
“Selalu saja menonton film seperti itu. Itu tak
baik untuk otakmu.” kata Vino sambil mengacak-acak rambut Sarah. Tanpa peduli
omongan Vino, Sarah tetap asyik menonton film tersebut.
“Sar, besok aku ke Surabaya.” Satu kalimat yang
membuat Sarah mengalihkan perhatian dari film yang ditontonnya. Sarah terdiam
memandang lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama setahun itu.
“Untuk apa? Kenapa kau baru mengatakannya
padaku? Berapa hari?” Pertanyaan memberondong keluar dari mulut Sarah.
“Arka sakit. Mama memintaku menemaninya
menjenguk Arka. Mungkin seminggu.” Jawab Vino sambil mempermainkan ponsel yang
ada di tangannya.
“Oh..Baiklah”
Suasana hening menyelimuti sekitar mereka. Sarah masih
terus memandang Vino, mengerutkan dahinya, merasakan ada sesuatu yang salah
dengan Vino.
“Aku pulang dulu sayang, aku harus bersiap-siap.
Kau cepatlah pulang. Hari sudah gelap.” Kata Vino meraih tasnya kemudian
berjalan meninggalkan Sarah. Sarah meraih ponselnya yang tergeletak di atas
meja dan mengetik sebuah pesan singkat.
Apa kabarmu, Arka?
Bimbang antara mengirimnya atau tidak. Akhirnya
tanpa ragu lagi, Sarah segera mengirim pesan singkat yang telah ditulisnya.
Sarah memainkan ponselnya, menunggu balasan pesan yang telah dikirimnya. Tak
perlu menunggu lebih lama lagi, akhirnya ponsel Sarah berbunyi. Dengan cepat ia
membuka isi pesan di ponselnya.
Luar biasa baik. Apa kau merindukanku?
Sarah memejamkan matanya. Harusnya ia tahu jika
tindakannya salah. Namun kecurigaannya pada Vino belakangan ini membuatnya
harus segera bertindak. Tanpa membalas pertanyaan Arka, Sarah memasukkan
ponselnya kedalam saku jaketnya. Kemudian membereskan laptop dan buku-bukunya
untuk segera pulang ke rumahnya.
Hari Sabtu pagi. Seperti biasanya, Sarah memulai
aktivitasnya dengan segelas teh manis hangat dan biskuit gandum kesukaannya.
Udara pagi ini begitu segar berkat hujan semalam yang tak henti-hentinya
mengguyur kota Malang. Ponsel di saku celana Sarah bergetar. Segera dibukanya
pesan singkat dari kekasihnya, Vino.
Aku berangkat sayang. Sampai jumpa minggu depan. I love you.
Pesan singkat yang dikirim Vino membuatnya
teringat akan jawaban Arka semalam.
Benar kau ke Surabaya bersama mama untuk menjenguk Arka?
Tentu saja! Apa kau sedang menuduhku berbohong?
Tidak. Aku hanya bertanya. Jika memang benar,
kenapa kau harus marah?! Bye. Berhati-hatilah di jalan. I love you too.
Sarah mengalah, meskipun kecurigaan semakin
merajai hati dan pikirannya. Agar tak berlarut-larut dalam kecurigaannya,
akhirnya Sarah memutuskan untuk melakukan hobinya, menulis. Tanpa terasa pagi
pun telah berganti senja. Cukup lama, bahkan terlalu lama ia meluangkan waktu
untuk hobinya. Perutnya mulai berontak karena demi sebuah hobi, membuat Sarah
tidak memperhatikan jam makannya. Orang tuanya yang terlalu sibuk
pun membuatnya jarang mendapatkan perhatian. Diraihnya jaket abu-abu yang
tergantung di pintu kamarnya kemudian Sarah menuju warung terdekat dari
rumahnya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dibukanya pesan dari Astrid,
adik tingkatnya.
Kak, buruan ke kafe dekat kampus. Sekarang!
Tidak biasanya Astrid mengirim pesan pada Sarah. Pasti
ada yang salah, pikirnya. Sarah kembali ke kamarnya, mengambil kunci motor
dan memacu motornya secepat mungkin menuju kafe yang dimaksud oleh Astrid.
Sungguh mengejutkan. Apa yang dilihatnya membuat kakinya gemetar. Gadis
berkemeja ungu itu menangis tersedu. Diusapnya air mata dari kedua pipinya
dengan sebelah tangannya. Lalu sebelahnya lagi terhubung dengan tangan seorang
lelaki.
Astrid menepuk bahu Sarah bermaksud
menenangkannya. Namun mata Sarah masih terfokus pada lelaki yang duduk
membelakanginya, hingga ia menyadari sesuatu. Jam tangan yang dipakai lelaki
itu adalah jam tangan yang diberikan Sarah pada lelaki itu
empat tahun yang lalu saat ia berulang tahun.
“Arka..” Ucapnya pelan.
“Apa?? itu bukan Vino?” Mata Astrid terbelalak
kaget. Seulas senyum lega tersungging di bibir tipis Sarah.
“Bukan. Itu adiknya.” Jelas Sarah singkat.
Astrid menunduk malu karena menyadari kesalah pahamannya. Berulang kali Astrid
meminta maaf karena kesalahannya. Sarah tertawa melihat kepolosan dan maksud
baik Astrid. Akhirnya perutnya yang keroncongan membuat ia memutuskan untuk
memesan makanan kesukaannya di kafe tersebut. Selagi menunggu pesanannya
dihidangkan, sesuatu mulai mengusik pikirannya. Diraihnya ponsel di dalam saku
celananya dan diketiknya sebuah pesan singkat untuk kekasihnya.
Kau dimana?
Tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan
balasan dari Vino.
Aku di Surabaya sekarang. Ada apa?
Bagaimana keadaan Arka?
Demamnya tinggi. Mungkin besok akan dibawa ke
rumah sakit.
Kurang ajar! Batin Sarah dalam hati. Vino telah
menggunakan adiknya untuk membohongi Sarah. Darahnya mulai mendidih. Pikirannya
kacau. Rasa mual mulai menyerbunya. Sarah yang tengah berkutat dengan
pikirannya sendiri tiba-tiba dikagetkan oleh kedatangan lelaki yang
memanggil-manggil namanya.
“Arka..” Sarah tercengang melihat lelaki
dihadapannya. Lelaki itu menyunggingkan senyum di bibirnya memperlihatkan
lesung pipinya yang mempesona.
“Kenapa kau ini? SMSku kau biarkan begitu saja.”
Kata Arka cemberut sambil menopang dagunya dengan sebelah tangannya.
“Kau baik-baik saja? Kenapa kau disini?” Sarah
balik bertanya tanpa mempedulikan pertanyaan Arka.
“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja kan.
Apa salahnya aku pulang kampung, Sar?”
“Vino bilang kau sakit?”
“Lantas kau mengkhawatirkanku?”
“Vino bilang menemani mama ke Surabaya untuk
menjengukmu selama seminggu.” Arka mengerutkan kening mendengar jawaban Sarah.
Mimik wajahnya yang begitu sedih, suaranya yang bergetar, matanya yang mulai
berair membuat Arka tak tahan melihat gadis yang disayanginya itu terluka oleh
kakaknya sendiri. Diketiknya nama Vino di layar ponsel empat inchinya, kemudian
ia menempelkan ponselnya ke telinga.
“Vin, kau dimana? Jemput aku di terminal.” Kata
Arka ketika Vino mengangkat ponselnya.
“Sori, Ka. Setelah ini aku harus ke stasiun.”
Tolak Vino.
“Untuk apa? Sekarang?”
“Iya, aku ke Semarang. Setengah jam lagi aku
harus berangkat ke stasiun. Kau bisa kan pulang sendiri?” Tanpa menjawab
pertanyaan Vino, Arka mematikan telponnya. Ditatapnya gadis di depannya yang
tengah mengunyah makanannya dengan perlahan. Dentingan sendok dan garpu yang
beradu dengan piring kaca terdengar saat gadis itu mempermainkan makanannya.
“Habiskan makananmu.” Kata Arka lembut. Sarah
menggeleng pelan, menelungkupkan sendok dan garpunya tanda ia telah
menyelesaikan makannya.
“Aku sudah kenyang.” Kata Sarah seraya meraih
secangkir teh hangat yang telah dipesannya. Setelah menghabiskannya, ia menuju
ke kasir untuk membayar makanannya dan berjalan keluar tanpa berpamitan pada
Arka. Arka memandang gadis itu melangkah gontai menuju pintu kafe.
***
Ditatapnya cukup lama gadis yang sedang berusaha
memasukkan kunci pada lubang gembok untuk membuka gerbang sebuah rumah. Ia
sangat mengerti bahwa gadis itu selalu berpura-pura tegar karena cukup lama ia
mengenal gadis berambut ikal tersebut.
Hatinya mulai bimbang, antara memberi tahu
sebuah kenyataan atau menyimpannya agar tak melukai gadis kesayangannya itu.
Cukup lama ia berkutat dengan pergolakan hatinya hingga sebuah keputusan telah
dibuat. Ia tahu apapun resikonya, meski nantinya gadis itu harus menemukan
kenyataan terburuk dengan melihat Vino yang mungkin bersama gadis lain.
“Ikut denganku.” Kata Arka yang tiba-tiba
berdiri di belakang Sarah. Sarah membalikkan badannya untuk memandang pemilik
suara. Sarah mengernyitkan keningnya, tidak mengerti dengan ucapan Arka. Arka
menggenggam tangan Sarah kemudian menariknya menuju mobil yang terparkir di
depan rumah Sarah. Sarah tak melawan saat Arka menarik tangannya. Pikiran
warasnya seolah meninggalkan otaknya, harusnya ia menghindari hal seperti
ini karena hal ini bisa jadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Arka memacu mobilnya dengan cepat demi memburu
waktu. Sepuluh menit kemudian sampailah mereka berdua di depan stasiun. Belum
sempat Sarah dan Arka turun dari mobil, sebuah pemandangan romantis mengejutkan
mereka berdua. Vino menggandeng tangan seorang gadis yang baru saja turun dari
taksi yang sama.
Arka memandang gadis yang duduk gemetar di
sampingnya. Air yang menggenangi matanya seolah tak mampu lagi terbendung
hingga menetetes membasahi wajah cantiknya. Emosi Arka yang tertahan akhirnya
meledak ketika gadis yang disayanginya itu menangis. Dengan cepat Arka keluar
dari dalam mobilnya dan menendang kakaknya hingga jatuh tersungkur. Umpatan
kotor bertubi-tubi keluar dari mulut Arka untuk kakak yang selama ini
dihormatinya.
“Dia siapa, Vin?” Tanya Sarah dengan suara yang
bergetar karena menahan tangisnya.
“Seperti apa yang kau pikirkan.” Jawab Vino acuh
yang membuat hati Sarah semakin terasa sakit.
“Lalu, aku?”
“Maaf Sar, aku tidak lagi bisa melanjutkannya
denganmu.” Jawabnya santai seraya mengambil tas yang tergeletak dan menggandeng
gadis itu menuju ke dalam stasiun. Tangis Sarah pecah. Hatinya
terkoyak pedih ketika melihat Vino menggandeng gadis itu dengan mesra. Arka
segera merengkuh gadis kesayangannya itu kedalam pelukannya. Menenangkannya
dengan caranya. Seperti empat tahun yang lalu.
***
“Lepaskan!” Teriak Sarah sekencang-kencangnya
melawan hingar-bingar musik yang dimainkan oleh band kesayangannya. Konser yang
penuh sesak itu membuat Sarah terpisah dari teman-temannya dan seseorang
berlaku kurang ajar padanya. Sarah terus meronta karena lelaki tersebut terus
menerus meraba tubuhnya hingga ia menangis ketakutan. Ia tak bisa menghindar
karena semua orang sibuk dengan kesenangannya tanpa mempedulikan gadis yang
tengah berjuang untuk menyelamatkan harga dirinya.
Tiba-tiba seseorang menariknya menjauh dari
kerumunan tersebut. Kepanikannya semakin menjadi-jadi. Ia terus-menerus meronta
hingga menyadari siapa yang telah menariknya.
Arka.
Lelaki tampan berlesung pipi yang merupakan
cinta pertamanya yang ia lihat saat class meeting sekolah
setahun yang lalu. Ia memang tak pernah punya keberanian untuk berbicara dengan
Arka sebelumnya. Dan hari ini mungkin kesempatannya untuk berbicara dengan
Arka. Tindakan Arka membuatnya bak seorang putri yang diselamatkan
pangerannya seperti di cerita dongeng.
Air mata kelegaan mengalir dari mata indah
Sarah. Ia terisak membayangkan apa saja yang akan terjadi pada dirinya jika
Arka tak menolongnya. Lalu lengan yang begitu kuat merengkuh Sarah dengan erat.
Menenangkan tangisnya sambil membisikkan kata-kata yang menenangkah hatinya.
“Aku menyukaimu.” Bisik Arka di telinga Sarah.
Dua kata tersebut membuat Sarah membeku. Dua kata yang begitu menghangatkan
hatinya. Namun sayangnya setelah kejadian itu, Arka tak pernah lagi mengucapkan
kata-kata itu pada Sarah. Bahkan Arka tak pernah mempertanyakan bagaimana perasaan
Sarah padanya. Hubungan mereka hanya sebatas teman. Tak ada salah satu dari
mereka berdua yang berani memulai untuk menjalin hubungan yang lebih serius.
Setelah lulus SMA, Arka melanjutkan kuliah
sebagai mahasiswa ekonomi di Surabaya. Dan Sarah melanjutkan kuliahnya sebagai
mahasiswi sastra di Malang. Sampai akhirnya, Ia bertemu dengan senior yang
memiliki paras mirip dengan Arka.
Setahun kemudian Arka kembali disaat Sarah
terlanjur menjalin hubungan dengan seniornya, Vino, yang ternyata baru
diketahui bahwa dia adalah kakak kandung Arka. Hati Sarah bimbang. Arka
terlambat. Berulang kali Arka membujuk agar Sarah memutuskan hubungannya dengan
Vino. Namun Sarah tetap pada pendiriannya. Ia memikirkan perasaan Vino meskipun
harus mengorbankan perasaannya, dan perasaan Arka tentu saja. Hingga tibalah
hari ini. Hari yang sekian lama ditunggu oleh Arka.
***
“Aku mencintaimu.” Bisik Arka lembut di telinga
Sarah. Sarah melepaskan dekapan erat Arka. Hatinya berdebar. Ia tak percaya
bahwa Arka akan mengatakannya.
“Kenapa kau mengatakan itu jika akhirnya kau
meninggalkanku?” Sarah menatap lekat-lekat cinta pertamanya yang tak pernah
pudar dari hatinya.
“Maafkan aku. Saat itu aku terlalu penakut. Aku
takut kau menolakku, karena sikapmu biasa saja setelah aku mengungkapkan
perasaanku.” Jelas Arka. “Kemudian, aku bertemu Nina, sahabatmu dan dia
menceritakan semuanya padaku. Tapi aku terlambat. Kau telah menjadi milik
Vino.” Lanjutnya. Cukup lama mereka saling menatap satu sama lain. Hingga Arka
memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya pada Sarah dan mengecup ringan
bibir tipisnya yang lembut.
“Aku tahu aku terlambat, tapi kumohon berikan
kesempatan padaku. Aku berjanji akan membahagiakanmu Sarah.” Arka sekali lagi
memohon pada Sarah. Sarah membisu, seolah terhipnotis oleh ucapan Arka. Sesaat
gadis itu tersadar akan sesuatu dan mengerutkan keningnya.
“Lalu, perempuan yang bersamamu di kafe
kemarin?”
“Dia mantan pacarku. Kami sudah putus saat kau melihatnya kemarin.” Beberapa detik setelah Arka mengakhiri
penjelasan singkatnya, seulas senyum simpul terkembang dari bibir Sarah.
“Aku mencintaimu, Arka. Dan itu tak pernah
berubah sedikitpun.” Bisik Sarah sambil melingkarkan tangannya pada leher Arka.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D