Kamis, 20 Agustus 2015

Orange Sunset (Sebelas)


“KAU ingin apa untuk makan malam?”

Rangga mengangkat wajah dari laptop di hadapannya, mengernyit pada kehadiran Julian yang menurutnya tiba-tiba itu. Sedetik kemudian ia melirik pada tiga digit angka 1:37 di sudut kanan bawah layarnya. Ia berkata, “Sebenarnya, sekarang sudah dini hari. Untuk apa makan malam?”

“Tapi aku yakin kau belum menyantap apa pun sejak pulang dari studio sore tadi,” tukas Julian.

Dalam hati Rangga mengakui kebenaran tuduhan Julian. Tadi begitu tiba di apartemen, ia memang langsung duduk sibuk pada laptopnya. Beberapa hal yang biasanya bisa diselesaikannya tepat waktu semakin sering tertunda. Hingga ia harus membawa pulang pekerjaannya dan mengorbankan jam istirahatnya.

“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Rangga berujar sambil lalu, berharap Julian berhenti merecoki kegiatannya.

Tetapi bukan Julian namanya jika kehendaknya mudah goyah. “Orang-orang bekerja demi bisa makan. Tapi banyak orang justru melupakan makan karena sibuk bekerja,” sahut Julian dengan nada menyindir.

Rangga memilih untuk bungkam pura-pura tidak mendengar. Mendapati tanggapan seperti itu, Julian melanjutkan kalimatnya. “Kemudian mereka akan jatuh sakit. Dan akhirnya, uang yang mereka kejar dengan bekerja itu akan berakhir di brankas rumah sakit.”

Mau tidak mau, Rangga kembali memusatkan perhatiannya kepada Julian. Sahabatnya itu hanya balas menatap tajam tanpa berkata-kata lagi. Hingga akhirnya, Rangga menghela napas tanda menyerah.

Julian menyembunyikan senyum kemenangannya dengan baik, lalu bertanya, “Bruschetta atau Lasagna?”
***

Perut yang lapar akan membuat perasaan menjadi gusar. Sebaliknya, perut yang kenyang akan membuat perasaan menjadi lebih tenang. Julian memercayai benar kenyataan itu. Maka, inilah saat yang tepat untuk ia menanyakan hal penting kepada Rangga.

“Jadi, bagaimana? Apakah kau sudah memutuskan?”

Rangga mengusap mulutnya menggunakan tisu, membersihkan jejak makan malamnya barusan, sambil sedikit mengulur waktu. Selama beberapa detik itu ia coba menelaah maksud Julian tanpa hasil. Hingga pada akhirnya ia menatap lelaki di hadapannya dengan bingung. “Memutuskan apa?”

“Silvia atau Jihan?”

Setitik binar kesedihan berkelebat di mata Rangga, tetapi dengan cepat hilang begitu saja menyisakan ekspresi kosong. Lelaki itu memilih bungkam sambil berharap Julian menarik kembali pertanyaannya. Sementara Julian sendiri justru tidak sedikit pun melepaskan tatapannya dari Rangga sampai ia mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

“Sejauh pengamatanku, hubunganmu dan Silvia baik-baik saja selama ini. Sebelum kehadiran Jihan, maksudku.” Julian bersuara memecah keheningan di ruang makan apartemen mereka. “Lalu Jihan datang dan membuatmu selalu terlihat resah seolah dunia akan kiamat esok hari. Sebenarnya, ada apa di antara kalian berdua?”

“Bukan apa-apa,” jawab Rangga lebih seperti gumaman.

Julian mendengus kesal. “Aku yakin ‘bukan apa-apa’ yang kau maksud berarti kau tertarik kepada Jihan. Atau bahkan kau menyimpan perasaan yang lebih.”

Rangga memalingkan wajah, menghindari tatapan menuduh Julian. Tidak seharusnya ia mengakui perasaannya terhadap Jihan secara terang-terangan. Apalagi setelah insiden ciuman yang mungkin saja membuat gadis itu kini membencinya.

“Asal kau tahu saja, aku juga tertarik kepada gadis itu. Kepada Jihan.”

Sekejap, kilatan cemburu langsung menjalari sepasang mata Rangga. “Jauhi dia, Julian. Kumohon.”

“Kau sudah bersama Silvia. Siapa tahu kau lupa.”

“Sudah kubilang, Silvia bukan pacarku.”

“Lalu apa? Tunanganmu?” Julian tersenyum sinis. “Jangan bergurau, Rangga. Statusmu saat ini tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada Jihan. Berbeda denganku, aku lelaki bebas. Aku bisa mendekati gadis mana pun, termasuk Jihan, tanpa halangan apa pun.”

“Aku yang akan menghalangimu.”

Julian mengangkat satu alisnya. “Kau mempersilakanku untuk mendekati Silvia tapi melarangku mendekati Jihan. Seharusnya itu sudah jelas. Kau pasti lebih mencintai Jihan, kenapa bingung?”

Ya “Tapi....” Tentu saja Rangga mencintai Jihan. Hanya saja ini tidak sesederhana itu.

“Apa kau mencintai Silvia?” tanya Julian ketika tidak mendapat tanggapan berarti dari Rangga.

Sahabatnya itu tidak bersuara. Tetapi kepalanya menggeleng dengan tegas.

“Itu berarti kau mencintai Jihan?”

Kali ini Rangga kembali terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.

“Perasaanmu sudah jelas. Apa yang membuatmu ragu?”

Tidak ada hal lain yang membuat Rangga ragu selain dirinya sendiri. Masihkah ia memiliki kesempatan untuk bersama dengan Jihan?

“Apa kau takut menyia-nyiakan kesempatan untuk dekat dengan gadis secantik Silvia?” tuduh  Julian tanpa basa-basi. “Gadis itu jatuh cinta padamu, kau tahu? Tanda-tanda yang dia tunjukkan padamu sudah lebih dari cukup.”

Rangga terdiam. Cukup lama. Ucapan Julian membuatnya merenung.

“Oh. Ayolah. Aku tidak pernah mengenalmu yang sepengecut ini,” kata Julian dengan nada tidak sabar.

“Justru karena aku tahu Silvia mencintaiku, aku tidak mungkin meninggalkan dia begitu saja. Itu akan menyakitinya.” Rangga meremas rambutnya frustrasi. “Jihan dan Silvia bersahabat baik, ingat?”

“Akan lebih menyakitkan jika dia terlambat mengetahui bahwa selama ini ia mendekati lelaki yang sama sekali tidak mencintainya.” Julian bangkit sambil mengangkut piring kosongnya. “Belum lagi jika lelaki itu menjalin cinta diam-diam dengan sahabat baiknya,” tandasnya dan berlalu ke arah dapur.

Rangga tertegun. Ia menatap kepergian Julian dengan perasaan bimbang. Kata-kata Julian ada benarnya juga. Mulai sekarang, ia harus bersikap tegas pada perasaannya sendiri. Mungkin ia bisa membicarakan semua ini saat makan malam bersama orang tuanya akhir pekan ini.
***

Ini benar-benar pilihan yang sulit.

Silvia bingung. Kening gadis itu berkerut penuh pertimbangan. Ibu jarinya bergerak monoton ke kiri dan ke kanan pada layar ponsel, menampilkan tiga foto terus menerus secara bergantian. Ia mengabaikan pekerjaan yang terpampang pada layar komputernya. Baginya, ini jauh lebih penting sekarang.

Diam-diam Silvia mencuri waktu. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi senyaman mungkin. Lalu mulai memerhatikan foto-foto itu dengan saksama.

Tujuh menit berlalu, tetapi Silvia belum juga bisa menentukan pilihannya. Foto-foto gaun dari sebuah online shop itu berputar-putar dalam benaknya. Ia memundurkan kursinya sedikit, mencoba mengintip bilik kerja di sampingnya. Rekan kerjanya itu ternyata masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Silvia tertawa kecil. Dasar ratu melamun yang pekerja keras.

Silvia melirik jam di tangannya. Sepertinya ia sudah tidak tahan untuk menunggu hingga jam makan siang tiba. Ia membutuhkan diskusi dengan Jihan. Sekarang.

“Jihan,” panggil Silvia perlahan. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bahu sahabatnya itu.

“Ya?” Jihan menanggapi sambil menolehkan kepalanya ke arah Silvia. Matanya masih tetap fokus ke arah layar sebelum akhirnya ia benar-benar memberikan perhatiannya kepada Silvia. “Ada apa?”

“Bantu aku memilih.” Silvia menyodorkan ponselnya kepada Jihan. “Mana menurutmu yang paling bagus?”

Jihan mengerjap beberapa kali sebelum menerima ponsel Silvia. Ia perlu waktu mempersiapkan matanya untuk menghadapi layar yang lain. Begitu menatap layar ponsel Silvia, Jihan terpana. Ia melihat gaun berwarna jingga yang menurutnya sangat cantik. Bagian atas gaun itu berbahan brokat sementara roknya yang memanjang hingga atas lutut, tampak mengembang hasil dari tumpukan kain tule. Sekilas Jihan mengalihkan pandangannya ke arah Silvia yang tersenyum lebar, mencoba membayangkan gadis itu mengenakan gaun ini. Kemudian ia melanjutkan pada foto yang lainnya.

Foto selanjutnya menampilkan gaun halter berwarna lila yang elegan. Bagian roknya memanjang berpotongan A. Sehelai pita berwarna hitam menghiasi bagian pinggangnya. Dan foto lainnya menunjukkan gaun terusan panjang berwarna salem. Gaun berbahan sifon itu memiliki garis leher sabrina yang melebar lurus ke bahu.

Bibir Jihan mengerucut sementara benaknya menimbang-nimbang sambil matanya sesekali melirik ke arah Silvia yang menatapnya penuh harap. Sebenarnya, gaun yang mana saja akan pantas jika dikenakan Silvia. Gadis itu memiliki tubuh ideal yang disukai semua perancang busana wanita. Tetapi mana mungkin ia memberi jawaban seperti itu, kan?

“Menurutku, yang ini saja,” ujar Jihan sambil menunjukkan foto gaun halter itu kepada Silvia.

Silvia mengangguk-angguk setuju. Akhirnya ia bisa memutuskan gaun mana yang akan dikenakannya. “Kenapa?”

“Karena menurutku gaun itu memiliki potongan paling pas untukmu.”

“Memang gaun yang lain tidak pas untukku?”

“Bukan begitu.” Jihan menggeleng. “Gaun yang berwarna salem terlalu sederhana untukmu. Sedangkan yang jingga... entahlah. Menurutku, tidak seperti dirimu saja.”

Silvia menyetujui kata—kata Jihan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia memilih gaun itu. Padahal gaun dengan model seperti itu sama sekali bukan seleranya.

“Memang akan ada acara penting apa?” tanya Jihan sambil memutar sedikit kursi kerjanya menghadap kepada Silvia.

Silvia tidak langsung menjawab. Gadis itu malah menatap penuh selidik ke arah Jihan. Matanya disipitkan sementara alisnya berkerut tidak yakin. Bukankah ia sudah menceritakan hal ini kepada Jihan?

“A-apa?” tanya Jihan sedikit terbata. Ia yang merasa rikuh ditatap seperti itu, sedikit menarik diri perlahan dari tatapan Silvia. Lantas cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Entah mengapa, ia merasa takut pada sesuatu yang mungkin ditemukan Silvia dari sinar matanya.

“Kau lupa atau

Ah, benar juga. Pertanyaan Silvia menggantung di udara ketika menyadari satu hal. Ia pasti menceritakan hal ini kepada Jihan ketika gadis itu tengah melamun. Tetapi hati Silvia terlalu bahagia untuk merasa kecewa atau pun kesal. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya Jihan melamun seperti itu. Jadi, tidak ada salahnya kalau ia menceritakan hal itu sekali lagi.

“Aku dan Rangga akan pergi makan malam bersama orang tua kami,” ujar Silvia dengan senyuman lebar. “Semoga saja orang tuaku berhasil membujuk orang tua Rangga untuk segera meresmikan hubungan kami. Kau tahu, kan? Maksudku pernikahan.”

Sekejap, dada Jihan terasa sesak. Ia merasa kesulitan bernapas ketika mendengar berita ini. Makan malam bersama orang tua mereka. Membahas rencana pernikahan mereka. Rangga dan Silvia.

“Oh. K-kapan?” tanya Jihan sambil menghela napas perlahan, membunyikan perasaan.

“Akhir pekan ini,” sahut Silvia masih tampak bahagia. “Sabtu malam.”

Ah, secepat inikah ia harus kehilangan Rangga? Sabtu malam ini hubungan Rangga dan Silvia

“Eh? Sabtu malam, katamu?” tanya Jihan sedikit takjub untuk alasan yang berbeda. “Bukankah itu berarti... besok?”

Silvia mengangguk.

“Dan kau baru akan membeli gaun itu hari ini?”

“Sebenarnya... aku sudah membeli tiga gaun itu sejak dua minggu yang lalu,” aku Silvia malu-malu. “Tapi aku tetap tidak bisa memilih. Semuanya terlihat cantik sama seperti di foto. Dan aku tidak mungkin mengenakan tiga gaun secara bersamaan, kan?”

Jihan tertawa geli mendengar cara Silvia berpikir. Padahal seharusnya gadis itu tidak perlu bingung memilih. Semua pakaian pasti kan pantas dikenakan gadis secantik Silvia.

“Jadi, terima kasih banyak sudah membantuku untuk memutuskan,” sambung Silvia. “Semoga Rangga suka dengan pilihanmu.”

Jihan tersenyum getir. Ya. Semoga saja lelaki itu menyukainya.
***

Andai saja senja kala itu tidak mengukir kenangan pahit melalui dirinya.

Rangga menghela napas panjang. Ia menjauhkan wajahnya dari balik lensa kamera.  Sesungguhnya Rangga bukanlah tipikal lelaki melankolis. Tetapi entah mengapa kejadian akhir-akhir ini membuat perasaannya gusar. Bahkan mengacaukan pekerjaannya di studio.

Seharian ini Rangga merasa kesal setengah mati pada apa saja yang dilihatnya. Tumpukan foto, meja kerjanya, lampu studionya, semua benda yang ada di bangunan itu membuatnya muak. Ingin rasanya ia membanting semua benda itu hingga hancur lebur. Sebelum semua itu terjadi, ia memutuskan untuk mengambil gambar di luar studionya dan melimpahkan segala urusan kepada Reza.

Sayangnya, hal tersebut tidak juga membuat perasaannya menjadi lebih baik.

Sekali lagi, Rangga mencoba membidik deretan bangunan tua di hadapannya. Terdengar bunyi klik secara berturut-turut. Ia kembali menurunkan kameranya, melihat hasil potretannya. Tetapi tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang diinginkannya.


Detik berikutnya, lelaki itu malah mengarahkan kameranya ke arah jalan ber-paving yang dipijaknya. Di sana ia melihat matahari mencetak jelas bayangannya yang memanjang. Setelah mengambil foto bayangannya, Rangga berbalik dan mendapati pemandangan langit yang selalu membuatnya merindu.

Senja yang sebentar lagi akan menelan habis cahaya. Pemandangan inilah yang ingin dilihatnya di seluruh dunia. Rangga rela menghabiskan seluruh hidupnya demi mengabadikan keindahan alam yang satu ini.

Bersama seulas senyuman di bibir, Rangga kembali mengintip melalui balik lensanya. Ia menangkap semua sisa jejak cahaya yang kemudian hilang menjelma malam.

Ah. Andai saja dahulu ia tidak merusak senja yang satu itu. Mungkin saja saat ini ia masih bisa berada di dekat Jihan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D