Senin, 13 Juli 2015

Repihan Hati



Cerita ini pernah diikutsertakan dalam proyek menulis cerpen yang diadakan oleh nulisbuku pada Januari lalu.
Sayangnya, kisah ini belum beruntung untuk bergabung. Jadi, akhirnya muncul di sini sebagai persembahan untuk kalian semua.
Selamat membaca! ^^
*untuk yang sudah membaca Nightmare, ini adalah kisah Nadira sebelum bertemu dengan Nino


Sejak pagi tadi, langit tampak begitu gelap. Warna awan yang kelabu pekat terlihat sudah tidak kuat menahan beban berat. Benar saja. Sedetik kemudian tetesan hujan pertama menyentuh tanah yang diikuti tetesan-tetesan air berikutnya. Hujan turun begitu deras hingga menghasilkan melodi-melodi sumbang saat menghantam atap maupun kanopi bangunan.

Kevin berdiri di samping jendela. Ia menyandarkan setengah bahu pada kosen jendela dengan kedua tangan di saku celana kainnya yang sudah disetrika rapi. Diam dan hanya memandangi langit mendung yang terbingkai jendela. Terkadang Kevin ingin menjadi langit yang bisa menumpahkan air matanya tanpa peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain.

Sedetik kemudian, Kevin mengalihkan pandangannya pada sebuah cermin besar di ruangan itu. Mendung yang sama masih tetap bergayut di wajah tampannya. Iris matanya yang hitam tampak serasi dengan setelan tuksedo hitam yang dikenakannya. Mata hitam itu berkilat, menunjukkan emosi kecewa yang sedang mencengkramnya dengan kuat.

Semalaman suntuk Kevin tidak bisa tidur. Ia merasa begitu kecewa, frustasi, gelisah, dan ungkapan kesedihan yang lain. Bahkan ia sempat menitikkan air mata sambil mengumpulkan repihan hatinya yang beserak. Perasaan nelangsa benar-benar menghancurkan hatinya tanpa diminta. Sempat terbesit pikiran untuk kabur dan menghilang begitu saja untuk sementara. Tapi ia tahu itu adalah gagasan buruk yang hanya akan berujung pada kekecewaan kedua orang tuanya. Mereka sangat menantikan saat yang penting ini sejak lama.

Kevin menggerakkan matanya ke arah daun pintu saat terdengar sebuah ketukan pelan di sana. Sedetik kemudian, handle pintu bergerak dan pintu terbuka. Seorang wanita muncul dan melangkah masuk ke ruangan itu.

“Apa kau sudah selesai bersiap, Kevin?”

“Aku akan merapikan rambutku sebentar lagi, Ma,” jawab Kevin dengan nada datar. Ia berharap ibunya akan menyadari kesedihannya dan membatalkan prosesi pernikahan hari ini.

Ibu Kevin berjalan mendekat ke arah Kevin. Kemudian ia merapikan sedikit dasi hitam anak lelakinya itu. “Mama rasa tidak perlu. Kau sudah terlihat sangat tampan seperti ini.”

Kevin hanya tersenyum pahit menanggapi pujian ibunya. Sepertinya tidak ada cara untuk menggagalkan pernikahan ini. Ia hanya bisa berusaha tegar dan menghadapi semua dengan hati sekeras baja.

“Apa kau tahu di mana Nizar?” tanya ibu Kevin sambil mematut bayangannya sendiri di cermin. Tidak peduli berapapun usianya, wanita akan selalu tertarik menganggumi kecantikannya sendiri.

“Kenapa anak itu harus menghilang di tengah acara penting seperti ini?”

Kevin hanya mengangkat bahunya sesaat lalu kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela. Hujan masih saja turun dengan deras. Langit seolah menggantikan Kevin yang tidak bisa menangis di saat seperti ini.

“Tadi dia berpamitan padaku untuk mengambil cincin pernikahan pesanannya. Toko itu berada dekat dari sini tapi dia tidak mengatakannya di mana,” gumam Kevin acuh tak acuh.

“Baiklah. Kalau begitu Mama akan menelepon Nizar.” Tiba-tiba nada suara ibu Kevin terdengar panik dan tampak terburu-buru melangkah keluar ruangan. “Kau cepatlah selesaikan persiapanmu, Kevin. Acara akan dimulai satu jam lagi.”

Begitu pintu kembali tertutup, Kevin menghela napas berat. Kemudian ia melangkah keluar sambil terus berusaha menguatkan hatinya. Lelaki itu berjalan sambil sesekali menyapa singkat familinya yang datang berkumpul untuk hari penting ini. Mereka tampak antusias menunggu acara dimulai.

Kevin terus melangkahkan kakinya menjauhi keramaian itu. Tapi kakinya salah melangkah dan malah membawanya ke dekat ruangan luas untuk acara penting hari ini. Dan saat itulah mata Kevin menangkap sosok gadis yang sudah mencuri hatinya.

Selembar kain muslin warna cokelat terpasang pada dinding di sebelah pintu ruangan. Kain itu berfungsi sebagai background untuk pemotretan sebelum acara dimulai. Gadis itu sedang berpose mengikuti arahan dari fotografer. Gaun pernikahan berwarna putih membungkus tubuh rampingnya. Sehelai pita satin hitam melingkar cantik di pinggang gadis itu.

Waktu terasa melambat kemudian berhenti. Gadis itu menatap ke arah Kevin yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Seulas senyum manis tergambar jelas di bibir gadis itu. Ingin rasanya Kevin merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Kemudian mengecup lembut bibir yang tampak sangat memabukkan itu. Tapi tentu saja itu adalah yang mustahil karena kurang dari satu jam lagi, gadis ini akan resmi menjadi istri dari Nizar —kakak kandung Kevin.

Gadis itu melangkah perlahan ke arah Kevin. Sepertinya sesi pemotretan untuk gadis itu sudah selesai. Gaun pernikahan yang panjang tampaknya sedikit mengganggu langkah gadis itu. Sehingga membuat Kevin tergerak untuk membantunya mengangkat sedikit bagian bawah gaun yang menyentuh lantai.

“Terima kasih, Kevin,” ujar gadis itu sambil tersenyum cerah. Wajahnya tampak sangat bahagia.  “Aku merasa sangat berdebar-debar sekarang.”

“Tentu saja, Nadira. Kau akan menikah.” Kevin menimpali sekenanya.

Nadira. Seorang gadis yang diimpikan Kevin sejak berusia sebelas tahun. Usia Nadira dua tahun lebih tua dari Kevin. Hal itu yang membuat Kevin ingin cepat-cepat menjadi orang dewasa. Sehingga ia bisa menyatakan perasaannya kepada Nadira tanpa merisaukan perbedaan usia mereka. Tapi itu semua tidak lebih dari sebuah mimpi di sudut hati Kevin. Setelah sepuluh tahun berlalu, justru Nizarlah yang mampu mencuri hati Nadira seutuhnya. Sebuah pertemuan singkat, dua kali kencan, tiga bulan berpacaran, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengikat cinta mereka dalam pernikahan.

Sesaat pikiran jahat menyusup ke hati Kevin. Ia berharap Nizar terjebak hujan deras sehingga kesulitan kembali ke gedung. Dan mungkin saja pernikahan hari ini akan dibatalkan. Atau paling tidak Kevin memiliki waktu lebih bersama Nadira sebelum gadis itu menjadi milik lelaki lain.

“Apa kau tahu ke mana Nizar pergi?” tanya Nadira dengan raut wajah khawatir.

Baru saja Kevin membuka bibirnya hendak menjawab pertanyaan Nadira, tiba-tiba terdengar suara seruan keras yang mengalihkan perhatian gadis itu. Juga perhatian Kevin dan orang-orang di sekitar mereka.

“Nadira! Ada berita buruk!” Ternyata paman Nadira yang tengah berteriak lantang. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Antara bingung, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu. Tapi sedetik kemudian, pria itu melanjutkan kata-katanya. “Nizar mengalami kecelakaan!”
***

Tidak pernah ada yang bisa menduga kapan maut akan menjemput. Setiap manusia di dunia ini hanya bisa menunggu hingga ajal berkata: ini sudah saatnya. Dan tidak ada seorangpun yang bisa menolak atau mengelak dari ketentuan tersebut.

Para pelayat berpakaian serba hitam mulai meninggalkan area pemakaman. Payung-payung yang juga serba hitam terkembang berusaha melindungi dari basahnya hujan. Air mata kesedihan mengalir tidak kalah deras dengan air hujan. Isakan duka juga seakan memenuhi udara di pemakaman.

Hujan masih deras mengguyur bumi. Seakan berusaha membasuh hati yang sedih. Tetesan hujan terus turun berderai-derai, menghambur tak tentu arah, kemudian hancur saat menyentuh tanah. Sama seperti perasaan Nadira. Hatinya hancur menjadi repihan kecil di atas tanah. Begitu tidak berarti dan berakhir di bawah injakan kaki para pelayat.

Nadira berdiri terpaku di sana seperti patung batu. Ia masih mengenakan gaun putih pernikahannya. Tampak sangat kontras dengan pakaian serba hitam di sekelilingnya. Para anggota keluarga berusaha membujuknya untuk pulang dan beristirahat. Tapi gadis itu tetap bergeming hingga keluarganya menyerah. Ia tidak ingin meninggalkan Nizar sendirian dalam balutan tanah merah yang dingin.

“Aku sangat mencintaimu, Nadira. Bahkan kematian pun tidak akan mampu memisahkan kita.”

Sebaris kalimat terngiang di telinga Nadira. Kalimat yang selalu dibisikkan Nizar dengan penuh cinta di telinganya. Terdengar seperti perjanjian hati tak terpatahkan yang mengikat mereka sehidup semati.

Tapi pada kenyataannya, kalimat itu tidak terbukti sekarang. Nizar sudah meninggalkan Nadira jauh ke tempat yang tak terjangkau. Kematian justru merenggut kekasihnya yang tercinta. Meninggalkan Nadira sendirian dalam keadaan tersiksa. Memisahkan mereka dengan jarak yang tak kasatmata.

Lalu bagaimana Nadira bisa menyampaikan rasa cintanya kepada Nizar? Di saat suara Nizar bahkan sudah tidak bisa lagi terdengar. Di saat kenangan mereka hanya tersisa sebagai memoar.

Tidak pernah sedetikpun Nadira membayangkan hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Sampai tadi pagi, hidupnya terasa begitu sempurna. Seluruh kebahagiaan setiap gadis di dunia berkumpul memenuhi hatinya. Tapi kemudian dalam sekejap, kebahagiaan itu lenyap begitu saja tanpa tersisa setetespun di hati Nadira.

Hanya Kevin yang masih setia di sana. Berdiri di samping Nadira. Tangannya menggenggam sebuah payung besar yang tampak percuma. Payung itu tidak cukup lebar untuk melindungi mereka berdua. Penampilan Kevin tidak kalah berantakan dengan gadis di sampingnya. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat seperti bulan purnama, dua kancing atas kemejanya tidak terpasang rapi, dan hatinya terasa begitu rapuh karena kehilangan dua orang yang disayanginya.

Kevin melirik ke arah Nadira. Gadis itu sudah tidak menangis sekarang. Sepertinya sumur air matanya sudah dikuras habis hingga kering. Mata bengkaknya hanya menatap kosong ke arah gundukan tanah merah yang basah. Seolah jiwa gadis itu telah direnggut paksa dan ikut bersama jasad Nizar yang terkubur di bawah sana.

“Nadira, ayo kita pulang sebentar saja. Hari semakin gelap.” Kevin mulai bersuara untuk membujuk gadis itu pulang. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Nadira. Penyakit apapun akan mudah menyerang dalam kondisi seperti ini. “Setidaknya ganti dulu pakaianmu.”

Nadira menggeleng lemah lalu berujar dengan suara seraknya. “Tidak, Kevin. Aku ingin menemani Nizar di sini.”

Kevin menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tahu. Sekuat apapun ia berusaha, perasaan cintanya tidak akan pernah sampai ke hati Nadira. Hati gadis itu akan menjadi milik Nizar selamanya. Sekalipun lelaki itu sudah tiada.

Nadira tahu bahwa sejak tadi Kevin memayunginya. Walaupun tubuh mereka tetap saja kuyup diguyur hujan. Tapi Nadira berusaha untuk tidak peduli. Kevin sama saja seperti yang lainnya. Hanya merasa simpati terhadap gadis malang yang ditinggal mati calon suaminya tepat di hari pernikahan mereka.

Tidak ada seorangpun dari mereka yang benar-benar merasakan apa yang dirasakan Nadira.

Nadira memejamkan matanya, meresapi setiap tetes air hujan di pori-porinya. Perlahan potongan-potongan kenangan antara ia dan Nizar berputar dalam benak Nadira. Bagi Nadira, Nizar lebih dari seorang calon suami. Nizar adalah sosok lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Walaupun perkenalan mereka bisa dikatakan cukup singkat.

Dimulai dengan pertemuan pertama mereka yang berlanjut dengan kencan pertama mereka menonton film di bioskop, lalu kencan kedua makan malam di restoran.

Setelah tiga bulan bersama, Nizar melamarnya dengan membawa lima balon berbeda warna yang bertuliskan kata-kata Nadira, Will you marry me?. Nadira masih ingat betapa terkejutnya ia kala itu. Dan begitu Nadira menganggukkan kepalanya, Nizar melepas genggamannya dari benang balon-balon itu dan membiarkannya terbang bebas di udara. Saat Nadira tengah memperhatikan balon-balon aneka warna itu melayang di langit, Nizar sudah berlutut sambil menyodorkan sekotak cincin ke hadapan Nadira. Sontak gadis itu menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Kepalanya mengangguk memberi persetujuan. Nizar menyematkan cincin itu di jari manis Nadira dan mengikat hati mereka selamanya.

Sampai tiba hari ini. Hari di mana semua momen itu hanya tinggal kenangan. Tertinggal dalam benak dan hati Nadira tanpa berniat untuk dihapus. Masih tergambar jelas sosok Nizar yang tergeletak kaku dalam balutan jas pernikahan yang serba putih. Darah mengalir deras dari dahinya yang membentur aspal. Tulang punggungnya patah karena sebuah mobil menghantam keras tubuh lelaki itu. Sepertinya hujan yang deras cukup membatasi pandangan orang di jalan.

Sekali lagi Kevin melirik ke arah Nadira. Takut-takut ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Nadira yang kembali bergetar. Terdengar suara isakan tertahan. Gadis itu menangis lagi.

Kevin sudah tidak bisa menahan diri lagi. Ia melepas genggaman tangannya dari gagang payung. Sehingga payung itu jatuh ke tanah yang basah dengan posisi terbalik. Secepat mungkin Kevin menarik Nadira ke dalam pelukannya. Tangisan gadis itu alih-alih mereda, malah semakin berderai sederas hujan. Dan teriakan pilu gadis itu menyebut nama Nizar membuat hati Kevin seperti tersayat petir. Kesedihan Nadira menjadi kesedihannya juga.

Mereka berdua bersimpuh di atas tanah pemakaman. Saling berpelukan seakan ingin saling menguatkan padahal mereka sama-sama merasa lemah. Tidak satupun dari mereka yang memedulikan hujan yang mendera tubuh mereka sekuat tenaga.

Tapi Kevin menyadari satu hal. Nadira merasakan kehilangan yang lebih menyakitkan daripada yang ia sendiri rasakan. Seharusnya Kevin tidak perlu merasa kehilangan. Bukankah sejak dulu Nadira memang tidak pernah menjadi miliknya? Sementara Nadira... gadis itu harus kehilangan miliknya yang paling berharga.

TAMAT

2 komentar:

  1. Kasihan ya Nadira, takdir buruk menghantuinya. Sepertinya oke kalau ada kelanjutannya seperti perlahan - lahan Kevin mampu menghiasi hati Nadira dan sebagai penyembuh lukanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf baru membalas, kak...
      Terima kasih banyak sudah berkunjung yaaaa..
      kalau kisah Nadira sudah berlanjut di Cerpen Nightmare hehehe..
      bisa klik link berikut:
      stoples-cerita.blogspot.co.id/2015/01/nightmare.html

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D