Cerita
ini pernah diikutsertakan dalam proyek menulis cerpen yang diadakan oleh
nulisbuku pada Januari lalu.
Sayangnya,
kisah ini belum beruntung untuk bergabung. Jadi, akhirnya muncul di sini sebagai
persembahan untuk kalian semua.
Selamat
membaca! ^^
*untuk
yang sudah membaca Nightmare, ini adalah kisah Nadira sebelum bertemu dengan
Nino
Sejak pagi
tadi, langit tampak begitu gelap. Warna awan yang kelabu pekat terlihat sudah
tidak kuat menahan beban berat. Benar saja. Sedetik kemudian tetesan hujan
pertama menyentuh tanah yang diikuti tetesan-tetesan air berikutnya. Hujan
turun begitu deras hingga menghasilkan melodi-melodi sumbang saat menghantam
atap maupun kanopi bangunan.
Kevin
berdiri di samping jendela. Ia menyandarkan setengah bahu pada kosen jendela
dengan kedua tangan di saku celana kainnya yang sudah disetrika rapi. Diam dan
hanya memandangi langit mendung yang terbingkai jendela. Terkadang Kevin ingin
menjadi langit yang bisa menumpahkan air matanya tanpa peduli dengan apa yang
dipikirkan orang lain.
Sedetik
kemudian, Kevin mengalihkan pandangannya pada sebuah cermin besar di ruangan
itu. Mendung yang sama masih tetap bergayut di wajah tampannya. Iris matanya
yang hitam tampak serasi dengan setelan tuksedo hitam yang dikenakannya. Mata
hitam itu berkilat, menunjukkan emosi kecewa yang sedang mencengkramnya dengan
kuat.
Semalaman
suntuk Kevin tidak bisa tidur. Ia merasa begitu kecewa, frustasi, gelisah, dan
ungkapan kesedihan yang lain. Bahkan ia sempat menitikkan air mata sambil
mengumpulkan repihan hatinya yang beserak. Perasaan nelangsa benar-benar menghancurkan
hatinya tanpa diminta. Sempat terbesit pikiran untuk kabur dan menghilang
begitu saja untuk sementara. Tapi ia tahu itu adalah gagasan buruk yang hanya akan
berujung pada kekecewaan kedua orang tuanya. Mereka sangat menantikan saat yang
penting ini sejak lama.
Kevin
menggerakkan matanya ke arah daun pintu saat terdengar sebuah ketukan pelan di
sana. Sedetik kemudian, handle pintu
bergerak dan pintu terbuka. Seorang wanita muncul dan melangkah masuk ke
ruangan itu.
“Apa kau
sudah selesai bersiap, Kevin?”
“Aku akan
merapikan rambutku sebentar lagi, Ma,” jawab Kevin dengan nada datar. Ia
berharap ibunya akan menyadari kesedihannya dan membatalkan prosesi pernikahan
hari ini.
Ibu Kevin
berjalan mendekat ke arah Kevin. Kemudian ia merapikan sedikit dasi hitam anak
lelakinya itu. “Mama rasa tidak perlu. Kau sudah terlihat sangat tampan seperti
ini.”
Kevin hanya
tersenyum pahit menanggapi pujian ibunya. Sepertinya tidak ada cara untuk
menggagalkan pernikahan ini. Ia hanya bisa berusaha tegar dan menghadapi semua
dengan hati sekeras baja.
“Apa kau
tahu di mana Nizar?” tanya ibu Kevin sambil mematut bayangannya sendiri di
cermin. Tidak peduli berapapun usianya, wanita akan selalu tertarik menganggumi
kecantikannya sendiri.
“Kenapa anak
itu harus menghilang di tengah acara penting seperti ini?”
Kevin hanya
mengangkat bahunya sesaat lalu kembali melemparkan pandangannya ke luar
jendela. Hujan masih saja turun dengan deras. Langit seolah menggantikan Kevin
yang tidak bisa menangis di saat seperti ini.
“Tadi dia
berpamitan padaku untuk mengambil cincin pernikahan pesanannya. Toko itu berada
dekat dari sini tapi dia tidak mengatakannya di mana,” gumam Kevin acuh tak
acuh.
“Baiklah. Kalau
begitu Mama akan menelepon Nizar.” Tiba-tiba nada suara ibu Kevin terdengar panik
dan tampak terburu-buru melangkah keluar ruangan. “Kau cepatlah selesaikan
persiapanmu, Kevin. Acara akan dimulai satu jam lagi.”
Begitu pintu
kembali tertutup, Kevin menghela napas berat. Kemudian ia melangkah keluar
sambil terus berusaha menguatkan hatinya. Lelaki itu berjalan sambil sesekali menyapa
singkat familinya yang datang berkumpul untuk hari penting ini. Mereka tampak
antusias menunggu acara dimulai.
Kevin terus
melangkahkan kakinya menjauhi keramaian itu. Tapi kakinya salah melangkah dan malah
membawanya ke dekat ruangan luas untuk acara penting hari ini. Dan saat itulah mata
Kevin menangkap sosok gadis yang sudah mencuri hatinya.
Selembar
kain muslin warna cokelat terpasang pada dinding di sebelah pintu ruangan. Kain
itu berfungsi sebagai background
untuk pemotretan sebelum acara dimulai. Gadis itu sedang berpose mengikuti
arahan dari fotografer. Gaun pernikahan berwarna putih membungkus tubuh
rampingnya. Sehelai pita satin hitam melingkar cantik di pinggang gadis itu.
Waktu terasa
melambat kemudian berhenti. Gadis itu menatap ke arah Kevin yang masih terpaku
di tempatnya berdiri. Seulas senyum manis tergambar jelas di bibir gadis itu.
Ingin rasanya Kevin merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Kemudian mengecup
lembut bibir yang tampak sangat memabukkan itu. Tapi tentu saja itu adalah yang
mustahil karena kurang dari satu jam lagi, gadis ini akan resmi menjadi istri
dari Nizar —kakak kandung Kevin.
Gadis itu
melangkah perlahan ke arah Kevin. Sepertinya sesi pemotretan untuk gadis itu
sudah selesai. Gaun pernikahan yang panjang tampaknya sedikit mengganggu
langkah gadis itu. Sehingga membuat Kevin tergerak untuk membantunya mengangkat
sedikit bagian bawah gaun yang menyentuh lantai.
“Terima
kasih, Kevin,” ujar gadis itu sambil tersenyum cerah. Wajahnya tampak sangat
bahagia. “Aku merasa sangat
berdebar-debar sekarang.”
“Tentu saja,
Nadira. Kau akan menikah.” Kevin menimpali sekenanya.
Nadira.
Seorang gadis yang diimpikan Kevin sejak berusia sebelas tahun. Usia Nadira dua
tahun lebih tua dari Kevin. Hal itu yang membuat Kevin ingin cepat-cepat
menjadi orang dewasa. Sehingga ia bisa menyatakan perasaannya kepada Nadira
tanpa merisaukan perbedaan usia mereka. Tapi itu semua tidak lebih dari sebuah
mimpi di sudut hati Kevin. Setelah sepuluh tahun berlalu, justru Nizarlah yang
mampu mencuri hati Nadira seutuhnya. Sebuah pertemuan singkat, dua kali kencan,
tiga bulan berpacaran, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengikat cinta
mereka dalam pernikahan.
Sesaat
pikiran jahat menyusup ke hati Kevin. Ia berharap Nizar terjebak hujan deras
sehingga kesulitan kembali ke gedung. Dan mungkin saja pernikahan hari ini akan
dibatalkan. Atau paling tidak Kevin memiliki waktu lebih bersama Nadira sebelum
gadis itu menjadi milik lelaki lain.
“Apa kau
tahu ke mana Nizar pergi?” tanya Nadira dengan raut wajah khawatir.
Baru saja
Kevin membuka bibirnya hendak menjawab pertanyaan Nadira, tiba-tiba terdengar
suara seruan keras yang mengalihkan perhatian gadis itu. Juga perhatian Kevin
dan orang-orang di sekitar mereka.
“Nadira! Ada
berita buruk!” Ternyata paman Nadira yang tengah berteriak lantang. Ekspresi
wajahnya tidak terbaca. Antara bingung, sedih, dan kecewa bercampur menjadi
satu. Tapi sedetik kemudian, pria itu melanjutkan kata-katanya. “Nizar
mengalami kecelakaan!”
***
Tidak pernah
ada yang bisa menduga kapan maut akan menjemput. Setiap manusia di dunia ini
hanya bisa menunggu hingga ajal berkata: ini
sudah saatnya. Dan tidak ada seorangpun yang bisa menolak atau mengelak
dari ketentuan tersebut.
Para pelayat
berpakaian serba hitam mulai meninggalkan area pemakaman. Payung-payung yang
juga serba hitam terkembang berusaha melindungi dari basahnya hujan. Air mata
kesedihan mengalir tidak kalah deras dengan air hujan. Isakan duka juga seakan
memenuhi udara di pemakaman.
Hujan masih
deras mengguyur bumi. Seakan berusaha membasuh hati yang sedih. Tetesan hujan
terus turun berderai-derai, menghambur tak tentu arah, kemudian hancur saat
menyentuh tanah. Sama seperti perasaan Nadira. Hatinya hancur menjadi repihan kecil
di atas tanah. Begitu tidak berarti dan berakhir di bawah injakan kaki para
pelayat.
Nadira
berdiri terpaku di sana seperti patung batu. Ia masih mengenakan gaun putih
pernikahannya. Tampak sangat kontras dengan pakaian serba hitam di
sekelilingnya. Para anggota keluarga berusaha membujuknya untuk pulang dan
beristirahat. Tapi gadis itu tetap bergeming hingga keluarganya menyerah. Ia
tidak ingin meninggalkan Nizar sendirian dalam balutan tanah merah yang dingin.
“Aku sangat mencintaimu, Nadira. Bahkan kematian pun tidak akan mampu
memisahkan kita.”
Sebaris
kalimat terngiang di telinga Nadira. Kalimat yang selalu dibisikkan Nizar
dengan penuh cinta di telinganya. Terdengar seperti perjanjian hati tak
terpatahkan yang mengikat mereka sehidup semati.
Tapi pada
kenyataannya, kalimat itu tidak terbukti sekarang. Nizar sudah meninggalkan
Nadira jauh ke tempat yang tak terjangkau. Kematian justru merenggut kekasihnya
yang tercinta. Meninggalkan Nadira sendirian dalam keadaan tersiksa. Memisahkan
mereka dengan jarak yang tak kasatmata.
Lalu
bagaimana Nadira bisa menyampaikan rasa cintanya kepada Nizar? Di saat suara
Nizar bahkan sudah tidak bisa lagi terdengar. Di saat kenangan mereka hanya
tersisa sebagai memoar.
Tidak pernah
sedetikpun Nadira membayangkan hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya.
Sampai tadi pagi, hidupnya terasa begitu sempurna. Seluruh kebahagiaan setiap
gadis di dunia berkumpul memenuhi hatinya. Tapi kemudian dalam sekejap,
kebahagiaan itu lenyap begitu saja tanpa tersisa setetespun di hati Nadira.
Hanya Kevin
yang masih setia di sana. Berdiri di samping Nadira. Tangannya menggenggam
sebuah payung besar yang tampak percuma. Payung itu tidak cukup lebar untuk
melindungi mereka berdua. Penampilan Kevin tidak kalah berantakan dengan gadis
di sampingnya. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat seperti bulan purnama, dua
kancing atas kemejanya tidak terpasang rapi, dan hatinya terasa begitu rapuh
karena kehilangan dua orang yang disayanginya.
Kevin
melirik ke arah Nadira. Gadis itu sudah tidak menangis sekarang. Sepertinya
sumur air matanya sudah dikuras habis hingga kering. Mata bengkaknya hanya
menatap kosong ke arah gundukan tanah merah yang basah. Seolah jiwa gadis itu
telah direnggut paksa dan ikut bersama jasad Nizar yang terkubur di bawah sana.
“Nadira, ayo
kita pulang sebentar saja. Hari semakin gelap.” Kevin mulai bersuara untuk
membujuk gadis itu pulang. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Nadira. Penyakit
apapun akan mudah menyerang dalam kondisi seperti ini. “Setidaknya ganti dulu
pakaianmu.”
Nadira
menggeleng lemah lalu berujar dengan suara seraknya. “Tidak, Kevin. Aku ingin
menemani Nizar di sini.”
Kevin
menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tahu. Sekuat apapun ia berusaha,
perasaan cintanya tidak akan pernah sampai ke hati Nadira. Hati gadis itu akan
menjadi milik Nizar selamanya. Sekalipun lelaki itu sudah tiada.
Nadira tahu
bahwa sejak tadi Kevin memayunginya. Walaupun tubuh mereka tetap saja kuyup
diguyur hujan. Tapi Nadira berusaha untuk tidak peduli. Kevin sama saja seperti
yang lainnya. Hanya merasa simpati terhadap gadis malang yang ditinggal mati
calon suaminya tepat di hari pernikahan mereka.
Tidak ada
seorangpun dari mereka yang benar-benar merasakan apa yang dirasakan Nadira.
Nadira
memejamkan matanya, meresapi setiap tetes air hujan di pori-porinya. Perlahan
potongan-potongan kenangan antara ia dan Nizar berputar dalam benak Nadira. Bagi Nadira, Nizar lebih dari seorang calon suami.
Nizar adalah sosok lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Walaupun perkenalan
mereka bisa dikatakan cukup singkat.
Dimulai dengan
pertemuan pertama mereka yang berlanjut dengan kencan pertama mereka menonton
film di bioskop, lalu kencan kedua makan malam di restoran.
Setelah tiga
bulan bersama, Nizar melamarnya dengan membawa lima balon berbeda warna yang
bertuliskan kata-kata Nadira, Will you
marry me?. Nadira masih ingat betapa terkejutnya ia kala itu. Dan begitu
Nadira menganggukkan kepalanya, Nizar melepas genggamannya dari benang balon-balon
itu dan membiarkannya terbang bebas di udara. Saat Nadira tengah memperhatikan
balon-balon aneka warna itu melayang di langit, Nizar sudah berlutut sambil menyodorkan
sekotak cincin ke hadapan Nadira. Sontak gadis itu menutup mulut dengan kedua
telapak tangannya. Kepalanya mengangguk memberi persetujuan. Nizar menyematkan
cincin itu di jari manis Nadira dan mengikat hati mereka selamanya.
Sampai tiba
hari ini. Hari di mana semua momen itu hanya tinggal kenangan. Tertinggal dalam
benak dan hati Nadira tanpa berniat untuk dihapus. Masih tergambar jelas sosok
Nizar yang tergeletak kaku dalam balutan jas pernikahan yang serba putih. Darah
mengalir deras dari dahinya yang membentur aspal. Tulang punggungnya patah
karena sebuah mobil menghantam keras tubuh lelaki itu. Sepertinya hujan yang deras
cukup membatasi pandangan orang di jalan.
Sekali lagi
Kevin melirik ke arah Nadira. Takut-takut ia mengulurkan tangannya untuk
menyentuh bahu Nadira yang kembali bergetar. Terdengar suara isakan tertahan. Gadis
itu menangis lagi.
Kevin sudah
tidak bisa menahan diri lagi. Ia melepas genggaman tangannya dari gagang
payung. Sehingga payung itu jatuh ke tanah yang basah dengan posisi terbalik. Secepat
mungkin Kevin menarik Nadira ke dalam pelukannya. Tangisan gadis itu alih-alih
mereda, malah semakin berderai sederas hujan. Dan teriakan pilu gadis itu
menyebut nama Nizar membuat hati Kevin seperti tersayat petir. Kesedihan Nadira
menjadi kesedihannya juga.
Mereka
berdua bersimpuh di atas tanah pemakaman. Saling berpelukan seakan ingin saling
menguatkan padahal mereka sama-sama merasa lemah. Tidak satupun dari mereka
yang memedulikan hujan yang mendera tubuh mereka sekuat tenaga.
Tapi Kevin
menyadari satu hal. Nadira merasakan kehilangan yang lebih menyakitkan daripada
yang ia sendiri rasakan. Seharusnya Kevin tidak perlu merasa kehilangan. Bukankah
sejak dulu Nadira memang tidak pernah menjadi miliknya? Sementara Nadira...
gadis itu harus kehilangan miliknya yang paling berharga.
TAMAT
Kasihan ya Nadira, takdir buruk menghantuinya. Sepertinya oke kalau ada kelanjutannya seperti perlahan - lahan Kevin mampu menghiasi hati Nadira dan sebagai penyembuh lukanya :)
BalasHapusMohon maaf baru membalas, kak...
HapusTerima kasih banyak sudah berkunjung yaaaa..
kalau kisah Nadira sudah berlanjut di Cerpen Nightmare hehehe..
bisa klik link berikut:
stoples-cerita.blogspot.co.id/2015/01/nightmare.html