Kamis, 09 Juli 2015

Orange Sunset (Sembilan)




PAGI ini Silvia sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisi tubuhnya sudah membaik dan dokter memastikan ia akan baik-baik saja asalkan tidak lagi melakukan diet ketat yang menyiksa. Ia diharuskan mematuhi saran dokter untuk mengonsumsi makanan sehat demi mengembalikan asupan nutrisi tubuhnya.

Saat ini Silvia sedang duduk di tepi tempat tidur, sudah selesai bersiap dengan pipi yang merona merah muda. Ia menunggu Rangga datang menjemputnya. Tadi seorang perawat mengabarkan bahwa Rangga berpamitan pulang sebentar untuk mengambil mobil dan akan kembali menjemput Silvia.

Ternyata rumah sakit tidak terlalu menyeramkan seperti yang dibayangkannya selama ini. Bahkan Silvia cukup menikmati sesi rawat inap pertama kali dalam hidupnya. Ia memiliki waktu yang panjang untuk bisa terus berada di sisi Rangga.

Sebuah ketukan di pintu membuat Silvia menoleh dengan mata penuh harap. Itu pasti Rangga. Sayangnya, dugaannya meleset. Ternyata Jihan yang datang. Gadis itu tersenyum lalu melangkah dan duduk di kursi di samping tempat tidur. Kursi yang diduduki Rangga selama semalam penuh menemani Silvia.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Tidak pernah lebih baik dari ini,” jawab Silvia dengan wajah berbinar bahagia. Tetapi sedetik kemudian ia sudah mengerucutkan bibirnya protes. “Tapi kenapa kemarin malam kau tidak datang kemari?”

Hem... aku datang tapi kau sedang tidur. Jadi, aku pulang lagi.” Jihan menggidikkan bahunya.

“Oh... mungkin kau datang beberapa saat setelah aku minum obat.” Silvia coba mengingat-ingat. “Aku hanya bertemu Julian kemarin.”

“Ah, ya. Mungkin saja. Aku juga sempat bertemu dengan Julian kemarin malam....”

Mata Silvia langsung membulat lebar, mengharapkan cerita lebih.

Selama beberapa detik Jihan menyadari bahwa ia salah berbicara. Tetapi ini bukan saatnya mundur. Jadi ia melanjutkan untuk mengisi harapan Silvia yang terlanjur dibukanya. “Dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang.”

Silvia menatap Jihan sambil memicingkan mata. “Jangan bilang kau menolak.”

“Aku menyetujuinya.”

Mendengar jawaban itu, wajah Silvia langsung dihiasi senyum lebar penuh kegembiraan. Sementara di dalam hatinya, Jihan diam-diam bersyukur jika memang jawaban itu bisa membuat Silvia senang. Karena ia sendiri sudah tidak tahu harus bagaimana untuk menebus kesalahannya pada sahabatnya itu.

“Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”

Hem... kami makan malam bersama.”

Senyuman Silvia semakin tegas hingga bulatan pipinya merona merah. Ini benar-benar perkembangan yang diharapkan Silvia. Pilihannya memang tepat untuk saling mengenalkan mereka berdua.

“Dasar pengkhianat! Kau pergi kencan saat sahabatmu sedang terbaring di rumah sakit,” sahut Silvia dengan nada jenaka kemudian terkekeh bahagia.

Pengkhianat? Tanpa sadar Jihan mengernyit pahit. Ia tahu Silvia sedang bergurau. Hanya saja atas apa yang ia sembunyikan dari Silvia, kata-kata itu terasa seperti pecahan es menusuk tepat di jantungnya. Benarkah ia sudah berkhianat dengan tidak mengatakan yang sebenarnya kepada Silvia?

“Hei, tenang saja....” Mendadak Silvia menghentikan tawanya ketika melihat perubahan ekspresi Jihan. Ia mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas kedua bahu Jihan. “Aku tidak marah karena kau pergi makan malam dengan Julian. Aku justru merasa senang.”

Jihan melihat kedua mata Silvia yang memancarkan ketulusan. Seharusnya ia tidak boleh menyakiti gadis sebaik ini. Secepatnya, ia harus melupakan Rangga dan semua kenangan tentang lelaki itu di belakang. Tanpa mengingatnya sedikit pun.

Demi Silvia. Demi Rangga. Demi dirinya sendiri.

“Aku senang jika kau senang,” ujar Jihan akhirnya. Ia memajukan tubuhnya lalu memeluk hangat sahabatnya.

Silvia terkekeh bahagia. “Kita akan bersahabat selamanya, ya.”

Mereka berpelukan cukup lama hingga terdengar bunyi ketukan di pintu.
***

Jihan dan Silvia melepas pelukan mereka. Serentak mereka menoleh ke arah pintu dan mendapati Rangga sudah memasuki ruang rawat Silvia. Lelaki itu tampak rapi dan segar sehabis mandi. Dan Jihan tersenyum ketika menyadari bahwa Rangga berpenampilan seperti itu demi Silvia.

“Oh, kau juga ada di sini rupanya,” gumam Rangga sambil menatap Jihan alih-alih memerhatikan Silvia yang sedang menatapnya dengan mata berkilat senang.

Jihan melangkah mundur perlahan menjauhi Silvia, memberi ruang untuk Rangga. Ia membalas kata-kata Rangga dengan tergeragap. “Eh, ya... aku ingin menjenguk Silvia sebentar.”

Sebisa mungkin Jihan menghindari untuk bertemu dengan Rangga. Tadi ia merasa lega ketika mendapati lelaki itu tidak berada di ruangan Silvia. Dan ia berencana hanya ingin menyapa Silvia singkat kemudian bergegas pergi. Tetapi sialnya Rangga kembali secepat ini. Tetapi wajar saja jika sepasang kekasih tidak tahan untuk berjauhan barang sebentar.

Entah mengapa, waktu seolah selalu sengaja menempatkannya untuk bertemu dengan lelaki itu.

“Maaf, aku terlambat. Tadi Julian memaksaku untuk sarapan,” ujar Rangga kepada Silvia.

“Tidak apa-apa. Kau memang harus sarapan agar tidak mengalami apa yang kurasakan,” sahut Silvia penuh humor. “Aku tidak akan kuat mengendongmu ke rumah sakit.”

Rangga tersenyum miring mendengar gurauan Silvia. Gadis cantik yang menyenangkan. Semua lelaki pasti akan mudah untuk menyayangi gadis seperti Silvia. Salah Rangga sendiri mengapa ia masih menutup hati dari gadis ini.

Jihan menatap kosong ke arah Silvia dan Rangga yang tampak mesra. Sepertinya kehadirannya di sini hanya mengganggu mereka berdua. “Hem... sepertinya aku akan pulang sekarang,” ujar Jihan dengan nada kikuk.

“Kalau begitu, kita pulang saja bersama-sama,” usul Silvia menghentikan langkah Jihan untuk menjauh. Kemudian matanya kembali beralih pada Rangga meminta persetujuan. “Tidak masalah, kan?”

“Ti-tidak perlu, Silvia. Aku bisa pulang sendiri. Tenang saja.”

Silvia mencibir tidak setuju. “Jangan menolakku, Jihan. Atau aku akan pingsan lagi di sini.”

Jihan tersenyum masam mendengar kata-kata Silvia. Sepertinya gadis itu benar-benar tidak mengerti betapa orang-orang mengkhawatirkan dirinya. Lagi pula, ini bukan saat yang tepat untuk merajuk dengan ancaman kekanakan seperti itu.

“Kalau begitu, biarkan Jihan menemanimu turun sementara aku mengambil mobil di tempat parkir. Aku akan menjemput kalian di pintu utama.”

Belum sempat Jihan menjawab apa-apa, tetapi Rangga sudah mengucapkan sederet kalimat itu sambil menjinjing tas Silvia dari atas nakas. Lelaki itu keluar dari ruang rawat Silvia tanpa sedikit pun berniat membatalkan kata-katanya.

Astaga. Suasana canggung seperti apa lagi yang harus dihadapinya kali ini?
***

Matahari pagi bersinar hangat ketika Jihan dan Silvia berjalan beriringan keluar dari pintu utama rumah sakit. Mereka memilih untuk menunggu di luar. Duduk di sebuah kursi yang ada di bawah pohon yang rindang, berhadapan dengan bangunan rumah sakit yang menjulang.

“Jihan... lihat itu,” ujar Silvia sambil menunjuk ke arah puncak bangunan yang dipasangi rangkaian huruf-huruf besar bertuliskan nama rumah sakit tersebut.

“Ya. Kenapa?” Jihan mengikuti arah yang ditunjuk Silvia.

“RS... Rangga... Silvia....” gumam Silvia penuh rasa kagum. “Kau lihat? Bahkan bangunan ini pun merestui hubungan kami.”

Jihan mengernyit bingung. Tentu saja nama rumah sakit ini bukan RS Rangga Silvia. Lalu apa maksudnya? Tetapi detik berikutnya, begitu menyadari apa yang dimaksud sahabatnya, Jihan terkekeh geli. Silvia masih saja sempat menghubungkan singkatan itu itu menjadi inisial namanya dan Rangga.

Seperti itukah seharusnya sikap seorang gadis yang sedang jatuh cinta?
***

Mobil Rangga berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar tinggi. Warna dindingnya yang didominasi warna putih tampak kontras dengan genting yang berwarna merah bata. Pekarangannya dipenuhi bunga-bunga cantik  penuh warna.

Jadi, ini tempat tinggal Silvia? Selama berteman dengan Silvia, Jihan memang belum pernah berkunjung ke rumah Silvia. Selain letaknya yang cukup jauh dari area perkantoran mereka, Silvia pernah berkata bahwa ia lebih suka menghabiskan waktu liburnya di luar rumah. Lagipula ia tidak pernah peduli seperti apa tempat tinggal sahabatnya itu. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa Silvia tinggal di rumah mewah seperti ini.

Entah mengapa Jihan merasa bahwa rumah ini seperti kastel dan Silvia sebagai putrinya. Ia bahkan bisa membayangkan Silvia mengenakan gaun dengan rok panjang mengembang sedang berdiri di balkon untuk menunggu pangerannya datang.

Bunyi pintu mobil yang dibuka kemudian ditutup menyentak Jihan dari khayalannya. Rupanya Rangga yang turun dari mobil kemudian berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Silvia yang duduk di kursi samping pengemudi.

Sebelum turun, Silvia menoleh kepada Jihan yang duduk di kursi belakang. “Kau mau mampir sebentar, Jihan?”

Jihan memaksakan diri untuk tersenyum. “Tentu saja.”

Begitu Silvia turun dari mobil, Jihan ikut bergegas turun dari mobil sambil membawakan tas milik Silvia. Ia berjalan mengekor di belakang Rangga yang merangkul bahu Silvia seolah ingin melindungi gadis itu.

Perlahan api cemburu memercik di hati Jihan. Tetapi dengan cepat ia menghalau perasaan itu. Seharusnya ia tahu diri. Kini ia sudah tidak pantas merasakan apa pun untuk Rangga. Lelaki itu milik Silvia, sahabatnya.

Benar. Rangga adalah milik Silvia.

Sambil terus merapalkan mantra itu di dalam hati, Jihan mengikuti langkah Rangga dan Silvia memasuki rumah itu. Seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk menyambut kedatangan mereka. Semula Jihan menduga-duga mungkinkah itu ibu Silvia. Apalagi pasangan yang ada di depannya  tampak menghormati wanita itu. Tetapi begitu melihat sikap hormat dari cara wanita itu memanggil Silvia, dugaan itu langsung luntur begitu saja. Ditambah penampilan wanita itu yang tampak terlalu ‘sederhana’ untuk menjadi nyonya di rumah ini. Lagi pula bukankah orang tua Silvia sedang pergi berlibur bersama orang tua Rangga?

Wanita itu juga tersenyum ramah kepada Jihan yang bahkan baru ditemuinya. Kemudian ia mengantar mereka bertiga menuju kamar Silvia yang berada di lantai dua. Jihan hanya bisa mengikuti dengan mata yang terus memerhatikan suasana rumah Silvia.

Tidak jauh berbeda dengan bagian luarnya, dinding bagian dalam rumah ini juga didominasi warna putih. Satu set sofa besar berwarna krem diletakkan di ruang tamu, mengelilingi meja kayu dengan vas bunga di tengahnya. Sebuah pigura besar membingkai foto pasangan muda bersama seorang anak lelaki dan anak perempuan terpajang di salah satu bagian dinding. Pada dinding di dekat tangga, terpampang foto-foto Silvia sejak masih anak-anak. Ternyata gadis itu memang dianugerahi paras cantik sejak ia dilahirkan.

Jihan mendadak menghentikan langkahnya sebelum menaiki tangga. Ia merasa tidak tega menginjak permadani mini yang diletakkan di dekat tangga. Permadani berwarna salem itu tampak begitu lembut dan bersih. Jadi ia memilih untuk sedikit melebarkan langkah dan langsung melompat ke anak tangga pertama. Kakinya menapaki anak-anak tangga dengan birai berwarna cokelat gelap itu.

Begitu memasuki kamar Silvia, wewangian beraroma lembut yang menyambut indra penciuman Jihan. Ia meletakkan tas milik Silvia di dekat sebuah lemari kaca besar berisi pakaian milik Silvia. Sementara Rangga mengantar gadis itu hingga ke tempat tidur dengan dipan kayu yang dicat putih berhiaskan ukiran berwarna keemasan. Sama seperti kayu yang membingkai cermin besar di samping lemari.

“Jihan,” panggil Silvia setelah memosisikan dirinya dengan nyaman di tempat tidur.

“Ya?” Jihan berjalan mendekat dan Rangga bergeser untuk memberinya jalan.

“Maaf, kita tidak bisa mengobrol banyak. Aku harus istirahat sekarang agar kita bisa bertemu besok di kantor,” ujar Silvia sambil tersenyum lembut.

“Tentu saja.” Jihan menganggukkan kepala mengerti. “Aku berharap kondisi tubuhmu cepat pulih.”

“Terima kasih,” balas Silvia sambil kembali tersenyum.

“Silvia, maaf aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku harus mengurus beberapa hal di studio sekarang,” ucap Rangga sedikit menyela.

“Tidak apa-apa, Rangga,” sahut Silvia tulus. “Lagipula aku hanya perlu istirahat sekarang. Terima kasih sudah menemaniku di rumah sakit. Kumohon jangan cerita apa-apa pada orang tua kita.”

“Baiklah,” jawab Rangga sekedarnya.

“Kalau begitu, bolehkah aku meminta tolong untuk mengantarkan Jihan pulang? Flatnya berada tidak jauh dari studiomu,” pinta Silvia.

“Eh, ti-tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkan kalian.” Jihan cepat-cepat menyela dengan terbata. Berdua saja bersama Rangga dalam satu mobil? Oh, itu tidak boleh terjadi.

“Aku tidak merasa direpotkan,” tukas Rangga membuat Jihan tidak bisa membantah. Mengapa lelaki itu bisa bersikap begitu tenang?

“Kau dengar sendiri, Jihan?” timpal Silvia. “Lagi pula bukankah kalian adalah teman lama, jadi kenapa harus bersikap seperti tidak pernah saling mengenal?”

Kau tidak mengerti, Silvia. Jihan mendesah dalam hati. Tetapi itu bukan sepenuhnya salah Silvia karena ia tidak mengerti. Gadis itu tidak mengerti karena tidak ada yang memberitahunya.

“Baiklah,” gumam Jihan pada akhirnya. Ia menghela napas panjang. “Maaf harus merepotkanmu, Rangga.”
***

Mobil Rangga sudah kembali meluncur ke jalan. Lelaki itu tampak tenang duduk di balik kemudi. Tetapi suasana membisu yang menyesakkan masih melingkupi mereka berdua. Hingga Jihan memutuskan untuk memerhatikan apa saja yang bisa diperhatikan. Entah itu ujung sepatunya yang berdebu, tombol pembuka jendela mobil, atau pun rambu lalu lintas yang baru saja mereka lewati.

Rasanya Jihan ingin waktu bergerak cepat agar ia bisa segera tiba di flatnya dan berpisah dari Rangga. Tetapi hal itu tidak mungkin terjadi. Setiap detik yang berjalan harus dilalui dengan sabar oleh semua manusia. Dan detik itu juga, batin Jihan menjerit frustrasi melihat jalanan macet yang menjebak mereka berdua.

“Kenapa kau menghindariku?” tanya Rangga tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka berdua.

“Apa?”

“Kenapa kau menghindariku?”

“A-aku tidak menghindarimu,” sanggah Jihan sambil menggelengkan kepalanya.

“Kalau begitu, katakanlah sesuatu.”

“Apa yang harus aku katakan?”

Hening.

Sepertinya Rangga memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Jihan. Lelaki itu tampak sibuk mengendalikan mobilnya di tengah jalanan yang padat. Sesekali Jihan bisa mendengar Rangga berdecak kesal. Entah kesal pada dirinya atau pada kendaraan di luar yang hampir merusak kaca spion mobilnya.

Jihan memilih untuk bungkam dan tidak mengusik Rangga. Ia takut jika ternyata kemungkinan pertama yang membuat lelaki itu kesal. Tentu saja ia tidak ingin menyiramkan bensin ke arah percikan api.

Hubungan mereka sudah terasa rumit akhir-akhir ini. Jadi, Jihan tidak ingin membuat semuanya semakin kusut hanya karena ia salah berkata-kata. Seperti kesalahannya lima tahun yang lalu.

“Kau tahu, aku ingin memperbaiki kesalahanku lima tahun yang lalu.”

Sesaat Jihan terkesiap, mengira bahwa bibirnya sudah menyuarakan hatinya. Tetapi kemudian ia mendesah lega ketika menyadari suara itu ternyata berasal dari Rangga. Kesalahan apa yang dimaksud lelaki ini?

“Andai saja aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan mencegah diriku untuk menyatakan cinta kepadamu,” lanjut Rangga sambil tetap fokus pada jalanan yang mulai sedikit lebih lega. “Dulu aku sama sekali tidak mengira hal itu akan membuat hubungan kita menjadi seperti sekarang.”

Jihan menoleh ke arah Rangga sambil menatap tidak percaya. Ia mengerjapkan mata mencoba memahami. Sungguh malang nasib Rangga karena harus menanggung rasa bersalah seperti itu. Padahal hubungan mereka renggang bukan karena itu, melainkan tanggapan Jihan yang kurang ajar.

“Itu bukan kesalahanmu.” Jihan menggelengkan kepala menyanggah pernyataan Rangga. Kemudian kepalanya tertunduk penuh sesal. “Aku yang salah karena menganggap perasaanmu hanyalah sebuah lelucon.”

Hening lagi. Tidak ada tanggapan. Tidak ada sanggahan. Tidak ada suara Rangga yang menimpali kata-katanya.

Kali ini Jihan melirik diam-diam ke arah Rangga. Lelaki itu tampak serius menatap pemandangan jalanan yang kembali dipenuhi kendaraan. Tetapi Jihan bisa melihat jelas Rangga sedang gusar. Dan lelaki itu mengekspresikannya dengan mencengkeram kuat-kuat roda kemudi dalam genggamannya.

Oh, tidak. Apa Jihan sudah salah bicara lagi? Mungkin setelah ini sebaiknya ia diam saja.

Beberapa menit berlalu tanpa suara, hingga Jihan merasa bunyi debaran jantungnya sama berisiknya dengan bising kendaraan yang melaju di jalan. Ia hanya bisa menunggu dan kembali berharap waktu bergerak lebih cepat. Keheningan seperti ini benar-benar terasa menyiksa.

“Lalu, apa kau tidak ingin kita kembali seperti dulu?” Akhirnya, Rangga memutuskan untuk kembali bersuara.

Jihan tersenyum masam. “Bagaimana caranya?”

Rangga diam sejenak. Keningnya berkerut seperti sedang berpikir keras. “Mungkin bisa kita mulai dengan... maafkan aku, Jihan.”

Jihan menahan napas lalu menggeleng. “Tidak, Rangga. Aku yang seharusnya minta maaf. Tolong maafkan aku.”

“Baiklah. Aku akan memaafkanmu. Tapi dengan satu syarat....”

Kening Jihan mengernyit. “Apa itu?”

“Syaratnya... kau juga harus memaafkan aku,” ujar Rangga dengan raut wajah berbinar jenaka.

Jihan mendenguskan tawa kecilnya. “Baiklah,” sahutnya sambil memutar bola mata. “Aku memaafkanmu.”

“Kalau begitu, aku juga memaafkanmu.”

Selama beberapa detik, mereka saling berpandangan lama. Seolah mereka sedang mengikuti staring contest seperti yang biasa mereka lakukan dahulu. Hingga akhirnya suara tawa mereka menggema di udara, sebagai pertanda kembalinya keakraban yang sempat hilang.
***

“Terima kasih atas tumpangannya,” ucap Jihan sambil tersenyum.

“Jadi, di sini tempat tinggalmu?” Rangga bertanya, mengabaikan ucapan terima kasih Jihan. Kepalanya menunduk untuk memerhatikan bangunan flat itu melalui jendela mobil. “Aku tidak menyangka ternyata selama ini kita tinggal cukup berdekatan.”

“Benarkah?” seru Jihan sedikit takjub. “Itu suatu kebetulan yang tidak kusangka. Aku memang sengaja memilih tempat tinggal yang murah dan tidak terlalu jauh dari kantor.”

“Ya. Apartemen dan studioku juga hanya sekitar tiga blok dari sini.”

Dan bukankah itu berarti Rangga memiliki banyak kesempatan untuk kembali bertemu dengan Jihan? Entah itu berpapasan di jalan, makan siang di restoran yang sama, atau tidak sengaja bertemu di supermarket terdekat seperti yang terjadi tempo hari. Itu tentu akan terasa lebih mudah bagi mereka. Tetapi mengapa harus melalui Silvia mereka kembali bertemu?

“Mungkin kita bisa makan siang bersama sesekali,” ucap Rangga mengatakan hal yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya. “Apa besok kau ada waktu?”

“Untuk apa?”

“Makan siang tentu saja.”

“Oh, kebetulan sekali. Julian memang mengajakku makan siang bersama besok. Kita bisa pergi berempat, sekaligus memantau pola makan Silvia.” Wajah Jihan berkerut penuh rasa khawatir. “Pastikan kau selalu menjaganya, ya.”

Urat di kening Rangga berkedut tidak suka. Oh, sial. Lagi-lagi Julian!

“Kapan dia mengatakannya?” tanya Rangga seraya melipat tangannya ke atas roda kemudi.

“Dia... siapa?”

“Julian,” jawab Rangga dengan rahang terkatup. Lidahnya merasa enggan menyebut nama koki yang satu itu. “Kapan Julian mengajakmu untuk pergi makan siang?”

“Kemarin malam. Saat dia... mengantarku pulang,” jawab Jihan dengan nada bicara sedikit menggantung, merasa heran dengan perubahan ekspresi Rangga.

Sontak leher Rangga berputar ke arah Jihan mendengar pengakuan gadis itu. Ia menatap kedua mata Jihan lekat-lekat, mencoba mencari kebenaran di sana. “Dia mengantarmu pulang?”

“Ya. Hem... memang ada yang salah?” tanya Jihan semakin bingung.

Tentu saja! Mana mungkin Rangga bisa membiarkan Julian selangkah lebih maju di depan?

“Apa dia mengantar sampai ke depan pintumu?”

“Tidak.” Jihan menggeleng. Masih bertanya-tanya mengapa sikap Rangga tiba-tiba berubah. “Hanya sampai di sini.”

“Bagus.” Setitik senyuman menarik sudut-sudut bibir Rangga dengan susah payah. “Kalau begitu, biarkan aku mengantarmu sampai ke depan pintu.”

“Oh, itu... sama se-sekali tidak perlu. Aku sudah terbiasa

“Biarkan aku mengantarmu,” gumam Rangga dengan nada keras kepala lalu turun dari mobil.
***

Ta-da... jadi, inilah tempat tinggalku,” kata Jihan begitu mereka berdua tiba di depan pintu flatnya. Ia melakukannya dengan senyum lebar dan suara ceria yang dibuat-buat. Seolah-olah ia adalah asisten pesulap yang baru saja memunculkan seekor kelinci dari dalam kotak yang tadinya kosong. “Terima kasih sudah mengantar.”

Sayangnya, Rangga tidak bertindak sebagai penonton yang baik. Tidak ada seruan takjub maupun tepuk tangan meriah. Lelaki itu malah menatap lekat-lekat pintu flat Jihan melalui bahu gadis itu. “Kau tidak ingin mengundangku untuk masuk?”

“T-tapi... bukankah tadi kau berkata bahwa ada urusan di studiomu?” tanya Jihan sambil menenangkan batinnya yang terkejut atas permintaan yang tiba-tiba itu. Sementara benaknya mencoba mengingat apakah ada sesuatu di dapurnya yang bisa ia suguhkan kepada tamunya kali ini.

“Urusan apa? Ohtenang saja, itu bukan masalah besar.” Rangga menjawab sekenanya. Bahkan ia sempat lupa sudah mengatakan hal itu. Sesungguhnya, ‘urusan’ itu tidak ada. Ia hanya ingin segera mengantar Jihan pulang dari rumah Silvia. “Kita bisa mengobrol banyak hal berdua.”



Tetapi kata-kata terakhir Rangga itu akhirnya menguap bersama asap putih yang mengepul dari teh yang disuguhkan Jihan. Sudah sepuluh menit mereka berdua hanya duduk terdiam berdampingan di sofa. Seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Diam-diam Jihan merasa bersyukur ibunya datang dan merapikan ruangannya yang kacau.

“Apa kau ingin makan sesuatu?” tanya Jihan mencoba memecah keheningan. Ia bangkit dari duduknya, berniat meninggalkan Rangga sejenak. “Sepertinya ada beberapa camilan di kabinet dapur.”

“Tidak,” sahut Rangga cepat sambil menahan pergelangan tangan Jihan, mencegah gadis itu meninggalkannya. “Duduklah,” katanya sambil menepuk sofa, meminta Jihan kembali duduk di sisinya.

Walau merasa jeri karena benaknya dipenuhi tanda tanya, Jihan tetap menuruti saja permintaan Rangga.

“Pernyataan cintaku di hari kelulusan kita itu adalah perasaanku yang sesungguhnya,” ujar Rangga memulai permbicaraan tentang masa lalu mereka berdua. Topik yang sangat dihindari Jihan. Tetapi begitu melihat lelaki itu memejamkan mata dan menghela napas berat, membuat Jihan memilih untuk mendengarkan alih-alih menghentikan pembicaraan sebelum berlanjut lebih dalam. “Aku sendiri tidak tahu sejak kapan perasaanku berubah.”

“Ya. Aku sangat menghargai perasaanmu itu Rangga,” jawab Jihan sambil menunduk pada tangannya yang saling meremas di atas pangkuannya. “Tapi aku dengan bodohnya menjadikan perasaanmu sebagai lelucon hanya karena aku takut....”

Punggung Rangga menegak dengan penasaran. “Apa yang membuatmu takut?”

“Aku takut kau hanya sedang mengerjaiku dan akan mengolok-olokku jika aku terlalu serius menanggapi perkataanmu.”

Bibir Rangga menarik sebuah garis pahit. “Seburuk itukah aku di matamu?”

“Tidak, tidak. Bukan seperti itu,” sahut Jihan cepat-cepat sebelum Rangga kembali salah mengartikan kata-katanya. Berkatalah dengan benar, mulut bodoh! Jihan mengumpat dalam hati. Ia menatap lekat-lekat wajah lelaki yang dicintainya itu. “Aku saja yang terlalu pengecut untuk mengakui bahwa aku mencintaimu, Rangga.”

Rangga mengerjap, mencoba merasakan dengan nyata setitik cahaya yang terbit di sudut hatinya. “Apa kau bilang?”

Jihan menolak untuk mengulang kalimatnya. “Tapi sekarang aku sedang berusaha menghapus perasaan itu karena aku tahu bahwa kau adalah milik Silv

Tanpa mendengarkan Jihan menyelesaikan kata-katanya, Rangga tiba-tiba saja sudah menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia merasakan euforia yang menitik deras dalam aliran darahnya. Inilah pernyataan cinta yang dinantikannya selama ini.

Jihan terkesiap menerima pelukan Rangga yang impulsif itu. Perlahan-lahan ia menenangkan tubuhnya yang menegang. Ia tahu ini salah. Tetapi ketika merasakan pelukan ini berbeda dengan pelukan persahabatan yang selama ini diterimanya, membuat batin Jihan mengizinkannya untuk merasakan pelukan ini sejenak. Ia ingin memiliki Rangga walau hanya untuk sedetik dalam hidupnya. Karena mungkin saja ini untuk yang terakhir kalinya. Sebelum ia benar-benar melepas perasaannya....

Perlahan, Rangga melepaskan pelukannya. Ia sedikit menjauh untuk menatap kedua mata Jihan lekat-lekat. Ketika sepasang mata itu membalas tatapannya, jemarinya yang ramping menyentuh pipi Jihan dengan lembut. Dan detik berikutnya, Jihan merasakan pikirannya kosong. Karena tanpa diduga lelaki itu menunduk dan  mengecup bibir Jihan penuh perasaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D