PAGI ini Silvia sudah diperbolehkan pulang dari rumah
sakit. Kondisi tubuhnya sudah membaik dan dokter memastikan ia akan baik-baik
saja asalkan tidak lagi melakukan diet ketat yang menyiksa. Ia diharuskan
mematuhi saran dokter untuk mengonsumsi makanan sehat demi mengembalikan asupan
nutrisi tubuhnya.
Saat ini Silvia sedang duduk di tepi tempat tidur, sudah
selesai bersiap dengan pipi yang merona merah muda. Ia menunggu Rangga datang
menjemputnya. Tadi seorang perawat mengabarkan bahwa Rangga berpamitan pulang
sebentar untuk mengambil mobil dan akan kembali menjemput Silvia.
Ternyata rumah sakit tidak terlalu menyeramkan seperti
yang dibayangkannya selama ini. Bahkan Silvia cukup menikmati sesi rawat inap
pertama kali dalam hidupnya. Ia memiliki waktu yang panjang untuk bisa terus
berada di sisi Rangga.
Sebuah ketukan di pintu membuat Silvia menoleh dengan
mata penuh harap. Itu pasti Rangga. Sayangnya, dugaannya meleset. Ternyata
Jihan yang datang. Gadis itu tersenyum lalu melangkah dan duduk di kursi di
samping tempat tidur. Kursi yang diduduki Rangga selama semalam penuh menemani Silvia.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Tidak pernah lebih baik dari ini,” jawab Silvia dengan wajah
berbinar bahagia. Tetapi sedetik kemudian ia sudah mengerucutkan bibirnya protes.
“Tapi kenapa kemarin malam kau tidak datang kemari?”
“Hem... aku
datang tapi kau sedang tidur. Jadi, aku pulang lagi.” Jihan menggidikkan
bahunya.
“Oh... mungkin kau datang beberapa saat setelah aku minum
obat.” Silvia coba mengingat-ingat. “Aku hanya bertemu Julian kemarin.”
“Ah, ya. Mungkin saja. Aku juga sempat bertemu dengan
Julian kemarin malam....”
Mata Silvia langsung membulat lebar, mengharapkan cerita
lebih.
Selama beberapa detik Jihan menyadari bahwa ia salah
berbicara. Tetapi ini bukan saatnya mundur. Jadi ia melanjutkan untuk mengisi
harapan Silvia yang terlanjur dibukanya. “Dia menawarkan diri untuk mengantarku
pulang.”
Silvia menatap Jihan sambil memicingkan mata. “Jangan
bilang kau menolak.”
“Aku menyetujuinya.”
Mendengar jawaban itu, wajah Silvia langsung dihiasi
senyum lebar penuh kegembiraan. Sementara di dalam hatinya, Jihan diam-diam
bersyukur jika memang jawaban itu bisa membuat Silvia senang. Karena ia sendiri
sudah tidak tahu harus bagaimana untuk menebus kesalahannya pada sahabatnya itu.
“Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”
“Hem... kami
makan malam bersama.”
Senyuman Silvia semakin tegas hingga bulatan pipinya
merona merah. Ini benar-benar perkembangan yang diharapkan Silvia. Pilihannya
memang tepat untuk saling mengenalkan mereka berdua.
“Dasar pengkhianat! Kau pergi kencan saat sahabatmu
sedang terbaring di rumah sakit,” sahut Silvia dengan nada jenaka kemudian
terkekeh bahagia.
Pengkhianat? Tanpa
sadar Jihan mengernyit pahit. Ia tahu Silvia sedang bergurau. Hanya saja atas
apa yang ia sembunyikan dari Silvia, kata-kata itu terasa seperti pecahan es
menusuk tepat di jantungnya. Benarkah ia sudah berkhianat dengan tidak
mengatakan yang sebenarnya kepada Silvia?
“Hei, tenang saja....” Mendadak Silvia menghentikan
tawanya ketika melihat perubahan ekspresi Jihan. Ia mengulurkan tangan dan
meletakkannya di atas kedua bahu Jihan. “Aku tidak marah karena kau pergi makan
malam dengan Julian. Aku justru merasa senang.”
Jihan melihat kedua mata Silvia yang memancarkan
ketulusan. Seharusnya ia tidak boleh menyakiti gadis sebaik ini. Secepatnya, ia
harus melupakan Rangga dan semua kenangan tentang lelaki itu di belakang. Tanpa
mengingatnya sedikit pun.
Demi Silvia. Demi Rangga. Demi dirinya sendiri.
“Aku senang jika kau senang,” ujar Jihan akhirnya. Ia
memajukan tubuhnya lalu memeluk hangat sahabatnya.
Silvia terkekeh bahagia. “Kita akan bersahabat selamanya,
ya.”
Mereka berpelukan cukup lama hingga terdengar bunyi ketukan
di pintu.
***
Jihan dan Silvia melepas pelukan mereka. Serentak mereka
menoleh ke arah pintu dan mendapati Rangga sudah memasuki ruang rawat Silvia.
Lelaki itu tampak rapi dan segar sehabis mandi. Dan Jihan tersenyum ketika
menyadari bahwa Rangga berpenampilan seperti itu demi Silvia.
“Oh, kau juga ada di sini rupanya,” gumam Rangga sambil
menatap Jihan alih-alih memerhatikan Silvia yang sedang menatapnya dengan mata
berkilat senang.
Jihan melangkah mundur perlahan menjauhi Silvia, memberi
ruang untuk Rangga. Ia membalas kata-kata Rangga dengan tergeragap. “Eh, ya...
aku ingin menjenguk Silvia sebentar.”
Sebisa mungkin Jihan menghindari untuk bertemu dengan
Rangga. Tadi ia merasa lega ketika mendapati lelaki itu tidak berada di ruangan
Silvia. Dan ia berencana hanya ingin menyapa Silvia singkat kemudian bergegas
pergi. Tetapi sialnya Rangga kembali secepat ini. Tetapi wajar saja jika
sepasang kekasih tidak tahan untuk berjauhan barang sebentar.
Entah mengapa, waktu seolah selalu sengaja menempatkannya
untuk bertemu dengan lelaki itu.
“Maaf, aku terlambat. Tadi Julian memaksaku untuk
sarapan,” ujar Rangga kepada Silvia.
“Tidak apa-apa. Kau memang harus sarapan agar tidak
mengalami apa yang kurasakan,” sahut Silvia penuh humor. “Aku tidak akan kuat
mengendongmu ke rumah sakit.”
Rangga tersenyum miring mendengar gurauan Silvia. Gadis
cantik yang menyenangkan. Semua lelaki pasti akan mudah untuk menyayangi gadis
seperti Silvia. Salah Rangga sendiri mengapa ia masih menutup hati dari gadis
ini.
Jihan menatap kosong ke arah Silvia dan Rangga yang
tampak mesra. Sepertinya kehadirannya di sini hanya mengganggu mereka berdua. “Hem... sepertinya aku akan pulang
sekarang,” ujar Jihan dengan nada kikuk.
“Kalau begitu, kita pulang saja bersama-sama,” usul
Silvia menghentikan langkah Jihan untuk menjauh. Kemudian matanya kembali
beralih pada Rangga meminta persetujuan. “Tidak masalah, kan?”
“Ti-tidak perlu, Silvia. Aku bisa pulang sendiri. Tenang
saja.”
Silvia mencibir tidak setuju. “Jangan menolakku, Jihan.
Atau aku akan pingsan lagi di sini.”
Jihan tersenyum masam mendengar kata-kata Silvia.
Sepertinya gadis itu benar-benar tidak mengerti betapa orang-orang
mengkhawatirkan dirinya. Lagi pula, ini bukan saat yang tepat untuk merajuk
dengan ancaman kekanakan seperti itu.
“Kalau begitu, biarkan Jihan menemanimu turun sementara aku
mengambil mobil di tempat parkir. Aku akan menjemput kalian di pintu utama.”
Belum sempat Jihan menjawab apa-apa, tetapi Rangga sudah
mengucapkan sederet kalimat itu sambil menjinjing tas Silvia dari atas nakas.
Lelaki itu keluar dari ruang rawat Silvia tanpa sedikit pun berniat membatalkan
kata-katanya.
Astaga. Suasana canggung seperti apa lagi yang harus
dihadapinya kali ini?
***
Matahari pagi bersinar hangat ketika Jihan dan Silvia
berjalan beriringan keluar dari pintu utama rumah sakit. Mereka memilih untuk
menunggu di luar. Duduk di sebuah kursi yang ada di bawah pohon yang rindang,
berhadapan dengan bangunan rumah sakit yang menjulang.
“Jihan... lihat itu,” ujar Silvia sambil menunjuk ke arah
puncak bangunan yang dipasangi rangkaian huruf-huruf besar bertuliskan nama
rumah sakit tersebut.
“Ya. Kenapa?” Jihan mengikuti arah yang ditunjuk Silvia.
“RS... Rangga... Silvia....” gumam Silvia penuh rasa
kagum. “Kau lihat? Bahkan bangunan ini pun merestui hubungan kami.”
Jihan mengernyit bingung. Tentu saja nama rumah sakit ini
bukan RS Rangga Silvia. Lalu apa maksudnya? Tetapi detik berikutnya, begitu
menyadari apa yang dimaksud sahabatnya, Jihan terkekeh geli. Silvia masih saja
sempat menghubungkan singkatan itu itu menjadi inisial namanya dan Rangga.
Seperti itukah seharusnya sikap seorang gadis yang sedang
jatuh cinta?
***
Mobil Rangga berhenti tepat di depan sebuah rumah
berpagar tinggi. Warna dindingnya yang didominasi warna putih tampak kontras
dengan genting yang berwarna merah bata. Pekarangannya dipenuhi bunga-bunga
cantik penuh warna.
Jadi, ini tempat tinggal Silvia? Selama berteman dengan
Silvia, Jihan memang belum pernah berkunjung ke rumah Silvia. Selain letaknya
yang cukup jauh dari area perkantoran mereka, Silvia pernah berkata bahwa ia
lebih suka menghabiskan waktu liburnya di luar rumah. Lagipula ia tidak pernah
peduli seperti apa tempat tinggal sahabatnya itu. Tetapi ia sama sekali tidak
menyangka bahwa Silvia tinggal di rumah mewah seperti ini.
Entah mengapa Jihan merasa bahwa rumah ini seperti kastel
dan Silvia sebagai putrinya. Ia bahkan bisa membayangkan Silvia mengenakan gaun
dengan rok panjang mengembang sedang berdiri di balkon untuk menunggu
pangerannya datang.
Bunyi pintu mobil yang dibuka kemudian ditutup menyentak
Jihan dari khayalannya. Rupanya Rangga yang turun dari mobil kemudian berjalan memutar
dan membukakan pintu untuk Silvia yang duduk di kursi samping pengemudi.
Sebelum turun, Silvia menoleh kepada Jihan yang duduk di
kursi belakang. “Kau mau mampir sebentar, Jihan?”
Jihan memaksakan diri untuk tersenyum. “Tentu saja.”
Begitu Silvia turun dari mobil, Jihan ikut bergegas turun
dari mobil sambil membawakan tas milik Silvia. Ia berjalan mengekor di belakang
Rangga yang merangkul bahu Silvia seolah ingin melindungi gadis itu.
Perlahan api cemburu memercik di hati Jihan. Tetapi
dengan cepat ia menghalau perasaan itu. Seharusnya ia tahu diri. Kini ia sudah
tidak pantas merasakan apa pun untuk Rangga. Lelaki itu milik Silvia,
sahabatnya.
Benar. Rangga adalah
milik Silvia.
Sambil terus merapalkan mantra itu di dalam hati, Jihan
mengikuti langkah Rangga dan Silvia memasuki rumah itu. Seorang wanita paruh
baya bertubuh agak gemuk menyambut kedatangan mereka. Semula Jihan menduga-duga
mungkinkah itu ibu Silvia. Apalagi pasangan yang ada di depannya tampak menghormati wanita itu. Tetapi begitu
melihat sikap hormat dari cara wanita itu memanggil Silvia, dugaan itu langsung
luntur begitu saja. Ditambah penampilan wanita itu yang tampak terlalu
‘sederhana’ untuk menjadi nyonya di rumah ini. Lagi pula bukankah orang tua
Silvia sedang pergi berlibur bersama orang tua Rangga?
Wanita itu juga tersenyum ramah kepada Jihan yang bahkan
baru ditemuinya. Kemudian ia mengantar mereka bertiga menuju kamar Silvia yang
berada di lantai dua. Jihan hanya bisa mengikuti dengan mata yang terus
memerhatikan suasana rumah Silvia.
Tidak jauh berbeda dengan bagian luarnya, dinding bagian
dalam rumah ini juga didominasi warna putih. Satu set sofa besar berwarna krem
diletakkan di ruang tamu, mengelilingi meja kayu dengan vas bunga di tengahnya.
Sebuah pigura besar membingkai foto pasangan muda bersama seorang anak lelaki
dan anak perempuan terpajang di salah satu bagian dinding. Pada dinding di
dekat tangga, terpampang foto-foto Silvia sejak masih anak-anak. Ternyata gadis
itu memang dianugerahi paras cantik sejak ia dilahirkan.
Jihan mendadak menghentikan langkahnya sebelum menaiki
tangga. Ia merasa tidak tega menginjak permadani mini yang diletakkan di dekat
tangga. Permadani berwarna salem itu tampak begitu lembut dan bersih. Jadi ia
memilih untuk sedikit melebarkan langkah dan langsung melompat ke anak tangga
pertama. Kakinya menapaki anak-anak tangga dengan birai berwarna cokelat gelap
itu.
Begitu memasuki kamar Silvia, wewangian beraroma lembut
yang menyambut indra penciuman Jihan. Ia meletakkan tas milik Silvia di dekat
sebuah lemari kaca besar berisi pakaian milik Silvia. Sementara Rangga
mengantar gadis itu hingga ke tempat tidur dengan dipan kayu yang dicat putih
berhiaskan ukiran berwarna keemasan. Sama seperti kayu yang membingkai cermin
besar di samping lemari.
“Jihan,” panggil Silvia setelah memosisikan dirinya
dengan nyaman di tempat tidur.
“Ya?” Jihan berjalan mendekat dan Rangga bergeser untuk
memberinya jalan.
“Maaf, kita tidak bisa mengobrol banyak. Aku harus
istirahat sekarang agar kita bisa bertemu besok di kantor,” ujar Silvia sambil
tersenyum lembut.
“Tentu saja.” Jihan menganggukkan kepala mengerti. “Aku
berharap kondisi tubuhmu cepat pulih.”
“Terima kasih,” balas Silvia sambil kembali tersenyum.
“Silvia, maaf aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku
harus mengurus beberapa hal di studio sekarang,” ucap Rangga sedikit menyela.
“Tidak apa-apa, Rangga,” sahut Silvia tulus. “Lagipula
aku hanya perlu istirahat sekarang. Terima kasih sudah menemaniku di rumah
sakit. Kumohon jangan cerita apa-apa pada orang tua kita.”
“Baiklah,” jawab Rangga sekedarnya.
“Kalau begitu, bolehkah aku meminta tolong untuk
mengantarkan Jihan pulang? Flatnya berada tidak jauh dari studiomu,” pinta
Silvia.
“Eh, ti-tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkan kalian.”
Jihan cepat-cepat menyela dengan terbata. Berdua saja bersama Rangga dalam satu
mobil? Oh, itu tidak boleh terjadi.
“Aku tidak merasa direpotkan,” tukas Rangga membuat Jihan
tidak bisa membantah. Mengapa lelaki itu bisa bersikap begitu tenang?
“Kau dengar sendiri, Jihan?” timpal Silvia. “Lagi pula
bukankah kalian adalah teman lama, jadi kenapa harus bersikap seperti tidak
pernah saling mengenal?”
Kau tidak mengerti, Silvia. Jihan mendesah dalam hati. Tetapi itu bukan sepenuhnya salah Silvia karena
ia tidak mengerti. Gadis itu tidak mengerti karena tidak ada yang
memberitahunya.
“Baiklah,” gumam Jihan pada akhirnya. Ia menghela napas
panjang. “Maaf harus merepotkanmu, Rangga.”
***
Mobil Rangga sudah kembali meluncur ke jalan. Lelaki itu
tampak tenang duduk di balik kemudi. Tetapi suasana membisu yang menyesakkan
masih melingkupi mereka berdua. Hingga Jihan memutuskan untuk memerhatikan apa
saja yang bisa diperhatikan. Entah itu ujung sepatunya yang berdebu, tombol
pembuka jendela mobil, atau pun rambu lalu lintas yang baru saja mereka lewati.
Rasanya Jihan ingin waktu bergerak cepat agar ia bisa
segera tiba di flatnya dan berpisah dari Rangga. Tetapi hal itu tidak mungkin
terjadi. Setiap detik yang berjalan harus dilalui dengan sabar oleh semua
manusia. Dan detik itu juga, batin Jihan menjerit frustrasi melihat jalanan
macet yang menjebak mereka berdua.
“Kenapa kau menghindariku?” tanya Rangga tiba-tiba
memecah keheningan di antara mereka berdua.
“Apa?”
“Kenapa kau menghindariku?”
“A-aku tidak menghindarimu,” sanggah Jihan sambil
menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, katakanlah sesuatu.”
“Apa yang harus aku katakan?”
Hening.
Sepertinya Rangga memilih untuk tidak menjawab pertanyaan
Jihan. Lelaki itu tampak sibuk mengendalikan mobilnya di tengah jalanan yang
padat. Sesekali Jihan bisa mendengar Rangga berdecak kesal. Entah kesal pada
dirinya atau pada kendaraan di luar yang hampir merusak kaca spion mobilnya.
Jihan memilih untuk bungkam dan tidak mengusik Rangga. Ia
takut jika ternyata kemungkinan pertama yang membuat lelaki itu kesal. Tentu
saja ia tidak ingin menyiramkan bensin ke arah percikan api.
Hubungan mereka sudah terasa rumit akhir-akhir ini. Jadi,
Jihan tidak ingin membuat semuanya semakin kusut hanya karena ia salah
berkata-kata. Seperti kesalahannya lima tahun yang lalu.
“Kau tahu, aku ingin memperbaiki kesalahanku lima tahun
yang lalu.”
Sesaat Jihan terkesiap, mengira bahwa bibirnya sudah menyuarakan
hatinya. Tetapi kemudian ia mendesah lega ketika menyadari suara itu ternyata
berasal dari Rangga. Kesalahan apa yang dimaksud lelaki ini?
“Andai saja aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan
mencegah diriku untuk menyatakan cinta kepadamu,” lanjut Rangga sambil tetap
fokus pada jalanan yang mulai sedikit lebih lega. “Dulu aku sama sekali tidak
mengira hal itu akan membuat hubungan kita menjadi seperti sekarang.”
Jihan menoleh ke arah Rangga sambil menatap tidak
percaya. Ia mengerjapkan mata mencoba memahami. Sungguh malang nasib Rangga
karena harus menanggung rasa bersalah seperti itu. Padahal hubungan mereka renggang
bukan karena itu, melainkan tanggapan Jihan yang kurang ajar.
“Itu bukan kesalahanmu.” Jihan menggelengkan kepala
menyanggah pernyataan Rangga. Kemudian kepalanya tertunduk penuh sesal. “Aku
yang salah karena menganggap perasaanmu hanyalah sebuah lelucon.”
Hening lagi. Tidak ada tanggapan. Tidak ada sanggahan.
Tidak ada suara Rangga yang menimpali kata-katanya.
Kali ini Jihan melirik diam-diam ke arah Rangga. Lelaki
itu tampak serius menatap pemandangan jalanan yang kembali dipenuhi kendaraan.
Tetapi Jihan bisa melihat jelas Rangga sedang gusar. Dan lelaki itu
mengekspresikannya dengan mencengkeram kuat-kuat roda kemudi dalam
genggamannya.
Oh, tidak. Apa Jihan sudah salah bicara lagi? Mungkin
setelah ini sebaiknya ia diam saja.
Beberapa menit berlalu tanpa suara, hingga Jihan merasa
bunyi debaran jantungnya sama berisiknya dengan bising kendaraan yang melaju di
jalan. Ia hanya bisa menunggu dan kembali berharap waktu bergerak lebih cepat.
Keheningan seperti ini benar-benar terasa menyiksa.
“Lalu, apa kau tidak ingin kita kembali seperti dulu?”
Akhirnya, Rangga memutuskan untuk kembali bersuara.
Jihan tersenyum masam. “Bagaimana caranya?”
Rangga diam sejenak. Keningnya berkerut seperti sedang
berpikir keras. “Mungkin bisa kita mulai dengan... maafkan aku, Jihan.”
Jihan menahan napas lalu menggeleng. “Tidak, Rangga. Aku
yang seharusnya minta maaf. Tolong maafkan aku.”
“Baiklah. Aku akan memaafkanmu. Tapi dengan satu
syarat....”
Kening Jihan mengernyit. “Apa itu?”
“Syaratnya... kau juga harus memaafkan aku,” ujar Rangga
dengan raut wajah berbinar jenaka.
Jihan mendenguskan tawa kecilnya. “Baiklah,” sahutnya
sambil memutar bola mata. “Aku memaafkanmu.”
“Kalau begitu, aku juga memaafkanmu.”
Selama beberapa detik, mereka saling berpandangan lama. Seolah
mereka sedang mengikuti staring contest
seperti yang biasa mereka lakukan dahulu. Hingga akhirnya suara tawa mereka
menggema di udara, sebagai pertanda kembalinya keakraban yang sempat hilang.
***
“Terima kasih atas tumpangannya,” ucap Jihan sambil
tersenyum.
“Jadi, di sini tempat tinggalmu?” Rangga bertanya,
mengabaikan ucapan terima kasih Jihan. Kepalanya menunduk untuk memerhatikan
bangunan flat itu melalui jendela mobil. “Aku tidak menyangka ternyata selama
ini kita tinggal cukup berdekatan.”
“Benarkah?” seru Jihan sedikit takjub. “Itu suatu
kebetulan yang tidak kusangka. Aku memang sengaja memilih tempat tinggal yang
murah dan tidak terlalu jauh dari kantor.”
“Ya. Apartemen dan studioku juga hanya sekitar tiga blok
dari sini.”
Dan bukankah itu berarti Rangga memiliki banyak
kesempatan untuk kembali bertemu dengan Jihan? Entah itu berpapasan di jalan,
makan siang di restoran yang sama, atau tidak sengaja bertemu di supermarket
terdekat seperti yang terjadi tempo hari. Itu tentu akan terasa lebih mudah
bagi mereka. Tetapi mengapa harus melalui Silvia mereka kembali bertemu?
“Mungkin kita bisa makan siang bersama sesekali,” ucap
Rangga mengatakan hal yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya. “Apa besok kau
ada waktu?”
“Untuk apa?”
“Makan siang tentu saja.”
“Oh, kebetulan sekali. Julian memang mengajakku makan
siang bersama besok. Kita bisa pergi berempat, sekaligus memantau pola makan
Silvia.” Wajah Jihan berkerut penuh rasa khawatir. “Pastikan kau selalu
menjaganya, ya.”
Urat di kening Rangga berkedut tidak suka. Oh, sial. Lagi-lagi
Julian!
“Kapan dia mengatakannya?” tanya Rangga seraya melipat
tangannya ke atas roda kemudi.
“Dia... siapa?”
“Julian,” jawab Rangga dengan rahang terkatup. Lidahnya
merasa enggan menyebut nama koki yang satu itu. “Kapan Julian mengajakmu untuk
pergi makan siang?”
“Kemarin malam. Saat dia... mengantarku pulang,” jawab
Jihan dengan nada bicara sedikit menggantung, merasa heran dengan perubahan
ekspresi Rangga.
Sontak leher Rangga berputar ke arah Jihan mendengar
pengakuan gadis itu. Ia menatap kedua mata Jihan lekat-lekat, mencoba mencari
kebenaran di sana. “Dia mengantarmu pulang?”
“Ya. Hem...
memang ada yang salah?” tanya Jihan semakin bingung.
Tentu saja! Mana mungkin Rangga bisa membiarkan Julian selangkah
lebih maju di depan?
“Apa dia mengantar sampai ke depan pintumu?”
“Tidak.” Jihan menggeleng. Masih bertanya-tanya mengapa
sikap Rangga tiba-tiba berubah. “Hanya
sampai di sini.”
“Bagus.” Setitik senyuman menarik sudut-sudut bibir
Rangga dengan susah payah. “Kalau begitu, biarkan aku mengantarmu sampai ke
depan pintu.”
“Oh, itu... sama se-sekali tidak perlu. Aku sudah
terbiasa—“
“Biarkan aku mengantarmu,” gumam Rangga dengan nada keras
kepala lalu turun dari mobil.
***
“Ta-da... jadi,
inilah tempat tinggalku,” kata Jihan begitu mereka berdua tiba di depan pintu
flatnya. Ia melakukannya dengan senyum lebar dan suara ceria yang dibuat-buat.
Seolah-olah ia adalah asisten pesulap yang baru saja memunculkan seekor kelinci
dari dalam kotak yang tadinya kosong. “Terima kasih sudah mengantar.”
Sayangnya, Rangga tidak bertindak sebagai penonton yang
baik. Tidak ada seruan takjub maupun tepuk tangan meriah. Lelaki itu malah
menatap lekat-lekat pintu flat Jihan melalui bahu gadis itu. “Kau tidak ingin
mengundangku untuk masuk?”
“T-tapi... bukankah tadi kau berkata bahwa ada urusan di
studiomu?” tanya Jihan sambil menenangkan batinnya yang terkejut atas
permintaan yang tiba-tiba itu. Sementara benaknya mencoba mengingat apakah ada
sesuatu di dapurnya yang bisa ia suguhkan kepada tamunya kali ini.
“Urusan apa? Oh—tenang saja, itu bukan masalah besar.” Rangga menjawab
sekenanya. Bahkan ia sempat lupa sudah mengatakan hal itu. Sesungguhnya,
‘urusan’ itu tidak ada. Ia hanya ingin segera mengantar Jihan pulang dari rumah
Silvia. “Kita bisa mengobrol banyak hal berdua.”
Tetapi kata-kata terakhir Rangga itu akhirnya menguap
bersama asap putih yang mengepul dari teh yang disuguhkan Jihan. Sudah sepuluh
menit mereka berdua hanya duduk terdiam berdampingan di sofa. Seolah sibuk
dengan pikiran masing-masing. Diam-diam Jihan merasa bersyukur ibunya datang
dan merapikan ruangannya yang kacau.
“Apa kau ingin makan sesuatu?” tanya Jihan mencoba
memecah keheningan. Ia bangkit dari duduknya, berniat meninggalkan Rangga
sejenak. “Sepertinya ada beberapa camilan di kabinet dapur.”
“Tidak,” sahut Rangga cepat sambil menahan pergelangan tangan
Jihan, mencegah gadis itu meninggalkannya. “Duduklah,” katanya sambil menepuk
sofa, meminta Jihan kembali duduk di sisinya.
Walau merasa jeri karena benaknya dipenuhi tanda tanya,
Jihan tetap menuruti saja permintaan Rangga.
“Pernyataan cintaku di hari kelulusan kita itu adalah
perasaanku yang sesungguhnya,” ujar Rangga memulai permbicaraan tentang masa
lalu mereka berdua. Topik yang sangat dihindari Jihan. Tetapi begitu melihat
lelaki itu memejamkan mata dan menghela napas berat, membuat Jihan memilih
untuk mendengarkan alih-alih menghentikan pembicaraan sebelum berlanjut lebih
dalam. “Aku sendiri tidak tahu sejak kapan perasaanku berubah.”
“Ya. Aku sangat menghargai perasaanmu itu Rangga,” jawab
Jihan sambil menunduk pada tangannya yang saling meremas di atas pangkuannya. “Tapi
aku dengan bodohnya menjadikan perasaanmu sebagai lelucon hanya karena aku
takut....”
Punggung Rangga menegak dengan penasaran. “Apa yang
membuatmu takut?”
“Aku takut kau hanya sedang mengerjaiku dan akan
mengolok-olokku jika aku terlalu serius menanggapi perkataanmu.”
Bibir Rangga menarik sebuah garis pahit. “Seburuk itukah
aku di matamu?”
“Tidak, tidak. Bukan seperti itu,” sahut Jihan
cepat-cepat sebelum Rangga kembali salah mengartikan kata-katanya. Berkatalah dengan benar, mulut bodoh!
Jihan mengumpat dalam hati. Ia menatap lekat-lekat wajah lelaki yang
dicintainya itu. “Aku saja yang terlalu pengecut untuk mengakui bahwa aku
mencintaimu, Rangga.”
Rangga mengerjap, mencoba merasakan dengan nyata setitik
cahaya yang terbit di sudut hatinya. “Apa kau bilang?”
Jihan menolak untuk mengulang kalimatnya. “Tapi sekarang
aku sedang berusaha menghapus perasaan itu karena aku tahu bahwa kau adalah
milik Silv—“
Tanpa mendengarkan Jihan menyelesaikan kata-katanya,
Rangga tiba-tiba saja sudah menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia merasakan
euforia yang menitik deras dalam aliran darahnya. Inilah pernyataan cinta yang
dinantikannya selama ini.
Jihan terkesiap menerima pelukan Rangga yang impulsif
itu. Perlahan-lahan ia menenangkan tubuhnya yang menegang. Ia tahu ini salah.
Tetapi ketika merasakan pelukan ini berbeda dengan pelukan persahabatan yang
selama ini diterimanya, membuat batin Jihan mengizinkannya untuk merasakan
pelukan ini sejenak. Ia ingin memiliki Rangga walau hanya untuk sedetik dalam
hidupnya. Karena mungkin saja ini untuk yang terakhir kalinya. Sebelum ia
benar-benar melepas perasaannya....
Perlahan, Rangga melepaskan pelukannya. Ia sedikit
menjauh untuk menatap kedua mata Jihan lekat-lekat. Ketika sepasang mata itu
membalas tatapannya, jemarinya yang ramping menyentuh pipi Jihan dengan lembut.
Dan detik berikutnya, Jihan merasakan pikirannya kosong. Karena tanpa diduga
lelaki itu menunduk dan mengecup bibir
Jihan penuh perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D