Cerita
ini pertama kali diposting pada tanggal 27 Desember 2014 di portalnovel.blogspot.com yang sudah berganti
menjadi portalnovel.net . Sekaligus merupakan tulisan pertama yang berani di-publish untuk dibaca banyak orang. \(^-^
Selamat
membaca untuk yang belum pernah membaca cerita ini. Dan selamat membaca ulang
untuk yang sudah pernah membaca :D
Gadis
itu mematut bayangan dirinya yang terpantul utuh pada cermin besar di
hadapannya. Ia mengenakan kaus abu-abu yang dilapisi dengan jaket bertudung
yang tampak hangat, dan celana jeans biru
gelap sepanjang mata kaki. Sengaja ia memilih pakaian paling nyaman yang
sekaligus tidak membuat penampilannya menarik perhatian. Sebuah tas ransel -berisi keperluannya paling tidak untuk seminggu ke depan,
bergayut di punggungnya. Setelah mengikat tali sepatunya, gadis itu berjalan
mantap keluar dari flat sederhananya.
Sang
mentari masih terlelap rupanya. Pagi-pagi buta ia sudah siap untuk berangkat,
dengan harapan tidak ada seorang pun yang akan menyaksikan kepergiannya. Ia
berangkat menuju stasiun dengan taksi yang sudah ia pesan sehari sebelumnya.
Sudah tidak sabar ia ingin segera menaiki kereta panjang yang akan membawanya
pergi jauh untuk sementara.
Gadis
itu bernama Adelin. Saat ini ia bukan sedang pergi berlibur, karena ini lebih
tepat disebut sebagai pergi untuk kabur. Adelin merupakan penulis yang sedang
merasakan kebuntuan. Ia merasa terjebak di tengah labirin yang menyesakkan. Deadline yang terus mendekat sementara
idenya masih tersendat. Sialnya lagi, editornya itu bukanlah orang yang mudah
untuk dirayu. Tanpa segan, editornya akan mengetuk pintu flatnya sekedar
melihat perkembangan naskah yang harus ia serahkan tepat pada waktunya.
Di sinilah Adelin sekarang, duduk di
sebuah gerbong dalam kereta yang panjang. Sengaja ia memilih tempat duduk di
samping jendela, agar ia tidak perlu mengganggu orang lain jika ia melihat ada
sesuatu yang menarik di luar sana. Ia mendesah lega, saat merasakan kereta
mulai meluncur meninggalkan kota.
“Syukurlah semua berjalan lancar,”
gumam Adelin.
“Apa
yang berjalan lancar?”
Sebuah sahutan membuat Adelin
tersentak dan beringsut menempel pada dinding gerbong kereta. Kewaspadaan yang
ia bangun sejak kemarin, membuatnya mudah terkejut pada suara-suara di
sekitarnya. Ia selalu merasa takut saat membayangkan editornya berhasil
menemukannya. Takut-takut Adelin menoleh pada pemilik suara yang ternyata
seorang pemuda kira-kira seusia dengannya, tengah tersenyum lebar kepadanya.
“Maaf jika aku membuatmu terkejut.
Aku hanya heran kenapa ada gadis yang berbicara sendiri, sementara ada lelaki
tampan duduk di sampingnya,” ujar lelaki itu sambil kembali tersenyum penuh
percaya diri.
Adelin memperhatikan lelaki di sebelahnya,
dan ia mengakui bahwa lelaki ini memang cukup menarik. Kulitnya putih terawat,
rambutnya ikal berwarna cokelat, dan alisnya tebal menawan. Ucapan lelaki itu
bukanlah bualan, ia memang berwajah tampan.
“Tidak apa.” Adelin mengangguk
ringan. “Aku hanya tidak menyangka akan ada yang menanggapi gumamanku.”
“Namaku Martin.” Lelaki itu
mengulurkan tangannya kepada Adelin. “Namamu siapa?”
Adelin tidak langsung meyambut
uluran tangan yang hangat itu. Sejenak ia terdiam dan hanya memandangi tangan
yang terulur tanpa ragu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil
kesempatan berkenalan dengan orang baru.
“Adelin,” kata Adelin singkat sambil
menjabat tangan Martin.
“Nama yang cantik.” Martin
melontarkan pujian dengan ringan, seakan-akan hal itu sudah sering ia lakukan.
Lelaki bernama Martin itu memang
sosok yang menyenangkan. Dengan mudah ia menemukan tema yang pas untuk membuka
obrolan. Selama perbincangan, Adelin tidak berhenti memperhatikan. Hidung
Martin cukup mancung untuk ukuran orang Indonesia, sehingga Adelin menduga ada
darah Eropa -mungkin Belanda, yang mengalir di dalam tubuh Martin.
Matanya yang bulat berwarna hitam khas Indonesia, tampak berkilat jenaka.
Sepertinya Martin cocok menjadi tokoh utama lelaki dalam sebuah cerita.
“Ah.” Martin tiba-tiba berseru saat
melihat jam tangannya. “Aku sampai lupa waktu. Berbincang denganmu sungguh
menyenangkan.”
Adelin hanya menatap lelaki itu
dengan tatapan kebingungan.
“Aku harus kembali ke tempat
dudukku.” Martin berkata dengan ekspresi menyesal. “Teman-temanku pasti mencariku.”
“Jadi, tempat dudukmu bukan di sini?”
“Bukan,” kata Martin lantas tertawa.
“Aku bersama teman-temanku. Tempat dudukku berada tiga gerbong dari sini.”
“Oh.” Bibir Adelin membulat dengan
perasaan kecewa di dalam hati. Baru saja ia merasa bersyukur karena bertemu
dengan teman seperjalanan yang baik. Namun ternyata semua itu tidak abadi. Kini
ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia duduk sendiri.
“Tadi aku sengaja tidak membawa
ponsel agar tidak ada yang mengganggu.” Martin mengedipkan satu matanya ke arah
Adelin. “Aku usahakan untuk kembali lagi kemari, yang penting sekarang
memastikan bahwa teman-temanku tidak sedang mencariku dengan perasaan
khawatir.”
Penjelasan itu membuat Adelin
tersenyum lalu mengangguk mengerti.
“Tapi aku bersyukur pergi ke gerbong
ini, karena aku bisa bertemu dengan bidadari,” ucap Martin sambil melangkah
pergi.
Setelah diam sejenak, Adelin lantas
tertawa menanggapi gombalan ala buaya yang diucapkan Martin. Bagi Adelin,
Martin memang orang yang menyenangkan. Tapi Martin salah besar jika mengira
Adelin akan dengan mudah terjerat dalam pesona yang ditebarnya.
* * *
Kehangatan yang nyaman menjalari
kedua kaki telanjang Adelin. Saat ini ia sedang berdiri di tepi pantai dengan
telapak kaki yang terbenam dalam pasir pantai yang hangat karena menyerap sinar
mentari. Setelah perjalanan yang panjang dengan kereta, Adelin jadi malas untuk
banyak bergerak. Ia hanya diam memandang ke arah laut yang biru. Merasakan
setiap deburan ombak yang terdengar merdu. Daun pohon kelapa yang berderet
saling bergesekan karena ditiup angin, menciptakan suasana yang tenang bagi
hati Adelin.
Gadis itu sudah meninggalkan jaketnya
yang hangat di penginapan, dan menggantinya dengan pakaian yang lebih santai.
Kaus dengan lengan sepanjang siku dan celana pendek berbahan jeans yang menampakkan kakinya yang
jenjang. Ia berbaring di atas pasir pantai dengan santainya, seakan itu tempat
tidur pribadinya.
Jauh di dasar hatinya, sebenarnya
Adelin merindukan tempat ini. Seharusnya sudah sejak lama ia berkunjung kemari.
Tempat ini adalah kampung halaman dimana ia dibesarkan. Namun semenjak
kecelakaan nahas yang merenggut nyawa kedua orang tuanya, Adelin memutuskan
untuk meninggalkan kampung halamannya dan semua kenangan di dalamnya. Ia
memilih untuk mengambil beasiswa dan kuliah di ibu kota.
Para penduduk yang tinggal di sini
rata-rata bekerja sebagai nelayan, membuka restoran seafood, atau menyediakan penginapan bagi wisatawan yang terkadang
datang. Sedangkan orang tuanya yang memang bukan penduduk asli, baru datang
setelah mereka menikah. Mereka datang kemari sebagai pengamat kehidupan bawah
laut. Namun saat usia Adelin menginjak enam belas tahun, orang tuanya meninggal
saat melakukan penelitian di tengah laut. Badai yang dahsyat menghantam kapal
yang mereka tumpangi dan menggelamkannya bersama seluruh awak kapal.
Tanpa sadar, air mata mengalir di
sudut mata Adelin. Namun sebuah senyuman juga tercipta di ujung bibirnya, saat
membayangkan senyuman kedua orang tuanya. Setidaknya mereka pasti bahagia, meninggal
bersama di tempat yang mereka cinta.
* * *
Adelin membuka matanya dan menatap
langit biru yang tampak tak terjangkau. Tanpa sadar baru saja ia tidur pulas
dengan air mata yang mengering di sudut matanya. Adelin terduduk saat mendengar
suara deburan ombak yang terdengar lebih keras dari sebelumnya. Ia memicingkan
mata dan menajamkan pandangannya. Ada seseorang yang sedang berdiri di atas
papan selancar dengan lincah. Seakan tengah menunggangi ombak tinggi yang
sedang meliuk-liuk dengan indah. Siapa orang itu?
Penduduk di sini sangat sedikit dan
mereka saling mengenal satu sama lain. Begitu juga dengan Adelin. Walaupun ia
sudah lama tidak tinggal di sini, tetapi pemuda itu terlihat begitu asing.
Akhirnya ia menggelengkan kepalanya, berusaha tidak peduli pada hal yang tidak
penting. Baru saja ia akan melangkah pergi saat melihat pijakan lelaki itu
sedikit miring. Ia merasa jantungnya runtuh saat melihat lelaki itu terjatuh
dan hilang ditelan ombak, hanya menyisakan papan selancarnya yang
terombang-ambing.
Kepanikan melanda hati Adelin.
Begitu lama lelaki itu tidak muncul ke permukaan. Bagaimana jika lelaki itu
tidak bisa berenang? Atau mungkin kakinya kram? Bagaimana jika ia tenggelam? Pantai
begitu sepi. Tidak ada yang bisa menolong orang itu selain dirinya. Dengan hati
yang penuh rasa khawatir, Adelin berlari dan melompat ke dalam air.
Sejak kecil dibesarkan di pesisir
pantai, menjadikan berenang sebagai hal yang mudah bagi Adelin. Dengan lincah
ia berenang seperti lumba-lumba, lalu menangkap tubuh lelaki itu sebelum
tenggelam lebih jauh. Ia menarik tubuh lelaki itu keluar dari air, lalu
membaringkannya di atas pasir pantai yang hangat. Dengan tangan yang gemetar,
Adelin memeriksa keadaan lelaki itu.
Astaga! Lelaki ini tidak bernapas.
Sekuat tenaga Adelin menekan rasa paniknya. Ia berusaha mengingat cara
melakukan pertolongan pertama yang diajarkan orang tuanya. Dengan kedua telapak
tangan yang saling bertumpukkan, Adelin menekan-nekan dada lelaki itu. Sepertinya
cara itu berhasil, lelaki itu memuntahkan air melalui mulutnya. Namun ini belum
berakhir. Lelaki itu masih tergeletak tak berdaya, belum sadarkan diri.
Adelin menghela napas berat,
kemudian ia menatap wajah pangeran tidur ini. Rambutnya yang basah, alisnya
melengkung dengan indah, matanya terpejam, hidungnya masih belum bernapas
dengan normal. Tanpa sadar, ia menahan napas saat melihat bibir lelaki itu.
Pipinya merona saat menyadari bahwa yang harus ia lakukan selanjutnya adalah
memberikan napas buatan -yang artinya ia harus menyalurkan udara dari mulutnya ke
mulut lelaki asing ini.
Debaran jantung Adelin seketika
berpacu cepat. Ia tidak pernah menyangka beginilah cara ia kehilangan ciuman
pertamanya. Selama ini ia selalu selektif dalam memilih pasangan. Ia tidak
ingin salah pilih karena ia ingin memiliki kisah cinta seperti orang tuanya
yang saling mencintai seumur hidup mereka. Sekali lagi, Adelin menggelengkan
kepalanya kuat-kuat. Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan cinta. Sekarang
ini ia harus memikirkan keselamatan lelaki yang tengah terbaring lemas di
hadapannya.
Sambil menahan rona merah di pipi,
Adelin menghirup napas dalam-dalam lalu memberikan napas buatan kepada lelaki
di pangkuannya. Berkali-kali hingga lelaki itu terbatuk-batuk dan mulai
sadarkan diri. Perlahan lelaki itu membuka matanya sedikit dan menatap ke arah
Adelin, lalu ia mulai bergumam samar, “Pu.. putri du..yung?”
Adelin mengerutkan alisnya mendengar
gumaman lelaki ini. Apa katanya tadi?
Baru kali ini ia bertemu dengan lelaki yang percaya pada dongeng seperti itu. Tapi kemudian Adelin berusaha untuk tidak
peduli. Kepalanya celingukan, berharap ada penduduk yang lewat dan bisa
memberikan pertolongan selanjutnya pada lelaki ini. Tapi suasana yang begitu
lengang, membuatnya memutuskan untuk meninggalkan lelaki itu sebentar untuk
meminta tolong pada paman di tempat ia menginap.
Adelin melangkah cepat menuju
penginapan. Suami-istri pemilik penginapan itu sudah menganggapnya seperti anak
mereka sendiri. Mereka berdua orang baik yang tidak segan membantu orang lain.
Tiba-tiba Adelin dikejutkan dengan
teriakan seorang gadis yang membuatnya langsung menyentuh dada kirinya. Astaga- hari ini kesehatan jantungnya memang sedang diuji
rupanya. Adelin menoleh dan mendapati seorang gadis sedang berteriak cemas di
samping lelaki yang baru saja ditolongnya. Jaraknya memang sudah cukup jauh,
namun entah mengapa ia memilih untuk bersembunyi di balik sebuah pohon kelapa
yang kokoh. Ia melongokkan kepalanya penuh rasa ingin tahu.
Siapa gadis itu?
Adelin memicingkan matanya melihat
gadis yang tetap terlihat cantik walaupun sedang dilanda kepanikan besar. Topi
lebar berwarna merah muda menghiasi kepala yang ditumbuhi rambut panjang yang
berkilau di bawah sinar mentari. Terusan panjang bermotif floral terpasang pas di tubuhnya yang ramping. Gadis itu tengah
berlutut dan mengguncang-guncangkan tubuh si pangeran tidur.
“Daniel! Daniel!” Berkali-kali gadis
itu berteriak dengan cemas.
Jadi nama lelaki itu Daniel. Lalu,
siapa gadis itu? Hati Adelin dipenuhi segala macam kemungkinan. Gadis itu
mungkin kekasihnya, atau mungkin mereka pasangan yang tengah berbulan madu di
sini. Adelin menghela napas panjang saat merasakan ada sedikit rasa kecewa yang
menghampiri. Andai saja... Buru-buru Adelin menggelengkan kepalanya, berharap
pikiran konyolnya terbuang keluar dari benaknya. Lelaki setampan itu barang
tentu sudah memiliki pasangan yang pantas mendampinginya. Lagi pula, seharusnya
ia bersyukur karena tidak perlu mencari pertolongan lagi untuk lelaki bernama
Daniel itu.
“Adelin.”
Seseorang menyebut namanya. Suaranya
perlahan tapi mampu membuat ia tersentak. Saat Adelin menoleh ke sumber suara
itu, ia menyadari bahwa itu lelaki yang ia kenal.
“Martin?” Adelin berseru tidak
percaya.
Lelaki itu sedang tersenyum ceria
seperti sebelumnya. Tangan kanan dan kirinya sedang menggenggam es krim cone yang tampak segar. Adelin sama
sekali tidak menyangka bahwa Martin akan berlibur di sini. Tapi selama
mengobrol di kereta ia juga memang tidak pernah bertanya dan Martin tidak
pernah memberi tahunya.
“Kenapa kau basah kuyup?” tanya
Martin lalu menyantap es krim di tangan kanannya.
Adelin tidak langsung menjawab. Ia
tidak mungkin dengan santai bercerita bahwa ia baru saja menolong orang yang
tenggelam. Bagaimanapun lelaki ini juga masih asing baginya.
“Aku baru saja berenang.”
Martin menganggukkan kepalanya
begitu saja, tanpa melontarkan pertanyaan lainnya. Sehingga Adelin langsung
menghela napas lega.
“Mau es krim?” Martin menyodorkan es
krim di tangan kirinya.
Adelin menelan ludah. Tawaran yang
menggiurkan. Tapi tidak. Ini bukan saat yang tepat untuk melahap es krim dengan
santai. Adelin menggelengkan kepalanya. Saat ini ia hanya ingin kembali ke
penginapan dan mengganti pakaiannya yang basah.
“Terima kasih. Tapi aku harus
pergi.” Adelin berpamitan. “Bye,
Martin.”
“Bye,
Adelin. Aku harap takdir akan mempertemukan kita kembali.”
Adelin tersenyum geli lalu melangkah
menjauhi Martin. Ia mulai menduga-duga berapa orang gadis yang sudah termakan
rayuan gombal lelaki itu.
*
* *
Mata Adelin menatap nyalang ke
langit-langit kamar tempat ia menginap. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan
pukul satu dini hari, tapi ia tidak merasa mengantuk sama sekali. Dalam
benaknya, muncul sosok seseorang. Siapa lagi kalau bukan editornya. Terbayang
wajah geram editornya saat mendapati ia tidak ada di flatnya. Lelaki yang
disiplin itu pasti kelabakan mencari tahu dimana keberadaannya. Saat ini,
editornya -yang berusia sepuluh tahun lebih tua dari Adelin itu
pasti sedang menyumpahinya, mengutuk ketenangannya. Dan itu berhasil membuat
Adelin tidak bisa tidur malam ini.
Tidak! Itu tidak boleh terjadi!
Adelin menggelengkan kepalanya untuk menghapus bayangan editornya yang galak
itu. Ia kemari untuk berlibur, bukan untuk memikirkan kenapa ia tidak bisa
tidur!
*
* *
Suara ketukan di pintu menggelitik
telinga Adelin, menariknya bangun dari mimpi samar yang membuai tidurnya. Sambil
menggaruk kepala, ia bangkit lalu duduk sebentar di tepi tempat tidurnya.
Ketukan itu terdengar lagi.
“Sebentar.”
Adelin memaksa kakinya melangkah dan
membuka pintu. Seorang wanita yang tak lagi muda -mungkin usianya sudah hampir setengah abad- berdiri di balik pintu.
Senyumannya yang ramah mampu mengalahkan kerutan yang muncul di
wajahnya. Wanita ini adalah pemilik penginapan tempat Adelin bermalam.
“Oh- Bibi.” Adelin mengusap matanya yang masih menolak untuk
bangun. “Maaf aku baru bangun.”
“Tidak apa. Kau pasti kelelahan.”
Wanita itu tersenyum lagi. “Aku sudah menyiapkan sarapan. Ayo kita makan
bersama.”
“Ya.” Adelin menganggukkan
kepalanya. “Aku akan siap-siap dulu.”
“Baiklah. Aku tunggu di bawah,” ujar
wanita itu sambil tersenyum, lantas berlalu meninggalkan kamar Adelin.
Adelin menatap pintu kamarnya, lalu
berbalik dan menatap langit biru berbingkai jendela. Astaga- kenapa langit sudah seterang ini? Adelin mengernyitkan
dahi, berusaha mengingat kapan ia tertidur. Padahal ia sudah berencana untuk
tidak tidur sampai pagi karena ingin melihat mentari terbit. Tapi kenyataannya
ia malah tidur dan bangun kesiangan seperti ini. Ini pagi pertamanya di sini,
dan ia seakan memberikan kesan bahwa gadis yang hidup di kota akan menjadi
seorang pemalas.
Adelin mengambil handuk lalu pergi
menuju kamar mandi. Ia menyikat gigi dan mencuci muka tanpa ada niatan untuk
mandi. Setelah mengganti pakaiannya, ia turun ke lantai satu.
“Selamat pagi.” Pasangan suami-istri
itu tengah duduk di ruang makan dan menyambut kedatangannya dengan hangat.
Sebuah senyuman tersungging di bibir
Adelin. Ia ikut merasa bahagia melihat keharmonisan pasangan ini. Walaupun
sudah menikah lama, namun sepertinya cinta mereka sama sekali tidak pudar.
Mereka hidup berdua sambil mengurus penginapan ini. Kedua anak mereka kuliah
dan bekerja di luar kota, dan hanya pulang saat liburan panjang.
Sarapan pagi itu berlangsung
menyenangkan. Mereka membicarakan hal seputar keadaan desa dan sekitarnya. Dan
yang membuat Adelin senang, pasangan suami-istri ini tidak pernah menyinggung
sama sekali tentang pernikahan. Di usianya yang menginjak dua puluh lima tahun
ini, pertanyaan seputar pasangan dan pernikahan cukup membuat telinganya gatal.
Lalu bagaimana dengan cerita-cerita penuh romansa yang selama ini ia tulis? Itu
semua berasal dari imajinasi dan kepandaiannya merangkai kata-kata yang manis. Sementara
untuk pasangan hidupnya, ia merasa belum menemukan yang cocok.
Untuk menghapus kesan pemalas pada
dirinya karena sudah bangun kesiangan, seusai santap pagi itu Adelin membantu
membersihkan meja dan mencuci piring kotor sebelum akhirnya pergi untuk
menikmati hari liburnya.
Saat berjalan melewati kedai es
krim, Adelin menghentikan langkahnya. Terbayang es krim cone yang dipegang Martin kemarin. Sebelum air liurnya menetes, ia
memutuskan untuk mendatangi kedai dan memesan es krim rasa cokelat. Selama
menunggu, ia sempat bersenda gurau dengan paman pemilik kedai es krim yang ia
kenal baik sejak ia masih kecil, saat paman itu masih berkerja sebagai nelayan.
“Terima kasih,” ujar Adelin ramah
sambil menerima es krimnya. Segera ia melahap es krim itu sebelum meleleh. Es
krim yang lembut memenuhi rongga mulutnya dan memberi sedikit kesegaran bagi pikirannya.
“Hei, kau.”
Seseorang menegur sambil menepuk
ringan bahu Adelin. Suara seorang lelaki muda yang maskulin. Adelin berpaling
dan menemukan lelaki bernama Daniel itu berdiri menjulang di hadapannya.
Daniel mengernyitkan dahi mentatap
Adelin. Beberapa saat yang lalu ia merasa yakin bahwa ia dan gadis itu pernah
bertemu. Namun kini rasa yakinnya pudar dan berubah menjadi ragu. Apalagi
ekspresi Adelin yang sedikitpun tidak ramah terhadapnya. Jika memang mereka
pernah bertemu, kenapa ia tidak dapat mengingatnya? Kapan dan dimana mereka pernah
bertemu? Apa mungkin di kehidupan sebelumnya?
“Lho? Adelin?”
Tiba-tiba seorang lelaki muncul dari
balik punggung Daniel dan menyapa Adelin dengan sikap yang ceria. Siapa lagi
kalau bukan Martin.
“Sudah ku bilang, kita sudah ditakdirkan
untuk bertemu kembali,” ujar Martin sambil merangkul bahu Daniel dengan
akrabnya.
Adelin memutar bola matanya lalu
tersenyum masam. Ini bukanlah takdir. Di desa kecil dengan penduduk yang
sedikit seperti ini, bukan hal mustahil jika mereka dapat kembali bertemu
dengan mudah.
“Hei, aku kira kau tidak suka es
krim,” ujar Martin sambil menunjuk es krim dalam genggaman Adelin.
Adelin mengangkat satu alisnya.
“Makanya, jangan sok tahu! Sejak dulu aku selalu suka es krim.”
Kerutan kebingungan memenuhi wajah
Daniel. Saat melihat Martin menyapa gadis ini dengan akrab, membuatnya menduga
apa mungkin ia melihat gadis ini dari
deskripsi yang diceritakan Martin padanya? Tapi kapan dan gadis yang mana?
Martin terlalu sering bercerita tentang gadis-gadis yang ditemuinya hingga
Daniel tidak dapat mengingat mereka satu persatu.
“Kalian saling mengenal?” Daniel
bertanya untuk menjawab pertanyaan yang memenuhi kepalanya.
Adelin hanya tersenyum sopan kepada
dua lelaki di hadapannya lalu mulai berjalan. Biar saja Martin yang
menceritakan pertemuan mereka, lagi pula sepertinya mereka teman yang sudah
akrab. Saat ini ia sedang ingin menikmati waktunya. Sendiri, tanpa ada yang
mengganggunya. Ia juga malas menghadapi para lelaki yang mulutnya sama-sama
penuh gombalan semata.
Hanya ketenangan yang Adelin
perlukan sekarang. Sambil tetap melahap es krim dalam genggaman, ia menatap ke
arah laut yang sedang pasang. Ombak saling berkejaran menghantam karang.
Membuat perasaannya menjadi lebih tenang.
Adelin sadar ia tidak boleh terus
begini. Otaknya harus mencari inspirasi. Tapi saat ini kebuntuan di otaknya
bagaikan harga mati. Tak dapat ditawar walau ia memohon sepenuh hati. Ia
menatap cone yang sudah tinggal
sebuah kerucut kecil, lalu melahapnya dengan sekali gigitan. Saat itulah hadir
seorang lelaki yang duduk di sampingnya.
*
* *
Setelah berpisah dari Martin, Daniel
memilih untuk berjalan-jalan untuk menikmati pemandangan di daerah ini.
Kejadian kemarin membuatnya belum berani kembali berselancar. Ia masih
mengingat jelas saat kakinya tergelincir di atas papan selancar, lalu ia jatuh
dan mulai merasa sesak. Benar-benar pengalaman yang menyeramkan.
Seorang gadis yang tengah duduk di
tepi pantai tiba-tiba menarik perhatian Daniel. Gadis itu.. dengan latar langit
berwana biru di atas kepalanya.. cahaya mentari yang menyinarinya.. membuat
sosoknya tampak samar namun semakin jelas dalam benak Daniel. Akhirnya ia ingat
siapa gadis itu.
“Hei.” Daniel duduk begitu saja di
samping gadis itu, lalu menyapanya singkat.
“Hei.” Adelin melirik lelaki asing
yang tiba-tiba duduk di sampingnya tanpa permisi. Sahutan singkat yang ia
lontarkan hanya sebagai bentuk kesopanannya.
Pantai
ini begitu luas dan lengang, kenapa lelaki ini harus duduk di sampingku yang
ingin menikmati waktu senggang?! Adelin merutuk kesal dalam hati. Ia baru
menyadari bahwa selalu ada perasaan gugup yang samar saat berada di dekat
lelaki ini.
“Aku sudah ingat siapa kau.” Gumaman
Daniel itu meruntuhkan niat Adelin untuk pergi. Baru saja ia berniat untuk
pindah dan memilih duduk di bagian lain pantai ini, jika memang Daniel sangat
ingin duduk di sini.
Adelin menaikkan kedua alisnya,
menunggu Daniel lanjut berbicara. Sementara hatinya terus berharap semoga
lelaki ini bukan salah satu pembaca novel-novel picisannya.
“Kau yang menolongku kemarin, dan
aku tidak menyangka kau mengenal Martin.”
Adelin menghela napas lega.
Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, ia sedang tidak ingin dikenali sebagai
Adelin si penulis novel cinta.
“Kau si putri duyung.” Daniel
menambahkan.
Mendengar hal itu membuat Adelin
melirik kesal pada lelaki di sampingnya.
“Martin bilang aku bidadari, kau
bilang aku putri duyung. Apa aku harus mengenal temanmu yang lain, yang mungkin
akan menyebutku unicorn1
atau centaurus2?”
Daniel malah tertawa tanpa
menghiraukan nada sebal pada kata-kata Adelin.
“Kau benar-benar gadis yang lucu.”
Daniel masih saja tergelak, tanpa peduli pada Adelin yang menatapnya dengan
galak.
“Tidak ada yang lucu menurutku.”
Kali ini Adelin menambahkan kadar rasa sebalnya dan memasang wajah cemberut.
Ternyata itu cukup untuk membuat Daniel menghentikan tawanya.
“Maaf,” gumam Daniel. “Aku kemari
hanya ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu kemarin. Dan..” Daniel
berdeham membersihkan tenggorokannya. “Perkenalkan, aku Daniel,” ujarnya
kemudian sambil tersenyum hangat dan mengulurkan tangannya kepada Adelin.
Sejenak Adelin menatap tangan yang
terulur itu lalu menyambutnya tanpa ragu. “Adelin.”
Setelah saling menyebutkan nama,
keduanya hanya diam dan menghayati keindahan pantai yang membentang di hadapan
mereka. Air laut yang biru tampak berkilau keemasan saat diterpa sinar mentari.
Ombak bergulung saling berkejaran menuju tepi pantai.
“Kau datang sendiri ke sini?” Suara
Daniel beradu dengan angin pantai yang menderu.
“Ya.” Adelin menjawab singkat sambil
menganggukkan kepala. Bukannya lelaki ini tidak menarik, ia hanya sedang malas
mengakrabkan diri dengan siapapun. “Kau sendiri?”
“Aku datang berama-ramai kemari.
Bersama Martin, Inez, dan Sofia.”
Alis Adelin berkerut. Ada dua nama
gadis yang disebutkan Daniel. Ia jadi menduga-duga, yang mana yang merupakan
nama gadis cantik yang menjadi pasangan lelaki ini?
“Lalu, apa tidak ada yang marah jika
kau duduk di sini, denganku -berdua?”
“Tidak akan ada yang marah.” Daniel
tertawa, lebih seperti menertawakan dirinya sendiri. “Aku jomblo, kau tahu?”
Dasar lelaki! Dengan mudahnya ia
berkata seperti itu padahal kemarin dengan jelas Adelin melihat gadis -entah Inez atau Sofia itu menatapnya penuh kasih sayang
sambil meneriakkan namanya penuh rasa khawatir.
“Apa kau pernah melihat mentari
terbit dari pantai ini?” Daniel mengganti topik pembicaraannya saat menyadari
lagi-lagi kawan bicaranya hanya terdiam dan tidak ikut tertawa.
“Pernah.” Atau lebih tepat disebut
sering. “Dan itu benar-benar indah.”
Saat mengatakan itu, ingatan Adelin
menembus jauh ke dalam kenangan masa lalunya. Masa-masa dimana masih ada kedua
orang tua yang menyayanginya. Ia segera menggigit bibirnya untuk menahan air
matanya yang nyaris menetes. Ia tidak boleh menangis di hadapan lelaki ini.
“Benarkah?” Mata Daniel berkilat
semangat. “Maukah kau menemaniku melihat mentari terbit?”
Adelin menaikkan satu alisnya.
“Kenapa tidak dengan teman-temanmu
saja?” tanya Adelin dengan penekanan pada kata ‘teman’.
Daniel mendesah lemas. “Mereka
orang-orang yang lebih memilih untuk tidur daripada bangun pagi-pagi untuk
melihat mentari terbit.”
Adelin merasa iba pada kawan
bicaranya. “Baiklah akan ku pertimbangkan.” Setelah mengucapkan kata-kata yang memunculkan
harapan di mata Daniel, Adelin lantas bergegas bangkit dari duduknya. “Tapi
sekarang aku harus kembali ke penginapan.
Daniel tersenyum lebar seperti
sengaja memamerkan giginya yang berderet rapi dan putih.
Adelin mulai melangkah pergi, saat
didengarnya Daniel berkata setengah berteriak padanya. “Aku akan menunggumu.”
*
* *
Adelin menguap lebar dan segera
menutupnya dengan telapak tangannya. Sejak berpisah dengan Daniel di pantai, ia
terus berada di hadapan layar laptopnya. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya -yang ia sendiri tidak tahu itu apa. Maka di sinilah ia
sekarang, sedang merangkai ribuan kata yang seakan mengalir begitu saja dalam
kepalanya. Inspirasi memang tidak perlu dicari, karena akan datang sendiri
seperti sekarang ini.
Kepala Adelin bergerak menoleh
keluar jendela kamarnya. Warna langit tampak terbagi dua. Di satu sisi tampak
kemerahan menandakan fajar akan segera tiba. Sementara sisi yang lain berwarna
biru gelap dengan bintang yang menyala.
Tiba-tiba sosok Daniel yang sedang
duduk di pantai menyusup ke dalam pikiran Adelin. Apa benar lelaki itu
menunggunya? Walaupun merasa ragu, entah kenapa kaki Adelin malah melangkah
perlahan keluar dari penginapan menuju ke arah pantai. Begitu tiba di tepi
pantai, ia mendapati sosok Daniel yang tampak samar disinari cahaya langit.
Daniel merasakan kehadiran Adelin di
dekatnya, membuat ia menoleh lalu menyambut gadis itu dengan senyuman. Rambut
panjang gadis itu melambai ditiup angin. Matanya yang bulat tampak sedikit
lelah namun tetap indah di mata Daniel. Menurut Daniel, sosok Adelin dan
pemandangan langit pagi ini, merupakan ciptaaan Tuhan yang sama indahnya.
“Selamat pagi.” Sapaan singkat yang
diucapkan Adelin membuyarkan lamunan
Daniel.
“Selamat pagi.” Daniel membalas lalu
tersenyum. “Terima kasih sudah datang. Sempat ku kira aku akan menikmati
keindahan ini sendirian.”
Tidak ada sahutan dari gadis di
samping Daniel. Adelin hanya diam dan menatap lurus ke arah langit, seakan
memberikan kesempatan kepada Daniel untuk menatapnya lebih lama. Tiba-tiba saja
secara impulsif Daniel merangkulkan lengannya ke bahu gadis itu. Namun Adelin
tetap bergeming tanpa ada penolakan.
Entah apa yang ada di pikiran
Adelin, sehingga ia dengan suka rela membiarkan Daniel merangkul bahunya dan
menghapus jarak di antara mereka berdua. Mungkin karena pemandangan indah di
hadapannya, atau memang karena ia menyukainya.
Secara tiba-tiba Daniel menarik
kedua bahu Adelin hingga kini mereka berdiri saling berhadapan. Jantung Adelin
berpacu dengan cepat saat Daniel menatap intens ke dalam matanya. Suara debaran
jantungnya yang tidak menentu seakan berlomba dengan suara deburan ombak.
Perlahan Daniel mendekatkan
wajahnya, membuat Adelin hanya terdiam pasrah. Lagi pula ia sudah pernah
mencium bibir Daniel sebelumnya. Mungkin inilah saatnya untuk ia merasakan ciuman
yang sesungguhnya. Namun saat Adelin memejamkan matanya, wajah gadis cantik
yang meneriaki Daniel muncul di benaknya. Bagaimana perasaan gadis itu jika
mengetahui hal ini terjadi? Adelin membuka mata dan menatap wajah Daniel. Ia
juga tidak ingin pasangannya nanti mencium gadis selain dirinya. Jadi, ia harus
menghentikan ini sekarang juga.
“Astaga!” Adelin berseru sewajar
mungkin, membuat Daniel menatapnya dengan terkejut. “Aku baru ingat, ada urusan
yang harus aku kerjakan.”
Daniel menatap Adelin dengan raut
wajah kebingungan.
“Maaf. Tapi aku harus pergi
sekarang,” ujar Adelin sambil menepuk bahu Daniel yang masih termangu. “Terima
kasih atas waktunya.”
Menurut Adelin, ia harus pergi dari
desa kecil ini, segera kembali pada tanggung jawabnya. Bagaimanapun ia akan
mengahadapi editornya yang galak daripada harus merusak hubungan percintaan
orang lain hanya karena terbawa suasana.
Adelin pergi dengan langkah-langkah
lebar, meninggalkan Daniel yang terpaku manatap kepergiannya sambil tersenyum
hambar.
*
* *
Adelin duduk di sebuah kursi dengan
meja besar di hadapannya. Saat ini ia tengah mengikuti acara launching buku yang diadakan oleh
penerbitnya. Bersama dua orang penulis lain, ia berkunjung ke beberapa toko
buku besar di ibu kota sesuai dengan yang telah dijadwalkan oleh penerbit. Dan
saat ini sudah memasuki acara pembagian tanda tangan. Beberapa orang berbaris
rapi di hadapannya, membawa novel -hasil karyanya yang baru sebulan lalu diterbitkan, yang
nanti akan ia tanda tangani.
Setelah meninggalkan Daniel -lelaki yang hampir menciumnya saat mentari terbit
beberapa bulan lalu, Adelin bergegas pulang ke flat sederhananya dan
menyelesaikan novel yang tengah ia tulis. Walaupun ia harus bersedia didamprat
oleh editornya karena terlambat dua hari dari batas waktu yang telah
ditentukan, namun pada akhirnya novelnya diterbitkan setelah melewati beberapa
kali revisi. Editornya juga sempat melontarkan pujian yang membuat Adelin
bangga.
“Saya suka dengan novel yang kamu
tulis ini -walaupun terlambat dan banyak kesalahan ketik, tapi saya
suka alur cerita dan caramu menggambarkan perasaan para tokohnya.” Editornya
itu menatap Adelin penuh selidik. “Apa
kau sedang jatuh cinta?”
Pipi Adelin merona saat pujian itu
terngiang di dalam benaknya. Syukurlah jika editornya suka, dan semoga para
pembaca setianya juga menyukai cerita yang ia tulis secara kilat itu. Astaga- Adelin menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Bagaimana
mungkin ia memikirkan hal lain saat
sedang menghadiri acara penting seperti ini.
Para pembaca yang hadir hari ini
memuji karya Adelin, membuat gadis itu berujar terima kasih dengan tulus.
Terkadang ia juga mengobrol singkat sebelum akhirnya menandatangani buku yang
di sodorkan padanya. Sudah sepuluh buku yang ia tanda tangani, namun ia tidak
merasa lelah sama sekali. Ia merasa bahagia karena orang-orang menyukai
karyanya.
Buku selanjutnya disodorkan di
hadapannya. Secarik kertas kecil, seperti sengaja ditempelkan pada cover bukunya. Sesuatu tertulis di situ.
Adelin,
Maukah
kau pergi makan malam
denganku malam ini?
Adelin
mendongakkan kepalanya dengan
jantung yang berdegup dengan kencang. Lelaki jangkung itu berdiri di
hadapannya, membuat ia tercengang. Bukannya memberi tanda tangan, tangan Adelin
yang memegang pulpen malah menuliskan nomor ponselnya di bawah tulisan singkat
itu.
“Hubungi
aku setelah acara ini selesai,” ujar Adelin kemudian.
Lelaki
itu mengangguk mengerti lalu pergi dari hadapan Adelin.
* * *
Adelin menerima ajakan makan malam dari lelaki
yang masih tidak dapat ia percaya akan muncul kembali di hadapannya. Lelaki itu
adalah Daniel. Maka di sinilah mereka sekarang, saling duduk berhadap-hadapan
di dalam sebuah restoran yang dipilih Daniel. Mereka memegang buku menu di
tangan masing-masing. Namun Daniel sepertinya sama sekali tidak peduli dengan
buku menu itu. Sosok gadis di hadapannya jauh lebih menarik perhatiannya. Gadis
itu setengah menunduk membaca buku menu. Alisnya yang hitam, matanya yang bulat,
hidungnya yang mencuat dengan indah, bibirnya yang berwarna merah muda, semua
tampak sempurna di atas kulit putihnya yang merona.
Daniel
tidak pernah lupa. Sejak pertama kali mereka bertemu, saat Adelin menolongnya -yang dengan bodohnya nyaris tenggelam saat berselancar, ia
sudah jatuh cinta sejak pertama kali ia melihat sosok Adelin. Tuhan sudah memberinya
kesempatan hidup untuk kedua kalinya, hanya untuk bertemu gadis itu. Ia tidak
berbohong, saat ia salah menyangka Adelin sebagai putri duyung yang merupakan
makhluk mitos yang kabarnya sangat cantik itu.
“Hei.
Anda yang bernama Adelin, bukan?”
Suara
seorang gadis menggelegar di telinga Adelin, membuat ia dan juga Daniel menoleh
ke sumber suara. Mata Adelin terbelalak lebar saat melihat sosok yang dikenalinya
sebagai kekasih Daniel.
“Inez,
kecilkan suaramu.” Seorang gadis di sebelahnya memperingatkan gadis bernama
Inez itu. Suaranya memang cukup keras. Beruntung, suasana restoran saat itu
sedang sepi nyaris tidak ada pengunjung.
Sial benar lelaki ini! Adelin melirik ke arah Daniel. Lelaki ini sudah
menariknya ke dalam pusaran masalah. Ia pikir, Daniel sudah putus hubungan
dengan kekasihnya sehingga berani mengajaknya makan malam hari ini. Astaga- Adelin merutuk menyesali kebodohannya yang lupa pada sosok
penting yang satu ini. Kebahagiaannya saat melihat Daniel di tengah-tengah
acara tadi sudah membuat ia lupa segalanya.
Sekarang
Adelin sudah tidak bisa lari. Ia harus menghadapi labrakan langsung dari
kekasih Daniel. Apalagi ia sampai mengajak seorang temannya. Sepertinya ini
akan menjadi masalah serius. Mendadak Adelin merasa takut. Berada di dekat
Daniel saja sudah membuat jantungnya berdebar tidak menentu. Sekarang ia malah
semakin berdebar-debar saat menghadapi gadis ini. Setelah ini, mungkin ia harus
pergi ke dokter untuk memeriksa kemungkinan adanya gangguan palpitasi3
pada jantungnya.
“Ya,”
jawab Adelin akhirnya. Ia siap dengan apapun yang akan dihadapinya. Lagi pula
ia sudah terbiasa didamprat oleh editornya.
Di
luar dugaan, gadis itu malah tersenyum sumringah lalu menyodorkan tiga novel
hasil karya Adelin.
“Tolong
tanda tangani ini. Aku penggemar novel-novelmu,” ujar Inez dengan antusias
tanpa peduli pada kebingungan yang melanda Adelin. “Hei, Sofia. Mana novel
milikmu?”
Gadis
yang dipanggil Sofia itu juga ikut menyodorkan novel karya Adelin yang ia
miliki. Walau masih merasa bingung, Adelin menuruti saja keinginan dua gadis
ini dengan menanda tangani novel milik mereka.
“Aku
suka dengan cerita-cerita romantis yang kau tulis. Aku pasti bahagia jika kau
menjadi kakak iparku,” ujar Inez tanpa basa-basi.
Daniel
menyenggol tangan Inez sebagai bentuk protes atas apa yang sudah ia katakan.
Namun Inez tampaknya tidak terlalu menghiraukan.
“Adelin,
perkenalkan ini adikku, Inez dan temannya Sofia,” kata Daniel mulai memberi
penjelasan kepada Adelin. “Aku sudah meminta mereka untuk menemuimu seusai
makan malam, tapi seperti yang kau lihat, adikku bukan orang yang sabar.”
Inez
yang mendengar sindiran dari Daniel hanya mendelik dengan galak ke arah
kakaknya itu.
“Dimana
Martin?” Daniel bertanya sambil celingukan melihat sekitar restoran. “Katanya,
dia juga mau ikut kalian?”
Inez
memutar bola matanya. “Seperti biasa, dia tadi sedang merayu kasir baru yang
berjaga di depan.”
“Bahkan
tadi aku sempat mendengar dia menyebut gadis itu dengan sebutan peri kecil.” Sofia
menambahkan. Mereka bertiga lantas tertawa, layaknya sedang menonton acara
lawak di televisi.
“Sudah.”
Adelin berujar dengan singkat, membuat Inez dan Sofia menoleh kepadanya lalu
berujar terima kasih dengan wajah penuh senyuman.
“Nikmati
waktu berdua kalian, ya.” Inez berujar sambil menepuk-nepuk ringan bahu Adelin,
sebelum akhirnya ia melangkah pergi bersama Sofia.
“Jadi, itu tadi adikmu?” Adelin bertanya
meminta kepastian, setelah sosok Inez dan Sofia hilang dari pandangan.
“Ya.”
Daniel menganggukkan kepalanya. “Aku dan Inez pergi liburan bersama ke pantai
tempat kita bertemu. Aku mengajak Martin dan dia mengajak temannya -Sofia.”
Adelin
mengerjapkan matanya tidak percaya. “Aku kira dia... kekasihmu.”
Daniel
tertawa mendengar kata-kata gadis di hadapannya. “Sudah ku bilang, kau ini
benar-benar gadis yang lucu.”
“Saat
itu aku melihat dia berteriak cemas memanggil namamu. Di hari kau tenggelam,
kau ingat? Beberapa saat setelah aku meninggalkanmu untuk mencari bantuan.”
Adelin mencoba bercerita perlahan-lahan. “Mungkin aku terpengaruh pada kata ‘putri
duyung’ yang kau ucapkan. Dalam dongeng itu, putri duyung menolong pangeran
yang tenggelam tapi pangeran salah mengira bahwa gadis yang menghampirinya saat
sadarkan diri itulah yang menolongnya. Mereka berdua menikah, sementara putri
duyung yang patah hati harus mati dan berubah menjadi buih ombak.”
Daniel
kembali tertawa mendengar penuturan dari Adelin. “Tapi aku tidak sebodoh
pangeran itu. Aku mengingat jelas sosokmu yang terus terpatri di sini,” ujar
Daniel sambil menunjuk dada kirinya.
Jantung
Adelin berdebar cepat memacu darah ke pipinya, membuat ia merona seketika
karena mendapat perlakuan manis dari Daniel.
“Ngomong-ngomong,
sejak tadi aku perhatikan, kenapa restoran ini sepi sekali?” Adelin bertanya
sambil menolehkan kepalanya ke samping, sekaligus menyembunyikan wajahnya yang
merah.
“Ya.
Aku sengaja meliburkan restoran khusus hari ini.”
Adelin
melemparkan tatapan penuh tanda tanya ke arah Daniel. “Apa maksudmu dengan meliburkan?”
“Restoran
ini milikku,” ujar Daniel. “Selama kurang lebih lima tahun aku mengembangkan
usaha ini tanpa memikirkan hal lain -termasuk mencari pasangan hidup. Inez yang
mengkhawatirkanku, menyarankan aku untuk berlibur sejenak. Maka dari itu, aku
bisa pergi ke pantai itu. Namun sayang, tubuhku yang lama tidak berolahraga
menjadi kaku hingga nyaris mencelakakan diriku sendiri.”
Adelin
mengangkat alisnya, menunggu Daniel melanjutkan ceritanya.
“Sejak
pertemuanku denganmu,” Daniel berkata sambil menggenggam tangan Adelin di atas
meja. “Tidak pernah satu hari pun aku lewatkan tanpa memikirkanmu. Kau selalu
tampak berkilau di mataku. Kata-kata inilah yang ingin aku katakan padamu sejak
hari itu,” Daniel kembali memberi jeda dalam kata-katanya. Ia menatap
dalam-dalam mata Adelin seperti ingin agar Adelin meresapi setiap kata yang
akan ia ucapkan berikutnya. “Aku mencintaimu.”
Adelin
mendengar kalimat yang diucapkan Daniel dengan begitu jelas dan lugas
kepadanya, membuat darahnya berdesir seperti ombak yang menyapa pasir pantai. Kebuntuan
otaknya beberapa bulan yang lalu sudah membawanya untuk pulang ke kampung
halamannya. Tidak bisa menulis cerita romansa, membuatnya jadi bertemu dengan
Daniel yang kini menjadi tokoh utama dalam kisah hidupnya.
Inilah
kisah cinta yang dituliskan Tuhan untuknya.
* F I N *
1unicorn: makhluk mitologi berbentuk menyerupai kuda
dengan tanduk yang tumbuh di dahinya.
2centaurs: makhluk
mitologi yang memiliki tubuh kuda dengan kepala dan badan manusia.
3palpitasi: istilah medis untuk denyut jantung yang cepat
atau tidak menentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D