Kamis, 02 Juli 2015

Kilau Senyuman



Cerita ini pertama kali diposting pada tanggal 27 Desember 2014 di portalnovel.blogspot.com yang sudah berganti menjadi portalnovel.net . Sekaligus merupakan tulisan pertama yang berani di-publish untuk dibaca banyak orang. \(^-^
Selamat membaca untuk yang belum pernah membaca cerita ini. Dan selamat membaca ulang untuk yang sudah pernah membaca  :D

Gadis itu mematut bayangan dirinya yang terpantul utuh pada cermin besar di hadapannya. Ia mengenakan kaus abu-abu yang dilapisi dengan jaket bertudung yang tampak hangat, dan celana jeans biru gelap sepanjang mata kaki. Sengaja ia memilih pakaian paling nyaman yang sekaligus tidak membuat penampilannya menarik perhatian. Sebuah tas ransel -berisi keperluannya paling tidak untuk seminggu ke depan, bergayut di punggungnya. Setelah mengikat tali sepatunya, gadis itu berjalan mantap keluar dari flat sederhananya.
Sang mentari masih terlelap rupanya. Pagi-pagi buta ia sudah siap untuk berangkat, dengan harapan tidak ada seorang pun yang akan menyaksikan kepergiannya. Ia berangkat menuju stasiun dengan taksi yang sudah ia pesan sehari sebelumnya. Sudah tidak sabar ia ingin segera menaiki kereta panjang yang akan membawanya pergi jauh untuk sementara.
Gadis itu bernama Adelin. Saat ini ia bukan sedang pergi berlibur, karena ini lebih tepat disebut sebagai pergi untuk kabur. Adelin merupakan penulis yang sedang merasakan kebuntuan. Ia merasa terjebak di tengah labirin yang menyesakkan. Deadline yang terus mendekat sementara idenya masih tersendat. Sialnya lagi, editornya itu bukanlah orang yang mudah untuk dirayu. Tanpa segan, editornya akan mengetuk pintu flatnya sekedar melihat perkembangan naskah yang harus ia serahkan tepat pada waktunya.
            Di sinilah Adelin sekarang, duduk di sebuah gerbong dalam kereta yang panjang. Sengaja ia memilih tempat duduk di samping jendela, agar ia tidak perlu mengganggu orang lain jika ia melihat ada sesuatu yang menarik di luar sana. Ia mendesah lega, saat merasakan kereta mulai meluncur meninggalkan kota.
            “Syukurlah semua berjalan lancar,” gumam Adelin.
“Apa yang berjalan lancar?”
            Sebuah sahutan membuat Adelin tersentak dan beringsut menempel pada dinding gerbong kereta. Kewaspadaan yang ia bangun sejak kemarin, membuatnya mudah terkejut pada suara-suara di sekitarnya. Ia selalu merasa takut saat membayangkan editornya berhasil menemukannya. Takut-takut Adelin menoleh pada pemilik suara yang ternyata seorang pemuda kira-kira seusia dengannya, tengah tersenyum lebar kepadanya.
            “Maaf jika aku membuatmu terkejut. Aku hanya heran kenapa ada gadis yang berbicara sendiri, sementara ada lelaki tampan duduk di sampingnya,” ujar lelaki itu sambil kembali tersenyum penuh percaya diri.
            Adelin memperhatikan lelaki di sebelahnya, dan ia mengakui bahwa lelaki ini memang cukup menarik. Kulitnya putih terawat, rambutnya ikal berwarna cokelat, dan alisnya tebal menawan. Ucapan lelaki itu bukanlah bualan, ia memang berwajah tampan.
            “Tidak apa.” Adelin mengangguk ringan. “Aku hanya tidak menyangka akan ada yang menanggapi gumamanku.”
            “Namaku Martin.” Lelaki itu mengulurkan tangannya kepada Adelin. “Namamu siapa?”
            Adelin tidak langsung meyambut uluran tangan yang hangat itu. Sejenak ia terdiam dan hanya memandangi tangan yang terulur tanpa ragu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil kesempatan berkenalan dengan orang baru.
            “Adelin,” kata Adelin singkat sambil menjabat tangan Martin.
            “Nama yang cantik.” Martin melontarkan pujian dengan ringan, seakan-akan hal itu sudah sering ia lakukan.
            Lelaki bernama Martin itu memang sosok yang menyenangkan. Dengan mudah ia menemukan tema yang pas untuk membuka obrolan. Selama perbincangan, Adelin tidak berhenti memperhatikan. Hidung Martin cukup mancung untuk ukuran orang Indonesia, sehingga Adelin menduga ada darah Eropa -mungkin Belanda, yang mengalir di dalam tubuh Martin. Matanya yang bulat berwarna hitam khas Indonesia, tampak berkilat jenaka. Sepertinya Martin cocok menjadi tokoh utama lelaki dalam sebuah cerita.
            “Ah.” Martin tiba-tiba berseru saat melihat jam tangannya. “Aku sampai lupa waktu. Berbincang denganmu sungguh menyenangkan.”
            Adelin hanya menatap lelaki itu dengan tatapan kebingungan.
            “Aku harus kembali ke tempat dudukku.” Martin berkata dengan ekspresi menyesal. “Teman-temanku pasti mencariku.”
            “Jadi, tempat dudukmu bukan di sini?”
            “Bukan,” kata Martin lantas tertawa. “Aku bersama teman-temanku. Tempat dudukku berada tiga gerbong dari sini.”
            “Oh.” Bibir Adelin membulat dengan perasaan kecewa di dalam hati. Baru saja ia merasa bersyukur karena bertemu dengan teman seperjalanan yang baik. Namun ternyata semua itu tidak abadi. Kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia duduk sendiri.
            “Tadi aku sengaja tidak membawa ponsel agar tidak ada yang mengganggu.” Martin mengedipkan satu matanya ke arah Adelin. “Aku usahakan untuk kembali lagi kemari, yang penting sekarang memastikan bahwa teman-temanku tidak sedang mencariku dengan perasaan khawatir.”
            Penjelasan itu membuat Adelin tersenyum lalu mengangguk mengerti.
            “Tapi aku bersyukur pergi ke gerbong ini, karena aku bisa bertemu dengan bidadari,” ucap Martin sambil melangkah pergi.
            Setelah diam sejenak, Adelin lantas tertawa menanggapi gombalan ala buaya yang diucapkan Martin. Bagi Adelin, Martin memang orang yang menyenangkan. Tapi Martin salah besar jika mengira Adelin akan dengan mudah terjerat dalam pesona yang ditebarnya.
* * *
            Kehangatan yang nyaman menjalari kedua kaki telanjang Adelin. Saat ini ia sedang berdiri di tepi pantai dengan telapak kaki yang terbenam dalam pasir pantai yang hangat karena menyerap sinar mentari. Setelah perjalanan yang panjang dengan kereta, Adelin jadi malas untuk banyak bergerak. Ia hanya diam memandang ke arah laut yang biru. Merasakan setiap deburan ombak yang terdengar merdu. Daun pohon kelapa yang berderet saling bergesekan karena ditiup angin, menciptakan suasana yang tenang bagi hati Adelin.
            Gadis itu sudah meninggalkan jaketnya yang hangat di penginapan, dan menggantinya dengan pakaian yang lebih santai. Kaus dengan lengan sepanjang siku dan celana pendek berbahan jeans yang menampakkan kakinya yang jenjang. Ia berbaring di atas pasir pantai dengan santainya, seakan itu tempat tidur pribadinya.
            Jauh di dasar hatinya, sebenarnya Adelin merindukan tempat ini. Seharusnya sudah sejak lama ia berkunjung kemari. Tempat ini adalah kampung halaman dimana ia dibesarkan. Namun semenjak kecelakaan nahas yang merenggut nyawa kedua orang tuanya, Adelin memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya dan semua kenangan di dalamnya. Ia memilih untuk mengambil beasiswa dan kuliah di ibu kota.
            Para penduduk yang tinggal di sini rata-rata bekerja sebagai nelayan, membuka restoran seafood, atau menyediakan penginapan bagi wisatawan yang terkadang datang. Sedangkan orang tuanya yang memang bukan penduduk asli, baru datang setelah mereka menikah. Mereka datang kemari sebagai pengamat kehidupan bawah laut. Namun saat usia Adelin menginjak enam belas tahun, orang tuanya meninggal saat melakukan penelitian di tengah laut. Badai yang dahsyat menghantam kapal yang mereka tumpangi dan menggelamkannya bersama seluruh awak kapal.
            Tanpa sadar, air mata mengalir di sudut mata Adelin. Namun sebuah senyuman juga tercipta di ujung bibirnya, saat membayangkan senyuman kedua orang tuanya. Setidaknya mereka pasti bahagia, meninggal bersama di tempat yang mereka cinta.
* * *
            Adelin membuka matanya dan menatap langit biru yang tampak tak terjangkau. Tanpa sadar baru saja ia tidur pulas dengan air mata yang mengering di sudut matanya. Adelin terduduk saat mendengar suara deburan ombak yang terdengar lebih keras dari sebelumnya. Ia memicingkan mata dan menajamkan pandangannya. Ada seseorang yang sedang berdiri di atas papan selancar dengan lincah. Seakan tengah menunggangi ombak tinggi yang sedang meliuk-liuk dengan indah. Siapa orang itu?
            Penduduk di sini sangat sedikit dan mereka saling mengenal satu sama lain. Begitu juga dengan Adelin. Walaupun ia sudah lama tidak tinggal di sini, tetapi pemuda itu terlihat begitu asing. Akhirnya ia menggelengkan kepalanya, berusaha tidak peduli pada hal yang tidak penting. Baru saja ia akan melangkah pergi saat melihat pijakan lelaki itu sedikit miring. Ia merasa jantungnya runtuh saat melihat lelaki itu terjatuh dan hilang ditelan ombak, hanya menyisakan papan selancarnya yang terombang-ambing.
            Kepanikan melanda hati Adelin. Begitu lama lelaki itu tidak muncul ke permukaan. Bagaimana jika lelaki itu tidak bisa berenang? Atau mungkin kakinya kram? Bagaimana jika ia tenggelam? Pantai begitu sepi. Tidak ada yang bisa menolong orang itu selain dirinya. Dengan hati yang penuh rasa khawatir, Adelin berlari dan melompat ke dalam air.
            Sejak kecil dibesarkan di pesisir pantai, menjadikan berenang sebagai hal yang mudah bagi Adelin. Dengan lincah ia berenang seperti lumba-lumba, lalu menangkap tubuh lelaki itu sebelum tenggelam lebih jauh. Ia menarik tubuh lelaki itu keluar dari air, lalu membaringkannya di atas pasir pantai yang hangat. Dengan tangan yang gemetar, Adelin memeriksa keadaan lelaki itu.
            Astaga! Lelaki ini tidak bernapas. Sekuat tenaga Adelin menekan rasa paniknya. Ia berusaha mengingat cara melakukan pertolongan pertama yang diajarkan orang tuanya. Dengan kedua telapak tangan yang saling bertumpukkan, Adelin menekan-nekan dada lelaki itu. Sepertinya cara itu berhasil, lelaki itu memuntahkan air melalui mulutnya. Namun ini belum berakhir. Lelaki itu masih tergeletak tak berdaya, belum sadarkan diri.
            Adelin menghela napas berat, kemudian ia menatap wajah pangeran tidur ini. Rambutnya yang basah, alisnya melengkung dengan indah, matanya terpejam, hidungnya masih belum bernapas dengan normal. Tanpa sadar, ia menahan napas saat melihat bibir lelaki itu. Pipinya merona saat menyadari bahwa yang harus ia lakukan selanjutnya adalah memberikan napas buatan -yang artinya ia harus menyalurkan udara dari mulutnya ke mulut lelaki asing ini.
            Debaran jantung Adelin seketika berpacu cepat. Ia tidak pernah menyangka beginilah cara ia kehilangan ciuman pertamanya. Selama ini ia selalu selektif dalam memilih pasangan. Ia tidak ingin salah pilih karena ia ingin memiliki kisah cinta seperti orang tuanya yang saling mencintai seumur hidup mereka. Sekali lagi, Adelin menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan cinta. Sekarang ini ia harus memikirkan keselamatan lelaki yang tengah terbaring lemas di hadapannya.
            Sambil menahan rona merah di pipi, Adelin menghirup napas dalam-dalam lalu memberikan napas buatan kepada lelaki di pangkuannya. Berkali-kali hingga lelaki itu terbatuk-batuk dan mulai sadarkan diri. Perlahan lelaki itu membuka matanya sedikit dan menatap ke arah Adelin, lalu ia mulai bergumam samar, “Pu.. putri du..yung?”
            Adelin mengerutkan alisnya mendengar gumaman lelaki ini. Apa katanya tadi? Baru kali ini ia bertemu dengan lelaki yang percaya pada dongeng seperti itu.  Tapi kemudian Adelin berusaha untuk tidak peduli. Kepalanya celingukan, berharap ada penduduk yang lewat dan bisa memberikan pertolongan selanjutnya pada lelaki ini. Tapi suasana yang begitu lengang, membuatnya memutuskan untuk meninggalkan lelaki itu sebentar untuk meminta tolong pada paman di tempat ia menginap.
            Adelin melangkah cepat menuju penginapan. Suami-istri pemilik penginapan itu sudah menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Mereka berdua orang baik yang tidak segan membantu orang lain.
            Tiba-tiba Adelin dikejutkan dengan teriakan seorang gadis yang membuatnya langsung menyentuh dada kirinya. Astaga- hari ini kesehatan jantungnya memang sedang diuji rupanya. Adelin menoleh dan mendapati seorang gadis sedang berteriak cemas di samping lelaki yang baru saja ditolongnya. Jaraknya memang sudah cukup jauh, namun entah mengapa ia memilih untuk bersembunyi di balik sebuah pohon kelapa yang kokoh. Ia melongokkan kepalanya penuh rasa ingin tahu.
            Siapa gadis itu?
            Adelin memicingkan matanya melihat gadis yang tetap terlihat cantik walaupun sedang dilanda kepanikan besar. Topi lebar berwarna merah muda menghiasi kepala yang ditumbuhi rambut panjang yang berkilau di bawah sinar mentari. Terusan panjang bermotif floral terpasang pas di tubuhnya yang ramping. Gadis itu tengah berlutut dan mengguncang-guncangkan tubuh si pangeran tidur.
            “Daniel! Daniel!” Berkali-kali gadis itu berteriak dengan cemas.
            Jadi nama lelaki itu Daniel. Lalu, siapa gadis itu? Hati Adelin dipenuhi segala macam kemungkinan. Gadis itu mungkin kekasihnya, atau mungkin mereka pasangan yang tengah berbulan madu di sini. Adelin menghela napas panjang saat merasakan ada sedikit rasa kecewa yang menghampiri. Andai saja... Buru-buru Adelin menggelengkan kepalanya, berharap pikiran konyolnya terbuang keluar dari benaknya. Lelaki setampan itu barang tentu sudah memiliki pasangan yang pantas mendampinginya. Lagi pula, seharusnya ia bersyukur karena tidak perlu mencari pertolongan lagi untuk lelaki bernama Daniel itu.
            “Adelin.”
            Seseorang menyebut namanya. Suaranya perlahan tapi mampu membuat ia tersentak. Saat Adelin menoleh ke sumber suara itu, ia menyadari bahwa itu lelaki yang ia kenal.
            “Martin?” Adelin berseru tidak percaya.
            Lelaki itu sedang tersenyum ceria seperti sebelumnya. Tangan kanan dan kirinya sedang menggenggam es krim cone yang tampak segar. Adelin sama sekali tidak menyangka bahwa Martin akan berlibur di sini. Tapi selama mengobrol di kereta ia juga memang tidak pernah bertanya dan Martin tidak pernah memberi tahunya.
            “Kenapa kau basah kuyup?” tanya Martin lalu menyantap es krim di tangan kanannya.
            Adelin tidak langsung menjawab. Ia tidak mungkin dengan santai bercerita bahwa ia baru saja menolong orang yang tenggelam. Bagaimanapun lelaki ini juga masih asing baginya.
            “Aku baru saja berenang.”
            Martin menganggukkan kepalanya begitu saja, tanpa melontarkan pertanyaan lainnya. Sehingga Adelin langsung menghela napas lega.
            “Mau es krim?” Martin menyodorkan es krim di tangan kirinya.
            Adelin menelan ludah. Tawaran yang menggiurkan. Tapi tidak. Ini bukan saat yang tepat untuk melahap es krim dengan santai. Adelin menggelengkan kepalanya. Saat ini ia hanya ingin kembali ke penginapan dan mengganti pakaiannya yang basah.
            “Terima kasih. Tapi aku harus pergi.” Adelin berpamitan. “Bye, Martin.”
            Bye, Adelin. Aku harap takdir akan mempertemukan kita kembali.”
            Adelin tersenyum geli lalu melangkah menjauhi Martin. Ia mulai menduga-duga berapa orang gadis yang sudah termakan rayuan gombal lelaki itu.
* * *
            Mata Adelin menatap nyalang ke langit-langit kamar tempat ia menginap. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari, tapi ia tidak merasa mengantuk sama sekali. Dalam benaknya, muncul sosok seseorang. Siapa lagi kalau bukan editornya. Terbayang wajah geram editornya saat mendapati ia tidak ada di flatnya. Lelaki yang disiplin itu pasti kelabakan mencari tahu dimana keberadaannya. Saat ini, editornya -yang berusia sepuluh tahun lebih tua dari Adelin itu pasti sedang menyumpahinya, mengutuk ketenangannya. Dan itu berhasil membuat Adelin tidak bisa tidur malam ini.
            Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Adelin menggelengkan kepalanya untuk menghapus bayangan editornya yang galak itu. Ia kemari untuk berlibur, bukan untuk memikirkan kenapa ia tidak bisa tidur!
* * *
            Suara ketukan di pintu menggelitik telinga Adelin, menariknya bangun dari mimpi samar yang membuai tidurnya. Sambil menggaruk kepala, ia bangkit lalu duduk sebentar di tepi tempat tidurnya.
            Ketukan itu terdengar lagi.
            “Sebentar.”
            Adelin memaksa kakinya melangkah dan membuka pintu. Seorang wanita yang tak lagi muda -mungkin usianya sudah hampir setengah abad- berdiri di balik pintu.  Senyumannya yang ramah mampu mengalahkan kerutan yang muncul di wajahnya. Wanita ini adalah pemilik penginapan tempat Adelin bermalam.
            “Oh- Bibi.” Adelin mengusap matanya yang masih menolak untuk bangun. “Maaf aku baru bangun.”
            “Tidak apa. Kau pasti kelelahan.” Wanita itu tersenyum lagi. “Aku sudah menyiapkan sarapan. Ayo kita makan bersama.”
            “Ya.” Adelin menganggukkan kepalanya. “Aku akan siap-siap dulu.”
            “Baiklah. Aku tunggu di bawah,” ujar wanita itu sambil tersenyum, lantas berlalu meninggalkan kamar Adelin.
            Adelin menatap pintu kamarnya, lalu berbalik dan menatap langit biru berbingkai jendela. Astaga- kenapa langit sudah seterang ini? Adelin mengernyitkan dahi, berusaha mengingat kapan ia tertidur. Padahal ia sudah berencana untuk tidak tidur sampai pagi karena ingin melihat mentari terbit. Tapi kenyataannya ia malah tidur dan bangun kesiangan seperti ini. Ini pagi pertamanya di sini, dan ia seakan memberikan kesan bahwa gadis yang hidup di kota akan menjadi seorang pemalas.
            Adelin mengambil handuk lalu pergi menuju kamar mandi. Ia menyikat gigi dan mencuci muka tanpa ada niatan untuk mandi. Setelah mengganti pakaiannya, ia turun ke lantai satu.
            “Selamat pagi.” Pasangan suami-istri itu tengah duduk di ruang makan dan menyambut kedatangannya dengan hangat.
            Sebuah senyuman tersungging di bibir Adelin. Ia ikut merasa bahagia melihat keharmonisan pasangan ini. Walaupun sudah menikah lama, namun sepertinya cinta mereka sama sekali tidak pudar. Mereka hidup berdua sambil mengurus penginapan ini. Kedua anak mereka kuliah dan bekerja di luar kota, dan hanya pulang saat liburan panjang.
            Sarapan pagi itu berlangsung menyenangkan. Mereka membicarakan hal seputar keadaan desa dan sekitarnya. Dan yang membuat Adelin senang, pasangan suami-istri ini tidak pernah menyinggung sama sekali tentang pernikahan. Di usianya yang menginjak dua puluh lima tahun ini, pertanyaan seputar pasangan dan pernikahan cukup membuat telinganya gatal. Lalu bagaimana dengan cerita-cerita penuh romansa yang selama ini ia tulis? Itu semua berasal dari imajinasi dan kepandaiannya merangkai kata-kata yang manis. Sementara untuk pasangan hidupnya, ia merasa belum menemukan yang cocok.
            Untuk menghapus kesan pemalas pada dirinya karena sudah bangun kesiangan, seusai santap pagi itu Adelin membantu membersihkan meja dan mencuci piring kotor sebelum akhirnya pergi untuk menikmati hari liburnya.
            Saat berjalan melewati kedai es krim, Adelin menghentikan langkahnya. Terbayang es krim cone yang dipegang Martin kemarin. Sebelum air liurnya menetes, ia memutuskan untuk mendatangi kedai dan memesan es krim rasa cokelat. Selama menunggu, ia sempat bersenda gurau dengan paman pemilik kedai es krim yang ia kenal baik sejak ia masih kecil, saat paman itu masih berkerja sebagai nelayan.
            “Terima kasih,” ujar Adelin ramah sambil menerima es krimnya. Segera ia melahap es krim itu sebelum meleleh. Es krim yang lembut memenuhi rongga mulutnya dan memberi  sedikit kesegaran bagi pikirannya.
            “Hei, kau.”
            Seseorang menegur sambil menepuk ringan bahu Adelin. Suara seorang lelaki muda yang maskulin. Adelin berpaling dan menemukan lelaki bernama Daniel itu berdiri menjulang di hadapannya.
            Daniel mengernyitkan dahi mentatap Adelin. Beberapa saat yang lalu ia merasa yakin bahwa ia dan gadis itu pernah bertemu. Namun kini rasa yakinnya pudar dan berubah menjadi ragu. Apalagi ekspresi Adelin yang sedikitpun tidak ramah terhadapnya. Jika memang mereka pernah bertemu, kenapa ia tidak dapat mengingatnya? Kapan dan dimana mereka pernah bertemu? Apa mungkin di kehidupan sebelumnya?
            “Lho? Adelin?”
            Tiba-tiba seorang lelaki muncul dari balik punggung Daniel dan menyapa Adelin dengan sikap yang ceria. Siapa lagi kalau bukan Martin.
            “Sudah ku bilang, kita sudah ditakdirkan untuk bertemu kembali,” ujar Martin sambil merangkul bahu Daniel dengan akrabnya.
            Adelin memutar bola matanya lalu tersenyum masam. Ini bukanlah takdir. Di desa kecil dengan penduduk yang sedikit seperti ini, bukan hal mustahil jika mereka dapat kembali bertemu dengan mudah.
            “Hei, aku kira kau tidak suka es krim,” ujar Martin sambil menunjuk es krim dalam genggaman Adelin.
            Adelin mengangkat satu alisnya. “Makanya, jangan sok tahu! Sejak dulu aku selalu suka es krim.”
            Kerutan kebingungan memenuhi wajah Daniel. Saat melihat Martin menyapa gadis ini dengan akrab, membuatnya menduga apa mungkin ia melihat gadis ini dari deskripsi yang diceritakan Martin padanya? Tapi kapan dan gadis yang mana? Martin terlalu sering bercerita tentang gadis-gadis yang ditemuinya hingga Daniel tidak dapat mengingat mereka satu persatu.
            “Kalian saling mengenal?” Daniel bertanya untuk menjawab pertanyaan yang memenuhi kepalanya.
            Adelin hanya tersenyum sopan kepada dua lelaki di hadapannya lalu mulai berjalan. Biar saja Martin yang menceritakan pertemuan mereka, lagi pula sepertinya mereka teman yang sudah akrab. Saat ini ia sedang ingin menikmati waktunya. Sendiri, tanpa ada yang mengganggunya. Ia juga malas menghadapi para lelaki yang mulutnya sama-sama penuh gombalan semata.
            Hanya ketenangan yang Adelin perlukan sekarang. Sambil tetap melahap es krim dalam genggaman, ia menatap ke arah laut yang sedang pasang. Ombak saling berkejaran menghantam karang. Membuat perasaannya menjadi lebih tenang.
            Adelin sadar ia tidak boleh terus begini. Otaknya harus mencari inspirasi. Tapi saat ini kebuntuan di otaknya bagaikan harga mati. Tak dapat ditawar walau ia memohon sepenuh hati. Ia menatap cone yang sudah tinggal sebuah kerucut kecil, lalu melahapnya dengan sekali gigitan. Saat itulah hadir seorang lelaki yang duduk di sampingnya.
* * *
            Setelah berpisah dari Martin, Daniel memilih untuk berjalan-jalan untuk menikmati pemandangan di daerah ini. Kejadian kemarin membuatnya belum berani kembali berselancar. Ia masih mengingat jelas saat kakinya tergelincir di atas papan selancar, lalu ia jatuh dan mulai merasa sesak. Benar-benar pengalaman yang menyeramkan.
            Seorang gadis yang tengah duduk di tepi pantai tiba-tiba menarik perhatian Daniel. Gadis itu.. dengan latar langit berwana biru di atas kepalanya.. cahaya mentari yang menyinarinya.. membuat sosoknya tampak samar namun semakin jelas dalam benak Daniel. Akhirnya ia ingat siapa gadis itu.
            “Hei.” Daniel duduk begitu saja di samping gadis itu, lalu menyapanya singkat.
            “Hei.” Adelin melirik lelaki asing yang tiba-tiba duduk di sampingnya tanpa permisi. Sahutan singkat yang ia lontarkan hanya sebagai bentuk kesopanannya.
            Pantai ini begitu luas dan lengang, kenapa lelaki ini harus duduk di sampingku yang ingin menikmati waktu senggang?! Adelin merutuk kesal dalam hati. Ia baru menyadari bahwa selalu ada perasaan gugup yang samar saat berada di dekat lelaki ini.
            “Aku sudah ingat siapa kau.” Gumaman Daniel itu meruntuhkan niat Adelin untuk pergi. Baru saja ia berniat untuk pindah dan memilih duduk di bagian lain pantai ini, jika memang Daniel sangat ingin duduk di sini.
            Adelin menaikkan kedua alisnya, menunggu Daniel lanjut berbicara. Sementara hatinya terus berharap semoga lelaki ini bukan salah satu pembaca novel-novel picisannya.
            “Kau yang menolongku kemarin, dan aku tidak menyangka kau mengenal Martin.”
            Adelin menghela napas lega. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, ia sedang tidak ingin dikenali sebagai Adelin si penulis novel cinta.
            “Kau si putri duyung.” Daniel menambahkan.
            Mendengar hal itu membuat Adelin melirik kesal pada lelaki di sampingnya.
            “Martin bilang aku bidadari, kau bilang aku putri duyung. Apa aku harus mengenal temanmu yang lain, yang mungkin akan menyebutku unicorn1 atau centaurus2?”
            Daniel malah tertawa tanpa menghiraukan nada sebal pada kata-kata Adelin.
            “Kau benar-benar gadis yang lucu.” Daniel masih saja tergelak, tanpa peduli pada Adelin yang menatapnya dengan galak.
            “Tidak ada yang lucu menurutku.” Kali ini Adelin menambahkan kadar rasa sebalnya dan memasang wajah cemberut. Ternyata itu cukup untuk membuat Daniel menghentikan tawanya.
            “Maaf,” gumam Daniel. “Aku kemari hanya ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu kemarin. Dan..” Daniel berdeham membersihkan tenggorokannya. “Perkenalkan, aku Daniel,” ujarnya kemudian sambil tersenyum hangat dan mengulurkan tangannya kepada Adelin.
            Sejenak Adelin menatap tangan yang terulur itu lalu menyambutnya tanpa ragu. “Adelin.”
            Setelah saling menyebutkan nama, keduanya hanya diam dan menghayati keindahan pantai yang membentang di hadapan mereka. Air laut yang biru tampak berkilau keemasan saat diterpa sinar mentari. Ombak bergulung saling berkejaran menuju tepi pantai.
            “Kau datang sendiri ke sini?” Suara Daniel beradu dengan angin pantai yang menderu.
            “Ya.” Adelin menjawab singkat sambil menganggukkan kepala. Bukannya lelaki ini tidak menarik, ia hanya sedang malas mengakrabkan diri dengan siapapun. “Kau sendiri?”
            “Aku datang berama-ramai kemari. Bersama Martin, Inez, dan Sofia.”
            Alis Adelin berkerut. Ada dua nama gadis yang disebutkan Daniel. Ia jadi menduga-duga, yang mana yang merupakan nama gadis cantik yang menjadi pasangan lelaki ini?
            “Lalu, apa tidak ada yang marah jika kau duduk di sini, denganku -berdua?”
            “Tidak akan ada yang marah.” Daniel tertawa, lebih seperti menertawakan dirinya sendiri. “Aku jomblo, kau tahu?”
            Dasar lelaki! Dengan mudahnya ia berkata seperti itu padahal kemarin dengan jelas Adelin melihat gadis ­-entah Inez atau Sofia itu menatapnya penuh kasih sayang sambil meneriakkan namanya penuh rasa khawatir.
            “Apa kau pernah melihat mentari terbit dari pantai ini?” Daniel mengganti topik pembicaraannya saat menyadari lagi-lagi kawan bicaranya hanya terdiam dan tidak ikut tertawa.
            “Pernah.” Atau lebih tepat disebut sering. “Dan itu benar-benar indah.”
            Saat mengatakan itu, ingatan Adelin menembus jauh ke dalam kenangan masa lalunya. Masa-masa dimana masih ada kedua orang tua yang menyayanginya. Ia segera menggigit bibirnya untuk menahan air matanya yang nyaris menetes. Ia tidak boleh menangis di hadapan lelaki ini.
            “Benarkah?” Mata Daniel berkilat semangat. “Maukah kau menemaniku melihat mentari terbit?”
            Adelin menaikkan satu alisnya. “Kenapa tidak dengan teman-temanmu saja?” tanya Adelin dengan penekanan pada kata ‘teman’.
            Daniel mendesah lemas. “Mereka orang-orang yang lebih memilih untuk tidur daripada bangun pagi-pagi untuk melihat mentari terbit.”
            Adelin merasa iba pada kawan bicaranya. “Baiklah akan ku pertimbangkan.” Setelah mengucapkan kata-kata yang memunculkan harapan di mata Daniel, Adelin lantas bergegas bangkit dari duduknya. “Tapi sekarang aku harus kembali ke penginapan.
            Daniel tersenyum lebar seperti sengaja memamerkan giginya yang berderet rapi dan putih.
            Adelin mulai melangkah pergi, saat didengarnya Daniel berkata setengah berteriak padanya. “Aku akan menunggumu.”

* * *
            Adelin menguap lebar dan segera menutupnya dengan telapak tangannya. Sejak berpisah dengan Daniel di pantai, ia terus berada di hadapan layar laptopnya. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya -yang ia sendiri tidak tahu itu apa. Maka di sinilah ia sekarang, sedang merangkai ribuan kata yang seakan mengalir begitu saja dalam kepalanya. Inspirasi memang tidak perlu dicari, karena akan datang sendiri seperti sekarang ini.
            Kepala Adelin bergerak menoleh keluar jendela kamarnya. Warna langit tampak terbagi dua. Di satu sisi tampak kemerahan menandakan fajar akan segera tiba. Sementara sisi yang lain berwarna biru gelap dengan bintang yang menyala.
            Tiba-tiba sosok Daniel yang sedang duduk di pantai menyusup ke dalam pikiran Adelin. Apa benar lelaki itu menunggunya? Walaupun merasa ragu, entah kenapa kaki Adelin malah melangkah perlahan keluar dari penginapan menuju ke arah pantai. Begitu tiba di tepi pantai, ia mendapati sosok Daniel yang tampak samar disinari cahaya langit.
            Daniel merasakan kehadiran Adelin di dekatnya, membuat ia menoleh lalu menyambut gadis itu dengan senyuman. Rambut panjang gadis itu melambai ditiup angin. Matanya yang bulat tampak sedikit lelah namun tetap indah di mata Daniel. Menurut Daniel, sosok Adelin dan pemandangan langit pagi ini, merupakan ciptaaan Tuhan yang sama indahnya.
            “Selamat pagi.” Sapaan singkat yang diucapkan Adelin membuyarkan lamunan  Daniel.
            “Selamat pagi.” Daniel membalas lalu tersenyum. “Terima kasih sudah datang. Sempat ku kira aku akan menikmati keindahan ini sendirian.”
            Tidak ada sahutan dari gadis di samping Daniel. Adelin hanya diam dan menatap lurus ke arah langit, seakan memberikan kesempatan kepada Daniel untuk menatapnya lebih lama. Tiba-tiba saja secara impulsif Daniel merangkulkan lengannya ke bahu gadis itu. Namun Adelin tetap bergeming tanpa ada penolakan.
            Entah apa yang ada di pikiran Adelin, sehingga ia dengan suka rela membiarkan Daniel merangkul bahunya dan menghapus jarak di antara mereka berdua. Mungkin karena pemandangan indah di hadapannya, atau memang karena ia menyukainya.
            Secara tiba-tiba Daniel menarik kedua bahu Adelin hingga kini mereka berdiri saling berhadapan. Jantung Adelin berpacu dengan cepat saat Daniel menatap intens ke dalam matanya. Suara debaran jantungnya yang tidak menentu seakan berlomba dengan suara deburan ombak.
            Perlahan Daniel mendekatkan wajahnya, membuat Adelin hanya terdiam pasrah. Lagi pula ia sudah pernah mencium bibir Daniel sebelumnya. Mungkin inilah saatnya untuk ia merasakan ciuman yang sesungguhnya. Namun saat Adelin memejamkan matanya, wajah gadis cantik yang meneriaki Daniel muncul di benaknya. Bagaimana perasaan gadis itu jika mengetahui hal ini terjadi? Adelin membuka mata dan menatap wajah Daniel. Ia juga tidak ingin pasangannya nanti mencium gadis selain dirinya. Jadi, ia harus menghentikan ini sekarang juga.
            “Astaga!” Adelin berseru sewajar mungkin, membuat Daniel menatapnya dengan terkejut. “Aku baru ingat, ada urusan yang harus aku kerjakan.”
            Daniel menatap Adelin dengan raut wajah kebingungan.
            “Maaf. Tapi aku harus pergi sekarang,” ujar Adelin sambil menepuk bahu Daniel yang masih termangu. “Terima kasih atas waktunya.”
            Menurut Adelin, ia harus pergi dari desa kecil ini, segera kembali pada tanggung jawabnya. Bagaimanapun ia akan mengahadapi editornya yang galak daripada harus merusak hubungan percintaan orang lain hanya karena terbawa suasana.
            Adelin pergi dengan langkah-langkah lebar, meninggalkan Daniel yang terpaku manatap kepergiannya sambil tersenyum hambar.
* * *
            Adelin duduk di sebuah kursi dengan meja besar di hadapannya. Saat ini ia tengah mengikuti acara launching buku yang diadakan oleh penerbitnya. Bersama dua orang penulis lain, ia berkunjung ke beberapa toko buku besar di ibu kota sesuai dengan yang telah dijadwalkan oleh penerbit. Dan saat ini sudah memasuki acara pembagian tanda tangan. Beberapa orang berbaris rapi di hadapannya, membawa novel -hasil karyanya yang baru sebulan lalu diterbitkan, yang nanti akan ia tanda tangani.
            Setelah meninggalkan Daniel -lelaki yang hampir menciumnya saat mentari terbit beberapa bulan lalu, Adelin bergegas pulang ke flat sederhananya dan menyelesaikan novel yang tengah ia tulis. Walaupun ia harus bersedia didamprat oleh editornya karena terlambat dua hari dari batas waktu yang telah ditentukan, namun pada akhirnya novelnya diterbitkan setelah melewati beberapa kali revisi. Editornya juga sempat melontarkan pujian yang membuat Adelin bangga.
            “Saya suka dengan novel yang kamu tulis ini -walaupun terlambat dan banyak kesalahan ketik, tapi saya suka alur cerita dan caramu menggambarkan perasaan para tokohnya.” Editornya itu menatap Adelin penuh selidik.  “Apa kau sedang jatuh cinta?”
            Pipi Adelin merona saat pujian itu terngiang di dalam benaknya. Syukurlah jika editornya suka, dan semoga para pembaca setianya juga menyukai cerita yang ia tulis secara kilat itu. Astaga- Adelin menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Bagaimana mungkin ia memikirkan  hal lain saat sedang menghadiri acara penting seperti ini.
            Para pembaca yang hadir hari ini memuji karya Adelin, membuat gadis itu berujar terima kasih dengan tulus. Terkadang ia juga mengobrol singkat sebelum akhirnya menandatangani buku yang di sodorkan padanya. Sudah sepuluh buku yang ia tanda tangani, namun ia tidak merasa lelah sama sekali. Ia merasa bahagia karena orang-orang menyukai karyanya.
            Buku selanjutnya disodorkan di hadapannya. Secarik kertas kecil, seperti sengaja ditempelkan pada cover bukunya. Sesuatu tertulis di situ.
            Adelin,
            Maukah kau pergi makan malam
denganku malam ini?  

Adelin             mendongakkan kepalanya dengan jantung yang berdegup dengan kencang. Lelaki jangkung itu berdiri di hadapannya, membuat ia tercengang. Bukannya memberi tanda tangan, tangan Adelin yang memegang pulpen malah menuliskan nomor ponselnya di bawah tulisan singkat itu.
“Hubungi aku setelah acara ini selesai,” ujar Adelin kemudian.
Lelaki itu mengangguk mengerti lalu pergi dari hadapan Adelin.
* * *
 Adelin menerima ajakan makan malam dari lelaki yang masih tidak dapat ia percaya akan muncul kembali di hadapannya. Lelaki itu adalah Daniel. Maka di sinilah mereka sekarang, saling duduk berhadap-hadapan di dalam sebuah restoran yang dipilih Daniel. Mereka memegang buku menu di tangan masing-masing. Namun Daniel sepertinya sama sekali tidak peduli dengan buku menu itu. Sosok gadis di hadapannya jauh lebih menarik perhatiannya. Gadis itu setengah menunduk membaca buku menu. Alisnya yang hitam, matanya yang bulat, hidungnya yang mencuat dengan indah, bibirnya yang berwarna merah muda, semua tampak sempurna di atas kulit putihnya yang merona.
Daniel tidak pernah lupa. Sejak pertama kali mereka bertemu, saat Adelin menolongnya -yang dengan bodohnya nyaris tenggelam saat berselancar, ia sudah jatuh cinta sejak pertama kali ia melihat sosok Adelin. Tuhan sudah memberinya kesempatan hidup untuk kedua kalinya, hanya untuk bertemu gadis itu. Ia tidak berbohong, saat ia salah menyangka Adelin sebagai putri duyung yang merupakan makhluk mitos yang kabarnya sangat cantik itu.
“Hei. Anda yang bernama Adelin, bukan?”
Suara seorang gadis menggelegar di telinga Adelin, membuat ia dan juga Daniel menoleh ke sumber suara. Mata Adelin terbelalak lebar saat melihat sosok yang dikenalinya sebagai kekasih Daniel.
“Inez, kecilkan suaramu.” Seorang gadis di sebelahnya memperingatkan gadis bernama Inez itu. Suaranya memang cukup keras. Beruntung, suasana restoran saat itu sedang sepi nyaris tidak ada pengunjung.
Sial benar lelaki ini! Adelin melirik ke arah Daniel. Lelaki ini sudah menariknya ke dalam pusaran masalah. Ia pikir, Daniel sudah putus hubungan dengan kekasihnya sehingga berani mengajaknya makan malam hari ini. Astaga- Adelin merutuk menyesali kebodohannya yang lupa pada sosok penting yang satu ini. Kebahagiaannya saat melihat Daniel di tengah-tengah acara tadi sudah membuat ia lupa segalanya.
Sekarang Adelin sudah tidak bisa lari. Ia harus menghadapi labrakan langsung dari kekasih Daniel. Apalagi ia sampai mengajak seorang temannya. Sepertinya ini akan menjadi masalah serius. Mendadak Adelin merasa takut. Berada di dekat Daniel saja sudah membuat jantungnya berdebar tidak menentu. Sekarang ia malah semakin berdebar-debar saat menghadapi gadis ini. Setelah ini, mungkin ia harus pergi ke dokter untuk memeriksa kemungkinan adanya gangguan palpitasi3 pada jantungnya.
“Ya,” jawab Adelin akhirnya. Ia siap dengan apapun yang akan dihadapinya. Lagi pula ia sudah terbiasa didamprat oleh editornya.
Di luar dugaan, gadis itu malah tersenyum sumringah lalu menyodorkan tiga novel hasil karya Adelin.
“Tolong tanda tangani ini. Aku penggemar novel-novelmu,” ujar Inez dengan antusias tanpa peduli pada kebingungan yang melanda Adelin. “Hei, Sofia. Mana novel milikmu?”
Gadis yang dipanggil Sofia itu juga ikut menyodorkan novel karya Adelin yang ia miliki. Walau masih merasa bingung, Adelin menuruti saja keinginan dua gadis ini dengan menanda tangani novel milik mereka.
“Aku suka dengan cerita-cerita romantis yang kau tulis. Aku pasti bahagia jika kau menjadi kakak iparku,” ujar Inez tanpa basa-basi.
Daniel menyenggol tangan Inez sebagai bentuk protes atas apa yang sudah ia katakan. Namun Inez tampaknya tidak terlalu menghiraukan.
“Adelin, perkenalkan ini adikku, Inez dan temannya Sofia,” kata Daniel mulai memberi penjelasan kepada Adelin. “Aku sudah meminta mereka untuk menemuimu seusai makan malam, tapi seperti yang kau lihat, adikku bukan orang yang sabar.”
Inez yang mendengar sindiran dari Daniel hanya mendelik dengan galak ke arah kakaknya itu.
“Dimana Martin?” Daniel bertanya sambil celingukan melihat sekitar restoran. “Katanya, dia juga mau ikut kalian?”
Inez memutar bola matanya. “Seperti biasa, dia tadi sedang merayu kasir baru yang berjaga di depan.”
“Bahkan tadi aku sempat mendengar dia menyebut gadis itu dengan sebutan peri kecil.” Sofia menambahkan. Mereka bertiga lantas tertawa, layaknya sedang menonton acara lawak di televisi.
“Sudah.” Adelin berujar dengan singkat, membuat Inez dan Sofia menoleh kepadanya lalu berujar terima kasih dengan wajah penuh senyuman.
“Nikmati waktu berdua kalian, ya.” Inez berujar sambil menepuk-nepuk ringan bahu Adelin, sebelum akhirnya ia melangkah pergi bersama Sofia.
 “Jadi, itu tadi adikmu?” Adelin bertanya meminta kepastian, setelah sosok Inez dan Sofia hilang dari pandangan.
“Ya.” Daniel menganggukkan kepalanya. “Aku dan Inez pergi liburan bersama ke pantai tempat kita bertemu. Aku mengajak Martin dan dia mengajak temannya -Sofia.”
Adelin mengerjapkan matanya tidak percaya. “Aku kira dia... kekasihmu.”
Daniel tertawa mendengar kata-kata gadis di hadapannya. “Sudah ku bilang, kau ini benar-benar gadis yang lucu.”
“Saat itu aku melihat dia berteriak cemas memanggil namamu. Di hari kau tenggelam, kau ingat? Beberapa saat setelah aku meninggalkanmu untuk mencari bantuan.” Adelin mencoba bercerita perlahan-lahan. “Mungkin aku terpengaruh pada kata ‘putri duyung’ yang kau ucapkan. Dalam dongeng itu, putri duyung menolong pangeran yang tenggelam tapi pangeran salah mengira bahwa gadis yang menghampirinya saat sadarkan diri itulah yang menolongnya. Mereka berdua menikah, sementara putri duyung yang patah hati harus mati dan berubah menjadi buih ombak.”
Daniel kembali tertawa mendengar penuturan dari Adelin. “Tapi aku tidak sebodoh pangeran itu. Aku mengingat jelas sosokmu yang terus terpatri di sini,” ujar Daniel sambil menunjuk dada kirinya.
Jantung Adelin berdebar cepat memacu darah ke pipinya, membuat ia merona seketika karena mendapat perlakuan manis dari Daniel.
“Ngomong-ngomong, sejak tadi aku perhatikan, kenapa restoran ini sepi sekali?” Adelin bertanya sambil menolehkan kepalanya ke samping, sekaligus menyembunyikan wajahnya yang merah.
“Ya. Aku sengaja meliburkan restoran khusus hari ini.”
Adelin melemparkan tatapan penuh tanda tanya ke arah Daniel. “Apa maksudmu dengan meliburkan?”
“Restoran ini milikku,” ujar Daniel. “Selama kurang lebih lima tahun aku mengembangkan usaha ini tanpa memikirkan hal lain -termasuk mencari pasangan hidup. Inez yang mengkhawatirkanku, menyarankan aku untuk berlibur sejenak. Maka dari itu, aku bisa pergi ke pantai itu. Namun sayang, tubuhku yang lama tidak berolahraga menjadi kaku hingga nyaris mencelakakan diriku sendiri.”
Adelin mengangkat alisnya, menunggu Daniel melanjutkan ceritanya.
“Sejak pertemuanku denganmu,” Daniel berkata sambil menggenggam tangan Adelin di atas meja. “Tidak pernah satu hari pun aku lewatkan tanpa memikirkanmu. Kau selalu tampak berkilau di mataku. Kata-kata inilah yang ingin aku katakan padamu sejak hari itu,” Daniel kembali memberi jeda dalam kata-katanya. Ia menatap dalam-dalam mata Adelin seperti ingin agar Adelin meresapi setiap kata yang akan ia ucapkan berikutnya. “Aku mencintaimu.”
Adelin mendengar kalimat yang diucapkan Daniel dengan begitu jelas dan lugas kepadanya, membuat darahnya berdesir seperti ombak yang menyapa pasir pantai. Kebuntuan otaknya beberapa bulan yang lalu sudah membawanya untuk pulang ke kampung halamannya. Tidak bisa menulis cerita romansa, membuatnya jadi bertemu dengan Daniel yang kini menjadi tokoh utama dalam kisah hidupnya.
Inilah kisah cinta yang dituliskan Tuhan untuknya.

* F  I  N *

1unicorn: makhluk mitologi berbentuk menyerupai kuda dengan tanduk yang tumbuh di dahinya.
2centaurs:  makhluk mitologi yang memiliki tubuh kuda dengan kepala dan badan manusia.
3palpitasi:  istilah medis untuk denyut jantung yang cepat atau tidak menentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D