Selasa, 30 Juni 2015

Red Lie - Chapter 10


Sudah beberapa hari terakhir Leo tampak muram. Malaikat tampaknya sengaja membuat membuat aura di sekitar Leo menghitam. Pekerjaannya menumpuk, bahkan ia sama sekali tak berminat untuk menyentuhnya. Leo meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak hening di meja kerjanya. Sesekali ia melirik dengan penuh harap agar beberapa pesan yang telah ia kirimkan mendapatkan balasan.

Ditengah keheningan yang menyelimuti ruangan Leo, Leo memukul meja kerjanya dengan kesal. Kemudian ia beranjak menuju jendela besar yang membingkai pemandangan gedung abu-abu terang yang dihiasi dengan pot-pot bunga yang diletakkan berjajar di setiap balkon. Leo melipat tangannya di luar kemeja hitam yang senada dengan perasaannya, menyandarkan kepalanya pada salah satu sisi dinding menonjol yang mengapit jendela.

Tepat setelah ia mengembuskan napas beratnya, ponselnya berdering. Membuat lelaki itu berjingkat untuk segera menghampiri benda itu. Adam. Embusan napas kekecewaan mengudara. Bukan ini yang ia nantikan. Dengan berat hati Leo menjawab panggilan Adam agar benda berisik itu berhenti mengganggu telinganya.

“Ada apa?”

“Bagaimana tentang proposal yang ku berikan? Apa aku bisa mendapatkan dananya?”

Tentu saja Leo belum sempat membukanya. Perhatiannya masih sibuk tertuju pada seseorang. Seseorang yang mulai mengabaikannya beberapa hari terakhir, membuatnya gelisah— ralat, sangat gelisah.

“Aku belum membukanya. Tapi kupastikan dana itu akan keluar untuk acaramu.”

“Tentu saja harus. Ini Belanda…” Adam menegaskan. “Aku sudah lama menantikan ini. Akhirnya Adam akan go international.” Ujar Adam membanggakan diri.

“Oke. Aku akan membaca proposalmu secepatnya. Maaf, aku sedang sibuk.” Leo memutuskan percakapan tanpa menunggu balasan Adam. Ada yang lebih penting yang harus dipikirkan. Seperti misalnya… Belanda…
***

Trisia keluar dari ruangan Harry dengan linglung. Ia tidak tidur hampir semalaman, bukan karena pekerjaan membabi buta yang ditugaskan bosnya seperti biasa. Bukan juga karena ia memikirkan Leo yang tanpa henti membanjirinya dengan perhatian. Ini karena Tomi. Sudah empat hari sejak Tomi meninggalkannya. Trisia tak pernah berhenti mengiriminya pesan singkat setiap hari, bahkan meski ia tahu bahwa pesan itu tak pernah sampai pada Tomi.

Ia sedang dalam perjalanan menuju bagian humas, kedua tangannya terbenam dalam saku blazer beludru hitam yang ia kenakan. Entah mengapa kali ini jarak antara ruangan Harry dan lift terasa begitu jauh. Trisia melangkah dengan malas. Ia tahu ini tidak sopan. Untungnya lantai lima tidak seramai lantai lainnya yang padat dengan aktivitas berbagai kalangan. Ia merunduk, memerhatikan langkahnya yang menyilang mengikuti garis lantai.

“Trisia,” Seseorang menyentak lengannya, membuat gadis itu terkejut. “katakan ada apa denganmu?”

Trisia yang sempat mengalami disorientasi, mengerjapkan matanya beberapa kali. Bagai sadar dari sebuah hipnotis, Trisia segera melepaskan tangan besar yang menggenggam lengannya dan dengan cepat menutupi perasaannya.

“Tidak ada apa-apa pak, maafkan atas ketidaksopanan saya.” Ia menundukkan kepala menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan malu atas tindakannya.

“Jika tidak ada apa-apa, mengapa kau seperti ini?” Rahang lelaki itu mengeras. Ia menuntut jawaban yang masuk akal.

“Tolong… Ini di kantor.”

“Masa bodoh!” Nadanya meninggi, “kenapa kau tidak membalas pesanku? Tidak mengangkat telponku, bahkan kau menghindariku.”

“Saya akan menjelaskannya nanti. Permisi, pak Harry memberi saya tugas.” Gadis itu berbalik, kemudian dengan cepat berusaha mencapai lift dengan setengah berlari. Sial, kenapa lift ini tak kunjung terbuka, batin Trisia yang terus menerus menekan tombol turun.

“Tris,” Leo meraih tangan Trisia, “aku tak merasa bersalah padamu. Apa yang…” Lift terbuka sebelum Leo sempat menyelesaikan pertanyaannya. Trisia segera melepaskan tangan Leo sebelum pintu lift terbuka sempurna, kemudian melompat masuk ke dalam kotak besi dan menundukkan kepala sejenak untuk berpamitan tepat sebelum pintu tertutup.
***
Raut kecewa tampak jelas di wajah Leo. Ia mengusap rambutnya yang mulai memanjang dengan kedua tangannya, seperti yang selalu ia lakukan ketika ia merasa frustasi. Ia masih saja menatap pintu lift yang telah tertutup sejak beberapa detik yang lalu.

Ada apa ini? Batin Harry yang sempat menyaksikan drama kecil antara kedua orang itu. Mungkinkah ada sesuatu yang tidak ia ketahui?

Harry berbalik, kembali menuju ruangannya sebelum Leo menyadari keberadaannya. Pikirannya masih berkutat dengan kejadian barusan. Ia menyandarkan dirinya pada sofa krem yang terletak di sudut  ruangan.

Apakah hubungan Leo dan Trisia sudah seakrab itu tanpa sepengetahuannya? Apakah foto yang diamati oleh Leo tempo hari adalah foto Trisia? Beragam spekulasi memenuhi kepalanya. Tangannya mengepal, rahangnya mengetat, napasnya memburu sebagai bentuk emosinya.

Ini tak boleh dibiarkan. Leo tak boleh mengganggu rencananya. Ia harus bergerak cepat sebelum rencananya berantakan. Mungkin dengan memindahkan Trisia ke anak perusahaan yang terpencil? Atau mengirim Leo ke luar negeri?

Suara ketukan yang diikuti pintu yang tebuka membuyarkan lamunan Harry. Matanya menggelap ketika melihat gadis itu melenggang menuju meja kerja Harry yang terletak pada sisi berlawanan. Gadis itu menoleh untuk menemukan sosok Harry hingga mereka bertemu mata.

Trisia tersenyum sopan, “Saya sudah menemui bu Dian, menurut beliau sebaiknya bakti sosial dilakukan ketika hari libur, sehingga perwakilan setiap divisi bisa membantu berjalannya acara.”

Hening. Harry mencondongkan tubuhnya ke depan, menopang siku dengan lututnya, menyatukan kedua telapak tangannya dengan sebuah genggaman, kedua ibu jarinya menyangga dagunya yang terasa kasar. Pandangannya lurus pada gadis yang senyumnya baru saja surut dari bibirnya, berganti dengan kecemasan.

“Bagaimana menurut bapak?” Suara ragu Trisia semakin memelan, sementara Harry masih saja memandangnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Trisia mulai berdiri dengan gelisah.

“Apa yang barusan kau lakukan?” Harry bertanya dengan ketus.

Trisia terperangah saat mata hitam itu menatapnya dingin. Lelaki ini seperti begitu membencinya, “Saya menemui ibu Dian bagian humas. Bukankah bapak baru saja memberikan tugas kepada saya?”

Ruangan itu kembali sunyi. Harry beranjak, melintasi ruangan seperti singa yang hendak melahap mangsanya. “Apa yang barusan kau lakukan dengan Leo?” Suaranya terdengar begitu tajam, dingin, dengan kemurkaan yang nyaris tak terkendali.

Tubuh Trisia gemetar. Ia merasa begitu lelah. Seolah tak cukup dengan masalah Tomi yang tiba-tiba menghilang, kini ia harus berhadapan dengan Harry. Ia ingin meneriakkan segala kerisauan hatinya, menjauh dari kehidupannya yang begitu rumit.

“Tidak ada apa-apa pak. Saya hanya kebetulan saja bertemu di depan lift.”

“Hanya itu?” Harry menyeringai sinis, “Apakah ada yang kau sembunyikan dariku?”

“Tidak ada pak.” Trisia menundukkan pandangannya. Jemarinya bertautan, membuatnya tampak tak meyakinkan.

Harry melangkah, mendekat pada Trisia, “Memangnya apa yang ada di kepalamu?” Nada suara Harry menyiratkan banyak hal, tapi Trisia berusaha mengabaikannya dan memaksa dirinya agar tetap tenang. “Jangan mengharapkan yang tidak-tidak.”

Trisia melangkah mundur beberapa senti untuk membuat jarak dengan bosnya. “Saya mengerti,” ujar Trisia pelan.

“Jika kau masih berani mendekati Leo, aku akan melakukan sesuatu yang lebih buruk dari sekedar memecatmu.” Harry memperingatkan, kemudian menjauh dan kembali menuju meja kerjanya. “Kau sama saja seperti wanita itu.”
***
Wanita itu?

Siapa wanita yang dimaksud oleh Harry?

Trisia bergeming, air mata hangat mengembang di pelupuknya. Namun ia masih berusaha menahan agar air mata itu tidak sampai terjatuh. Setelah mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan melalui mulutnya, Trisia mengangkat kepalanya, berdiri di depan meja kerja Harry, “Apa masih ada yang bisa saya lakukan?” Suaranya sedikit bergetar.

“Tidak.” Ujar Harry tanpa memandang Trisia sedikitpun.

“Kalau begitu, saya permisi.”

Dengan tergesa-gesa Trisia melangkah keluar dari ruangan itu. Dadanya terasa begitu sesak. Jantung Trisia berdetak hebat saat ia akhirnya menyandarkan tubuh di balik pintu kayu ruangan Harry. Ia tak tahu mengapa hidupnya selalu sulit. Apa yang sebenarnya telah dilakukannya di masa lalu hingga ia begitu akrab dengan kesulitan?

“Tris, kau kenapa?” Liana—sekretaris Harry yang baru saja memasuki pintu kaca yang menghubungkan koridor dengan bagian luar ruangan Harry menyapa.

“Tidak apa-apa. Seperti biasa, sepertinya aku lagi-lagi membuat bos marah.” Ia mencoba menutupi permasalahan sebenarnya.

“Bersabarlah. Sebentar lagi jam makan siang. Kita bisa ke kantin.” Liana tersenyum, menepuk pundak Trisia untuk menenangkannya.

“Baiklah, aku akan ke toilet sebentar. Tunggu aku ya.”

Trisia mempercepat langkahnya, air mata itu kembali memenuhi pelupuknya. Tanpa terbendung lagi, air mata itu jatuh tepat setelah Trisia menutup pintu toilet. Ia menyandarkan tubuhnya pada salah satu sisi dinding toilet, membiarkan air mata yang sedari tadi ditahannya lolos. Trisia merasa kecewa pada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu mudah terlena dengan perhatian Leo hingga ia harus menghadapi masalah baru?

Leo…

Trisia masih tak mengerti dengan apa yang ia rasakan untuk lelaki itu. Mungkin hanya sekedar rasa nyaman atas perhatiannya. Perhatian yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari Tomi. Tapi ini tak boleh berlanjut atau Harry akan melakukan sesuatu yang lebih buruk yang tak akan mampu diprediksi oleh Trisia.

Ponsel Trisia bergetar, membuat lamunannya terhenti. Sebuah panggilan menunggu untuk direspon oleh Trisia. Namun gadis itu hanya menatapnya, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku blazernya. Trisia mengusap air matanya, kemudian menuju wastafel yang ada di samping bilik toilet. Ia menangkupkan kedua tangannya, menadah air untuk membasuh wajahnya. Matanya masih memerah. Ia mematut dirinya di depan cermin besar yang terpasang memanjang di atas wastafel sebelum akhirnya ia kembali pada Liana yang telah menantinya.
***

Ia tak sengaja melihatnya. Wajahnya yang memerah dengan mata berkaca-kaca. Mungkinkah sesuatu telah terjadi? Kecemasan mulai menggelayuti lelaki itu. Ia menggeser ibu jari yang mendarat pada layar ponselnya, mencari sebuah nama yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya. Selepas ia menemukan nama itu, ia menyentuh gambar gagang telpon yang akan menghubungkannya dengan gadis itu. Tak ada jawaban. Kembali ia mengulanginya dengan hasil nihil.

Ia sudah mulai memahami Trisia Arissandy. Gadis yang ceria, tak mudah menyerah, pekerja keras dan sensitif. Ia telah memperoleh semua fakta yang ia butuhkan tentang Calista dan beberapa fakta mengejutkan tentang anak perempuannya. Sisanya tinggal bagaimana ia akan menggunakan Trisia untuk mendekati tujuannya. Tapi entah apa yang terjadi padanya, ia telah terjebak dalam rencananya sendiri. Andai saja gadis itu bukan putri Calista.

Gadis itu benar-benar membuatnya tak berhenti memikirkannya. Bahkan sejak pertama kali ia melihatnya di club tempo hari. Tentu saja sebelum fakta bahwa gadis itu adalah putri Trisia sampai di telinganya. Dan setelahnya, ia justru berkali-kali lipat terus memikirkan tentang gadis itu, juga tentang kegagalannya.

Leo bukan orang yang pandai memendam amarahnya. Ia memang dilahirkan sebagai seorang pemarah dan dengan cepat kemarahannya akan muncul ke permukaan begitu sesuatu mengganggunya. Dengan kasar ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja kerjanya. Bagaimanapun juga ia harus bicara pada gadis itu.

Leo sempat mengintip bagian luar ruangan Harry melalui pintu kaca. Meja sekretarisnya yang berseberangan dengan meja Trisia tampak kosong. Mungkin mereka sudah ke kantin, pikir Leo. Ia berbalik, mempercepat langkahnya menuju lift khusus dan menekan tombol ke bawah berulang kali meski ia tahu cukup sekali ia menekannya. Lift khusus dengan cepat terbuka dan membawanya menuju ke lobi. Tepat saat ia keluar dari lift, Trisia dan Liana berada beberapa meter di depan pintu lift umum. Leo mempercepat langkahnya, kemudian meraih tangan Trisia, membuat gadis itu tersentak.

“Kita perlu bicara.” Pandangan Leo begitu tajam dan intens. Membuat kekhawatiran Trisia memuncak, memelintir isi perutnya.

Trisia menarik tangannya dari genggaman tangan Leo. Namun tampaknya kali ini Leo tak main-main. Genggaman Leo terlalu kuat untuk Trisia. “Tolong jangan seperti ini. Ini di kantor.” Trisia membentak dengan bisikan. Namun Leo tak akan membiarkan gadis itu lolos lagi.

Trisia mengalihkan pandangannya, melirik ke arah Liana, alisnya menyatu di atas mata hijaunya yang cantik. Tatapan matanya seolah mengatakan tolong-aku, namun Liana yang sama sekali tak memahaminya justru terpaku menatap mereka berdua.

Mengikuti arah pandang Trisia, Leo menaikkan alisnya, “Maaf, aku ada perlu dengannya.”

Leo menarik paksa Trisia yang mencoba mempercepat langkahnya untuk menjajari Leo agar tak terlalu mendapat perhatian dari sekitarnya, meski ia tahu seluruh pandangan mata tertuju pada mereka.
***

“Apa yang ingin anda bicarakan?” Tanya Trisia dengan kesopanan yang dibuat-buat begitu mereka selesai memesan makan siang di sebuah restoran tempat mereka biasa makan siang.

“Bersikaplah biasa, ini bukan di kantor,” nada kesal terdengar jelas dalam suara Leo. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa kau bersikap seolah kau tak mengenalku?”

“Karena itu lebih baik. Aku menyadari siapa diriku. Kurasa aku tak pantas bergaul dengan orang kaya sepertimu.”

Leo menyeringai, “Kautahu atau kaurasa?”

Tubuh Trisia mendadak kaku. Ia tak mampu menjawab pertanyaan sepele yang dilontarkan Leo. Ia merasa murka karena semua orang terasa begitu menekannya. Mereka tak pernah tahu bagaimana perasaan gadis itu. Tidak satupun.

“Lalu apa kau pikir itu cara yang pantas untuk memutuskan hubungan dengan orang kaya sepertiku?” tanya Leo lagi.

“Aku…” Trisia menelan ludah ketika keraguan menusuknya, “aku tak punya pilihan.”

Mata Leo berkilat, “Kau selalu punya pilihan.”

Tidak. Tidak jika Trisia mengharapkan kehidupannya akan berjalan dengan tenang dan nyaman. “Mengapa kau seperti ini? Tidak bisakah kau melepaskanku? Aku hanya ingin hidup dengan tenang. Sudah cukup beban yang kutanggung, kumohon mengertilah.”

“Tidak. Aku tak bisa.” Nada Leo melembut.

“Kenapa?”

“Karena aku…” Kalimat Leo terpotong ketika ponsel Trisia berdering. Nomor asing.

“Ya?” Ujar Trisia. Ia terdiam sejenak untuk mendengarkan lawan bicaranya, kemudian raut wajahnya berubah. Antara sedih, kecewa atau… “Baiklah, akan kuusahakan datang.” Lanjut Trisia yang kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. Trisia terdiam, arah pandangannya lurus menatap ponselnya, kemudian setitik air mata jatuh membasahi wajahnya. Dengan cepat Trisia mengusapnya.

“Apa yang terjadi?” Tanya Leo khawatir.

Trisia berusaha menyembunyikan perasaannya, namun begitu menatap mata Leo yang memandangnya dengan lembut, membuat air matanya kembali luruh. Cepat-cepat Trisia mengusapnya kembali, “Tomi…” Ia menjeda, “dia akan melangsungkan pertunangannya minggu depan. Dia memintaku datang.”

Leo terperanjat. Yang ia ketahui Tomi adalah si rambut merah—pacar yang begitu kasar pada Trisia. Cerita mengenai Tomi pun mengalir dari bibir Trisia dan Leo mendengarkannya dengan saksama.

“Aku akan menemanimu ke pertunangan Tomi agar mereka tak menghinamu.” Leo memberikan sebuah penyelesaian “Tunjukkan bahwa kau masih bisa melanjutkan hidupmu tanpa orang-orang sombong itu,” lanjutnya, “Tapi bisakah kau melakukan sesuatu untukku?”

“Apa itu?”

“Ikutlah denganku ke Belanda.”


Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D