Senin, 15 Juni 2015

Orange Sunset (Empat)

Selamat malam! (^o^)
Hari ini Orange Sunset (Empat) kembali lagi didedikasikan untuk Irene Nadia Zabrina yang sampai menangis malam-malam karena membaca Orange Sunset. Jangan-jangan punya pengalaman serupa, ya? Hehehe.
Jadi, selamat membaca dan ditunggu komentarnya.


“BAGAIMANA pertemuanmu dengan Rangga kemarin?”

“Apa?” Alih-alih menjawab pertanyaan Silvia, Jihan malah balik bertanya dengan mata terbelalak lebar. Benaknya secara otomatis memutar kembali pertemuannya dengan Rangga kemarin. Mungkinkah lelaki itu menceritakannya kepada Silvia? Yah... tetapi itu wajar saja mengingat kedekatan mereka yang sudah seperti sepasang kekasih.

Silvia terkekeh melihat ekspresi terkejut Jihan. Ia yakin sahabatnya itu sedang tidak fokus ketika mendengar pertanyaannya tadi. “Astaga. Ini masih pagi dan kau sudah melamun.”

Kening Jihan mengernyit dalam. Ia sedang tidak melamun dan bisa mendengar pertanyaan Silvia dengan jelas. Gadis itu menanyakan tentang pertemuannya dengan Rangga kemarin. Pertemuan yang sama sekali tidak sengaja. Dan sepertinya lebih baik ia meminta maaf kepada Silvia. Bermusuhan dengan Silvia adalah hal terakhir yang diinginkannya.

“Perjuangkan lelaki itu atau lupakan dia, Jihan.” Silvia berkata dengan ekspresi serius. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan sahabatnya yang terus melamun karena memikirkan lelaki di masa lalunya. “Jangan biarkan pengaruh masa lalu mengganggu masa depanmu. Masa sekarang adalah saatnya kau untuk menatap ke depan dan melangkah maju.”

Jihan tergugu mendengar kata-kata Silvia. “A, apa maksudmu... Silvia?”

“Tadi kau sedang mengingat kembali pernyataan cinta lelaki itu di bawah langit senja. Benar?”

Kepala Jihan menggeleng berusaha meyakinkan.

“Kau pasti berbohong.” Silvia mencibir. “Lalu kenapa kau tidak bisa langsung menjawab ketika aku menanyakan tentang pertemuanmu dengan Rangga?”

Jihan menelan ludahnya mendengar kata-kata Silvia. Ia mengusap pipinya gelisah. “P-pertemuan apa?”

Silvia mengerucutkan hidung dan bibirnya yang diwarnai lipstik merah muda. Gadis di hadapannya ini belum sepenuhnya fokus rupanya. Padahal pagi ini ia sengaja mendatangi bilik kerja Jihan untuk menanyakan pendapat tentang Rangga. Apalagi ia tidak menyangka bahwa dua orang terdekatnya itu sudah pernah mengenal sebelumnya.

“Pertemuan kalian di Rainbow Cafe,” ucap Silvia seperti sedang mengingatkan anak kecil untuk mengikat tali sepatunya.  “Bukankah kalian dulu pernah sekolah di tempat yang sama? Apa tidak ada perasaan nostalgia saat bertemu teman lama?”

Oh, pertemuan di kafe itu rupanya. Syukurlah, sepertinya Silvia tidak mengetahui tentang pertemuan yang lainnya. Entah mengapa, Jihan merasa tidak enak hati karena seperti sedang membohongi sahabat baiknya. Tetapi untuk apa sebenarnya ia menyembunyikan pertemuan itu? Bukankah ia memiliki banyak kemungkinan untuk kebetulan bertemu dengan teman lamanya yang lain di supermarket yang ramai? Tetapi mengapa ini terasa berbeda?

Tentu saja ini berbeda. Karena orang yang kebetulan bertemu dengannya adalah Rangga. Lelaki istimewa bagi sahabatnya.

“Biasa saja,” jawab Jihan dengan ekspresi sedatar mungkin.

“Kau bohong.”

Perut Jihan menegang seketika mendengar kata ‘bohong’ yang diucapkan Silvia. Seolah-olah sahabatnya itu adalah seorang eksekutor bagi para pelaku dosa besar. Seperti Jihan misalnya.

“Apa tidak ada yang kauingat tentang Rangga? Kau bisa memberitahukannya untukku. Aku ingin mengenal bagaimana Rangga yang dulu.”

Jihan bersandar pada kursi kerjanya, mencoba untuk rileks. Jemari tangan kanannya menutupi bagian hidung hingga dagunya seolah ia sedang mengingat-ingat. Padahal sebenarnya ia hanya ingin menutupi ekspresi wajahnya dari Silvia.

“Seingatku... dia cukup populer. Baik di kalangan guru, maupun murid laki-laki dan perempuan. Kepopulerannya itulah yang membuatnya sering terpilih menjadi ketua kelas.”

Mata Silvia berbinar menuntut lebih. “Apakah dia pernah punya pacar?”

“Seingatku... tidak ada.”

Kening Silvia berkerut skeptis. “Kenapa? Bukankah tadi katamu, dia cukup populer?”

“Entahlah.” Jihan mengangkat bahunya enggan. “Mungkin... karena saat itu dia hanya memikirkan bermain dan bersenang-senang. Remaja lelaki. Kau tahulah.”

Silvia mengangguk-angguk setuju. Benaknya dipenuhi berbagai spekulasi tentang sosok Rangga di masa sekolahnya. “Dari yang kudengar, Rangga juga tidak punya pacar selama kuliah. Menurutmu, apa mungkin dia

Sesaat Jihan tertegun mendengar fakta bahwa Rangga tidak pernah memiliki kekasih semasa kuliah. Silvia benar-benar hebat bisa mendapat informasi seperti itu. Sedangkan ia sendiri kehilangan kabar dari Rangga selama lima tahun. Tetapi detik berikutnya Jihan sudah terkekeh dan menghentikan tuduhan Silvia. “Menurutku, dia tidak seperti apa pun yang kau duga itu. Mungkin... dia hanya menunggu gadis yang tepat.”

Mendadak dada Silvia dipenuhi rasa bangga. Perasaan itu langsung tergambar jelas di wajahnya. “Itu berarti... ada kemungkinan aku akan menjadi pacar pertamanya.”

Jantung Jihan seperti diremas kuat mendengar kata-kata Silvia.
***

Julian menatap lekat-lekat lelaki yang duduk di hadapannya. Lelaki itu berwajah murung dan  mengabaikan sarapan di hadapannya. Sarapan yang dimasak Julian pagi-pagi sekali untuk mereka berdua. Dan sekarang ia merasa masakannya sama sekali tidak dihargai.

“Hari ini kau pergi bekerja, Rangga?” tanya Julian mencoba memecah keheningan di antara mereka berdua. Padahal jawabannya sudah jelas, melihat penampilan Rangga pagi ini. Lengkap dengan tas besar berisi kamera dan perlengkapan lainnya.

“Ya,” jawab lelaki itu acuh tidak acuh.

Kening Julian berkerut kesal. Ia tidak peduli bagaimana suasana hati sahabatnya itu. Tetapi bukankah seharusnya ia mencicip sedikit makanan di atas piringnya? Julian yakin masakannya pasti lezat. Dan seharusnya makanan lezat mampu memperbaiki perasaan seburuk apa pun.

“Bagaimana kabar gadis itu... gadis bernama Silvia itu?” Julian mencoba topik yang kira-kira menyenangkan. Biasanya lelaki akan antusias jika membicarakan gadis yang disukainya.

“Baik.”

Hanya itu? Julian menatap tidak percaya ke arah Rangga. Tetapi lelaki itu tidak menyadarinya.

“Apa dia tidak memiliki seorang teman yang bisa dikenalkan untukku?” Julian tidak mau menyerah. Jadi, ia mencoba cara lainnya. “Aku bosan terlalu lama melajang,” tambahnya dibumbui nada humor.

Rangga mengangkat wajah dan menatap kesal ke arah Julian. “Kau bisa mendekati Silvia jika kau mau.”

“Oh, tenang saja. Itu tidak akan terjadi,” sahut Julian cepat seolah ingin memadamkan mata Rangga yang tiba-tiba membara. “Kau tahu aku tidak suka menikung pacar dari sahabatku sendiri.”

“Dia bukan pacarku.” sanggah Rangga yang entah mengapa terdengar marah.

Julian diam sejenak. Matanya memerhatikan dengan saksama. Apakah Rangga marah hanya karena ia menanyakan tentang Silvia? Tetapi mengapa?

“Kenapa kau mudah sekali tersinggung pagi ini?”

Rangga tersentak mendengar perkataan Julian. Sahabatnya itu benar. Ia baru menyadari betapa menyebalkan sikapnya pagi ini.

“Kau bahkan tidak menyentuh sarapanmu. Kau sedang bertengkar dengan Silvia?”

Rangga menggeleng. “Aku hanya...” gumamnya sambil meremas rambutnya frustrasi. “Sudahlah, lupakan. Aku sedang tidak ingin sarapan.”

“Setidaknya makanlah sedikit. Jangan membiarkan tubuhmu bekerja dengan perut kosong.”

Rangga mengabaikan peringatan Julian. Ia bangkit dari meja makan dan mencangking tasnya. Kakinya melangkah gusar menuju pintu apartemen mereka, meninggalkan sarapannya yang masih utuh. Perutnya memang kosong. Tetapi pikirannya terus saja dipenuhi oleh satu orang yang sama.

“Aku berangkat dulu, Jihan.”

Julian mengangkat satu alisnya dengan heran, menatap daun pintu yang yang bergerak menutup. Sejak kapan namanya berubah menjadi nama perempuan?
***

Akhirnya selesai juga.

Jihan merenggangkan punggungnya yang tegang. Ia mengucap syukur dalam hati. Akhirnya, pekerjaannya selesai juga. Tepat sebelum tiba jam istirahat siang. Setelah ini, ia bisa menyantap makan siang bersama Silvia. Memenuhi permintaan perutnya yang mulai bergemuruh.

Tangan Jihan bergerak cepat membereskan meja kerjanya. Begitu sudah rapi, ia mendatangi bilik kerja Silvia yang berada tepat di sebelah kanannya. Gadis itu masih duduk di meja kerjanya tanpa melakukan apa-apa.

“Silvia, ayo kita makan siang.”

Tidak ada jawaban dari Silvia. Padahal Jihan berdiri tepat di sampingnya. Gadis itu bergeming dengan kedua sikunya bertumpu di atas meja. Wajahnya tenggelam dalam kedua telapak tangannya.

Tiba-tiba Jihan menyadari sesuatu yang membuat ujung-ujung bibirnya berkedut jenaka.

Lihat, siapa yang melamun sekarang? Sebuah dorongan untuk membalas olokan Silvia selama ini muncul di benak Jihan. Sahabatnya itu saat ini pasti sedang memikirkan... lelaki itu. Rangga.  Ah, apa Rangga memiliki kekuatan istimewa? Kekuatan yang membuat para gadis yang dekat dengannya tidak bisa berhenti memikirkan dirinya.

Jihan tertawa kecil. Lebih seperti menertawakan dirinya yang sudah tidak pantas lagi memikirkan lelaki itu. Lelaki dari masa lalu yang muncul kembali sebagai kekasih dari sahabatnya. Yah... walaupun memang belum resmi.

“Jangan melamun, Silvia,” ujar Jihan dengan nada usil. Ia merasa di atas angin karena memiliki kesempatan untuk membalas perbuatan Silvia yang selalu menyebutnya ‘ratu melamun’.

Jihan mencoba memanggil Silvia sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Beruntung, suasana kantor sudah lebih sepi karena hampir semua staf sudah pergi untuk makan siang. Tetapi tetap saja tidak ada reaksi.

“Silvia!” seru Jihan akhirnya sambil menyentuh bahu sahabatnya itu.

Barulah gadis itu mengangkat wajah, menatap Jihan dengan kening berkerut samar. “Apa?”

Mata Jihan langsung dilumuri kekhawatiran luar biasa. Binar jenaka yang tadi menghiasi senyumnya kini menguap begitu saja. Ia bisa melihat dengan jelas rona pucat di balik riasan wajah Silvia. “Kau baik-baik saja?”

Silvia diam seolah tidak bisa langsung memahami kata-kata Jihan. Setelah beberapa detik kemudian barulah ia menjawab diiringi tawa kecil. “Aku? Tentu saja aku baik-baik saja.”

“Tapi kau terlihat pucat....”

“Yah... aku memang merasa sedikit pusing,” tambah Silvia saat menyadari bahwa ia tidak bisa membohongi sahabatnya. Ia mengalihkan wajah menatap layar di hadapannya, seolah hendak kembali bekerja. “Mungkin perutku sudah tidak sabar menunggu datangnya jam makan siang.”

“Tapi, sekarang sudah masuk jam makan siang,” ucap Jihan lambat-lambat.

“Benarkah?” Kepala Silvia berputar antusias. Seolah baru saja menemukan mata air di tengah gurun pasir. “Beruntungnya aku! Kalau begitu ayo kita pergi sekarang.”
***

“Bagaimana denganmu? Apa kau sudah menyatakan perasaanmu?” tanya Silvia sambil menyesap seteguk terakhir teh tawarnya.

Mereka berdua memilih untuk makan siang di kantin kantor hari ini. Biasanya mereka senang mencoba-coba makanan yang dijual di luar kantor. Tetapi hari ini sepertinya Silvia sedang bersemangat menggunakan waktunya untuk mewawancarai Jihan setelah makan siang.


“Kau yakin sudah cukup makan siang dengan salad buah dan secangkir teh?” tanya Jihan menatap mangkuk dan cangkir yang sudah kosong di hadapan Silvia.

Silvia mengangguk mantap. “Aku sedang tidak terlalu lapar.”

“Benarkah? Apa kau sedang dalam program diet?” tanya Jihan penasaran. Ia berharap gadis itu bercerita panjang lebar dan melupakan pertanyaannya tadi.

Tetapi rupanya Silvia menyadari maksud itu. Ia menatap tajam ke arah Jihan. “Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab pertanyaanku, Jihan.”

“Pertanyaan apa?” balas Jihan pura-pura linglung.

“Apa kau sudah menyatakan perasaanmu pada lelaki-senja-mu itu?”

Selama beberapa detik Jihan hanya bisa tergeragap. Tidak tahu harus menjawab apa. “Aku sudah mencoba menghubunginya. Tapi... nomornya sudah tidak aktif.”

Sepertinya tidak ada salahnya berbohong sedikit demi kebaikan. Ia tidak ingin menambah rumit perasaannya yang sudah kusut. Lagi pula ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaan pada Rangga.

“Apa Rangga mengenal lelaki itu?” tanya Silvia tiba-tiba. Hampir membuat Jihan tersedak dari minumannya. “Kalian bertiga berasal dari SMA yang sama, siapa tahu Rangga memiliki kontak untuk menghubungi lelaki itu. Aku bisa menanyakannya untukmu. Siapa namanya?”

“Jangan!” tolak Jihan cepat. Hingga tanpa sadar ia berkata dengan suara yang terlalu keras.

Alis Silvia berkerut bingung. “Kenapa? Kalau kau berhasil menyatakan perasaan, kita bisa pergi double date setiap minggu. Aku juga akan berusaha meresmikan hubunganku dengan Rangga.”

Langit seolah runtuh ke hadapan Jihan saat mendengar hal itu.

“Tidak. Aku tidak ingin siapa pun mengetahui hal ini,” ujar Jihan lirih. “Saat itu hanya ada aku dan dia. Tidak ada orang lain yang tahu. Jadi, tolong jangan ceritakan ini pada siapa pun, ya. Termasuk... Rangga.”

Jihan memohon dengan sungguh-sungguh. Ia tidak ingin Rangga mendengar cerita ini. Rasanya pasti memalukan sekali jika lelaki itu mendengar bahwa Jihan tidak bisa berhenti memikirkan hal itu hingga saat ini. Dan hubungan di antara mereka pasti menjadi semakin rumit.

“Ah, kau benar.” Silvia menyerah. Tetapi gurat kekecewaan tidak bisa bersembunyi dari wajahnya. Rasa ingin tahunya tentang siapa nama lelaki itu harus dikubur dalam-dalam.

“Lagipula... aku sudah memutuskan untuk melupakannya,” gumam Jihan dengan suara mencicit. Mendadak tenggorokannya terasa kering.

“Benarkah?” Mata Silvia langsung menyalakan semangat.

“Ya,” jawab Jihan sambil tersenyum masam. “Seperti katamu, aku tidak boleh membiarkan pengaruh masa lalu mengganggu masa depanku.”

“Itu berarti... kau memilih untuk menatap ke depan dan melangkah maju?”

“Begitulah.”

Silvia mengucap penuh rasa syukur di dalam hatinya. “Kalau begitu, apa kau ingin mulai mencari cinta yang baru?”

Mata Jihan terbelalak lebar penuh protes. Ia lalu menghela napas berat. “Tidak secepat itu, Silvia. Aku butuh waktu.”

“Aku tahu.” Wajah Silvia berbinar penuh semangat, menggambarkan sebuah rencana yang tersusun di benaknya. “Kau hanya perlu mencoba dekat dengan beberapa lelaki. Sekaligus untuk mempersingkat masa perenunganmu.”

“Baiklah. Aku akan mencobanya... nanti.”

“Jangan terlalu lama, Jihan,” ujar Silvia sambil menggerak-gerakkan telunjuk di udara. “Bagaimana kalau akhir minggu ini? Kita bisa pergi double date. Jadi, kau tidak akan terlalu canggung karena ada aku di dekatmu.”

“Tidak, Silvia.” Jihan menolak tentu saja. Pertemuan di Rainbow Cafe di hari Sabtu lalu benar-benar menyesakkan napasnya. Ia tidak ingin mengulanginya lagi. “Lagi pula aku tidak tahu harus mengajak siapa untuk rencana double date-mu itu.”

“Serahkan saja padaku.” Silvia mengerlingkan mata kirinya penuh makna. “Kau hanya perlu datang dan berdandan yang cantik.”

“Tidak.” Jihan berkeras menolak. “Aku tidak ingin berkencan dengan lelaki yang tidak kukenal.”

“Maka, kalian harus memulai dengan berkenalan,” balas Silvia tidak mau kalah. “Jika selama masa perkenalan kalian merasa tidak cocok, maka hubungan kalian tidak perlu dilanjutkan lebih serius.”

Jihan memutar bola matanya. Ia menghela napas panjang tanda menyerah. “Oh, kau mulai terdengar seperti ibu-ibu.”

Silvia terkikik mendengar pujian yang dikatakan Jihan. “Aku senang kau setuju. Membuatku semakin tidak sabar menantikan kencan akhir minggu ini.”

Dalam hati Jihan tertawa menatap Silvia yang masih terbakar semangat. Tidak ada salahnya sesekali membahagiakan sahabatnya itu. Anggap saja sebagai penebusan dosa karena sudah menyembunyikan banyak hal dari Silvia.
***

Sejak masih duduk di bangku kuliah, Rangga sudah menapak perlahan untuk mewujudkan salah satu impiannya. Ia ingin membangun sebuah studio foto miliknya sendiri. Dengan semangatnya itu, ia memulai dengan menyewa sebuah rumah sederhana untuk menjadi studio fotonya. Bagian ruang tamu difungsikan sebagai tempat bagi para pelanggannya untuk berkonsultasi mengenai konsep foto dan sebagainya. Kemudian ia memilih salah satu kamar untuk digunakan sebagai kantornya, sementara beberapa kamar lain digunakan sebagai ruang pemotretan dan percetakkan.

Tiga tahun berlalu. Rangga akhirnya mampu membeli rumah yang dahulu disewanya. Dan di sinilah ia sekarang memimpin studio foto miliknya sendiri yang diberi nama Jingga Photo Studio.

Sebelumnya, Rangga tidak pernah menceritakan impiannya itu. Tidak pernah. Kecuali dengan satu orang.

Rangga mengerang perlahan. Ia melemparkan kepalanya ke belakang, menyandarkan pada sandaran kursi kerjanya. Jemarinya bergerak perlahan menyisir rambutnya yang kusut masai.

Sosok gadis itu benar-benar terekam jelas dalam ingatannya.

Sejak datang ke studio pagi ini, Rangga memilih untuk mengurung diri di ruangannya. Tetapi selama itu pula ia tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Komputernya sudah dalam keadaan menyala, menampilkan beberapa file foto yang siap diedit sesuai konsep.

Padahal sebelumnya, ruangan kerja ini selalu mampu membantu Rangga untuk melupakan patah hatinya. Melupakan kesalahannya. Melupakan Jihan. Ia akan tenggelam dalam lembaran foto, setumpuk pekerjaan, dan kejaran deadline. Tetapi sepertinya sekarang ruangan ini sudah kehilangan keajaibannya.

Rangga menegakkan kembali posisi duduknya. Ia tidak boleh terus seperti ini. Pertama, ia mencoba dengan memerhatikan foto-foto pada layar. Mungkin itu bisa membantunya untuk kembali fokus.

Sialnya, ia salah besar. Foto-foto pre-wedding itu malah membuat benaknya semakin tersiksa. Hingga mengkhayalkan dirinya dan gadis dalam pikirannya sedang melakukan sesi foto pre-wedding.  Dengan kesal ia menutup semua file itu, lalu kembali menyandarkan tubuhnya.

Sial. Rangga memejamkan matanya. Sosok gadis itu semakin terasa nyata, menyebabkan ia tidak bisa memikirkan hal yang lainnya. Padahal selama ini, Rangga mengira bahwa ia sudah berhasil melupakan gadis itu. Termasuk pernyataan cintanya yang terburu-buru. Tetapi setelah pertemuan beruntun mereka akhir minggu lalu, membuatnya sadar bahwa ternyata ia belum melupakan apa-apa.

Lagi pula, siapa yang menyangka bahwa gadis itu muncul sebagai sahabat Silvia?

Andai saja ibunya tidak mengenalkan Rangga pada Silvia. Semua pasti tidak akan menjadi rumit seperti ini. Walaupun tidak bisa dipungkuri bahwa perkenalannya dengan Silvia yang membuka jalan bagi ia untuk bertemu kembali dengan Jihan. Belum lagi, kedua belah pihak orang tua mereka yang terus saja memengaruhi mereka berdua untuk segera menikah. Silvia terlihat tidak keberatan. Tetapi Rangga langsung merasa keberatan sejak pertama kali gagasan itu muncul. Bukan karena Silvia tidak menarik di matanya. Hanya saja entah mengapa hatinya sekuat tenaga mencegah bibirnya untuk berkata “iya”.

Dan sekarang ia tahu jawabannya. Itu semua pasti karena Jihan. Karena di sudut hatinya yang tersembunyi, masih menyimpan harapan untuk kembali bertemu dengan gadis itu.

“Apa ada masalah?”

Rangga tersentak langsung membuka matanya. Ia menegakkan punggungnya, merasa terkejut dengan kehadiran Reza di ruangannya. Lelaki itu merupakan tangan kanannya dalam menjalankan studio ini.

“Tidak ada apa-apa.”

Reza menarik kursi di depan Rangga lalu duduk di sana. “Kau terlihat kacau.”

Rangga mengusap tengkuknya lalu kembali menatap kosong layar komputernya. “Aku hanya bingung dengan konsep untuk mengedit foto-foto ini.”

Reza mengangkat alisnya skeptis. “Baru kali ini aku mendengarmu bingung hanya karena konsep foto.”

Rangga menghela napas panjang. Reza memang cocok menjadi tangan kanannya. Lelaki itu benar-benar teliti dan perhatian pada setiap detail pekerjaannya.

“Apa ini ada hubungannya dengan Silvia?” tanya Reza sedikit mendesak. Sejauh yang diketahuinya, satu-satunya gadis yang sedang dekat dengan Rangga adalah Silvia. Mungkin bosnya itu sedang kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya.

“Ya. Tapi... tidak juga.”

Reza mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban kontradiktif dari Rangga. “Jadi?”

“Lupakan saja.” Rangga menggeleng. “Omong-omong, ada apa kau kemari?”

“Aku hanya ingin berpamitan. Setelah makan siang, selama seharian aku tidak ada di studio.” Reza berdiri sambil melihat jam tangannya. “Aku akan pergi memotret pasangan yang menginginkan foto pre-wedding  mereka dilakukan di sebuah kebun teh.”

“Oh,” gumam Rangga acuh tidak acuh. “Bagus. Pergilah.”

Reza terkekeh geli, sedikit pun tidak tersinggung dengan pengusiran itu. Ia bangkit dari duduknya, lalu mencoba sedikit memberi dorongan semangat untuk Rangga. “Jika kau mencintai seseorang, maka nyatakanlah perasaanmu itu. Kecuali jika dia memiliki kemampuan untuk membaca pikiranmu.”

Rangga hanya mengangkat sebelah alisnya. Ia memerhatikan punggung Reza yang menjauh lalu menghilang dari ruangannya. Sejenak ia merenungkan kata-kata lelaki itu.

Menyatakan perasaan? Sayangnya, tidak sesederhana itu.

 

3 komentar:

  1. Juliaaannn makanannya buat aku ajaaaa >.<
    Btw, itu kenapa Silvia ngelamun???? Aduuuh jadi Jihan serba salah deeeh -____-

    BalasHapus
  2. Pengen deh kenal sama lelaki yang setia kaya Rangga ha.ha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suatu saat nanti pasti bertemu kok (*^▽^)/

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D