Selamat malam! (^o^)
Hari ini Orange Sunset
(Empat) kembali lagi didedikasikan untuk Irene
Nadia Zabrina yang sampai menangis malam-malam karena membaca Orange Sunset. Jangan-jangan
punya pengalaman serupa, ya? Hehehe.
Jadi, selamat membaca dan
ditunggu komentarnya.
“BAGAIMANA pertemuanmu dengan Rangga kemarin?”
“Apa?” Alih-alih menjawab pertanyaan Silvia, Jihan malah balik
bertanya dengan mata terbelalak lebar. Benaknya secara otomatis memutar kembali
pertemuannya dengan Rangga kemarin. Mungkinkah lelaki itu menceritakannya
kepada Silvia? Yah... tetapi itu wajar saja mengingat kedekatan mereka yang sudah
seperti sepasang kekasih.
Silvia terkekeh melihat ekspresi terkejut Jihan. Ia yakin
sahabatnya itu sedang tidak fokus ketika mendengar pertanyaannya tadi. “Astaga.
Ini masih pagi dan kau sudah melamun.”
Kening Jihan mengernyit dalam. Ia sedang tidak melamun
dan bisa mendengar pertanyaan Silvia dengan jelas. Gadis itu menanyakan tentang
pertemuannya dengan Rangga kemarin. Pertemuan yang sama sekali tidak sengaja. Dan
sepertinya lebih baik ia meminta maaf kepada Silvia. Bermusuhan dengan Silvia
adalah hal terakhir yang diinginkannya.
“Perjuangkan lelaki itu atau lupakan dia, Jihan.” Silvia
berkata dengan ekspresi serius. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan
sahabatnya yang terus melamun karena memikirkan lelaki di masa lalunya. “Jangan
biarkan pengaruh masa lalu mengganggu masa depanmu. Masa sekarang adalah
saatnya kau untuk menatap ke depan dan melangkah maju.”
Jihan tergugu mendengar kata-kata Silvia. “A, apa
maksudmu... Silvia?”
“Tadi kau sedang mengingat kembali pernyataan cinta lelaki
itu di bawah langit senja. Benar?”
Kepala Jihan menggeleng berusaha meyakinkan.
“Kau pasti berbohong.” Silvia mencibir. “Lalu kenapa kau
tidak bisa langsung menjawab ketika aku menanyakan tentang pertemuanmu dengan
Rangga?”
Jihan menelan ludahnya mendengar kata-kata Silvia. Ia
mengusap pipinya gelisah. “P-pertemuan apa?”
Silvia mengerucutkan hidung dan bibirnya yang diwarnai
lipstik merah muda. Gadis di hadapannya ini
belum sepenuhnya fokus rupanya. Padahal pagi ini ia sengaja mendatangi bilik
kerja Jihan untuk menanyakan pendapat tentang Rangga. Apalagi ia tidak
menyangka bahwa dua orang terdekatnya itu sudah pernah mengenal sebelumnya.
“Pertemuan kalian di Rainbow Cafe,” ucap Silvia seperti
sedang mengingatkan anak kecil untuk mengikat tali sepatunya. “Bukankah kalian dulu pernah sekolah di tempat
yang sama? Apa tidak ada perasaan nostalgia saat bertemu teman lama?”
Oh, pertemuan di kafe itu rupanya. Syukurlah, sepertinya
Silvia tidak mengetahui tentang pertemuan yang
lainnya. Entah mengapa, Jihan merasa tidak enak hati karena seperti sedang
membohongi sahabat baiknya. Tetapi untuk apa sebenarnya ia menyembunyikan
pertemuan itu? Bukankah ia memiliki banyak kemungkinan untuk kebetulan bertemu
dengan teman lamanya yang lain di supermarket yang ramai? Tetapi mengapa ini
terasa berbeda?
Tentu saja ini berbeda. Karena orang yang kebetulan
bertemu dengannya adalah Rangga. Lelaki istimewa bagi sahabatnya.
“Biasa saja,” jawab Jihan dengan ekspresi sedatar
mungkin.
“Kau bohong.”
Perut Jihan menegang seketika mendengar kata ‘bohong’
yang diucapkan Silvia. Seolah-olah sahabatnya itu adalah seorang eksekutor bagi
para pelaku dosa besar. Seperti Jihan misalnya.
“Apa tidak ada yang kauingat tentang Rangga? Kau bisa
memberitahukannya untukku. Aku ingin mengenal bagaimana Rangga yang dulu.”
Jihan bersandar pada kursi kerjanya, mencoba untuk
rileks. Jemari tangan kanannya menutupi bagian hidung hingga dagunya seolah ia
sedang mengingat-ingat. Padahal sebenarnya ia hanya ingin menutupi ekspresi
wajahnya dari Silvia.
“Seingatku... dia cukup populer. Baik di kalangan guru,
maupun murid laki-laki dan perempuan. Kepopulerannya itulah yang membuatnya
sering terpilih menjadi ketua kelas.”
Mata Silvia berbinar menuntut lebih. “Apakah dia pernah
punya pacar?”
“Seingatku... tidak ada.”
Kening Silvia berkerut skeptis. “Kenapa? Bukankah tadi
katamu, dia cukup populer?”
“Entahlah.” Jihan mengangkat bahunya enggan. “Mungkin...
karena saat itu dia hanya memikirkan bermain dan bersenang-senang. Remaja
lelaki. Kau tahulah.”
Silvia mengangguk-angguk setuju. Benaknya dipenuhi
berbagai spekulasi tentang sosok Rangga di masa sekolahnya. “Dari yang
kudengar, Rangga juga tidak punya pacar selama kuliah. Menurutmu, apa mungkin
dia—”
Sesaat Jihan tertegun mendengar fakta bahwa Rangga tidak
pernah memiliki kekasih semasa kuliah. Silvia benar-benar hebat bisa mendapat
informasi seperti itu. Sedangkan ia sendiri kehilangan kabar dari Rangga selama
lima tahun. Tetapi detik berikutnya Jihan sudah terkekeh dan menghentikan
tuduhan Silvia. “Menurutku, dia tidak seperti apa pun yang kau duga itu.
Mungkin... dia hanya menunggu gadis yang tepat.”
Mendadak dada Silvia dipenuhi rasa bangga. Perasaan itu
langsung tergambar jelas di wajahnya. “Itu berarti... ada kemungkinan aku akan
menjadi pacar pertamanya.”
Jantung Jihan seperti diremas kuat mendengar kata-kata
Silvia.
***
Julian menatap lekat-lekat lelaki yang duduk di
hadapannya. Lelaki itu berwajah murung dan mengabaikan sarapan di hadapannya. Sarapan
yang dimasak Julian pagi-pagi sekali untuk mereka berdua. Dan sekarang ia
merasa masakannya sama sekali tidak dihargai.
“Hari ini kau pergi bekerja, Rangga?” tanya Julian
mencoba memecah keheningan di antara mereka berdua. Padahal jawabannya sudah
jelas, melihat penampilan Rangga pagi ini. Lengkap dengan tas besar berisi
kamera dan perlengkapan lainnya.
“Ya,” jawab lelaki itu acuh tidak acuh.
Kening Julian berkerut kesal. Ia tidak peduli bagaimana
suasana hati sahabatnya itu. Tetapi bukankah seharusnya ia mencicip sedikit
makanan di atas piringnya? Julian yakin masakannya pasti lezat. Dan seharusnya
makanan lezat mampu memperbaiki perasaan seburuk apa pun.
“Bagaimana kabar gadis itu... gadis bernama Silvia itu?” Julian mencoba topik yang
kira-kira menyenangkan. Biasanya lelaki akan antusias jika membicarakan gadis
yang disukainya.
“Baik.”
Hanya itu? Julian
menatap tidak percaya ke arah Rangga. Tetapi lelaki itu tidak menyadarinya.
“Apa dia tidak memiliki seorang teman yang bisa
dikenalkan untukku?” Julian tidak mau menyerah. Jadi, ia mencoba cara lainnya. “Aku
bosan terlalu lama melajang,” tambahnya dibumbui nada humor.
Rangga mengangkat wajah dan menatap kesal ke arah Julian.
“Kau bisa mendekati Silvia jika kau mau.”
“Oh, tenang saja. Itu tidak akan terjadi,” sahut Julian
cepat seolah ingin memadamkan mata Rangga yang tiba-tiba membara. “Kau tahu aku
tidak suka menikung pacar dari sahabatku sendiri.”
“Dia bukan pacarku.” sanggah Rangga yang entah mengapa
terdengar marah.
Julian diam sejenak. Matanya memerhatikan dengan saksama.
Apakah Rangga marah hanya karena ia menanyakan tentang Silvia? Tetapi mengapa?
“Kenapa kau mudah sekali tersinggung pagi ini?”
Rangga tersentak mendengar perkataan Julian. Sahabatnya
itu benar. Ia baru menyadari betapa menyebalkan sikapnya pagi ini.
“Kau bahkan tidak menyentuh sarapanmu. Kau sedang bertengkar
dengan Silvia?”
Rangga menggeleng. “Aku hanya...” gumamnya sambil meremas
rambutnya frustrasi. “Sudahlah, lupakan. Aku sedang tidak ingin sarapan.”
“Setidaknya makanlah sedikit. Jangan membiarkan tubuhmu
bekerja dengan perut kosong.”
Rangga mengabaikan peringatan Julian. Ia bangkit dari
meja makan dan mencangking tasnya. Kakinya melangkah gusar menuju pintu
apartemen mereka, meninggalkan sarapannya yang masih utuh. Perutnya memang
kosong. Tetapi pikirannya terus saja dipenuhi oleh satu orang yang sama.
“Aku berangkat dulu, Jihan.”
Julian mengangkat satu alisnya dengan heran, menatap daun
pintu yang yang bergerak menutup. Sejak kapan namanya berubah menjadi nama
perempuan?
***
Akhirnya selesai juga.
Jihan merenggangkan punggungnya yang tegang. Ia mengucap
syukur dalam hati. Akhirnya, pekerjaannya selesai juga. Tepat sebelum tiba jam
istirahat siang. Setelah ini, ia bisa menyantap makan siang bersama Silvia.
Memenuhi permintaan perutnya yang mulai bergemuruh.
Tangan Jihan bergerak cepat membereskan meja kerjanya. Begitu
sudah rapi, ia mendatangi bilik kerja Silvia yang berada tepat di sebelah
kanannya. Gadis itu masih duduk di meja kerjanya tanpa melakukan apa-apa.
“Silvia, ayo kita makan siang.”
Tidak ada jawaban dari Silvia. Padahal Jihan berdiri
tepat di sampingnya. Gadis itu bergeming dengan kedua sikunya bertumpu di atas
meja. Wajahnya tenggelam dalam kedua telapak tangannya.
Tiba-tiba Jihan menyadari sesuatu yang membuat
ujung-ujung bibirnya berkedut jenaka.
Lihat, siapa yang melamun sekarang? Sebuah dorongan untuk membalas olokan Silvia selama ini
muncul di benak Jihan. Sahabatnya itu saat ini pasti sedang memikirkan...
lelaki itu. Rangga. Ah, apa Rangga memiliki
kekuatan istimewa? Kekuatan yang membuat para gadis yang dekat dengannya tidak
bisa berhenti memikirkan dirinya.
Jihan tertawa kecil. Lebih seperti menertawakan dirinya
yang sudah tidak pantas lagi memikirkan lelaki itu. Lelaki dari masa lalu yang
muncul kembali sebagai kekasih dari sahabatnya. Yah... walaupun memang belum
resmi.
“Jangan melamun, Silvia,” ujar Jihan dengan nada usil. Ia
merasa di atas angin karena memiliki kesempatan untuk membalas perbuatan Silvia
yang selalu menyebutnya ‘ratu melamun’.
Jihan mencoba memanggil Silvia sekali lagi dengan suara
yang lebih keras. Beruntung, suasana kantor sudah lebih sepi karena hampir
semua staf sudah pergi untuk makan siang. Tetapi tetap saja tidak ada reaksi.
“Silvia!” seru Jihan akhirnya sambil menyentuh bahu
sahabatnya itu.
Barulah gadis itu mengangkat wajah, menatap Jihan dengan
kening berkerut samar. “Apa?”
Mata Jihan langsung dilumuri kekhawatiran luar biasa.
Binar jenaka yang tadi menghiasi senyumnya kini menguap begitu saja. Ia bisa
melihat dengan jelas rona pucat di balik riasan wajah Silvia. “Kau baik-baik
saja?”
Silvia diam seolah tidak bisa langsung memahami kata-kata
Jihan. Setelah beberapa detik kemudian barulah ia menjawab diiringi tawa kecil.
“Aku? Tentu saja aku baik-baik saja.”
“Tapi kau terlihat pucat....”
“Yah... aku memang merasa sedikit pusing,” tambah Silvia
saat menyadari bahwa ia tidak bisa membohongi sahabatnya. Ia mengalihkan wajah
menatap layar di hadapannya, seolah hendak kembali bekerja. “Mungkin perutku
sudah tidak sabar menunggu datangnya jam makan siang.”
“Tapi, sekarang sudah masuk jam makan siang,” ucap Jihan
lambat-lambat.
“Benarkah?” Kepala Silvia berputar antusias. Seolah baru
saja menemukan mata air di tengah gurun pasir. “Beruntungnya aku! Kalau begitu
ayo kita pergi sekarang.”
***
“Bagaimana denganmu? Apa kau sudah menyatakan
perasaanmu?” tanya Silvia sambil menyesap seteguk terakhir teh tawarnya.
Mereka berdua memilih untuk makan siang di kantin kantor
hari ini. Biasanya mereka senang mencoba-coba makanan yang dijual di luar kantor.
Tetapi hari ini sepertinya Silvia sedang bersemangat menggunakan waktunya untuk mewawancarai Jihan
setelah makan siang.
“Kau yakin sudah cukup makan siang dengan salad buah dan
secangkir teh?” tanya Jihan menatap mangkuk dan cangkir yang sudah kosong di
hadapan Silvia.
Silvia mengangguk mantap. “Aku sedang tidak terlalu lapar.”
“Benarkah? Apa kau sedang dalam program diet?” tanya
Jihan penasaran. Ia berharap gadis itu bercerita panjang lebar dan melupakan
pertanyaannya tadi.
Tetapi rupanya Silvia menyadari maksud itu. Ia menatap
tajam ke arah Jihan. “Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab pertanyaanku,
Jihan.”
“Pertanyaan apa?” balas Jihan pura-pura linglung.
“Apa kau sudah menyatakan perasaanmu pada lelaki-senja-mu
itu?”
Selama beberapa detik Jihan hanya bisa tergeragap. Tidak
tahu harus menjawab apa. “Aku sudah mencoba menghubunginya. Tapi... nomornya
sudah tidak aktif.”
Sepertinya tidak ada salahnya berbohong sedikit demi
kebaikan. Ia tidak ingin menambah rumit perasaannya yang sudah kusut. Lagi pula
ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaan pada Rangga.
“Apa Rangga mengenal lelaki itu?” tanya Silvia tiba-tiba.
Hampir membuat Jihan tersedak dari minumannya. “Kalian bertiga berasal dari SMA
yang sama, siapa tahu Rangga memiliki kontak untuk menghubungi lelaki itu. Aku
bisa menanyakannya untukmu. Siapa namanya?”
“Jangan!” tolak Jihan cepat. Hingga tanpa sadar ia
berkata dengan suara yang terlalu keras.
Alis Silvia berkerut bingung. “Kenapa? Kalau kau berhasil
menyatakan perasaan, kita bisa pergi double
date setiap minggu. Aku juga akan berusaha meresmikan hubunganku dengan
Rangga.”
Langit seolah runtuh ke hadapan Jihan saat mendengar hal
itu.
“Tidak. Aku tidak ingin siapa pun mengetahui hal ini,”
ujar Jihan lirih. “Saat itu hanya ada aku dan dia. Tidak ada orang lain yang
tahu. Jadi, tolong jangan ceritakan ini pada siapa pun, ya. Termasuk... Rangga.”
Jihan memohon dengan sungguh-sungguh. Ia tidak ingin
Rangga mendengar cerita ini. Rasanya pasti memalukan sekali jika lelaki itu
mendengar bahwa Jihan tidak bisa berhenti memikirkan hal itu hingga saat ini. Dan
hubungan di antara mereka pasti menjadi semakin rumit.
“Ah, kau benar.” Silvia menyerah. Tetapi gurat kekecewaan
tidak bisa bersembunyi dari wajahnya. Rasa ingin tahunya tentang siapa nama
lelaki itu harus dikubur dalam-dalam.
“Lagipula... aku sudah memutuskan untuk melupakannya,”
gumam Jihan dengan suara mencicit. Mendadak tenggorokannya terasa kering.
“Benarkah?” Mata Silvia langsung menyalakan semangat.
“Ya,” jawab Jihan sambil tersenyum masam. “Seperti
katamu, aku tidak boleh membiarkan pengaruh masa lalu mengganggu masa depanku.”
“Itu berarti... kau memilih untuk menatap ke depan dan
melangkah maju?”
“Begitulah.”
Silvia mengucap penuh rasa syukur di dalam hatinya. “Kalau
begitu, apa kau ingin mulai mencari cinta yang baru?”
Mata Jihan terbelalak lebar penuh protes. Ia lalu
menghela napas berat. “Tidak secepat itu, Silvia. Aku butuh waktu.”
“Aku tahu.” Wajah Silvia berbinar penuh semangat,
menggambarkan sebuah rencana yang tersusun di benaknya. “Kau hanya perlu
mencoba dekat dengan beberapa lelaki. Sekaligus untuk mempersingkat masa
perenunganmu.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya... nanti.”
“Jangan terlalu lama, Jihan,” ujar Silvia sambil
menggerak-gerakkan telunjuk di udara. “Bagaimana kalau akhir minggu ini? Kita
bisa pergi double date. Jadi, kau
tidak akan terlalu canggung karena ada aku di dekatmu.”
“Tidak, Silvia.” Jihan menolak tentu saja. Pertemuan di
Rainbow Cafe di hari Sabtu lalu benar-benar menyesakkan napasnya. Ia tidak
ingin mengulanginya lagi. “Lagi pula aku tidak tahu harus mengajak siapa untuk rencana
double date-mu itu.”
“Serahkan saja padaku.” Silvia mengerlingkan mata kirinya
penuh makna. “Kau hanya perlu datang dan berdandan yang cantik.”
“Tidak.” Jihan berkeras menolak. “Aku tidak ingin
berkencan dengan lelaki yang tidak kukenal.”
“Maka, kalian harus memulai dengan berkenalan,” balas
Silvia tidak mau kalah. “Jika selama masa perkenalan kalian merasa tidak cocok,
maka hubungan kalian tidak perlu dilanjutkan lebih serius.”
Jihan memutar bola matanya. Ia menghela napas panjang
tanda menyerah. “Oh, kau mulai terdengar seperti ibu-ibu.”
Silvia terkikik mendengar pujian yang dikatakan Jihan. “Aku senang kau setuju. Membuatku
semakin tidak sabar menantikan kencan akhir minggu ini.”
Dalam hati Jihan tertawa menatap Silvia yang masih
terbakar semangat. Tidak ada salahnya sesekali membahagiakan sahabatnya itu.
Anggap saja sebagai penebusan dosa karena sudah menyembunyikan banyak hal dari
Silvia.
***
Sejak masih duduk di bangku kuliah, Rangga sudah menapak
perlahan untuk mewujudkan salah satu impiannya. Ia ingin membangun sebuah
studio foto miliknya sendiri. Dengan semangatnya itu, ia memulai dengan menyewa
sebuah rumah sederhana untuk menjadi studio fotonya. Bagian ruang tamu
difungsikan sebagai tempat bagi para pelanggannya untuk berkonsultasi mengenai
konsep foto dan sebagainya. Kemudian ia memilih salah satu kamar untuk
digunakan sebagai kantornya, sementara beberapa kamar lain digunakan sebagai
ruang pemotretan dan percetakkan.
Tiga tahun berlalu. Rangga akhirnya mampu membeli rumah
yang dahulu disewanya. Dan di sinilah ia sekarang memimpin studio foto miliknya
sendiri yang diberi nama Jingga Photo Studio.
Sebelumnya, Rangga tidak pernah menceritakan impiannya
itu. Tidak pernah. Kecuali dengan satu orang.
Rangga mengerang perlahan. Ia melemparkan kepalanya ke
belakang, menyandarkan pada sandaran kursi kerjanya. Jemarinya bergerak
perlahan menyisir rambutnya yang kusut masai.
Sosok gadis itu benar-benar terekam jelas dalam ingatannya.
Sejak datang ke studio pagi ini, Rangga memilih untuk mengurung
diri di ruangannya. Tetapi selama itu pula ia tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Komputernya sudah dalam keadaan menyala, menampilkan beberapa file foto yang siap diedit sesuai
konsep.
Padahal sebelumnya, ruangan kerja ini selalu mampu
membantu Rangga untuk melupakan patah hatinya. Melupakan kesalahannya.
Melupakan Jihan. Ia akan tenggelam dalam lembaran foto, setumpuk pekerjaan, dan
kejaran deadline. Tetapi sepertinya
sekarang ruangan ini sudah kehilangan keajaibannya.
Rangga menegakkan kembali posisi duduknya. Ia tidak boleh
terus seperti ini. Pertama, ia mencoba dengan memerhatikan foto-foto pada
layar. Mungkin itu bisa membantunya untuk kembali fokus.
Sialnya, ia salah besar. Foto-foto pre-wedding itu malah membuat benaknya
semakin tersiksa. Hingga mengkhayalkan dirinya dan gadis dalam pikirannya
sedang melakukan sesi foto pre-wedding. Dengan kesal ia menutup semua file itu, lalu kembali menyandarkan
tubuhnya.
Sial. Rangga
memejamkan matanya. Sosok gadis itu semakin terasa nyata, menyebabkan ia tidak
bisa memikirkan hal yang lainnya. Padahal selama ini, Rangga mengira bahwa ia
sudah berhasil melupakan gadis itu. Termasuk pernyataan cintanya yang
terburu-buru. Tetapi setelah pertemuan beruntun mereka akhir minggu lalu,
membuatnya sadar bahwa ternyata ia belum melupakan apa-apa.
Lagi pula, siapa yang menyangka bahwa gadis itu muncul
sebagai sahabat Silvia?
Andai saja ibunya tidak mengenalkan Rangga pada Silvia. Semua
pasti tidak akan menjadi rumit seperti ini. Walaupun tidak bisa dipungkuri
bahwa perkenalannya dengan Silvia yang membuka jalan bagi ia untuk bertemu
kembali dengan Jihan. Belum lagi, kedua belah pihak orang tua mereka yang terus
saja memengaruhi mereka berdua untuk segera menikah. Silvia terlihat tidak
keberatan. Tetapi Rangga langsung merasa keberatan sejak pertama kali gagasan
itu muncul. Bukan karena Silvia tidak menarik di matanya. Hanya saja entah
mengapa hatinya sekuat tenaga mencegah bibirnya untuk berkata “iya”.
Dan sekarang ia tahu jawabannya. Itu semua pasti karena
Jihan. Karena di sudut hatinya yang tersembunyi, masih menyimpan harapan untuk
kembali bertemu dengan gadis itu.
“Apa ada masalah?”
Rangga tersentak langsung membuka matanya. Ia menegakkan
punggungnya, merasa terkejut dengan kehadiran Reza di ruangannya. Lelaki itu
merupakan tangan kanannya dalam menjalankan studio ini.
“Tidak ada apa-apa.”
Reza menarik kursi di depan Rangga lalu duduk di sana.
“Kau terlihat kacau.”
Rangga mengusap tengkuknya lalu kembali menatap kosong layar
komputernya. “Aku hanya bingung dengan konsep untuk mengedit foto-foto ini.”
Reza mengangkat alisnya skeptis. “Baru kali ini aku
mendengarmu bingung hanya karena konsep foto.”
Rangga menghela napas panjang. Reza memang cocok menjadi
tangan kanannya. Lelaki itu benar-benar teliti dan perhatian pada setiap detail
pekerjaannya.
“Apa ini ada hubungannya dengan Silvia?” tanya Reza
sedikit mendesak. Sejauh yang diketahuinya, satu-satunya gadis yang sedang
dekat dengan Rangga adalah Silvia. Mungkin bosnya itu sedang kesulitan untuk
mengungkapkan perasaannya.
“Ya. Tapi... tidak juga.”
Reza mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban
kontradiktif dari Rangga. “Jadi?”
“Lupakan saja.” Rangga menggeleng. “Omong-omong, ada apa
kau kemari?”
“Aku hanya ingin berpamitan. Setelah makan siang, selama
seharian aku tidak ada di studio.” Reza berdiri sambil melihat jam tangannya. “Aku
akan pergi memotret pasangan yang menginginkan foto pre-wedding mereka dilakukan di
sebuah kebun teh.”
“Oh,” gumam Rangga acuh tidak acuh. “Bagus. Pergilah.”
Reza terkekeh geli, sedikit pun tidak tersinggung dengan pengusiran
itu. Ia bangkit dari duduknya, lalu mencoba sedikit memberi dorongan semangat
untuk Rangga. “Jika kau mencintai seseorang, maka nyatakanlah perasaanmu itu.
Kecuali jika dia memiliki kemampuan untuk membaca pikiranmu.”
Rangga hanya mengangkat sebelah alisnya. Ia memerhatikan
punggung Reza yang menjauh lalu menghilang dari ruangannya. Sejenak ia
merenungkan kata-kata lelaki itu.
Menyatakan perasaan? Sayangnya, tidak sesederhana itu.
Juliaaannn makanannya buat aku ajaaaa >.<
BalasHapusBtw, itu kenapa Silvia ngelamun???? Aduuuh jadi Jihan serba salah deeeh -____-
Pengen deh kenal sama lelaki yang setia kaya Rangga ha.ha
BalasHapusSuatu saat nanti pasti bertemu kok (*^▽^)/
Hapus