Dingin menelusup membuat sendi-sendiku terasa ngilu. Mataku terasa berat, namun tak ada lagi keinginan untuk kembali tidur dan merasakan kehangatan di balik selimut tebalku. Perutku terasa diaduk-aduk. Jantungku berdebar seolah hendak meloncat melalui tenggorokanku. Jam ponselku menunjukkan pukul empat pagi. Terlalu pagi untukku yang baru saja tidur pukul dua dini hari.
Sepertinya pagi
ini semangatku sedang berkobar. Seolah mampu menghangatkan seluruh penduduk
Surabaya pagi ini. Aku memandangi foto lelaki yang mengenakan topi terbalik di
layar ponsel lima inciku. Edwin. Lelaki yang telah mendampingiku selama hampir
dua tahun terakhir.
Besok adalah hari
jadi kami yang ke dua tahun. Aku memiliki sebuah rencana bagus yang telah
kupersiapkan sejak tiga bulan yang lalu. Sudah nyaris enam bulan kami tak
bertemu karena memang kami kuliah di tempat berbeda. Surabaya-Bandung yang
menempuh jarak sekitar 699 km —info yang kudapat dari pencarian lewat Google—
tentu saja tidak membuat kami leluasa untuk bertemu setiap saat.
Entah mengapa
sepertinya jam di ponselku rusak, waktu berjalan begitu lambat. Bahkan menunggu
matahari terbit sempurna pun terasa begitu lama. Aku tak beranjak dari tempat
tidurku. Masih sibuk memainkan ponsel dan memandangi wajah tampan kekasihku.
Ponselku bergetar,
sebuah ucapan selamat pagi disertai foto konyol dari Edwin membangunkanku yang
rupanya sempat tertidur kembali tadi pagi. Jam ponselku menunjukkan pukul
sembilan lima puluh dua. Aku bergegas membersihkan tubuhku, tentu saja setelah
membalas pesan dari Edwin.
Cukup lama aku
menghabiskan waktu di kamar mandi, melakukan ritual pembersihan sebelum aku
bertemu dengan Edwin. Aku tersenyum sendiri seperti orang gila ketika
menebak-nebak bagaimana ekspresi lelaki itu saat melihatku berada di hadapannya.
***
Keretaku
berangkat jam setengah lima sore. Ini masih jam tiga dan aku telah sampai di
stasiun beberapa menit yang lalu. Aku tahu aku terlalu cepat. Tapi entahlah,
aku terlalu bersemangat.
Sayang, sedang
apa?
Sebuah pesan
meluncur setelah ku sentuh tulisan kirim di sudut layar. Sambil
tersenyum-senyum menantikan balasan Edwin aku terus membayangkan bagaimana
wajahnya ketika dia melihatku. Cukup lama, hampir setengah jam tak ada balasan
dari Edwin hingga aku mulai kesal.
Apa yang
sebenarnya dilakukan lelaki itu? Jangan-jangan— Tidak. Apa sih yang kupikirkan?
Dia tidak mungkin selingkuh. Mungkin dia memang sedang ada urusan. Aku pun
mencoba menghibur diri dan memainkan monopoli online lewat ponselku hingga sebuah telpon
masuk mengganggu permainanku.
“Halo, Edwin. Ke
mana saja kau ini?”
“Maaf sayang aku
di perpustakaan kampus. Setelah ini aku ada kerja kelompok. Mungkin sampai
malam.”
“Kau tidak
berbohong, bukan?”
“Tentu saja
tidak. Jangan berpikir macam-macam sayang. Maaf ya ketemu lewat skype kita tunda dulu sampai besok malam.
Jangan marah ya sayang.”
“Tidak. Tidak.
Untuk apa aku marah? Baiklah cepat kerjakan tugasmu. Semangat ya, sayang. I love you.”
Entah mengapa
kebetulan kali ini bagai berkah untukku. Aku yang mati-matian mencari alasan
untuk menunda ritual skype setiap malam, merasa sangat beruntung
hari ini mengingat biasanya aku pasti akan marah-marah saat Edwin menundanya.
Pengumuman kedatangan keretaku, membuyarkan lamunan sesaatku. Aku dan penumpang
lain mulai memasuki gerbong kereta.
Aku mencari-cari
nomor bangkuku, berharap aku bisa duduk di tepi jendela. Tapi rupanya aku harus
menelan harapanku bulat-bulat. Seorang lelaki tengah duduk di tepi jendela
sambil membaca sebuah buku. Andai saja aku lebih cepat memasuki kereta ini,
mungkin aku bisa mengambil tempat di sisi jendela. Aku segera memasukkan tasku
ke tempat barang yang telah disediakan di atas.
“Mau ke mana?”
tanya lelaki itu setelah aku duduk dengan nyaman di kursiku.
“Ke Bandung. Kau
mau ke mana?” Aku meluncurkan basa-basi untuk lelaki yang nampaknya sebaya
—atau beberapa tahun lebih tua— denganku.
“Aku turun di
Tasikmalaya.”
Hanya itu.
Percakapan pendek kami berhenti. Dia kembali pada bukunya dan aku pada ponselku
untuk kembali memainkan monopoli. Sesekali aku melirik lelaki di sampingku yang
masih serius membaca bukunya. Buku —mungkin novel— bersampul biru tua dengan
gambar tangga bambu yang terhubung dengan matahari. Entah apa maksudnya. Aku
tak pernah memahami jalan pikiran para penggila buku yang begitu antusias
dengan bahasa-bahasa yang menurutku sedikit rumit.
“Buku ini bagus,”
ujar lelaki itu tiba-tiba. “Kau suka membaca?”
“Ah, tidak.
Sayangnya aku tak begitu suka membaca.”
“Sayang sekali.
Sebentar lagi aku selesai. Kau bisa membawanya. Bacalah. Isinya benar-benar
bagus.” Lelaki itu tersenyum seolah-olah buku itu memang sangat menarik bahkan
untuk seseorang yang tak suka membaca.
“Tidak perlu.
Sepertinya itu buku mahal. Aku juga tak begitu suka membaca.” Aku tertawa kaku.
Aku tak tahu harus bagaimana menolaknya. Sejujurnya aku sempat terhipnotis
memandang senyum lelaki itu. Tapi tidak. Edwin Edwin Edwin. Aku mengucapkan
namanya berkali-kali bagai sebuah mantra untuk mengembalikan pikiranku yang
mulai sedikit melenceng.
Aku menyumpal
telingaku dengan headset,
berharap lelaki itu tak akan mengajakku mengobrol kembali. Aku memejamkan
mataku yang terasa panas. Berkali-kali aku mengecek ponselku, berharap Edwin
mengirimiku pesan. Namun tidak. Ya, bagaimanapun juga aku harus mengerti
bahwa urusannya bukan hanya tentang aku.
Seseorang menepuk
bahuku ketika aku mulai tertidur.
“Maaf, bisa kami
periksa tiketnya?”
“Ah, tentu.
Silahkan.”
Setelah petugas
pemeriksa kereta pergi, aku kembali mengecek ponselku yang sepertinya bergetar
ketika petugas mengecek tiketku. Harapanku pupus ketika melihat pesan dari
operator jaringan.
“Ke Bandung
sendirian?”
“Iya.”
“Kupikir bersama
seseorang.” Ia memberikan sedikit jeda pada kalimatnya. “Pulang kampung?”
“Tidak. Aku
mengunjungi pacarku.”
“Oh, begitu.
Berhati-hatilah. Perempuan melakukan perjalanan jauh sendirian itu berbahaya.”
“Terima kasih.” Aku melempar senyum untuk
menghargai perhatian lelaki itu kemudian kembali memasang headset di telingaku dan segera melanjutkan
tidurku.
Kereta tiba-tiba
berhenti, membuatku terbangun dari tidurku. Kulihat jam ponselku yang masih
menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Sebuah pesan membuatku tersenyum.
Selamat tidur, sayang. Mimpi indah.
Pesan yang
dikirim tepat tiga jam lalu. Beberapa saat kemudian sebuah pengumuman yang
menyatakan kereta akan terlambat sampai tujuan terdengar melalui speaker. Aku baru saja
menyadari bahwa lelaki di sampingku sudah tak ada lagi berikut
barang-barangnya. Kecuali sebuah buku bersampul biru yang sejak semalam terus
ia baca. Aku meraih buku itu kemudian membukanya secara acak. Kemudian
kutemukan sebuah catatan pada pembatas buku.
Buku ini benar-benar bagus. Bacalah. Hati-hati sampai di Bandung.
Aku mulai mencoba
untuk membaca buku itu secara acak dan berhenti pada sebaris kalimat yang
menarik perhatianku. Cinta selalu rela berkorban. Dia ikhlas,
dia tak akan pamrih bahkan
tak akan meminta sebuah balasan. Jika kau menuntut balasan atas
pengorbananmu, itu bukan cinta tetapi sebuah ambisi.
Kalimat tersebut
seolah menamparku. Apakah aku meminta balasan yang setimpal untuk pengorbananku
kali ini? Tidak! Aku mencintainya. Aku tak meminta balasan apapun darinya. Aku
hanya ingin bertemu dengannya. Aku menghela nafas besar dan melanjutkan membaca
buku tersebut.
***
Kereta sampai
pukul enam lebih lima menit terlambat lebih dari satu jam dari jadwal yang
seharusnya pukul lima pagi. Aku yakin pukul enam pagi mendatangi indekos
seorang lelaki bukanlah hal yang pantas. Hingga kuputuskan untuk mengisi perutku
terlebih dahulu di sebuah warung dekat stasiun.
Pukul enam tiga
puluh lima. Bandung begitu dingin meski matahari telah terbit sempurna. Sopir
taksi membantu berputar-putar untuk mencari alamat Edwin. Hingga beberapa menit
kemudian kami berhasil menemukan rumah itu. Tidak semewah yang kubayangkan.
Bercat coklat muda dengan pagar tinggi yang berwarna gelap.
Aku mendentingkan
gembok pada pagar hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Namun tak ada
seorang pun yang keluar dari rumah itu. Akhirnya kuputuskan untuk menelpon
Edwin dan menyuruhnya segera keluar.
Sebuah pesan
berisi foto membuatku terkejut bukan kepalang. Edwin, dengan senyumnya yang
lebar tengah berfoto dengan latar Stasiun Gubeng Surabaya. Tanganku gemetar dan
jantung yang berpacu dengan kencang. Aku mencengkeram ponselku kuat-kuat.
Kemudian aku menekan beberapa angka yang telah ku hafal di luar kepala. Belum
selesai aku melengkapi angka-angka itu, sebuah pesan kembali muncul di ponselku.
Happy anniversary, sayang. Coba tebak aku dimana? Surprise!!
Hal tak terduga
pun terjadi. Dengan rasa kesal dan kecewa yang bercampur aduk, aku segera
menelpon Edwin dan begitu telpon tersambung aku segera menghujaninya dengan
ribuan pertanyaan.
Sebuah keputusan
bijak akhirnya diambil oleh Edwin ditengah rasa lelah dan kekalutan yang
menyelimutiku. Kita akan bertemu di Yogyakarta.
Kata-kata itu terus kuingat sebagai mantra untuk menenangkan diriku. Tepat
ketika aku memutar tubuhku untuk beranjak pergi, terdengar suara maskulin yang
membuatku memalingkan wajahku kembali pada rumah itu.
“Cari siapa?”
“Tadinya saya mau cari Edwin.”
“Oh, Edwin ke Surabaya sejak kemarin.”
“Iya, sepertinya kami sedang tidak beruntung.”
Aku menghela napas berat. Kemudian lelaki itu memandangku penuh tanya.
“Tunggu. Jangan-jangan kau… Kiara?” Tepat. Aku
mengangguk pelan pada lelaki itu dan menceritakan apa yang sedang terjadi.
Kemudian lelaki itu mempersilahkanku menuju ruang tamu untuk beristirahat
sejenak sebelum aku kembali ke Surabaya.
***
Yogyakarta tengah
malam. Hawa dingin menerpa wajahku ketika aku baru saja turun dari keretaku.
Aku melempar pandanganku ke sekeliling stasiun, berharap bertemu dengan lelaki
idamanku. Namun tak juga kutemukan batang hidungnya hingga aku menyusuri
sepanjang stasiun hingga pintu keluar.
Saat itulah aku
melihat lelaki yang kutunggu tengah mematung di samping tiang lampu yang
memancarkan cahaya yang begitu terang. Tanpa menunggu lebih lama, aku bergegas
berlari ke arahnya.
“Edwin!” Antara terkejut dan bahagia. Aku memeluk
lelakiku yang tampak lebih kurus dibanding enam bulan yang lalu ketika kami
terakhir bertemu. Kemudian kami menautkan jemari kami satu sama lain, berjalan
menyusuri jalan Yogyakarta di malam hari.
“Maaf ya. Padahal niatku kasih surprise. Justru perayaan anniversarynya mundur sehari,”
ujar Edwin.
“Sudahlah. Aku tidak mengharapkan perayaan
yang romantis. Bertemu denganmu saja sudah cukup.”
“Kiara—” Edwin memberikan sebuah kotak beludru
panjang berwarna gelap.
“Apa ini? Tapi aku tak punya sesuatu untukmu
Edwin.”
“Sudahlah, aku tidak mengharapkan sesuatu
sayang.” Sebuah senyuman yang selalu kurindukan tersungging di bibirnya.
Sesuatu yang berkilau terpancar dari dalam kotak tersebut. Sebuah kalung dengan
liontin berbentuk bintang terlihat begitu cantik.
“Happy anniversary ya sayang. Aku akan selalu mecintaimu.”
Bintang-bintang
yang bertaburan di langit malam Yogyakarta pun turut tersenyum menyaksikan
perjuangan cinta kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D