Jumat, 19 Juni 2015

Midnight Star


Dingin menelusup membuat sendi-sendiku terasa ngilu. Mataku terasa berat, namun tak ada lagi keinginan untuk kembali tidur dan merasakan kehangatan di balik selimut tebalku. Perutku terasa diaduk-aduk. Jantungku berdebar seolah hendak meloncat melalui tenggorokanku. Jam ponselku menunjukkan pukul empat pagi. Terlalu pagi untukku yang baru saja tidur pukul dua dini hari.

Sepertinya pagi ini semangatku sedang berkobar. Seolah mampu menghangatkan seluruh penduduk Surabaya pagi ini. Aku memandangi foto lelaki yang mengenakan topi terbalik di layar ponsel lima inciku. Edwin. Lelaki yang telah mendampingiku selama hampir dua tahun terakhir.

Besok adalah hari jadi kami yang ke dua tahun. Aku memiliki sebuah rencana bagus yang telah kupersiapkan sejak tiga bulan yang lalu. Sudah nyaris enam bulan kami tak bertemu karena memang kami kuliah di tempat berbeda. Surabaya-Bandung yang menempuh jarak sekitar 699 km —info yang kudapat dari pencarian lewat Google— tentu saja tidak membuat kami leluasa untuk bertemu setiap saat.

Entah mengapa sepertinya jam di ponselku rusak, waktu berjalan begitu lambat. Bahkan menunggu matahari terbit sempurna pun terasa begitu lama. Aku tak beranjak dari tempat tidurku. Masih sibuk memainkan ponsel dan memandangi wajah tampan kekasihku.

Ponselku bergetar, sebuah ucapan selamat pagi disertai foto konyol dari Edwin membangunkanku yang rupanya sempat tertidur kembali tadi pagi. Jam ponselku menunjukkan pukul sembilan lima puluh dua. Aku bergegas membersihkan tubuhku, tentu saja setelah membalas pesan dari Edwin.

Cukup lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi, melakukan ritual pembersihan sebelum aku bertemu dengan Edwin. Aku tersenyum sendiri seperti orang gila ketika menebak-nebak bagaimana ekspresi lelaki itu saat melihatku berada di hadapannya.
***

Keretaku berangkat jam setengah lima sore. Ini masih jam tiga dan aku telah sampai di stasiun beberapa menit yang lalu. Aku tahu aku terlalu cepat. Tapi entahlah, aku terlalu bersemangat.


Sayang, sedang apa?


Sebuah pesan meluncur setelah ku sentuh tulisan kirim di sudut layar. Sambil tersenyum-senyum menantikan balasan Edwin aku terus membayangkan bagaimana wajahnya ketika dia melihatku. Cukup lama, hampir setengah jam tak ada balasan dari Edwin hingga aku mulai kesal.

Apa yang sebenarnya dilakukan lelaki itu? Jangan-jangan— Tidak. Apa sih yang kupikirkan? Dia tidak mungkin selingkuh. Mungkin dia memang sedang ada urusan. Aku pun mencoba menghibur diri dan memainkan monopoli online lewat ponselku hingga sebuah telpon masuk mengganggu permainanku.

“Halo, Edwin. Ke mana saja kau ini?”

“Maaf sayang aku di perpustakaan kampus. Setelah ini aku ada kerja kelompok. Mungkin sampai malam.”

“Kau tidak berbohong, bukan?”

“Tentu saja tidak. Jangan berpikir macam-macam sayang. Maaf ya ketemu lewat skype kita tunda dulu sampai besok malam. Jangan marah ya sayang.”

“Tidak. Tidak. Untuk apa aku marah? Baiklah cepat kerjakan tugasmu. Semangat ya, sayang. I love you.”

Entah mengapa kebetulan kali ini bagai berkah untukku. Aku yang mati-matian mencari alasan untuk menunda ritual skype setiap malam, merasa sangat beruntung hari ini mengingat biasanya aku pasti akan marah-marah saat Edwin menundanya. Pengumuman kedatangan keretaku, membuyarkan lamunan sesaatku. Aku dan penumpang lain mulai memasuki gerbong kereta.

Aku mencari-cari nomor bangkuku, berharap aku bisa duduk di tepi jendela. Tapi rupanya aku harus menelan harapanku bulat-bulat. Seorang lelaki tengah duduk di tepi jendela sambil membaca sebuah buku. Andai saja aku lebih cepat memasuki kereta ini, mungkin aku bisa mengambil tempat di sisi jendela. Aku segera memasukkan tasku ke tempat barang yang telah disediakan di atas.

“Mau ke mana?” tanya lelaki itu setelah aku duduk dengan nyaman di kursiku.

“Ke Bandung. Kau mau ke mana?” Aku meluncurkan basa-basi untuk lelaki yang nampaknya sebaya —atau beberapa tahun lebih tua— denganku.

“Aku turun di Tasikmalaya.”

Hanya itu. Percakapan pendek kami berhenti. Dia kembali pada bukunya dan aku pada ponselku untuk kembali memainkan monopoli. Sesekali aku melirik lelaki di sampingku yang masih serius membaca bukunya. Buku —mungkin novel— bersampul biru tua dengan gambar tangga bambu yang terhubung dengan matahari. Entah apa maksudnya. Aku tak pernah memahami jalan pikiran para penggila buku yang begitu antusias dengan bahasa-bahasa yang menurutku sedikit rumit.

“Buku ini bagus,” ujar lelaki itu tiba-tiba. “Kau suka membaca?”

“Ah, tidak. Sayangnya aku tak begitu suka membaca.”

“Sayang sekali. Sebentar lagi aku selesai. Kau bisa membawanya. Bacalah. Isinya benar-benar bagus.” Lelaki itu tersenyum seolah-olah buku itu memang sangat menarik bahkan untuk seseorang yang tak suka membaca.

“Tidak perlu. Sepertinya itu buku mahal. Aku juga tak begitu suka membaca.” Aku tertawa kaku. Aku tak tahu harus bagaimana menolaknya. Sejujurnya aku sempat terhipnotis memandang senyum lelaki itu. Tapi tidak. Edwin Edwin Edwin. Aku mengucapkan namanya berkali-kali bagai sebuah mantra untuk mengembalikan pikiranku yang mulai sedikit melenceng.

Aku menyumpal telingaku dengan headset, berharap lelaki itu tak akan mengajakku mengobrol kembali. Aku memejamkan mataku yang terasa panas. Berkali-kali aku mengecek ponselku, berharap Edwin mengirimiku pesan. Namun tidak. Ya, bagaimanapun juga aku  harus mengerti bahwa urusannya bukan hanya tentang aku.

Seseorang menepuk bahuku ketika aku mulai tertidur.

“Maaf, bisa kami periksa tiketnya?”

“Ah, tentu. Silahkan.”

Setelah petugas pemeriksa kereta pergi, aku kembali mengecek ponselku yang sepertinya bergetar ketika petugas mengecek tiketku. Harapanku pupus ketika melihat pesan dari operator jaringan.

“Ke Bandung sendirian?”

“Iya.”

“Kupikir bersama seseorang.” Ia memberikan sedikit jeda pada kalimatnya. “Pulang kampung?”

“Tidak. Aku mengunjungi pacarku.”

“Oh, begitu. Berhati-hatilah. Perempuan melakukan perjalanan jauh sendirian itu berbahaya.”

 “Terima kasih.” Aku melempar senyum untuk menghargai perhatian lelaki itu kemudian kembali memasang headset di telingaku dan segera melanjutkan tidurku.

Kereta tiba-tiba berhenti, membuatku terbangun dari tidurku. Kulihat jam ponselku yang masih menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Sebuah pesan membuatku tersenyum.

Selamat tidur, sayang. Mimpi indah.

Pesan yang dikirim tepat tiga jam lalu. Beberapa saat kemudian sebuah pengumuman yang menyatakan kereta akan terlambat sampai tujuan terdengar melalui speaker. Aku baru saja menyadari bahwa lelaki di sampingku sudah tak ada lagi berikut barang-barangnya. Kecuali sebuah buku bersampul biru yang sejak semalam terus ia baca. Aku meraih buku itu kemudian membukanya secara acak. Kemudian kutemukan sebuah catatan pada pembatas buku.

Buku ini benar-benar bagus. Bacalah. Hati-hati sampai di Bandung.

Aku mulai mencoba untuk membaca buku itu secara acak dan berhenti pada sebaris kalimat yang menarik perhatianku. Cinta selalu rela berkorban. Dia ikhlas, dia tak akan pamrih bahkan tak akan meminta sebuah balasan. Jika kau menuntut balasan atas pengorbananmu, itu bukan cinta tetapi sebuah ambisi.

Kalimat tersebut seolah menamparku. Apakah aku meminta balasan yang setimpal untuk pengorbananku kali ini? Tidak! Aku mencintainya. Aku tak meminta balasan apapun darinya. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku menghela nafas besar dan melanjutkan membaca buku tersebut.
***

Kereta sampai pukul enam lebih lima menit terlambat lebih dari satu jam dari jadwal yang seharusnya pukul lima pagi. Aku yakin pukul enam pagi mendatangi indekos seorang lelaki bukanlah hal yang pantas. Hingga kuputuskan untuk mengisi perutku terlebih dahulu di sebuah warung dekat stasiun.

Pukul enam tiga puluh lima. Bandung begitu dingin meski matahari telah terbit sempurna. Sopir taksi membantu berputar-putar untuk mencari alamat Edwin. Hingga beberapa menit kemudian kami berhasil menemukan rumah itu. Tidak semewah yang kubayangkan. Bercat coklat muda dengan pagar tinggi yang berwarna gelap.

Aku mendentingkan gembok pada pagar hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Namun tak ada seorang pun yang keluar dari rumah itu. Akhirnya kuputuskan untuk menelpon Edwin dan menyuruhnya segera keluar.

Sebuah pesan berisi foto membuatku terkejut bukan kepalang. Edwin, dengan senyumnya yang lebar tengah berfoto dengan latar Stasiun Gubeng Surabaya. Tanganku gemetar dan jantung yang berpacu dengan kencang. Aku mencengkeram ponselku kuat-kuat. Kemudian aku menekan beberapa angka yang telah ku hafal di luar kepala. Belum selesai aku melengkapi angka-angka itu, sebuah pesan kembali muncul di ponselku.

Happy anniversary, sayang. Coba tebak aku dimana? Surprise!!           

Hal tak terduga pun terjadi. Dengan rasa kesal dan kecewa yang bercampur aduk, aku segera menelpon Edwin dan begitu telpon tersambung aku segera menghujaninya dengan ribuan pertanyaan. 

Sebuah keputusan bijak akhirnya diambil oleh Edwin ditengah rasa lelah dan kekalutan yang menyelimutiku. Kita akan bertemu di Yogyakarta. Kata-kata itu terus kuingat sebagai mantra untuk menenangkan diriku. Tepat ketika aku memutar tubuhku untuk beranjak pergi, terdengar suara maskulin yang membuatku memalingkan wajahku kembali pada rumah itu.

“Cari siapa?”

 “Tadinya saya mau cari Edwin.”

 “Oh, Edwin ke Surabaya sejak kemarin.”

 “Iya, sepertinya kami sedang tidak beruntung.” Aku menghela napas berat. Kemudian lelaki itu memandangku penuh tanya.

 “Tunggu. Jangan-jangan kau… Kiara?” Tepat. Aku mengangguk pelan pada lelaki itu dan menceritakan apa yang sedang terjadi. Kemudian lelaki itu mempersilahkanku menuju ruang tamu untuk beristirahat sejenak sebelum aku kembali ke Surabaya.
***

Yogyakarta tengah malam. Hawa dingin menerpa wajahku ketika aku baru saja turun dari keretaku. Aku melempar pandanganku ke sekeliling stasiun, berharap bertemu dengan lelaki idamanku. Namun tak juga kutemukan batang hidungnya hingga aku menyusuri sepanjang stasiun hingga pintu keluar.

Saat itulah aku melihat lelaki yang kutunggu tengah mematung di samping tiang lampu yang memancarkan cahaya yang begitu terang. Tanpa menunggu lebih lama, aku bergegas berlari ke arahnya.

 “Edwin!” Antara terkejut dan bahagia. Aku memeluk lelakiku yang tampak lebih kurus dibanding enam bulan yang lalu ketika kami terakhir bertemu. Kemudian kami menautkan jemari kami satu sama lain, berjalan menyusuri jalan Yogyakarta di malam hari.

 “Maaf ya. Padahal niatku kasih surprise. Justru perayaan anniversarynya mundur sehari,” ujar Edwin.

 “Sudahlah. Aku tidak mengharapkan perayaan yang romantis. Bertemu denganmu saja sudah cukup.”

 “Kiara—” Edwin memberikan sebuah kotak beludru panjang berwarna gelap.

 “Apa ini? Tapi aku tak punya sesuatu untukmu Edwin.”

 “Sudahlah, aku tidak mengharapkan sesuatu sayang.” Sebuah senyuman yang selalu kurindukan tersungging di bibirnya. Sesuatu yang berkilau terpancar dari dalam kotak tersebut. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang terlihat begitu cantik.

 “Happy anniversary ya sayang. Aku akan selalu mecintaimu.”

Bintang-bintang yang bertaburan di langit malam Yogyakarta pun turut tersenyum menyaksikan perjuangan cinta kami.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D