Langkah Trisia mendadak terhenti begitu melihat sosok Tomi berhenti tepat di hadapannya. Trisia memejamkan mata dan menarik napas dalam kemudian mengembuskannya dengan keras. Lalu ia berbalik untuk menghindari Tomi yang masih bergeming menatapnya dalam-dalam. Sedetik kemudian, Trisia merasakan tangannya disentak, membuat secangkir teh di tangannya goyah dan menumpahkan beberapa tetes air ke lantai.
“Kau
ini kenapa?” Suara Tomi terdengar lantang. Sejak kejadian malam itu, Trisia enggan
berbicara pada Tomi, bahkan gadis itu selalu menghindarinya.
Trisia
menatap Tomi jengkel seraya berdecak kesal, kemudian menarik tangannya dengan kasar
dari genggaman Tomi. Ia melangkah, meletakkan cangkir teh yang digenggamnya ke sebuah
meja kecil di samping lemari. Kemudian meraih kardus sepatu yang ia letakkan di
atas lemari. Lantas Trisia mengeluarkan sepatu hitam bertumit lima senti dari dalam
kardus.
“Mau
kemana kau dengan sepatu itu?” Tomi kembali bertanya. Hening. Dengan cepat, Tomi
meraih secangkir teh yang diletakkan Trisia di atas meja, kemudian tanpa berpikir
panjang ia menghempaskan cangkir tersebut ke lantai. Membuat suara gaduh dan menghancurkan
cangkir itu berkeping-keping hingga air berceceran di lantai menyentuh karpet milik
Trisia.
“Aku
berbicara denganmu Tris. Mau kemana kau berpakaian seperti itu?” Penampilan Trisia
memang berbeda kali ini. Kemeja bermotif polkadot berwarna biru laut yang dipadukan
dengan rok hitam membalut tubuh mungilnya.
“Apa
pedulimu padaku?” Trisia mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Tomi. “Andai
aku mengenakan kain kafan pun, kau tak perlu peduli. Keluar kau dari kamarku!”
Tomi
yang terkejut dengan sikap Trisia, mematung untuk beberapa saat. Menatap gadisnya
dengan seksama. Gadis itu tampak berbeda. Setelah menguasai tubuhnya kembali, Tomi
berbalik, membuka pintu kamar Trisia dan membanting pintu itu kuat-kuat.
Trisia
harus mengakui bahwa ia adalah gadis yang lemah. Mata hijaunya berair, mengaburkan
pandangannya yang masih terpaku pada pintu. Ia tak dapat lagi membendung tangisnya,
membiarkan butiran-butiran air mata bergulir berjatuhan menjelajahi wajahnya. Kemudian
Trisia mengalihkan pandangannya, pada pecahan cangkir yang masih berserakan di lantai
sambil berpikir betapa tidak adilnya bahwa dalam situasi seperti ini, dialah yang
harus rela menderita untuk pelampiasan setiap kemarahan Tomi.
“Tidak.
Aku tidak boleh mengeluh.” Gumam Trisia pada dirinya. Kemudian Trisia menghapus
air matanya, lantas membersihkan kepingan cangkir yang berserakan. Hancur. Sama seperti hatinya.
***
Apa
yang terjadi dengan gadis itu? Sejak Tomi
keluar dari kamar Trisia, pikiran itu terus mengganggunya. Gadis itu memang hampir
selalu mengalah ketika sebuah pertengkaran tumbuh di tengah-tengah hubungan mereka.
Namun akhir-akhir ini, Trisia mulai menunjukkan pemberontakan. Mungkin ini semua
salah Tomi. Tomi yang terus menerus melimpahkan kekesalan hatinya pada Trisia.
Tomi
menghela napas berat, menyandarkan tubuh pada pintu kamarnya yang bercat biru kusam
dan terpajang poster anime bajak laut berukuran sedang. Tomi memejamkan matanya,
membayangkan ributnya hiruk pikuk kota hujan. Sejenak perasaannya melayang-layang
antara kembali pada orang tuanya dengan kehidupannya yang sudah pasti akan terjamin
atau tetap bersama gadis yang dicintainya dengan keadaan yang membuatnya frustasi.
Tomi
mengacak-acak rambut merahnya yang mulai memanjang. Kemudian matanya terfokus pada
cermin persegi panjang yang memantulkan wajahnya yang memerah karena menahan amarahnya.
Bercerminlah pada kenyataan.
Otak
Tomi seolah menyuarakan pendapatnya. Ya.
Kenyataan ini memang tak adil baginya. Kenyataannya, Tomi tak pernah siap dengan
perubahan hidupnya. Tomi memandang Trisialah penyebab hidupnya menjadi kacau balau
seperti ini. Namun, di sisi lain, Tomi masih memandang Trisia sebagai gadis yang
di cintainya.
Cinta?Apakah
menyakiti Trisia adalah bagian dari
mencintai?
Kali
ini hatinya berbicara. Tidak. Seharusnya bukan begitu. Hanya saja Tomi tak dapat
mengendalikan dirinya sendiri ketika memandang Trisia. Kerap kali ia menyakiti Trisia
untuk pelampiasan amarahnya, meski ia tahu benar Trisia hanya melakukan kesalahan
kecil bahkan tidak sama sekali.
Hidupnya yang berubah drastis membuatnya begitu terpukul. Membuat lelaki itu kehilangan
arah.
Setitik
air mata jatuh membasahi wajah Tomi. Air mata yang sering kali tak bisa ia tahan
dalam kesendiriannya. Ia selalu berharap air mata itu dapat sedikit melepaskan beban
di hatinya. Beban yang tak pernah dapat ia bagi meski bersama Trisia. Ia tahu ia
dapat membaginya bersama Trisia, namun ia terlalu malu pada gadis itu. Gadis yang
selalu tampak tegar meski ia sebatang kara.
Ini
dilema. Tetapi Tomi harus segera mengambil keputusan yang tepat demi mereka berdua.
***
Langit
tampak biru cerah, mengingat hujan telah mengguyur ibukota sejak semalam. Trisia
mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berdiri. Di seberang jalan terdapat
area perkantoran dengan gedung-gedung tinggi yang berbaur dengan hotel-hotel mewah,
supermarket dan restoran yang di depannya terparkir beberapa mobil mewah. Trisia
merasakan kedua telapak tangannya berkeringat dingin. Ia menepuk-nepukkan telapak
tangannya pada kedua pipinya untuk mengurangi rasa gugup yang sejak tadi memacu
debaran jantungnya.
Tiba-tiba
terbayang suatu gambaran ia akan diperlakukan buruk oleh orang-orang di kantor.
Tidak, aku tak boleh berpikir
macam-macam. Sambil menggumamkan hal itu pada dirinya sendiri, Trisia menggeleng-gelengkan
kepala dan menutup
matanya rapat-rapat. Ini adalah pilihan
yang tepat untuk merubah hidupku, kata Trisia dalam hati sekali lagi ketika
ia membuka mata dan memantapkan hatinya untuk menyeberangi jalan raya yang akan
membawanya menuju Quarts Design.
Dengan
jantung yang berdebar kencang, gadis itu memacu langkahnya untuk menuju ke
pintu masuk Quarts Design. Ini pertama kalinya gadis itu menginjakkan kakinya
di sebuah gedung mewah dengan perabot yang terlihat mahal. Para pegawai
terlihat rapi dengan setelan yang tampak mahal. Rambut para wanita yang ia temui
juga seragam, disisir dan digelung ke belakang dengan rapi.
Berkali-kali
ia mengembuskan napasnya dalam-dalam untuk mengusir rasa gugup yang menyeruak
dalam dadanya. Tiba-tiba nyalinya menciut, ingin rasanya gadis itu keluar dari
gedung itu dan berlari menuju ke kantin untuk melayani mahasiswa kelaparan
seperti Tomi biasanya. Tidak. Ia harus merubah hidupnya. Ia harus menghindar
dari Tomi dan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mengubah nasibnya yang
menyedihkan.
Dengan
langkah gemetar gadis itu menuju sebuah meja bertuliskan resepsionis yang di baliknya berdiri seorang gadis cantik
mengenakan kemeja satin pink pucat
yang dipadukan blazer hitam sehingga menambah keanggunannya. Rambutnya
disanggul rapi ke belakang dan dijepit oleh hiasan cantik yang disisipkan pada
salah satu sisi rambutnya.
"Selamat
pagi. Ada yang bisa saya bantu?" Senyum ramahnya terurai sempurna, membuat
Trisia berdecak kagum dalam hatinya. Benar-benar gadis yang luar biasa.
"Em...
Bisa saya bertemu dengan pak Denis?" Tanya Trisia gugup.
"Maaf,
jika boleh saya tahu. Apakah anda sudah membuat janji dengan beliau?”
Trisia
mengerutkan keningnya. Benar. Ia tak menelpon lelaki bernama Denis itu
sebelumnya. Ia lupa, Denis adalah pegawai di perusahaan besar, bukan pegawai
kantin maupun cafe seperti dirinya. Trisia menggeleng sesaat sebelum mengatakan
belum.
“Jika
boleh saya tahu, Dengan siapa bapak Denis akan bertemu?"
"Em...
Trisia. Trisia Arissandy."
"Baiklah.
Silahkan tunggu sebentar. Saya akan menghubungi bapak Denis." Trisia
mengangguk. Kemudian gadis itu meraih gagang telpon di hadapannya lantas
berbicara pada seseorang di seberang telepon.
“Nona
Trisia, pak Denis sedang ada rapat. Kurang lebih anda harus menunggu selama dua
puluh menit.” Senyum ramahnya kembali terukir di bibir pinknya.
“Saya
akan menunggu.”
“Baiklah,
silahkan anda tunggu di sebelah sana.” Gadis itu menunjuk satu set sofa yang berada beberapa
meter di samping meja resepsionis.
Trisia
pun melangkahkan kakinya untuk mengistirahatkan sejenak kakinya yang terasa
pegal karena tumitnya yang setinggi lima senti. Ia bersyukur pegawai di
perusahaan ini begitu ramah. Paling tidak itu bisa mengurangi rasa gugupnya. Sekarang
ia hanya perlu duduk manis untuk menanti seseorang bernama Denis tersebut.
***
Sudah
sekitar satu menit lelaki itu berdiri mengawasi gadis yang baru saja duduk di sofa berwarna merah lembayung itu. Tangan kanannya tengah
memijit-mijit betisnya sedangkan bola matanya menjelajahi seluruh ruangan hingga
bertemu mata dengan lelaki itu. Namun cepat-cepat gadis itu mengalihkan pandangannya
karena takut dirasa tidak sopan. Dahi lelaki itu berkerut menatapnya, namun sesaat
kemudian seulas senyum penuh arti tersungging di bibirnya. Ini dia, gadis yang dinanti-nantikan
olehnya.
Ponsel
yang sedari tadi digenggamnya kembali bergetar dan melantunkan nada klasik tepat
ketika ia hendak melangkahkan kakinya untuk menuju ke tempat gadis itu. Ia berdecak
kesal menatap layar ponselnya yang bertuliskan Adam.
“Iya,
tunggulah sebentar lagi. Aku segera kesana.” Nada kesal terdengar dari suaranya.
Tentu saja, satu lagi kesempatan itu terbuang sia-sia.
Apa
yang sedang gadis itu lakukan di kantor ini?
Mungkinkah ia pegawai di sini? Tanya
lelaki itu dalam hati. Tidak mungkin. Ia sudah lima tahun bekerja di sini dan belum
pernah sekalipun ia melihatnya berkeliaran di kantor. Apa seseorang di kantor ini mengenalnya? Tapi siapa? Kembali ia melangkah
sambil bertanya-tanya dalam hatinya.
“Selamat
pagi pak Leo.” Sapa gadis resepsionis itu ramah.
“Selamat
pagi Lena.” Balas Leo sambil berlalu setelah melempar senyum pada gadis yang dipanggilnya
Lena, membuat wajah cantik gadis itu bersemu kemerahan. Sesaat setelah itu, Leo
menghentikan langkahnya. Memutar langkahnya, kembali mendekati Lena. Meski dalam
keadaan salah tingkah, tetapi Lena masih mampu bersikap profesional.
“Jika
sampai jam sebelas aku belum kembali. Tolong katakan pada pak Bram agar ia menunggu
di ruanganku.” Kata Leo sambil sesekali melirik gadis yang masih duduk di atas sofa
merah di samping meja resepsionis.
“Baik
pak, akan saya sampaikan. Ada lagi?” Tanya gadis itu tanpa mengurangi rasa hormatnya.
Sejenak
Leo terdiam, seperti tengah memikirkan sesuatu. Hingga beberapa detik setelahnya,
ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Lena dan berbisik, “Apa yang dia lakukan
di sini?”
Dengan
isyarat mata yang diberikan Leo padanya, Lena segera mengerti siapa yang dimaksud
dengan dia oleh atasan yang menjadi idolanya
sejak ia bekerja di sini. “Dia menunggu pak Denis.” Lena menyahuti dengan suara
pelan yang akhirnya ditanggapi Leo dengan anggukan.
“Apakah dia…” Pertanyaan Leo terpotong ketika ponselnya
kembali bergetar. Adam. Kenapa dia menggangguku di saat penting seperti ini. Batin Leo kesal.
“Tunggu
sebentar lagi. Aku sedang dalam perjalanan.” Ujar Leo setelah telponnya tersambung
dengan Adam. Leo mengangguk pada Lena, sebelum ia meninggalkan meja resepsionis
—dan meninggalkan gadis bermata hijau yang selalu ada dalam pikirannya.
***
Trisia
membalik majalah fashion wanita edisi dua minggu yang lalu yang di sediakan di samping
sofa tempatnya duduk. Ia menatap tiap halaman dengan antusias. Fashion adalah hal
yang paling diminatinya. Bahkan di waktu senggangnya ia akan membuat desain-desain
pakaian wanita yang ia kumpulkan dalam sebuah map.
“Selamat
pagi, nona Trisia.” Sapa seseorang yang tengah berdiri di hadapan Trisia. Sama seperti
saat pertama Trisia bertemu dengannya di kantin. Lelaki itu mengenakan setelan jas
abu-abu gelap. Tampang cerdasnya masih diingat dengan baik oleh Trisia.
“Selamat
pagi, pak Denis.” Trisia menutup majalahnya dan segera berdiri untuk bersalaman
dengan Denis.
“Silahkan
duduk.” Denis mempersilahkan Trisia untuk menempati kembali tempat duduknya. “Apakah
anda akan memberikan tanggapan tentang penawaran saya untuk bergabung dengan Quarts Design?” Tanya Denis langsung tanpa basa-basi.
Trisia terdiam untuk beberapa detik. Tenggelam dalam pikirannya yang masih diambang keraguan. Tapi ini adalah pilihan untuk mengubah masa depannya. Ah, semua ini benar-benar permainan pikiran yang rumit. Trisia mengembuskan napasnya perlahan untuk membuang segala keraguan yang menyeruak dalam hatinya.
“Begitulah. Saya rasa saya akan menerima pekerjaan itu.”
“Keputusan yang sangat tepat, nona Trisia.” Ujar Denis. Kemudian Denis membuka map hijau yang memang dibawanya sejak awal dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang kemudian disodorkan pada Trisia. “Ini adalah surat kontrak. Silahkan anda baca dengan saksama. kemudian setelah anda pahami, silahkan anda tanda tangani bagian ini.” Denis menunjuk bagian akhir yang telah ditempelkan materai di atasnya.
Memang Denis telah menyiapkan surat kontrak itu beberapa waktu yang lalu setelah ia menemui Trisia, karena ia sangat yakin bahwa Trisia akan menerima pekerjaan itu.
“Apakah tidak ada semacam wawancara?” Ya, tentu saja bagian itu akan selalu ada di perusahaan-perusahaan besar seperti ini.
Seulas senyum tersungging di bibir Denis. “Tidak perlu. Anda telah diterima begitu membubuhkan tanda tangan anda di akhir berkas itu.”
Bagaimana
bisa
aku
bisa
mendapatkan
pekerjaan
semudah
ini? Tanya Trisia dalam hati. Namun Trisia hanya perlu berterima kasih pada Tuhan. Mungkin saja setelah ini hidupnya akan benar-benar berubah. Akhirnya dengan tekad yang sudah bulat, Trisia
membubuhkan tanda tangannya sebagai persetujuan kontrak.
“Jika begitu, saya ucapkan selamat bergabung dengan Quarts Design, nona Trisia.” Denis menjabat tangan Trisia sebagai simbol bahwa Trisia memang benar-benar diterima di perusahaan tersebut. Kelegaan menjalar di hati Trisia. Membuat bibirnya melebar, menyuguhkan senyum bahagia sekaligus terima kasih untuk Denis.
Di sisi lain, seorang lelaki berdiri di pintu masuk perusahaan, menyunggingkan seulas senyum penuh arti seraya bergumam pelan, “Selamat datang, nona.”
Bersambung
Siiiipp. Puas bacanya kalau kyk gini hehehe. ( ̄∀ ̄)
BalasHapusLanjut dde Chater 7 ditunggu.
Buat Tomi, cepet sadar ya. Bener itu 'Bercerminlah pada kenyataan'. (・へ・)
Oya, ini Quarts Design itu perusahaan di bidang fashion ta dde?
Kalau Arch Designs itu perusahaan desain interior rumah soal e hehe.. <(‾︶‾)>
Nemu beberapa typo: 'nafas', 'bibirya', dan 'tekat'. (Maksudnya 'tekad' bukan? Soalnya 'tekat' artinya 'bordir/sulaman')
.
Yosh. Cukup sekian an semoga berkenan.
Ditunggu chapter selanjutnya. (*^ω^*)
Hehehe... makasiih yaaaa :3
HapusSemoga Tomi cepet sadar.
Quarts Design itu desain eksteriornya. Hohohoho.. Apa yaa gitu itu namanyaa :P
Makasih yaa buat koreksinya. Udah diperbaiki kak typonya. Cie cie..
Ditunggu komentarnya yaa di chapter7 yaa :D