Senin, 08 Juni 2015

Orange Sunset (Dua)

Buenos días, mi amigo!
Apa ada yang pagi-pagi sudah menyiapkan camilan sambil mampir ke Stoples Cerita?

Hari ini postingan Orange Sunset (Dua) didedikasikan untuk partner di blog ini yang katanya suka sama narasi-deskripsinya: Deana Asta.
Jangan lupa kelanjutan Red Lie juga ditunggu. 
Selamat membaca dan ditunggu sarannya di kolom komentar. \(^o^



DAHULU, Jihan dan Rangga sering menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di kafe yang terletak tidak jauh dari sekolah. Mereka bisa melakukan itu kapan saja. Di akhir pekan maupun sepulang sekolah tidak pernah jadi masalah. Selalu banyak waktu menyenangkan yang mereka bagi bersama.

‘Kau mau pesan apa?’ tanya Jihan sambil menatap lekat-lekat lembaran menu bertuliskan daftar minuman yang ada di kafe itu. Ia tetap saja bertanya walaupun pesanan Rangga selalu sama. Bahkan para pelayan di kafe itu hafal dengan minuman favorit lelaki itu.

Mereka memang selalu hanya memesan minuman dan betah berlama-lama mengobrol di kafe itu. Keadaan finansial mereka sebagai siswa tidak cukup mendukung untuk memesan makanan. Jadi, lebih baik mereka menahan perut yang bergemuruh sampai nanti tiba jam makan malam di rumah masing-masing.

Berbeda dengan Jihan yang lebih suka mencoba berbagai jenis kopi, Rangga lebih memilih untuk setia pada satu minuman yang sama: orange juice. Jihan tidak habis pikir mengapa sahabat terdekatnya kala itu sangat menyukai minuman berwarna oranye itu. Gelas tinggi, sedotan bening, dan potongan jeruk berbentuk lingkaran yang disematkan pada bibir gelas itu tampak... terlalu manis. Tidak sesuai dengan penampilan Rangga yang selalu terlihat gagah. Begitu pikir Jihan.



‘Kenapa kau selalu memesan minuman itu? Seperti tidak ada minuman lain saja,’ ujar Jihan lantas menyesap kopi panas dari cangkir di hadapannya.

‘Kau sendiri selalu memesan minuman pahit seperti itu,’ timpal Rangga sambil menunjuk dengan dagunya. Tidak terima pada komentar Jihan atas minuman favoritnya.

‘Kopi tidak sepahit yang kaubayangkan. Minuman ini manis jika tahu cara menikmatinya.’ Jihan mencibir. Tidak rela kalah. Kau sendiri tampak tidak pernah bosan pada minuman oranye itu.

‘Warna minuman ini selalu mengingatkanku pada langit senja,’ jawab Rangga. ‘Kau tahu kenapa?’

Jihan menggelengkan kepalanya.

‘Karena bagiku, senja adalah wujud dari perasaan rindu,’ lanjut Rangga tanpa penjelasan berarti. Membiarkan Jihan yang termangu dengan benak dipenuhi tanda tanya. Ia ingin bertanya tetapi ia tidak tahu harus bertanya apa. Otaknya kelewat tidak mengerti hingga tidak ada pertanyaan khusus yang muncul.

‘Memang ada hubungan apa antara senja dan rindu?’ tanya Jihan akhirnya. Ia sengaja memilih pertanyaan paling klise agar ia tidak terlalu terlihat bodoh.

Tetapi Rangga tidak menjawab. Ia hanya tersenyum penuh misteri. Bahkan setelah pernyataan cintanya kala senja lima tahun yang lalu, pertanyaan itu tidak pernah terjawab.
***

“Jadi, kalian sudah saling mengenal?” tanya Silvia takjub saat ia sudah kembali duduk di hadapan Jihan. Hanya saja kali ini ada Rangga di sampingnya.

Jihan terdiam salah tingkah. Sesaat ia mengalami disorientasi antara masa lalu dan masa sekarang. Hanya matanya yang sibuk memandang bergantian ke arah Silvia dan Rangga. Siapa yang menyangka lelaki yang paling ingin ditemuinya kini hadir tepat di hadapannya? Walaupun dengan status sebagai kekasih dari sahabatnya sendiri.

“Kami bersekolah di SMA yang sama.”

Jihan menghela napas lega saat mendengar Rangga bersuara menjawab pertanyaan Silvia. Ia masih terlalu terkejut. Hingga banyak kalimat merenggang nyawa di ujung lidahnya.

“Benarkah?” Mata Silvia melebar. Wajahnya merekah karena senyuman. “Apakah kalian akrab?”

“Lumayan.”

“Tidak juga.”

Jawaban berbeda yang terlontar dari Jihan dan Rangga membuat Silvia mengernyit bingung. Bagaimana mungkin Rangga menjawab “lumayan” sementara Jihan mengatakan “tidak juga”. Seperti apa hubungan mereka sebenarnya?

“Apa maksudmu dengan ‘tidak juga’?” tanya Rangga sambil menatap protes ke arah Jihan. Ia tidak menyangka gadis itu akan memberi jawaban yang berbeda. Seolah persahabatan mereka dulu sudah dilupakan begitu saja. Ia sendiri sebenarnya ingin menjawab “sangat akrab”. Hanya saja, saat mengingat hubungan mereka yang tiba-tiba renggang begitu saja membuat ia memberikan jawaban yang berbeda.

“Maksudku....” Jihan buru-buru memalingkan wajah. Sementara benaknya mencoba mencari jawaban yang masuk akal. “Kami selalu satu kelas sejak kelas sepuluh. Dan sering dipilih sebagai ketua dan wakil ketua kelas. Itu saja. Jadi... begitulah.”

“Benar,” sahut Rangga ringan lalu tertawa kecil. “Seperti itulah hubungan kami.”

“Ya. Hanya sebatas hubungan antar profesi saja,” sahut Jihan cepat. Ia memaksakan tawa walaupun terdengar hambar.

Sambil mengulum senyum, Silvia memandang bergantian antara Jihan dan Rangga. Ia merasakan sedikit suasana canggung di antara teman lama ini. Tetapi itu wajar saja bukan? Semua orang juga pasti akan bersikap seperti itu jika bertemu dengan orang yang lama tidak ditemui.

Jihan bersyukur dalam hati saat seorang waitress datang menghampiri meja mereka dan menyelamatkannya dari suasana rikuh di antara mereka bertiga. Waitress itu berpenampilan rapi mengenakan seragam yang didominasi warna-warna pelangi itu. Hanya saja ia terlihat gugup saat menatap Rangga. Jemarinya bergerak malu-malu menyelipkan helaian rambut hitam pendeknya ke belakang telinga dan tersenyum kikuk.

“Apa Anda ingin minum sesuatu?” tanya waitress itu dengan nada ramah yang dibuat-buat.

Jihan menundukkan kepalanya menatap gelasnya yang sudah kosong. Hanya menyisakan sedotan bening dan titik-titik air di luar permukaan gelas. Bahkan irisan jeruk yang menghiasi gelas itu sudah ikut berpindah ke dalam perutnya.

Sengaja Jihan mengalihkan pandangannya. Entah mengapa ia merasa malu sudah memesan minuman kesukaan Rangga tadi. Padahal dahulu ia sering mengolok-olok minuman itu. Semoga saja Silvia tidak akan menyadari hubungan mereka melalui minuman yang dipesan Rangga. Tentu saja lelaki itu pasti akan memesan....

“Aku mau cappucino.”


Jihan mengangkat wajahnya. Alisnya terangkat saat mendengar suara Rangga. Cappuccino? Apa ia tidak salah dengar? Bukankah itu salah satu variasi kopi? Tetapi sedetik kemudian, Jihan menyadari satu hal. Selama lima tahun berlalu, mungkin saja Rangga sudah mengalami banyak perubahan.

“Aku juga mau,” timpal Silvia sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. Lalu ia menatap ke arah Jihan dan bertanya, “apa kau juga mau, Jihan?”

“Eh?” Jihan tergeragap. Matanya memandang bingung ke arah Silvia.

Silvia hanya tertawa kecil lalu bergumam sendiri. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Jihan melamun dan tidak fokus pada lawan bicaranya. “Aku bertanya apa kau juga mau secangkir cappuccino?” Ia mengulangi pertanyaannya lambat-lambat.

“Eh?” Jihan menggeleng dan kembali menunduk atas rasa malu. “Tidak, terima kasih.”

“Baiklah. Dua cangkir cappuccino,” gumam waitress itu seraya menggerakkan penanya pada kertas dalam genggamannya. “Saya akan kembali membawa pesanan Anda. Harap menunggu sebentar.”

“Apa kabarmu, Jihan?” tanya Rangga setelah waitress itu berlalu.

Sebenarnya, itu pertanyaan paling klise yang bisa dilontarkan seorang teman lama. Tetapi Jihan malah memasang ekspresi bodoh seolah tengah memandang setumpuk soal matematika. Kepalanya dimiringkan dan bibirnya sedikit terbuka.

“Ka, kabarku?” Keningnya mengernyit. Tetapi kemudian ia berhasil menjawab pertanyaan itu walaupun dengan suara lemah. “Oh baik. Tentu saja baik. Kau sendiri? Bagaimana kabarmu?”

Rangga tersenyum miris. Tetapi nada bicaranya yang tenang menyelamatkannya. “Aku juga baik.”

Sial. Tanpa sadar Jihan menggigit bibir karena gugup. Ia merasa masih tidak bisa memercayai bahwa lelaki yang duduk di hadapannya saat ini adalah Rangga. Lelaki yang dicintainya. Lelaki yang juga mencintainya. Setidaknya lima tahun yang lalu.

Tidak banyak yang berubah dari lelaki itu. Rangga malah terlihat lebih tampan dan lebih dewasa. Rambutnya tidak lagi dipotong rapi mengikuti peraturan sekolah. Kini ditata sedikit lebih bergaya. Tampak cocok membingkai wajahnya. Sementara polo shirt warna hijau hutannya menempel pas di tubuhnya yang tegap.

“Jangan kaget.” Silvia sengaja menyenggol siku Rangga di atas meja. “Aku tidak tahu seperti apa Jihan yang kaukenal dulu, tapi Jihan yang sekarang memang sering melamun seperti itu.” Silvia terkikik geli. Tidak peduli pada Jihan yang memelototinya penuh protes.

Rangga terkekeh pelan. Tampak menikmati gurauan Silvia. “Tapi aku sama sekali tidak tahu kalau Silvia berteman denganmu.”

Mata Jihan berhenti memelotot saat ia mengalihkan pandangannya ke arah Rangga. “Ya. Ini benar-benar suatu kebetulan.” Ia mencoba tertawa untuk menutupi perasaannya. Sementara matanya beralih menatap keluar jendela. Tidak tahan menatap Rangga terlalu lama.

“Aku tidak menyangka kau memanjangkan rambutmu,” ujar Rangga. Kata-katanya itu mengembalikan perhatian Jihan kepadanya. “Dulu kau tidak pernah membiarkan rambutmu panjang melebihi bahu.”

Jihan memerhatikan ujung rambut lurusnya yang sudah melebihi bahu dan menyentuh punggungnya. Bahkan ia sendiri tidak terlalu memerhatikan hal tersebut. Tetapi Rangga tampaknya melihat itu sebagai perubahan besar. Ia tidak tahu harus berkata apa dan malah mengatakan sesuatu yang tidak relevan. “Aku juga tidak menyangka kekasih Silvia adalah dirimu.”

Sekali lagi, Jihan memalingkan wajahnya. Walaupun tidak melihat, ia bisa merasakan Silvia sedang memelotot ke arahnya dengan pipi berubah merah. Ia tidak peduli. Itu sebagai balasan karena Silvia mengoloknya sebagai tukuang melamun. Lagi pula ia yakin Silvia mudah menyelamatkan diri dari suasana seperti ini.

Secepat mungkin Silvia harus menemukan topik pembicaraan untuk mengalihkan pembahasan mengenai kekasih. Jihan pasti sengaja membalasnya kali ini. Memang benar Silvia jatuh cinta pada Rangga, tetapi ia belum yakin lelaki itu juga menginginkan hubungan seperti yang diidamkannya. Dan ia tidak ingin terlalu gegabah dalam menjalani hubungan ini. Lelaki seperti Rangga harus ditaklukan secara perlahan. Hingga lelaki itu tidak menyadari sudah terjerat dalam pesona Silvia.

“Rangga, bagaimana kalau setelah ini kita makan siang bersama?” usul Silvia sambil mengamit lengan Rangga dengan manja.

“Boleh.”

“Kita bisa mencoba menu nasi goreng cumi-cumi yang terkenal lezat itu.”

“Oh itu restoran yang kauceritakan tempo hari, ya.”

Rangga menatap Silvia sambil tersenyum. Senyuman menawan yang selalu diingat Jihan. Tetapi kini senyuman itu hanya milik Silvia seorang. Entah mengapa Jihan merasa berdosa karena sedang mengagumi senyuman itu sekarang.

Kedua sahabatnya menjalin hubungan yang dekat. Bahkan sudah direstui oleh kedua orang tua mereka. Tanpa sadar Jihan mendengus perlahan. Ia melihat batinnya tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Ini seperti sebuah hinaan telak. Lima tahun yang lalu, ia menolak pernyataan cinta Rangga karena menganggap perasaan lelaki itu seperti sebuah lelucon. Dan sekarang lelaki itu duduk di hadapannya. Terasa begitu dekat sekaligus begitu jauh. Jihan yakin, dalam hitungan hari mereka berdua akan resmi menjadi sepasang kekasih. Bahkan mungkin lebih.

Itu bukan masalah bagi Jihan. Justru ini adalah sebuah akhir yang baik. Mereka berdua tampak serasi dan saling melengkapi. Dibandingkan dengan dirinya, tampaknya Silvia jauh lebih pantas mendampingi Rangga. Seharusnya ia bersyukur karena penantiannya selama ini terjawab sudah. Sekarang yang harus ia lakukan adalah membenahi perasaannya dan membuka hati untuk cinta yang baru.

Tetapi... apakah Jihan mampu?

“Jihan, kau juga ikut makan siang, kan?” ajak Silvia dengan nada ceria. Menarik paksa Jihan dari lamunannya.

“Eh?” gumam Jihan tampak linglung. Tepat ketika ia hendak menyatakan penolakan, seorang waitress datang menghentikan niatnya.

“Maaf menunggu lama,” gumam waitress itu sambil memindahkan dua cangkir cappuccino dari nampan ke atas meja. Kemudian gadis itu berlalu dengan wajah merona sesaat setelah Rangga berujar terima kasih.

Aroma kopi dan susu yang khas menguar dari kedua cangkir berwarna putih itu. Kemudian bersatu padu di udara, memanjakan indra penciuman Jihan. Sekelebat kenangan memaksa masuk dalam benaknya sekarang.

Gelas-gelas kaca yang terususun rapi menghiasi dinding sebuah kafe. Tampak berkilau ketika cahaya senja menerpa melalui jendela. Di samping jendela itu, duduk berhadapan seorang lelaki dan perempuan. Mereka mengenakan seragam sekolah yang tampak kusut. Sosok mereka tidak terlalu jelas karena cahaya terang di sekitar mereka. Tetapi Jihan yakin ia melihat dua orang itu tersenyum dan bersenda gurau. Di atas meja bundar yang ada di antara mereka terdapat segelas orange juice dan secangkir cappuccino.

Entah bagaimana caranya, tetapi Jihan seolah mampu menghirup aroma cappuccino dari cangkir gadis itu. Hingga tanpa ia sadari, napasnya terasa sesak. Bukan karena aroma itu. Melainkan kenangan-kenangan yang termanifestasi sesuka hati dalam benaknya. Refleks, ia mengcengkeram ujung tempat duduknya. Matanya menatap ke arah gelasnya yang kosong. Seperti hatinya saat ini.

“Jihan, apa yang terjadi?” tanya Silvia khawatir begitu menyadari perubahan ekspresi Jihan yang memucat.

Perlahan Jihan mengangkat wajahnya dan memasang senyum palsu. “Tidak apa, Silvia. Aku hanya merasa sedikit pusing. Jadi sepertinya, aku tidak bisa ikut makan siang bersama kalian.”

Wajah Silvia berbalut ekspresi kecewa sekaligus khawatir. “Kau yakin tidak apa-apa?”

“Tenang saja,” jawab Jihan sambil menganggukkan kepala untuk meyakinkan Silvia. “Aku hanya perlu pulang dan istirahat sekarang.”

“Kalau bersedia, aku bisa mengantarmu.” Rangga menawarkan bantuan. Wajahnya tidak kalah khawatir.

“Itu benar, Jihan. Biarkan Rangga mengantarmu pulang.” Tidak sedikit pun tampak binar cemburu di mata Silvia. Ia begitu mementingkan keselamatan sahabatnya. Benar-benar gadis yang baik hati. Sekejap, Jihan langsung merasa kalah telak dari Silvia.

“Tidak perlu,” tolak Jihan cepat. Sadar bahwa suaranya terdengar sedikit membentak, ia menutupi dengan tawa kecil dan kedipan mata ke arah Silvia. “Nikmati saja waktu kalian berdua.”

Jihan meraih tasnya yang terletak di dekat jendela. Kemudian ia meletakkan di atas pangkuannya, memasukkan ponselnya dari atas meja kemudian mengeluarkan dompetnya. Tentu saja ia harus membayar orange juice yang diminumnya tadi.

“Tidak perlu, Jihan. Aku yang traktir hari ini,” ujar Rangga ketika melihat Jihan menggenggam dompetnya.

“Wah, beruntung sekali aku hari ini,” sahut Jihan dengan nada ramah dibuat-buat seperti waitress yang mengantar pesanan mereka tadi. “Maaf merepotkanmu setelah sekian lama kita tidak bertemu.”

“Tidak masalah,” timpal Rangga sambil tersenyum lebar. Menampakkan deretan giginya yang putih.

“Kalau begitu, aku pulang dulu,” pamit Jihan sambil bangkit dari duduknya.

“Sampai ketemu hari Senin, ya.”

Jihan menganggukkan kepala kepada Silvia lalu berputar cepat. Rasanya ia tidak akan sanggup mendengar ucapan perpisahan dari Rangga. Lebih baik secepatnya ia pergi dari hadapan mereka berdua.

“Hati-hati di jalan, Jihan.”

Punggung Jihan menegak begitu saja saat mendengar suara Rangga. Ucapan itu begitu jelas di telinganya. Suara yang selama ini dirindukannya. Tetapi kini terasa menusuk di punggungnya.

Alih-alih meyahuti ucapan itu, Jihan memilih untuk terus melangkah keluar meninggalkan kafe. Ia membiarkan suara itu bergema di udara yang dilaluinya. Dan tidak sedikit pun ia menoleh ke belakang.
***

Seulas senyum merekah di bibir Silvia. Perasaannya begitu penuh dengan bunga-bunga jatuh cinta. Ia membaringkan tubuhnya di kamar, menatap langit-langit ruangan yang entah mengapa tampak berbinar. Baru saja Rangga mengantarnya pulang. Setelah seharian mereka menikmati waktu bersama. Setelah berpisah dengan Jihan di kafe, mereka lanjut pergi ke restoran yang ditunjuk Silvia. Kemudian mereka pergi menonton film, berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, menikmati es krim, dan menyantap makan malam sebagai penutup.

Astaga! Silvia menyentuhkan telapak tangan pada kedua pipinya yang panas. Hari ini benar-benar menyenangkan baginya. Semakin mengenal Rangga, ia selalu merasa jatuh cinta lagi dan lagi. Seolah lelaki itu sudah menebarkan mantra cinta untuknya. Kalau terus seperti ini, mungkin ia bisa meminta orang tuanya untuk membicarakan hubungan lebih lanjut antara dirinya dan Rangga.

Tetapi kemudian Silvia menggelengkan kepalanya. Ia sadar bahwa ia tidak boleh bertindak gegabah. Atau ia akan kehilangan kesempatan untuk dekat dengan Rangga. Sembari menunggu lelaki itu menyadari perasaannya, yang bisa dilakukan Silvia hanyalah bersikap tenang.

Ya. Tenang, Silvia! Ia bergumam dalam hati menyemangati dirinya sendiri saat teringat sikap Rangga yang tidak seperti biasanya. Lelaki itu tampak murung dan... sedih. Entah mengapa. Silvia tidak tahu alasannya. Ketika ditanya, lelaki itu hanya menjawab bahwa sedang tidak enak badan. Tetapi Rangga berani memastikan bahwa kondisinya akan cepat pulih setelah beristirahat. Saat Silvia menawarkan untuk pulang lebih awal, lelaki itu menolak dengan alasan tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang menyenangkan untuk mereka berdua.

Silvia bahagia. Tentu saja. Hubungannya dan Rangga begitu akrab dengan mudahnya. Seolah mereka memang sudah diciptakan untuk bersama. Saling melengkapi satu sama lain. Apalagi ditambah restu yang mengalir dari kedua orang tua masing-masing.

Tangan Silvia meraih ponselnya yang ada di dalam tas. Ia mengangkat benda mungil itu ke arah langit-langit kamar. Keningnya mengernyit samar saat menyadari benda itu tampak hening malam ini. Biasanya, ponselnya akan meraung nyaring menandakan panggilan masuk atau pesan singkat dari Rangga. Walaupun hanya sekedar memberi kabar bahwa lelaki itu sudah tiba di apartemennya.

Tetapi Silvia tidak peduli. Ia menjatuhkan ponselnya ke atas tempat tidur. Sementara tangannya tetap memanjang ke arah langit-langit kamar seolah bisa menggapainya. Malam ini ia kelewat bahagia hingga kekhawatiran seperti itu tidak akan mengusiknya. Sebagai gantinya, ia meraih kembali ponselnya lalu mengetik cepat. Senyum lebar tidak henti menghiasi wajahnya saat ia mengirimkan ucapan terima kasih dan selamat tidur untuk Rangga.


Sepertinya, ia akan bermimpi indah malam ini.


4 komentar:

  1. Pasti 'ngak enak banget pas punya posisi yang sama kaya Jihan :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kasihan Jihan... tapi kasihan juga Silvia kalau tahu :(
      gimana kecewanya dia...

      Hapus
  2. Aduuh.. Coba Jihan bilang "Kita deket malah hampir jadian."
    Tamat deh :v
    Gimana yaa kalo Silvia tau apa yg terjadi di masa lalu? :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Terus Orange Sunset tamat di chapter 2 deh (´△`)
      Silvia gulung2 di pasir hehehe ( ̄∀ ̄)

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D