Buenos días, mi amigo!
Apa ada yang pagi-pagi
sudah menyiapkan camilan sambil mampir ke Stoples Cerita?
Hari ini postingan Orange
Sunset (Dua) didedikasikan untuk partner di blog ini yang katanya suka sama
narasi-deskripsinya: Deana Asta.
Jangan lupa kelanjutan Red Lie juga ditunggu.
Selamat membaca dan ditunggu sarannya di kolom komentar. \(^o^
Selamat membaca dan ditunggu sarannya di kolom komentar. \(^o^
DAHULU, Jihan dan Rangga sering menghabiskan waktu dengan
duduk-duduk di kafe yang terletak tidak jauh dari sekolah. Mereka bisa
melakukan itu kapan saja. Di akhir pekan maupun sepulang sekolah tidak pernah
jadi masalah. Selalu banyak waktu menyenangkan yang mereka bagi bersama.
‘Kau mau pesan apa?’ tanya Jihan sambil menatap
lekat-lekat lembaran menu bertuliskan daftar minuman yang ada di kafe itu. Ia
tetap saja bertanya walaupun pesanan Rangga selalu sama. Bahkan para pelayan di
kafe itu hafal dengan minuman favorit lelaki itu.
Mereka memang selalu hanya memesan minuman dan betah
berlama-lama mengobrol di kafe itu. Keadaan finansial mereka sebagai siswa
tidak cukup mendukung untuk memesan makanan. Jadi, lebih baik mereka menahan
perut yang bergemuruh sampai nanti tiba jam makan malam di rumah masing-masing.
Berbeda dengan Jihan yang lebih suka mencoba berbagai
jenis kopi, Rangga lebih memilih untuk setia pada satu minuman yang sama: orange juice. Jihan tidak habis pikir
mengapa sahabat terdekatnya kala itu sangat menyukai minuman berwarna oranye
itu. Gelas tinggi, sedotan bening, dan potongan jeruk berbentuk lingkaran yang
disematkan pada bibir gelas itu tampak... terlalu manis. Tidak sesuai dengan
penampilan Rangga yang selalu terlihat gagah. Begitu pikir Jihan.
‘Kenapa kau selalu memesan minuman itu? Seperti tidak ada
minuman lain saja,’ ujar Jihan lantas menyesap kopi panas dari cangkir di
hadapannya.
‘Kau sendiri selalu memesan minuman pahit seperti itu,’
timpal Rangga sambil menunjuk dengan dagunya. Tidak terima pada komentar Jihan
atas minuman favoritnya.
‘Kopi
tidak sepahit yang kaubayangkan. Minuman ini manis jika tahu cara menikmatinya.’ Jihan mencibir. Tidak rela kalah. ‘Kau sendiri tampak tidak pernah bosan pada
minuman oranye itu.’
‘Warna minuman ini selalu mengingatkanku pada langit
senja,’ jawab Rangga. ‘Kau tahu kenapa?’
Jihan menggelengkan kepalanya.
‘Karena bagiku, senja adalah wujud dari perasaan rindu,’
lanjut Rangga tanpa penjelasan berarti. Membiarkan Jihan yang termangu dengan
benak dipenuhi tanda tanya. Ia ingin bertanya tetapi ia tidak tahu harus
bertanya apa. Otaknya kelewat tidak mengerti hingga tidak ada pertanyaan khusus
yang muncul.
‘Memang ada hubungan apa antara senja dan rindu?’ tanya
Jihan akhirnya. Ia sengaja memilih pertanyaan paling klise agar ia tidak
terlalu terlihat bodoh.
Tetapi Rangga tidak menjawab. Ia hanya tersenyum penuh
misteri. Bahkan setelah pernyataan cintanya kala senja lima tahun yang lalu,
pertanyaan itu tidak pernah terjawab.
***
“Jadi, kalian sudah saling mengenal?” tanya Silvia takjub
saat ia sudah kembali duduk di hadapan Jihan. Hanya saja kali ini ada Rangga di
sampingnya.
Jihan terdiam salah tingkah. Sesaat ia mengalami
disorientasi antara masa lalu dan masa sekarang. Hanya matanya yang sibuk
memandang bergantian ke arah Silvia dan Rangga. Siapa yang menyangka lelaki
yang paling ingin ditemuinya kini hadir tepat di hadapannya? Walaupun dengan
status sebagai kekasih dari sahabatnya sendiri.
“Kami bersekolah di SMA yang sama.”
Jihan menghela napas lega saat mendengar Rangga bersuara
menjawab pertanyaan Silvia. Ia masih terlalu terkejut. Hingga banyak kalimat
merenggang nyawa di ujung lidahnya.
“Benarkah?” Mata Silvia melebar. Wajahnya merekah karena
senyuman. “Apakah kalian akrab?”
“Lumayan.”
“Tidak juga.”
Jawaban berbeda yang terlontar dari Jihan dan Rangga
membuat Silvia mengernyit bingung. Bagaimana mungkin Rangga menjawab “lumayan”
sementara Jihan mengatakan “tidak juga”. Seperti apa hubungan mereka
sebenarnya?
“Apa maksudmu dengan ‘tidak juga’?” tanya Rangga sambil
menatap protes ke arah Jihan. Ia tidak menyangka gadis itu akan memberi jawaban
yang berbeda. Seolah persahabatan mereka dulu sudah dilupakan begitu saja. Ia
sendiri sebenarnya ingin menjawab “sangat akrab”. Hanya saja, saat mengingat
hubungan mereka yang tiba-tiba renggang begitu saja membuat ia memberikan
jawaban yang berbeda.
“Maksudku....” Jihan buru-buru memalingkan wajah.
Sementara benaknya mencoba mencari jawaban yang masuk akal. “Kami selalu satu
kelas sejak kelas sepuluh. Dan sering dipilih sebagai ketua dan wakil ketua
kelas. Itu saja. Jadi... begitulah.”
“Benar,” sahut Rangga ringan lalu tertawa kecil. “Seperti
itulah hubungan kami.”
“Ya. Hanya sebatas hubungan antar profesi saja,” sahut
Jihan cepat. Ia memaksakan tawa walaupun terdengar hambar.
Sambil mengulum senyum, Silvia memandang bergantian
antara Jihan dan Rangga. Ia merasakan sedikit suasana canggung di antara teman
lama ini. Tetapi itu wajar saja bukan? Semua orang juga pasti akan bersikap
seperti itu jika bertemu dengan orang yang lama tidak ditemui.
Jihan bersyukur dalam hati saat seorang waitress datang menghampiri meja mereka
dan menyelamatkannya dari suasana rikuh di antara mereka bertiga. Waitress itu berpenampilan rapi
mengenakan seragam yang didominasi warna-warna pelangi itu. Hanya saja ia
terlihat gugup saat menatap Rangga. Jemarinya bergerak malu-malu menyelipkan
helaian rambut hitam pendeknya ke belakang telinga dan tersenyum kikuk.
“Apa Anda ingin minum sesuatu?” tanya waitress itu dengan nada ramah yang
dibuat-buat.
Jihan menundukkan kepalanya menatap gelasnya yang sudah
kosong. Hanya menyisakan sedotan bening dan titik-titik air di luar permukaan
gelas. Bahkan irisan jeruk yang menghiasi gelas itu sudah ikut berpindah ke
dalam perutnya.
Sengaja Jihan mengalihkan pandangannya. Entah mengapa ia
merasa malu sudah memesan minuman kesukaan Rangga tadi. Padahal dahulu ia
sering mengolok-olok minuman itu. Semoga saja Silvia tidak akan menyadari
hubungan mereka melalui minuman yang dipesan Rangga. Tentu saja lelaki itu
pasti akan memesan....
“Aku mau cappucino.”
Jihan mengangkat wajahnya. Alisnya terangkat saat
mendengar suara Rangga. Cappuccino?
Apa ia tidak salah dengar? Bukankah itu salah satu variasi kopi? Tetapi sedetik
kemudian, Jihan menyadari satu hal. Selama lima tahun berlalu, mungkin saja
Rangga sudah mengalami banyak perubahan.
“Aku juga mau,” timpal Silvia sambil mengangkat jari
telunjuk dan jari tengahnya. Lalu ia menatap ke arah Jihan dan bertanya, “apa
kau juga mau, Jihan?”
“Eh?” Jihan tergeragap. Matanya memandang bingung ke arah
Silvia.
Silvia hanya tertawa kecil lalu bergumam sendiri. Ini
bukan pertama kalinya ia melihat Jihan melamun dan tidak fokus pada lawan
bicaranya. “Aku bertanya apa kau juga mau secangkir cappuccino?” Ia mengulangi pertanyaannya lambat-lambat.
“Eh?” Jihan menggeleng dan kembali menunduk atas rasa
malu. “Tidak, terima kasih.”
“Baiklah. Dua cangkir cappuccino,”
gumam waitress itu seraya
menggerakkan penanya pada kertas dalam genggamannya. “Saya akan kembali membawa
pesanan Anda. Harap menunggu sebentar.”
“Apa kabarmu, Jihan?” tanya Rangga setelah waitress itu berlalu.
Sebenarnya, itu pertanyaan paling klise yang bisa dilontarkan
seorang teman lama. Tetapi Jihan malah memasang ekspresi bodoh seolah tengah
memandang setumpuk soal matematika. Kepalanya dimiringkan dan bibirnya sedikit
terbuka.
“Ka, kabarku?” Keningnya mengernyit. Tetapi kemudian ia
berhasil menjawab pertanyaan itu walaupun dengan suara lemah. “Oh— baik. Tentu saja baik. Kau sendiri? Bagaimana kabarmu?”
Rangga tersenyum miris. Tetapi nada bicaranya yang tenang
menyelamatkannya. “Aku juga baik.”
Sial. Tanpa sadar
Jihan menggigit bibir karena gugup. Ia merasa masih tidak bisa memercayai bahwa
lelaki yang duduk di hadapannya saat ini adalah Rangga. Lelaki yang
dicintainya. Lelaki yang juga mencintainya. Setidaknya lima tahun yang lalu.
Tidak banyak yang berubah dari lelaki itu. Rangga malah terlihat
lebih tampan dan lebih dewasa. Rambutnya tidak lagi dipotong rapi mengikuti
peraturan sekolah. Kini ditata sedikit lebih bergaya. Tampak cocok membingkai
wajahnya. Sementara polo shirt warna hijau hutannya menempel pas di tubuhnya yang
tegap.
“Jangan kaget.” Silvia sengaja menyenggol siku Rangga di
atas meja. “Aku tidak tahu seperti apa Jihan yang kaukenal dulu, tapi Jihan
yang sekarang memang sering melamun seperti itu.” Silvia terkikik geli. Tidak
peduli pada Jihan yang memelototinya penuh protes.
Rangga terkekeh pelan. Tampak menikmati gurauan Silvia. “Tapi aku sama sekali tidak tahu kalau
Silvia berteman denganmu.”
Mata Jihan berhenti memelotot saat ia mengalihkan
pandangannya ke arah Rangga. “Ya. Ini benar-benar suatu kebetulan.” Ia mencoba
tertawa untuk menutupi perasaannya. Sementara matanya beralih menatap keluar
jendela. Tidak tahan menatap Rangga terlalu lama.
“Aku tidak
menyangka kau memanjangkan rambutmu,”
ujar Rangga. Kata-katanya itu mengembalikan perhatian Jihan kepadanya. “Dulu
kau tidak pernah membiarkan rambutmu panjang melebihi bahu.”
Jihan memerhatikan ujung rambut lurusnya yang sudah
melebihi bahu dan menyentuh punggungnya. Bahkan ia sendiri tidak terlalu memerhatikan
hal tersebut. Tetapi Rangga tampaknya melihat itu sebagai perubahan besar. Ia
tidak tahu harus berkata apa dan malah mengatakan sesuatu yang tidak relevan.
“Aku juga tidak menyangka kekasih Silvia adalah dirimu.”
Sekali lagi, Jihan memalingkan wajahnya. Walaupun tidak
melihat, ia bisa merasakan Silvia sedang memelotot ke arahnya dengan pipi
berubah merah. Ia tidak peduli. Itu sebagai
balasan karena Silvia mengoloknya sebagai tukuang melamun. Lagi pula ia yakin
Silvia mudah menyelamatkan diri dari suasana seperti ini.
Secepat mungkin Silvia harus menemukan topik pembicaraan
untuk mengalihkan pembahasan mengenai kekasih. Jihan pasti sengaja membalasnya
kali ini. Memang benar Silvia jatuh cinta pada Rangga, tetapi ia belum yakin lelaki
itu juga menginginkan hubungan seperti yang diidamkannya. Dan ia tidak ingin
terlalu gegabah dalam menjalani hubungan ini. Lelaki seperti Rangga harus
ditaklukan secara perlahan. Hingga lelaki itu tidak menyadari sudah terjerat
dalam pesona Silvia.
“Rangga, bagaimana kalau setelah ini kita makan siang
bersama?” usul Silvia sambil mengamit lengan Rangga dengan manja.
“Boleh.”
“Kita bisa mencoba menu nasi goreng cumi-cumi yang
terkenal lezat itu.”
“Oh— itu restoran yang kauceritakan tempo hari, ya.”
Rangga menatap Silvia sambil tersenyum. Senyuman menawan yang
selalu diingat Jihan. Tetapi kini senyuman itu hanya milik Silvia seorang. Entah
mengapa Jihan merasa berdosa karena sedang mengagumi senyuman itu sekarang.
Kedua sahabatnya menjalin hubungan yang dekat. Bahkan
sudah direstui oleh kedua orang tua mereka. Tanpa sadar Jihan mendengus
perlahan. Ia melihat batinnya tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Ini
seperti sebuah hinaan telak. Lima tahun yang lalu, ia menolak pernyataan cinta
Rangga karena menganggap perasaan lelaki itu seperti sebuah lelucon. Dan
sekarang lelaki itu duduk di hadapannya. Terasa begitu dekat sekaligus begitu
jauh. Jihan yakin, dalam hitungan hari mereka berdua akan resmi menjadi
sepasang kekasih. Bahkan mungkin lebih.
Itu bukan masalah bagi Jihan. Justru ini adalah sebuah
akhir yang baik. Mereka berdua tampak serasi dan saling melengkapi.
Dibandingkan dengan dirinya, tampaknya Silvia jauh lebih pantas mendampingi Rangga.
Seharusnya ia bersyukur karena penantiannya selama ini terjawab sudah. Sekarang
yang harus ia lakukan adalah membenahi perasaannya dan membuka hati untuk cinta
yang baru.
Tetapi... apakah Jihan mampu?
“Jihan, kau juga ikut makan siang, kan?” ajak Silvia
dengan nada ceria. Menarik paksa Jihan dari lamunannya.
“Eh?” gumam Jihan tampak linglung. Tepat ketika ia hendak
menyatakan penolakan, seorang waitress
datang menghentikan niatnya.
“Maaf menunggu lama,” gumam waitress itu sambil memindahkan dua cangkir cappuccino dari nampan ke atas meja. Kemudian gadis itu berlalu
dengan wajah merona sesaat setelah Rangga berujar terima kasih.
Aroma kopi dan susu yang khas menguar dari kedua cangkir
berwarna putih itu. Kemudian bersatu padu di udara, memanjakan indra penciuman
Jihan. Sekelebat kenangan memaksa masuk dalam benaknya sekarang.
Gelas-gelas kaca yang terususun rapi menghiasi dinding
sebuah kafe. Tampak berkilau ketika cahaya senja menerpa melalui jendela. Di
samping jendela itu, duduk berhadapan seorang lelaki dan perempuan. Mereka
mengenakan seragam sekolah yang tampak kusut. Sosok mereka tidak terlalu jelas
karena cahaya terang di sekitar mereka. Tetapi Jihan yakin ia melihat dua orang
itu tersenyum dan bersenda gurau. Di atas meja bundar yang ada di antara mereka
terdapat segelas orange
juice dan secangkir cappuccino.
Entah bagaimana caranya, tetapi Jihan seolah mampu
menghirup aroma cappuccino dari
cangkir gadis itu. Hingga tanpa ia sadari, napasnya terasa sesak. Bukan karena
aroma itu. Melainkan kenangan-kenangan yang termanifestasi sesuka hati dalam
benaknya. Refleks, ia mengcengkeram ujung tempat duduknya. Matanya menatap ke
arah gelasnya yang kosong. Seperti hatinya saat ini.
“Jihan, apa yang terjadi?” tanya Silvia khawatir begitu
menyadari perubahan ekspresi Jihan yang memucat.
Perlahan Jihan mengangkat wajahnya dan memasang senyum
palsu. “Tidak apa, Silvia. Aku hanya merasa sedikit pusing. Jadi sepertinya,
aku tidak bisa ikut makan siang bersama kalian.”
Wajah Silvia berbalut ekspresi kecewa sekaligus khawatir.
“Kau yakin tidak apa-apa?”
“Tenang saja,” jawab Jihan sambil menganggukkan kepala
untuk meyakinkan Silvia. “Aku hanya perlu pulang dan istirahat sekarang.”
“Kalau bersedia, aku bisa mengantarmu.” Rangga menawarkan
bantuan. Wajahnya tidak kalah khawatir.
“Itu benar, Jihan. Biarkan Rangga mengantarmu pulang.”
Tidak sedikit pun tampak binar cemburu di mata Silvia. Ia begitu mementingkan
keselamatan sahabatnya. Benar-benar gadis yang baik hati. Sekejap, Jihan
langsung merasa kalah telak dari Silvia.
“Tidak perlu,” tolak Jihan cepat. Sadar bahwa suaranya
terdengar sedikit membentak, ia menutupi dengan tawa kecil dan kedipan mata ke
arah Silvia. “Nikmati saja waktu kalian berdua.”
Jihan meraih tasnya yang terletak di dekat jendela.
Kemudian ia meletakkan di atas pangkuannya, memasukkan ponselnya dari atas meja
kemudian mengeluarkan dompetnya. Tentu saja ia harus membayar orange juice
yang diminumnya tadi.
“Tidak perlu, Jihan. Aku yang traktir hari ini,” ujar
Rangga ketika melihat Jihan menggenggam dompetnya.
“Wah, beruntung sekali aku hari ini,” sahut Jihan dengan
nada ramah dibuat-buat seperti waitress yang
mengantar pesanan mereka tadi. “Maaf merepotkanmu setelah sekian lama kita
tidak bertemu.”
“Tidak masalah,” timpal Rangga sambil tersenyum lebar.
Menampakkan deretan giginya yang putih.
“Kalau begitu, aku pulang dulu,” pamit Jihan sambil
bangkit dari duduknya.
“Sampai ketemu hari Senin, ya.”
Jihan menganggukkan kepala kepada Silvia lalu berputar
cepat. Rasanya ia tidak akan sanggup mendengar ucapan perpisahan dari Rangga.
Lebih baik secepatnya ia pergi dari hadapan mereka berdua.
“Hati-hati di jalan, Jihan.”
Punggung Jihan menegak begitu saja saat mendengar suara
Rangga. Ucapan itu begitu jelas di telinganya. Suara yang selama ini
dirindukannya. Tetapi kini terasa menusuk di punggungnya.
Alih-alih meyahuti ucapan itu, Jihan memilih untuk terus
melangkah keluar meninggalkan kafe. Ia membiarkan suara itu bergema di udara
yang dilaluinya. Dan tidak sedikit pun ia menoleh ke belakang.
***
Seulas senyum merekah di bibir Silvia. Perasaannya begitu
penuh dengan bunga-bunga jatuh cinta. Ia membaringkan tubuhnya di kamar,
menatap langit-langit ruangan yang entah mengapa tampak berbinar. Baru saja
Rangga mengantarnya pulang. Setelah seharian mereka menikmati waktu bersama. Setelah
berpisah dengan Jihan di kafe, mereka lanjut pergi ke restoran yang ditunjuk
Silvia. Kemudian mereka pergi menonton film, berjalan-jalan di pusat
perbelanjaan, menikmati es krim, dan menyantap makan malam sebagai penutup.
Astaga! Silvia
menyentuhkan telapak tangan pada kedua pipinya yang panas. Hari ini benar-benar
menyenangkan baginya. Semakin mengenal Rangga, ia selalu merasa jatuh cinta
lagi dan lagi. Seolah lelaki itu sudah menebarkan mantra cinta untuknya. Kalau
terus seperti ini, mungkin ia bisa meminta orang tuanya untuk membicarakan
hubungan lebih lanjut antara dirinya dan Rangga.
Tetapi kemudian Silvia menggelengkan kepalanya. Ia sadar
bahwa ia tidak boleh bertindak gegabah. Atau ia akan kehilangan kesempatan
untuk dekat dengan Rangga. Sembari menunggu lelaki itu menyadari perasaannya,
yang bisa dilakukan Silvia hanyalah bersikap tenang.
Ya. Tenang, Silvia! Ia bergumam dalam hati menyemangati dirinya sendiri saat teringat sikap
Rangga yang tidak seperti biasanya. Lelaki itu tampak murung dan... sedih.
Entah mengapa. Silvia tidak tahu alasannya. Ketika ditanya, lelaki itu hanya
menjawab bahwa sedang tidak enak badan. Tetapi Rangga berani memastikan bahwa
kondisinya akan cepat pulih setelah beristirahat. Saat Silvia menawarkan untuk
pulang lebih awal, lelaki itu menolak dengan alasan tidak ingin menyia-nyiakan
waktu yang menyenangkan untuk mereka berdua.
Silvia bahagia. Tentu saja. Hubungannya dan Rangga begitu
akrab dengan mudahnya. Seolah mereka memang sudah diciptakan untuk bersama.
Saling melengkapi satu sama lain. Apalagi ditambah restu yang mengalir dari
kedua orang tua masing-masing.
Tangan Silvia meraih ponselnya yang ada di dalam tas. Ia
mengangkat benda mungil itu ke arah langit-langit kamar. Keningnya mengernyit
samar saat menyadari benda itu tampak hening malam ini. Biasanya, ponselnya
akan meraung nyaring menandakan panggilan masuk atau pesan singkat dari Rangga.
Walaupun hanya sekedar memberi kabar bahwa lelaki itu sudah tiba di apartemennya.
Tetapi Silvia tidak peduli. Ia menjatuhkan ponselnya ke
atas tempat tidur. Sementara tangannya tetap memanjang ke arah langit-langit
kamar seolah bisa menggapainya. Malam ini ia kelewat bahagia hingga
kekhawatiran seperti itu tidak akan mengusiknya. Sebagai gantinya, ia meraih
kembali ponselnya lalu mengetik cepat. Senyum lebar tidak henti menghiasi
wajahnya saat ia mengirimkan ucapan terima kasih dan selamat tidur untuk
Rangga.
Sepertinya, ia akan bermimpi indah malam ini.
Pasti 'ngak enak banget pas punya posisi yang sama kaya Jihan :(
BalasHapusiya kasihan Jihan... tapi kasihan juga Silvia kalau tahu :(
Hapusgimana kecewanya dia...
Aduuh.. Coba Jihan bilang "Kita deket malah hampir jadian."
BalasHapusTamat deh :v
Gimana yaa kalo Silvia tau apa yg terjadi di masa lalu? :(
Iya. Terus Orange Sunset tamat di chapter 2 deh (´△`)
HapusSilvia gulung2 di pasir hehehe ( ̄∀ ̄)