“Aku merindukanmu,” ucap gadis cantik yang
ada di layar laptopku. Iris matanya yang hitam tampak sayu. Mata itu
memancarkan gumpalan rindu yang bergayut berat di hatinya.
“Aku juga merasakan hal yang sama. Aku sangat
ingin bertemu denganmu, kau tahu?” timpalku cepat seolah tidak mau kalah. Aku
ingin menunjukkan bahwa hati ini juga terisi dengan perasaan rindu yang dalam
kepadanya.
Saat–saat seperti ini merupakan hal yang
langka dalam hubungan kami berdua. Sejak tiga bulan yang lalu, kami sudah memulai
kehidupan sebagai mahasiswa di universitas yang terletak di kota yang berbeda.
Keadaan tersebut memaksa kami untuk menjalani hubungan jarak jauh yang terasa
menyiksa.
Banyak orang yang meragukan keputusan yang
kami pilih ini. Mereka beranggapan bahwa hubungan yang dipisahkan jarak seperti
ini tidak akan bertahan lama. Benang yang menghubungkan kami berdua akan
menegang karena kedua ujungnya ditarik ke arah yang berlawanan. Hanya tinggal
menunggu waktu hingga akhirnya benang itu putus dan meninggalkan rasa sakit
bagi kedua pihak.
Tetapi kami yakin bahwa hal tersebut tidak
akan terjadi. Bukankah suatu hubungan itu harus selalu dibangun di atas dua
hati yang saling percaya?
“Edwin?”
Aku terkesiap mendengar suara gadisku di
layar. Lamunanku buyar begitu saja.
“Apa yang kaupikirkan?” tanya Kiara dengan
raut khawatir. “Apakah kepalamu pusing? Aku rasa kau harus segera istirahat. Sekarang.”
Aku tersenyum mendengar perhatiannya yang
sama sekali tidak berubah. “Jangan khawatir. Aku hanya sedang memikirkan...
dirimu.”
“Hei, apa kau lupa jika aku tidak bisa
dirayu?”
Ia mengangkat satu alisnya seolah tidak suka.
Tetapi aku bisa melihat jelas pipinya merona. Dan bibir merah mudanya tampak
mengulum senyum malu-malu. Aku hanya tertawa dalam hati melihat hal tersebut.
Banyak hal tentang diriku yang tidak
diketahui oleh gadisku. Tentang betapa aku memujanya. Betapa aku sibuk
mempersiapkan diri dan merapikan kamar indekosku menjelang kencan video call yang selalu kami lakukan hampir
setiap malam.
“Apa saja yang kaulakukan hari ini?”
Sebaris pertanyaan itu selalu mampu memancing
gadisku untuk menceritakan harinya seolah ia sedang membacakan dongeng
anak-anak. Ia menceritakan semua —semuanya— yang ia alami hari itu sedetail
mungkin. Tentang bagaimana teman sekelasnya yang menyukai kakak kelas, dosennya
yang sering datang terlambat namun membenci anak didiknya yang datang lebih
terlambat darinya, atau tentang seekor kucing yang baru melahirkan di teras
depan indekosnya.
Selama ia bercerita, aku selalu mendengarkannya
dengan memasang ekspresi antusias dan bergumam kecil untuk menanggapi. Walaupun
terkadang aku tidak benar-benar mendengarkan ceritanya. Aku hanya suka
mendengar suara cemprengnya. Suara cempreng yang merdu. Setidaknya untuk
telingaku.
Saat kita mencintai seseorang, bukankah kita
akan mencintai orang itu secara utuh? Tanpa peduli bagaimana suaranya, bentuk
wajahnya, maupun warna kulitnya.
Tiba-tiba saja gadisku berhenti mengoceh. Kata-katanya
berhenti begitu mendadak di tengah kalimat yang belum mencapai tanda titik. Aku
tersentak dan langsung memusatkan konsentrasi kepada kata-katanya, bukan
suaranya semata.
“Maafkan aku, Edwin.” Keningnya berkerut
rikuh. “Tapi aku tiba-tiba teringat bahwa ada tugas yang belum aku kerjakan.
Jadi... bolehkah jika kita mengakhiri percakapan lebih awal?”
Aku mengerjap beberapa kali sebelum menjawab.
Syukurlah, ia tidak mendapati aku yang tidak memerhatikan ceritanya. “Tentu
saja boleh. Nanti aku akan mengirim pesan singkat.”
Kiara tampak mendesah lega di seberang sana.
“Maaf, Edwin. Kita lanjutkan besok, ya. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Begitu aku mengucapkan hal itu, gadisku
langsung menghilang dari layar laptopku. Ia meninggalkanku yang masih tertegun
menatap layar laptopku. Aku masih terpesona pada kecantikannya yang tidak
berubah seperti terakhir kali kami bertemu secara nyata.
Dan tiba-tiba aku teringat begitu saja untuk memeriksa
bukuku. Siapa tahu ada tugas yang terlewatkan dan belum aku kerjakan. Tapi
dengan cepat perhatianku teralih begitu saja pada benda mungil yang menjadi pengganti
pesawat telepon.
Jariku mengetik cepat, mengirim pesan singkat
untuk gadisku.
***
Aku membuka peta kota Surabaya yang tidak sengaja aku beli dari toko buku
yang baru saja aku kunjungi. Kiara kuliah di sebuah universitas negeri yang ada
di kota ini. Sebenarnya saat mengikuti seleksi nasional untuk masuk perguruan
tinggi, kami berdua sudah memilih universitas yang sama dengan jurusan yang
kami inginkan masing-masing. Hanya saja hasil ujian menempatkan kami di dua
universitas berbeda yang terletak di dua kota yang berjauhan.
Tanpa terasa sebentar lagi kami sama-sama
akan menghadapi ujian di akhir semester pertama kami menjadi mahasiswa. Dan
sepertinya kami akan sibuk untuk menyambut hal tersebut dengan belajar.
Walaupun yang kudengar, akan selalu satu pekan yang senggang sebelum akhirnya
memasuki pekan ujian yang menguras waktu untuk belajar.
Nah! Mengapa aku tidak menggunakan pekan
senggang itu untuk pergi ke kota pahlawan tempat gadisku berada?
Tetapi tunggu dulu. Aku harus memikirkan sekali
lagi rencana yang terpikirkan secara spontan ini. Tentu saja aku tidak boleh
asal-asalan untuk menempuh perjalanan jauh seperti ini. Pertama-tama, aku
melihat kalender yang tertempel di dinding kamarku. Dengan saksama aku memerhatikan
angka yang berderet rapi di sana.
Ini dia!
Keberuntungan ada di pihakku rupanya. Hari kedua pada pekan senggang merupakan
tanggal yang spesial bagi kami berdua. Itu adalah hari perayaan anniversary kami yang kedua. Aku yakin
ini akan menjadi kejutan yang istimewa bagi gadisku. Tanpa sadar, aku tersenyum
sendiri membayangkan ekspresi terkejutnya.
Uang bukan jadi masalah. Tabunganku
sepertinya menyimpan dana lebih dari cukup untuk melakukan perjalanan ini.
Apalagi aku sudah mulai berjualan sejak pekan kedua aku kuliah. Aku memang
sangat memerhatikan masalah keuanganku. Bahkan di mata teman-temanku, aku lebih
terkesan pelit alih-alih hemat.
Tetapi kali ini aku tidak peduli. Rencana
untuk pergi ke Surabaya adalah dorongan secara tiba-tiba. Mungkin ini semua
adalah manifestasi dari rasa rindu yang menumpuk di dalam hati.
Mungkin ini terdengar sinting. Tetapi aku
benar-benar akan datang ke hadapan Kiara
di hari anniversary kami yang
kedua!
***
Lama perjalanan menuju Surabaya kira-kira
memakan waktu dua belas jam dengan menggunakan kereta. Itu akan terasa sangat
lama bagiku yang menunggu pertemuan ini dengan dada berdebar-debar. Aku sengaja
memilih keberangkatan malam hari agar tidak perlu bingung mencari penginapan di
sana. Begitu tiba esok pagi, aku akan segera menuju indekos yang menjadi tempat
tinggal Kiara di kota itu. Beruntung, dulu kami sudah pernah saling
memberitahukan alamat indekos masing-masing. Walaupun sama-sama menyadari tidak
akan semudah itu bisa saling mengunjungi.
Tetapi kali ini berbeda.
Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya
sesempurna mungkin. Sejak sore tadi, aku sudah meminta maaf pada Kiara karena
tidak bisa menghubunginya malam ini. Aku berdalih harus mengerjakan tugas yang
sangat merepotkan dan rumit bersama teman-temanku. Dan syukurlah, ternyata
kebohonganku tidak sesulit yang aku bayangkan. Tidak ada perdebatan kecil yang
aku khawatirkan. Ia menerima dengan baik karena ia sendiri juga memiliki janji
untuk belajar kelompok dengan teman-teman sekelasnya.
Aku mulai mencari kegiatan untuk menyibukkan
diri dalam perjalanan panjang ini. Sebagian waktuku di kereta, kuhabiskan
dengan menikmati pemandangan di luar jendela. Sebagian waktu yang lain
kumanfaatkan untuk tidur dengan headset
terpasang di telinga, mengalunkan musik-musik kesukaanku. Dan sisa waktu yang lain,
kugunakan untuk mengobrol dengan penumpang yang duduk di sebelahku.
Pada awalnya, aku merasa rikuh untuk mengajak
gadis di sampingku berbicara. Tetapi setelah aku mencoba mengawali percakapan,
gadis itu menyambut dengan ramah. Aku merasa beruntung karena bertemu dengan
teman seperjalanan yang menyenangkan.
“Tujuan ke mana?” tanyaku.
“Surabaya.”
“Kalau begitu kita sama.”
Gadis itu hanya tersenyum sebelum akhirnya
balas bertanya. “Apa kau pergi berlibur ke Surabaya?”
“Tidak,” jawabku sambil menggelengkan kepala.
“Aku hanya... sekadar berkunjung.”
“Mengunjungi keluarga?”
“Bukan.”
“Kekasih?”
Bibirku belum mengucapkan apa pun tapi
sepertinya raut wajahku sudah memberikan jawaban yang diinginkan gadis di
sebelahku. Tetapi tetap saja aku menjawab walau sedikit tersipu, “Ya.”
Setelah itu, aku mencoba mengalihkan
pembicaraan dengan topik-topik yang umum. Dan selama perbincangan itu, tanpa
sadar aku memerhatikan gadis itu. Alisnya terukir indah. Bulu matanya lentik
menaungi mata cantiknya. Ada sebuah tahi lalat di dekat sudut mata kirinya. Bibir
tipisnya tidak berhenti mengurai senyuman lembut.
Jujur saja aku merasa bahwa gadis ini cantik.
Tapi bukan berarti aku berniat untuk mengkhianati Kiara. Sebagai lelaki, sudah
sewajarnya bukan aku menganggumi lawan jenisku? Bagiku, ini hanyalah perkenalan
singkat yang tidak meninggalkan jejak perasaan yang berarti.
“Biar kubawakan kopermu.” Aku menawarkan
bantuan untuk sekadar menunjukkan sikap gentleman
seorang Edwin.
“Terima kasih.” Gadis itu tersenyum lalu
menolak dengan halus. “Tapi aku bisa membawa ini sendiri.”
Setelah turun dari kereta, kami berpisah. Aku
bergegas keluar dari stasiun. Sebuah ide muncul begitu saja dalam kepalaku
beberapa saat setelah aku melihat bagian depan stasiun ini. Aku menyisir
rambutku menggunakan jari tangan, lalu aku memotret diriku dengan latar
belakang tulisan nama stasiun yang tertera pada bangunan. Foto itu kukirim
melalui aplikasi pengirim pesan ke smartphone
Kiara diikuti ucapan happy anniversary.
Aku tersenyum lebar saat membayangkan ekspresi terkejutnya karena aku ada di
Surabaya.
Kakiku berjalan keluar dari area stasiun.
Daun-daun tampak bergoyang seolah menari menyambut kedatanganku. Aku memejamkan mata
lalu menghirup napas dalam-dalam.
Sulit dipercaya. Setelah perjalanan panjang
itu, kini aku sudah berada di Surabaya. Di kota yang sama dengan Kiara.
Sekejap, perasaan bahagia memenuhi hatiku. Dadaku terbakar oleh rasa tidak
sabar untuk segera bertemu dengan gadisku di hari istimewa kami.
Tetapi sebelum itu, sepertinya aku harus
mencari sarapan untuk perut yang meraung.
Saat itulah smartphone-ku berbunyi dan menampilkan nama gadisku. Aku tersenyum
geli sebelum menjawab panggilan itu penuh semangat. Kiara pasti akan berteriak
bahagia.
“Edwin! Kau benar-benar ada di Surabaya?”
Aku sedikit menjauhkan benda dalam
genggamanku dari telingaku. Sesuai dugaanku, gadis itu akan berteriak. Hanya
saja... mengapa nada bicaranya terdengar gusar?
“Ya. Aku di sini untuk menemuimu.” Aku
berucap selembut mungkin seperti sedang menenangkan singa yang mengamuk. “Hari
ini perayaan hari jadi kita, kau ingat?”
“Tidak mungkin!” seru Kiara dengan nada tidak
percaya.
Aku mengernyitkan kening. Dan sebelum aku
sempat berkata-kata, Kiara di seberang sana menghela napas berat. Kata-kata
yang kudengar selanjutnya, membuat mataku terbelalak nyaris melompat keluar.
“Tapi sekarang aku ada di Bandung... untuk
menemuimu.”
***
Rencanaku gagal.
Kiara tidak ada di Surabaya. Ia bahkan sedang
berada di Bandung sekarang. Kota yang kutinggalkan demi pergi menemuninya di
kota ini. Hal ini sama sekali tidak kuperhitungkan. Kemungkinan bahwa ia juga
akan memikirkan hal yang sama tidak terlintas di pikiranku. Ternyata ide
kejutan di hari anniversary tidak
seromantis yang kubayangkan.
Aku mengerang lalu membenamkan wajah ke dalam
telapak tanganku. Tiba-tiba saja semua ini terasa konyol. Perasaanku begitu
sulit dideskripsikan. Aku ingin menangis sekaligus tertawa dalam waktu yang
bersamaan.
Didorong perasaan frustrasi, aku berjongkok
lalu menyandarkan punggungku ke batang pohon di belakangku. Tanganku
menggenggam tiket kereta yang akan membawaku pulang nanti malam. Kereta yang
akan membawaku melewati kota-kota yang akan menertawakanku. Ini benar-benar
menjadi perjalanan panjang yang sia-sia.
Tunggu dulu.
Benar juga. Perjalanan ini belum berakhir.
Dan aku tidak boleh membiarkannya berakhir sia-sia. Aku memungut semangatku
yang sempat berserakan lalu mengumpulkannya dalam genggaman. Ini hanyalah
masalah kecil dalam perjuangan cinta.
Dengan cepat aku merogoh saku dan mengambil
telepon genggamku. Penuh semangat yang membumbung, aku menekan angka pada layar
yang kemudian tersambung pada gadisku.
***
Begitu turun dari gerbong kereta, aku melirik
jam tanganku. Sudah lewat tengah malam. Dan itu berarti hari anniversary kami sudah terlewati begitu
saja tanpa adanya pertemuan romantis.
Tetapi itu sudah tidak menjadi masalah.
Tadi aku dan Kiara sudah memutuskan bahwa
akan tetap menggunakan tiket pulang yang sudah kami persiapkan masing-masing. Tetapi
kami akan turun saat kereta transit di Yogyakarta. Perayaan anniversary yang tertunda akan dilakukan
di kota ini.
Aku memilih untuk menunggu di luar gedung
stasiun, menghindari suasana hibuk di sini. Kereta yang membawa Kiara dari
Bandung akan tiba lima belas menit lebih lambat dari keretaku. Aku menghela
napas. Semoga saja tidak terlambat.
Kepalaku tengadah menatap langit malam. Bulan
tampak bersinar keemasan di balik awan yang mengapung tipis. Tanpa sadar aku
tertawa kecil. Di mana pun kami berada, bukankah bulan yang kami lihat tetaplah
satu bulan yang sama? Dan aku baru menyadari bahwa sebenarnya hal yang paling
penting dalam suatu hubungan adalah komunikasi.
Aku tersentak. Ekor mataku melihat seseorang
keluar dari pintu stasiun. Secara otomatis, mataku terpaku pada sosok gadis
yang berada di tengah kerumunan itu. Ia mengenakan jaket bertudung, celana jeans, sepatu, dan sebuah tas tersampir
di punggungnya. Sesaat, gadis itu terpaku di tempatnya berdiri. Tetapi sedetik
kemudian, seolah menyadari tatapanku, ia melihatku dengan mata berbinar
bahagia.
Mataku mengerjap tidak percaya. Gadis itu. Gadisku.
Kekasihku. Kiara.
“Edwin!”
Aku bisa mendengar Kiara berseru. Dan
bersamaan dengan itu, ia menghambur ke dalam pelukanku. Begitu menyadari bahwa
sosok ini nyata, semua kerinduan yang berkumpul di hati membumbung ke udara. Lalu
bersatu dengan kilauan bintang di langit Yogyakarta.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D