Kamis, 18 Juni 2015

Midnight Sky



“Aku merindukanmu,” ucap gadis cantik yang ada di layar laptopku. Iris matanya yang hitam tampak sayu. Mata itu memancarkan gumpalan rindu yang bergayut berat di hatinya.
“Aku juga merasakan hal yang sama. Aku sangat ingin bertemu denganmu, kau tahu?” timpalku cepat seolah tidak mau kalah. Aku ingin menunjukkan bahwa hati ini juga terisi dengan perasaan rindu yang dalam kepadanya.
Saat–saat seperti ini merupakan hal yang langka dalam hubungan kami berdua. Sejak tiga bulan yang lalu, kami sudah memulai kehidupan sebagai mahasiswa di universitas yang terletak di kota yang berbeda. Keadaan tersebut memaksa kami untuk menjalani hubungan jarak jauh yang terasa menyiksa.
Banyak orang yang meragukan keputusan yang kami pilih ini. Mereka beranggapan bahwa hubungan yang dipisahkan jarak seperti ini tidak akan bertahan lama. Benang yang menghubungkan kami berdua akan menegang karena kedua ujungnya ditarik ke arah yang berlawanan. Hanya tinggal menunggu waktu hingga akhirnya benang itu putus dan meninggalkan rasa sakit bagi kedua pihak.
Tetapi kami yakin bahwa hal tersebut tidak akan terjadi. Bukankah suatu hubungan itu harus selalu dibangun di atas dua hati yang saling percaya?
“Edwin?”
Aku terkesiap mendengar suara gadisku di layar. Lamunanku buyar begitu saja.
“Apa yang kaupikirkan?” tanya Kiara dengan raut khawatir. “Apakah kepalamu pusing? Aku rasa kau harus segera istirahat. Sekarang.”
Aku tersenyum mendengar perhatiannya yang sama sekali tidak berubah. “Jangan khawatir. Aku hanya sedang memikirkan... dirimu.”
“Hei, apa kau lupa jika aku tidak bisa dirayu?”
Ia mengangkat satu alisnya seolah tidak suka. Tetapi aku bisa melihat jelas pipinya merona. Dan bibir merah mudanya tampak mengulum senyum malu-malu. Aku hanya tertawa dalam hati melihat hal tersebut.
Banyak hal tentang diriku yang tidak diketahui oleh gadisku. Tentang betapa aku memujanya. Betapa aku sibuk mempersiapkan diri dan merapikan kamar indekosku menjelang kencan video call yang selalu kami lakukan hampir setiap malam.
“Apa saja yang kaulakukan hari ini?”
Sebaris pertanyaan itu selalu mampu memancing gadisku untuk menceritakan harinya seolah ia sedang membacakan dongeng anak-anak. Ia menceritakan semua —semuanya— yang ia alami hari itu sedetail mungkin. Tentang bagaimana teman sekelasnya yang menyukai kakak kelas, dosennya yang sering datang terlambat namun membenci anak didiknya yang datang lebih terlambat darinya, atau tentang seekor kucing yang baru melahirkan di teras depan indekosnya.
Selama ia bercerita, aku selalu mendengarkannya dengan memasang ekspresi antusias dan bergumam kecil untuk menanggapi. Walaupun terkadang aku tidak benar-benar mendengarkan ceritanya. Aku hanya suka mendengar suara cemprengnya. Suara cempreng yang merdu. Setidaknya untuk telingaku.
Saat kita mencintai seseorang, bukankah kita akan mencintai orang itu secara utuh? Tanpa peduli bagaimana suaranya, bentuk wajahnya, maupun warna kulitnya.
Tiba-tiba saja gadisku berhenti mengoceh. Kata-katanya berhenti begitu mendadak di tengah kalimat yang belum mencapai tanda titik. Aku tersentak dan langsung memusatkan konsentrasi kepada kata-katanya, bukan suaranya semata.
“Maafkan aku, Edwin.” Keningnya berkerut rikuh. “Tapi aku tiba-tiba teringat bahwa ada tugas yang belum aku kerjakan. Jadi... bolehkah jika kita mengakhiri percakapan lebih awal?”
Aku mengerjap beberapa kali sebelum menjawab. Syukurlah, ia tidak mendapati aku yang tidak memerhatikan ceritanya. “Tentu saja boleh. Nanti aku akan mengirim pesan singkat.”
Kiara tampak mendesah lega di seberang sana. “Maaf, Edwin. Kita lanjutkan besok, ya. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Begitu aku mengucapkan hal itu, gadisku langsung menghilang dari layar laptopku. Ia meninggalkanku yang masih tertegun menatap layar laptopku. Aku masih terpesona pada kecantikannya yang tidak berubah seperti terakhir kali kami bertemu secara nyata.
Dan tiba-tiba aku teringat begitu saja untuk memeriksa bukuku. Siapa tahu ada tugas yang terlewatkan dan belum aku kerjakan. Tapi dengan cepat perhatianku teralih begitu saja pada benda mungil yang menjadi pengganti pesawat telepon.
Jariku mengetik cepat, mengirim pesan singkat untuk gadisku.
***

Aku membuka peta kota Surabaya yang tidak sengaja aku beli dari toko buku yang baru saja aku kunjungi. Kiara kuliah di sebuah universitas negeri yang ada di kota ini. Sebenarnya saat mengikuti seleksi nasional untuk masuk perguruan tinggi, kami berdua sudah memilih universitas yang sama dengan jurusan yang kami inginkan masing-masing. Hanya saja hasil ujian menempatkan kami di dua universitas berbeda yang terletak di dua kota yang berjauhan.
Tanpa terasa sebentar lagi kami sama-sama akan menghadapi ujian di akhir semester pertama kami menjadi mahasiswa. Dan sepertinya kami akan sibuk untuk menyambut hal tersebut dengan belajar. Walaupun yang kudengar, akan selalu satu pekan yang senggang sebelum akhirnya memasuki pekan ujian yang menguras waktu untuk belajar.
Nah! Mengapa aku tidak menggunakan pekan senggang itu untuk pergi ke kota pahlawan tempat gadisku berada?
Tetapi tunggu dulu. Aku harus memikirkan sekali lagi rencana yang terpikirkan secara spontan ini. Tentu saja aku tidak boleh asal-asalan untuk menempuh perjalanan jauh seperti ini. Pertama-tama, aku melihat kalender yang tertempel di dinding kamarku. Dengan saksama aku memerhatikan angka yang berderet rapi di sana.
Ini dia! Keberuntungan ada di pihakku rupanya. Hari kedua pada pekan senggang merupakan tanggal yang spesial bagi kami berdua. Itu adalah hari perayaan anniversary kami yang kedua. Aku yakin ini akan menjadi kejutan yang istimewa bagi gadisku. Tanpa sadar, aku tersenyum sendiri membayangkan ekspresi terkejutnya.
Uang bukan jadi masalah. Tabunganku sepertinya menyimpan dana lebih dari cukup untuk melakukan perjalanan ini. Apalagi aku sudah mulai berjualan sejak pekan kedua aku kuliah. Aku memang sangat memerhatikan masalah keuanganku. Bahkan di mata teman-temanku, aku lebih terkesan pelit alih-alih hemat.
Tetapi kali ini aku tidak peduli. Rencana untuk pergi ke Surabaya adalah dorongan secara tiba-tiba. Mungkin ini semua adalah manifestasi dari rasa rindu yang menumpuk di dalam hati.
Mungkin ini terdengar sinting. Tetapi aku benar-benar akan datang ke hadapan Kiara  di hari anniversary kami yang kedua!
***

Lama perjalanan menuju Surabaya kira-kira memakan waktu dua belas jam dengan menggunakan kereta. Itu akan terasa sangat lama bagiku yang menunggu pertemuan ini dengan dada berdebar-debar. Aku sengaja memilih keberangkatan malam hari agar tidak perlu bingung mencari penginapan di sana. Begitu tiba esok pagi, aku akan segera menuju indekos yang menjadi tempat tinggal Kiara di kota itu. Beruntung, dulu kami sudah pernah saling memberitahukan alamat indekos masing-masing. Walaupun sama-sama menyadari tidak akan semudah itu bisa saling mengunjungi.
Tetapi kali ini berbeda.
Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya sesempurna mungkin. Sejak sore tadi, aku sudah meminta maaf pada Kiara karena tidak bisa menghubunginya malam ini. Aku berdalih harus mengerjakan tugas yang sangat merepotkan dan rumit bersama teman-temanku. Dan syukurlah, ternyata kebohonganku tidak sesulit yang aku bayangkan. Tidak ada perdebatan kecil yang aku khawatirkan. Ia menerima dengan baik karena ia sendiri juga memiliki janji untuk belajar kelompok dengan teman-teman sekelasnya.
Aku mulai mencari kegiatan untuk menyibukkan diri dalam perjalanan panjang ini. Sebagian waktuku di kereta, kuhabiskan dengan menikmati pemandangan di luar jendela. Sebagian waktu yang lain kumanfaatkan untuk tidur dengan headset terpasang di telinga, mengalunkan musik-musik kesukaanku. Dan sisa waktu yang lain, kugunakan untuk mengobrol dengan penumpang yang duduk di sebelahku.
Pada awalnya, aku merasa rikuh untuk mengajak gadis di sampingku berbicara. Tetapi setelah aku mencoba mengawali percakapan, gadis itu menyambut dengan ramah. Aku merasa beruntung karena bertemu dengan teman seperjalanan yang menyenangkan.
“Tujuan ke mana?” tanyaku.
“Surabaya.”
“Kalau begitu kita sama.”
Gadis itu hanya tersenyum sebelum akhirnya balas bertanya. “Apa kau pergi berlibur ke Surabaya?”
“Tidak,” jawabku sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya... sekadar berkunjung.”
“Mengunjungi keluarga?”
“Bukan.”
“Kekasih?”
Bibirku belum mengucapkan apa pun tapi sepertinya raut wajahku sudah memberikan jawaban yang diinginkan gadis di sebelahku. Tetapi tetap saja aku menjawab walau sedikit tersipu, “Ya.”
Setelah itu, aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan topik-topik yang umum. Dan selama perbincangan itu, tanpa sadar aku memerhatikan gadis itu. Alisnya terukir indah. Bulu matanya lentik menaungi mata cantiknya. Ada sebuah tahi lalat di dekat sudut mata kirinya. Bibir tipisnya tidak berhenti mengurai senyuman lembut.
Jujur saja aku merasa bahwa gadis ini cantik. Tapi bukan berarti aku berniat untuk mengkhianati Kiara. Sebagai lelaki, sudah sewajarnya bukan aku menganggumi lawan jenisku? Bagiku, ini hanyalah perkenalan singkat yang tidak meninggalkan jejak perasaan yang berarti.
“Biar kubawakan kopermu.” Aku menawarkan bantuan untuk sekadar menunjukkan sikap gentleman seorang Edwin.
“Terima kasih.” Gadis itu tersenyum lalu menolak dengan halus. “Tapi aku bisa membawa ini sendiri.”
Setelah turun dari kereta, kami berpisah. Aku bergegas keluar dari stasiun. Sebuah ide muncul begitu saja dalam kepalaku beberapa saat setelah aku melihat bagian depan stasiun ini. Aku menyisir rambutku menggunakan jari tangan, lalu aku memotret diriku dengan latar belakang tulisan nama stasiun yang tertera pada bangunan. Foto itu kukirim melalui aplikasi pengirim pesan ke smartphone Kiara diikuti ucapan happy anniversary. Aku tersenyum lebar saat membayangkan ekspresi terkejutnya karena aku ada di Surabaya.
Kakiku berjalan keluar dari area stasiun. Daun-daun tampak bergoyang seolah menari  menyambut kedatanganku. Aku memejamkan mata lalu menghirup napas dalam-dalam.
Sulit dipercaya. Setelah perjalanan panjang itu, kini aku sudah berada di Surabaya. Di kota yang sama dengan Kiara. Sekejap, perasaan bahagia memenuhi hatiku. Dadaku terbakar oleh rasa tidak sabar untuk segera bertemu dengan gadisku di hari istimewa kami.
Tetapi sebelum itu, sepertinya aku harus mencari sarapan untuk perut yang meraung.
Saat itulah smartphone-ku berbunyi dan menampilkan nama gadisku. Aku tersenyum geli sebelum menjawab panggilan itu penuh semangat. Kiara pasti akan berteriak bahagia.
“Edwin! Kau benar-benar ada di Surabaya?”
Aku sedikit menjauhkan benda dalam genggamanku dari telingaku. Sesuai dugaanku, gadis itu akan berteriak. Hanya saja... mengapa nada bicaranya terdengar gusar?
“Ya. Aku di sini untuk menemuimu.” Aku berucap selembut mungkin seperti sedang menenangkan singa yang mengamuk. “Hari ini perayaan hari jadi kita, kau ingat?”
“Tidak mungkin!” seru Kiara dengan nada tidak percaya.
Aku mengernyitkan kening. Dan sebelum aku sempat berkata-kata, Kiara di seberang sana menghela napas berat. Kata-kata yang kudengar selanjutnya, membuat mataku terbelalak nyaris melompat keluar.
“Tapi sekarang aku ada di Bandung... untuk menemuimu.”
***

Rencanaku gagal.
Kiara tidak ada di Surabaya. Ia bahkan sedang berada di Bandung sekarang. Kota yang kutinggalkan demi pergi menemuninya di kota ini. Hal ini sama sekali tidak kuperhitungkan. Kemungkinan bahwa ia juga akan memikirkan hal yang sama tidak terlintas di pikiranku. Ternyata ide kejutan di hari anniversary tidak seromantis yang kubayangkan.
Aku mengerang lalu membenamkan wajah ke dalam telapak tanganku. Tiba-tiba saja semua ini terasa konyol. Perasaanku begitu sulit dideskripsikan. Aku ingin menangis sekaligus tertawa dalam waktu yang bersamaan.
Didorong perasaan frustrasi, aku berjongkok lalu menyandarkan punggungku ke batang pohon di belakangku. Tanganku menggenggam tiket kereta yang akan membawaku pulang nanti malam. Kereta yang akan membawaku melewati kota-kota yang akan menertawakanku. Ini benar-benar menjadi perjalanan panjang yang sia-sia.
Tunggu dulu.
Benar juga. Perjalanan ini belum berakhir. Dan aku tidak boleh membiarkannya berakhir sia-sia. Aku memungut semangatku yang sempat berserakan lalu mengumpulkannya dalam genggaman. Ini hanyalah masalah kecil dalam perjuangan cinta.
Dengan cepat aku merogoh saku dan mengambil telepon genggamku. Penuh semangat yang membumbung, aku menekan angka pada layar yang kemudian tersambung pada gadisku.
***

Begitu turun dari gerbong kereta, aku melirik jam tanganku. Sudah lewat tengah malam. Dan itu berarti hari anniversary kami sudah terlewati begitu saja tanpa adanya pertemuan romantis.
Tetapi itu sudah tidak menjadi masalah.
Tadi aku dan Kiara sudah memutuskan bahwa akan tetap menggunakan tiket pulang yang sudah kami persiapkan masing-masing. Tetapi kami akan turun saat kereta transit di Yogyakarta. Perayaan anniversary yang tertunda akan dilakukan di kota ini.
Aku memilih untuk menunggu di luar gedung stasiun, menghindari suasana hibuk di sini. Kereta yang membawa Kiara dari Bandung akan tiba lima belas menit lebih lambat dari keretaku. Aku menghela napas. Semoga saja tidak terlambat.
Kepalaku tengadah menatap langit malam. Bulan tampak bersinar keemasan di balik awan yang mengapung tipis. Tanpa sadar aku tertawa kecil. Di mana pun kami berada, bukankah bulan yang kami lihat tetaplah satu bulan yang sama? Dan aku baru menyadari bahwa sebenarnya hal yang paling penting dalam suatu hubungan adalah komunikasi.
Aku tersentak. Ekor mataku melihat seseorang keluar dari pintu stasiun. Secara otomatis, mataku terpaku pada sosok gadis yang berada di tengah kerumunan itu. Ia mengenakan jaket bertudung, celana jeans, sepatu, dan sebuah tas tersampir di punggungnya. Sesaat, gadis itu terpaku di tempatnya berdiri. Tetapi sedetik kemudian, seolah menyadari tatapanku, ia melihatku dengan mata berbinar bahagia.
Mataku mengerjap tidak percaya. Gadis itu. Gadisku. Kekasihku. Kiara.
“Edwin!”
Aku bisa mendengar Kiara berseru. Dan bersamaan dengan itu, ia menghambur ke dalam pelukanku. Begitu menyadari bahwa sosok ini nyata, semua kerinduan yang berkumpul di hati membumbung ke udara. Lalu bersatu dengan kilauan bintang di langit Yogyakarta.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D