Trisia sedang berusaha mengingat jalan mana yang harus ia tempuh untuk sampai ke ruangan bosnya. Tumitnya yang mengetuk lantai dengan tempo yang cepat membuat beberapa pegawai sempat memandanginya. Dapat ia rasakan tatapan menusuk tengah mengarah padanya.
Apa yang salah denganku?
Batin Trisia. Kemudian ia menunduk untuk memperhatikan penampilannya. Namun
sepertinya tak ada yang aneh. Trisia mengangkat bahunya kemudian kembali fokus
untuk mengingat jalan menuju ruangan bosnya.
Ayo, Tris, Otaknya
mendesak saat ia memasuki sebuah koridor yang sepertinya sudah dua kali ia
lewati. Kau pasti bisa mengingatnya. Kau hanya perlu mencari lift dan tekan
lantai lima, maka kau akan sampai ke ruangan bosmu.
Jangan buang-buang waktu!
Hatinya menentang. Kau punya mulut Tris,
tanyakan pada orang-orang di sekelilingmu. Jangan seperti orang bodoh dengan
dua kali berkeliaran di tempat yang sama!
Otak dan hatinya seolah saling berdebat
untuk menunjukkan jalan keluar. Ini benar-benar gedung yang rumit. Kemudian
Trisia melangkah dan menyeberangi lobi menuju resepsionis dimana ia melihat
sesosok lelaki yang tak asing baginya sedang berbincang dengan Lena.
“Selamat siang, pak Denis.” Sapa Trisia
pada lelaki itu.
“Oh, Trisia. Selamat siang.” Balas Denis
yang hampir saja meninggalkan meja resepsionis.
“Em… Maaf pak, bisakah bapak memberi
tahukan jalan mana yang harus saya tempuh untuk sampai ke…” Trisia memberi jeda
sejenak sambil menggigit bibirnya, merasa malu untuk mengucapkan tujuannya,
“…ruangan pak Harry?”
Denis menaikkan kedua alisnya seolah
menuntut agar Trisia mengulangi pertanyaannya. Sementara Lena mencoba menahan
senyumannya di belakang Denis. Memalukan,
Trisia! Otaknya seperti mengumpat
untuk Trisia. Bagaimana tidak, Denis sudah menunjukkan jalan menuju ruangan Harry,
namun Trisia tak juga mengingatnya.
“Mungkin gedung ini sedikit rumit untuk
pemula.” Entah menghibur atau menyindir, Denis mengucapkan kalimat tersebut
dengan santai.
“Saya rasa begitu. Saya merasa sudah
memilih jalan yang benar. Tetapi saya rasa saya sudah dua kali melewati koridor
yang sama dan kembali lagi ke tempat ini.” Nada Trisia semakin pelan. Merasa
tolol karena pernyataannya.
“Itu sering terjadi. Anda seharusnya
menuju koridor kedua setelah melewati itu,” Denis menunjuk sebuah jalan di sisi
kiri lobi, “kemudian anda naik enam anak tangga dan di sebelah kanan anda akan
menemukan dua lift. Yang kanan untuk umum, yang kiri khusus untuk petinggi
perusahaan.” Tuturnya. “Jika anda mengambil koridor pertama atau ketiga, anda
akan kembali ke ruangan ini, ibu Trisia.”
“Begitukah? Terima kasih banyak pak Denis.
Anda sangat membantu.”
“Memangnya dari mana anda dengan itu?”
Tanya Denis menunjuk koper silver yang ditenteng oleh Trisia.
“Tugas pertama dari pak Harry. Menukar
uang pak.”
“Menukar uang?” Denis mengerutkan kening
dengan pandangan apa-kau-tidak-salah?
pada Trisia.
Trisia mengangguk, “Memangnya kenapa,
pak?”
“Tidak, tidak. Anda pasti membawa banyak uang.
Berhati-hatilah.” Ujar Denis yang kemudian berpamitan, meninggalkan Trisia.
Trisia mencoba mengingat-ingat kembali
petunjuk Denis. Koridor kedua, tangga, lift. Sempurna, batin Trisia girang saat menemukan lift. Ini bukan
pertama kalinya Trisia menaiki lift, tapi tetap saja, sendirian di dalam kotak
besi ini merupakan hal yang tidak disukainya. Berbagai pikiran negatif selalu
muncul dalam benaknya. Seperti bagaimana jika lift tiba-tiba rusak kemudian
berhenti atau akan ada kuntilanak di pojok lift seperti yang sering ia lihat di
televisi.
Tidak…Tidak… Tidak…
Lift mendadak berhenti saat Trisia
memejamkan matanya dan menggeleng untuk menghilangkan segala pikiran buruk yang
menghantui kepalanya. Jantung Trisia sontak bagai berhenti berdetak. Matanya
terbelalak saat pintu lift terbuka. Seorang gadis yang cukup tinggi untuk
Trisia, mengenakan setelan kemeja biru dan celana kerja, rambutnya disanggul rapi
dengan bibirnya yang tampak merah menyala masuk ke dalam lift. Trisia buru-buru
menundukkan kepalanya.
“Lantai lima?” Tanya gadis itu dengan
suara serak.
Trisia menghabiskan beberapa detik untuk
diam, menatap gadis yang menatapnya dengan tatapan cepat-jawab-aku. “Ah… I— iya… Benar. Saya akan ke lantai lima.”
Wajah gadis itu tampak sinis mendengar jawaban
Trisia. Tentu saja, lantai lima adalah lantai khusus untuk para petinggi perusahaan.
Bagi karyawan dengan nametag berwarna
biru —untuk pegawai training— hanya memiliki
kesempatan sangat kecil —bahkan tidak akan ada kesempatan untuk berkeliaran di lantai
lima. Ia menatap Trisia lekat-lekat. Tatapannya seolah menelanjangi seluruh tubuh
Trisia, membuat Trisia merasa tak nyaman.
“Kau orang baru?” Tanya gadis itu kembali.
“Benar. Saya asisten pak Harry.”
“Asisten? Harry mempekerjakan asisten?” Nada
gadis itu meninggi. Trisia tercengang, hanya mampu memerhatikan sikap berlebihan
gadis itu. “Siapa namamu?”
“Trisia.”
“Trisia, hanya sekali aku mengatakannya padamu.
Jangan coba-coba mendekati Harry. Dia milikku.”
Lift sampai di lantai lima tepat ketika gadis
itu menyelesaikan kalimatnya. Yang benar saja. Tomi bisa mencincangku jika hal itu terjadi. Trisia
bergumam samar, membuat gadis itu mengernyit penasaran. Sebelum ia, sempat mengucapkan
sesuatu, Trisia beranjak untuk segera melepaskan diri dari nenek sihir itu.
“Trisia, tunggu.” Suara gadis itu menghentikan
langkah Trisia. “Aku akan bertemu Harry. Kau tunggulah dua puluh menit.” Ujar gadis
itu yang kemudian berjalan mendahului Trisia.
Kau bodoh, Tris. Otak
Trisia mulai mencerca. Kau harusnya
berani menentang nenek sihir itu!
Tidak… Tidak.. Kau melakukan hal yang benar, kata hati Trisia menyela. Kau
hanya orang baru, sebaiknya berhati-hatilah dalam bersikap.
Tentu saja. Trisia menghela napas besar menatap
punggung gadis itu semakin menjauh dan menghilang di balik pintu ruangan bosnya.
Trisia masih mematung. Akhirnya beberapa saat kemudian ia memutuskan untuk berkeliling
ke lantai lima, setidaknya untuk lima belas menit.
Beberapa pintu kaca berjajar di kedua sisi
koridor yang lebih luas dari koridor di lantai dasar. Ruangan bertuliskan Andreansyah,
Chief Marketing Officer berhadapan langsung
dengan ruangan Amelia Arinka, Chief
Operating Officer. Kemudian Trisia terus melangkah dan menemukan ruangan Leo
Ferdian, Chief Financial Officer berhadapan
dengan Arka Bramantyo, Chief Technology
Officer. Trisia terkikik geli, jangankan mengerti apa maksud jabatan yang tertempel
di papan yang tersemat pada setiap pintu kaca, bahkan sebagai seorang asisten CEO
ia belum tahu apa kepajangan dari CEO.
Sejenak Trisia berdecak kagum pada pembuat
gedung ini. Desain bagian dalam gedung ini benar-benar unik, kemudian barang-barang
mewah pun bertebaran di setiap sisinya. Seleranya benar-benar tinggi.
Trisia menatap jam tangan yang melingkar di
pergelangan tangannya. Sudah hampir lima belas menit ia menghabiskan waktunya untuk
mengagumi setiap sisi gedung lantai lima ini. Ia pun kembali menuju ruangan di ujung
koridor.
***
Leo mendidih dengan kemarahan. Ini semua benar-benar
terjadi. Lagi-lagi ia harus mengorbankan hatinya demi Harry. Leo menunduk, berbalik
bersama kekecewaan. Dengan mendesah putus asa, Leo melangkah menuju ruangannya yang
terletak di ujung koridor.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Mata Leo terbelalak
menyaksikan seseorang di hadapannya bergeming memperhatikannya. Leo merasa bagai
pencuri yang tertangkap basah. Ia terperangah saat mata hijau itu menatapnya penuh
tanya. Dengan cepat Leo menutupi perasaan terkejutnya dan dengan senyum menawan,
ia memutuskan untuk menyapanya.
“Trisia.”
Alis gadis itu berkerut di balik poninya, “Apakah
anda mengenal saya?”
Rupanya keputusan untuk menyapa Trisia adalah
keputusan yang salah. Leo melupakan fakta bahwa Trisia tidak mengingatnya karena
Leo bukanlah kenalan bahkan lelaki spesial baginya.
“Bukankah kau gadis yang bekerja di Rainbow
CafĂ©?” Leo mencoba mengatur detak jantungnya yang berdegup kencang.
“Benar. Senang
berkenalan dengan…” Alis Trisia terangkat, pandangan matanya seolah menuntut sebuah
nama untuk melengkapi kalimatnya.
“Leo.”
“Leo Ferdian?”
Benar! Leo bersorak dalam hatinya. Setidaknya gadis ini sedikit mengetahui
tentangnya. “Kau tahu?”
“Hanya menebak,”
ujar Trisia malu. “aku membaca ada nama Leo di sana, jadi saya pikir itu nama anda.”
Ia menunjuk sebuah pintu yang terletak di ujung koridor.
Sesaat Leo merasa
kecewa, tetapi sudahlah. Yang terpenting sekarang gadis itu telah mengenalnya.
“Jadi… Apakah anda
sudah bertemu dengan pak Harry?”
“Belum, kurasa
dia sedang sibuk. Ada seseorang di dalam.” Ya,
gadis yang kupikir itu adalah dirimu,
batin Leo. “Sejak kapan kau menjadi asisten Harry?”
“Mulai hari ini,
pak. Ini adalah tugas pertama saya.” Trisia mengangkat sebuah koper dengan senyum
bangga yang melebar di bibir pinknya.
“Kerja bagus.”
Puji Leo.
Sesaat kemudian
seorang gadis keluar dari ruangan Harry. Tatapannya tajam mengarah pada Leo dan
Trisia bergantian. Kemudian lengkahnya berhenti di antara Leo dan Trisia, “Trisia,
jangan mengobrol saat jam kerja.” Ujar gadis itu ketus.
“Melina, cukup.”
Leo memperingatkan. Sejak dulu Leo memang tak pernah suka dengan Melina, pegawai
bagian marketing yang berperangai angkuh.
Bahkan sebagian besar pegawai pun tak begitu menyukainya karena perilakunya. Melina
berdecak kesal sambil memelototi Leo sebelum meninggalkan mereka berdua.
“Kau mau masuk?”
Tanya Leo yang di jawab oleh sebuah anggukan dari Trisia. “Kalau begitu, sampai
jumpa.”
“Permisi.” Trisia
melempar senyum sebelum ia meninggalkan Leo.
“Tunggu, Tris.”
Trisia segera menghentikan
langkahnya, kemudian berbalik untuk Leo. “Ya, pak?”
“Bagaimana kalau
kita makan siang setelah ini?” Leo menatap Trisia dengan pandangan penuh harap.
Trisia balas menatap
dan meneguk ludah dengan gelisah. Ia tak punya jawaban. Sejujurnya ia agak terkejut
dengan ajakan makan siang oleh salah satu orang penting di perusahaan yang baru
saja dikenalnya beberapa menit yang lalu. Trisia butuh waktu untuk berpikir tentang
apa yang baru saja terjadi, namun sepertinya Leo tak menangkap dengan baik atas
keheningan Trisia.
“Jadi, bagaimana?”
Tanya Leo sekali lagi. Matanya menjelajahi wajah Trisia, mencari-cari sebuah jawaban.
Trisia menatapnya
putus asa. Trisia tahu ia bisa saja dengan mudah berkata ya, tetapi ia harus berpikir masak-masak. Ia hanya seorang pegawai yang
benar-benar baru di perusahaan ini dan ia takut apa yang dilakukannya akan berdampak
pada karirnya. Tapi… Tidak! Trisia tak boleh begitu saja menerima ajakan itu. Lalu
bagaimana ia harus mengatakannya? Trisia mendesah, ia hanya ingin situasi tak nyaman
ini segera berakhir.
“Saya tidak tahu
harus bilang apa,” kata Trisia lirih.
“Oke, kuanggap
itu sebagai jawaban ya.” Leo mengedipkan sebelah matanya pada Trisia. “Aku akan
menunggumu di lobi.”
Tidak, bukan itu maksudku, batin Trisia. “Tapi…”
“Baiklah sampai
jumpa.” Leo melemparkan senyum, lalu berbalik untuk meninggalkan Trisia dan menuju
ke ruangannya. Sementara Trisia hanya mampu menyaksikan dengan terpaku karena ragu
dan takut.
Seulas senyum berkembang
lebar di wajah Leo. Dengan langkah cepat ia menuju ruangannya, kemudian segera menyelesaikan
pekerjaannya sebelum jam makan siang tiba. Tanpa sengaja pandangannya berhenti pada
sebuah foto yang terpajang di meja kerjanya.
Deg. Jantung Leo seolah berhenti berdetak. Senyumnya mulai surut. Ya,
sejak awal Leo tahu, ia memang telah gagal.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D