Senin, 01 Juni 2015

Orange Sunset (Satu)

Minna, ohayou!
Hari ini Orange Sunset (Satu) didedikasikan untuk Irene Nadia Zabrina
yang bilang sinopsisnya bagus dan penasaran sama ceritanya.
Selamat membaca dan ditunggu komentarnya, ya \(^o^




MEJA kerja itu tampak lengang dari berbagai macam kegiatan. Beberapa map dan kertas sudah tersusun rapi dalam file holder di sudut meja. Pensil dan pulpen juga sudah kembali ke tabung yang menjadi rumah mereka. Seorang gadis tengah duduk bertopang dagu dengan siku yang bertumpu di atas meja. Seolah tidak peduli pada cahaya temaram yang melingkupi ruangan itu. Memang sudah tidak ada kegiatan apa pun di ruangan itu sejak jam kantor berakhir sekitar satu jam yang lalu.

Kening Jihan berkerut. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang membingkai pemandangan langit sore ini. Warna biru perlahan dijajah oleh warna jingga kemerahan di ufuk barat. Ia menggigit bibirnya untuk menghalau sebersit kenangan yang mencoba memasuki benaknya. Hingga tanpa sadar ia menghela napas berat.



“Tiga kali.”

Jihan tersentak. Ia mengangkat wajahnya lalu menoleh. Silvia yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya itu tampak mengurai senyum. Gadis itu adalah salah seorang rekan kerja Jihan yang cukup dekat dengannya. Sehari-hari, Silvia selalu tampak cantik dengan rambut hitam yang digelung rapi. Sepasang matanya yang sayu semakin menawan dengan riasan yang sesuai. Setitik tahi lalat tampak bertengger di sudut mata kirinya. Hidung mancung dan bibir penuh berwarna merah mudanya akan membuat siapa pun betah untuk memandanginya.

“Apa maksudmu, Silvia?” tanya Jihan sambil memperdalam kerutan di keningnya. Bingung.

“Dalam satu menit terakhir kau sudah menghela napas berat sebanyak tiga kali,” jawab Silvia lantas melemparkan tatapan menyelidik. “Apa lagi yang kaupikirkan? Lelaki-senja-mu itu?”

Jihan menghela napasnya sekali lagi. “Tidak seperti yang kau pikir, Silvia.” Ia menunduk lemas lalu menempelkan pipi kanannya pada meja kerjanya. Untuk yang kelima kalinya, ia menghela napas berat.

Silvia memang sudah pernah mendengar cerita cinta pertama Jihan itu. Dan setiap kali ia melihat Jihan melamun, bisa dipastikan gadis itu sedang tenggelam dalam momen masa lalunya.

“Jangan bohong. Aku sudah mengenalmu dengan baik, Jihan,” ucap Silvia sambil memicingkan mata. “Kau tampak murung di hari Jumat yang dinanti semua orang. Itu berarti kau sedang teringat pada kisah romantis antara kau dan... siapa namanya?” Ia baru menyadari bahwa selama ini Jihan belum pernah menyebutkan nama lelaki itu.

Jihan terkekeh perlahan. “Ra-ha-sia,” jawabnya kemudian dengan nada jenaka.

Kening Silvia mengernyit protes. “Kenapa?”

Sebenarnya, bukan masalah besar bagi Jihan untuk memberi tahu Silvia nama lelaki itu. Hanya saja... ia tidak ingin menyebut nama itu melalui bibirnya. Tidak saat ini. Saat cahaya senja menerpa samar di jendela. Melukiskan siluet punggung lelaki yang terus menjauh walaupun ia terus meneriakkan namanya. Lelaki yang dicintainya dan ternyata mencintainya. Tetapi mereka tidak bisa bersatu karena kebodohan yang dilakukannya.

Ya. Ia memang bodoh.

“Kau hebat, Jihan.” Kali ini Silvia yang menghela napasnya pelan. “Kau bisa tetap memikirkan lelaki yang sama walaupun lima tahun sudah berlalu.”

“Aku tidak memikirkannya,” sanggah Jihan.

Silvia mencibir. “Matamu terus menerawang ke arah matahari senja seolah teringat pada hari di mana lelaki itu menyatakan perasaannya padamu.”

Jihan menundukkan kepala. Matanya memperhatikan tepian meja kerjanya. Entah mengapa sudut-sudut meja kerjanya menjadi sesuatu yang menarik untuk diperhatikan saat ini.

“Saat itu adalah pertama kalinya ada seorang lelaki yang menyatakan perasaannya padaku. Aku terlalu panik hingga mengucapkan hal yang menyakitkan,” sahut Jihan lemas.

“Itu bukan sepenuhnya salahmu.” Silvia menelengkan kepalanya. “Lagi pula selama ini... apa kau tidak pernah mencoba untuk menghubunginya? Memulai semuanya dari awal... lalu menyatakan perasaanmu?”

Jihan mengangkat bahu lalu menggeleng perlahan. “Sejak saat itu, hubungan kami renggang... seolah tidak pernah mengenal sebelumnya. Lagi pula bagaimana kalau ternyata dia sudah punya pacar?”

Jihan sangat ingin bisa bertemu kembali dengan lelaki itu. Tetapi selalu ada kekhawatiran yang membayangi keinginannya itu. Ia bisa membayangkan suasana canggung yang akan mendominasi pertemuan mereka. Jika itu sampai terjadi, apa yang harus dilakukannya?

“Tidak ada salahnya mencoba,” ucap Silvia. “Dan jika dia sudah punya pacar seperti yang kau khawatirkan, aku akan selalu ada untuk mendengar ceritamu.”

Kepala Jihan mendongak antusias. Matanya berbinar penuh semangat. Ia merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Silvia. Mungkin tidak ada salahnya mencoba menghubungi lelaki itu sekali lagi. Siapa tahu mereka bisa memulai semuanya lagi dari awal.

“Terima kasih, Silvia. Aku akan berjuang.” Jihan berkata tegas. Lebih seperti menyemangati dirinya sendiri. Ia meraih tas tangan dari atas meja dan bangkit dari duduknya. “Ayo kita pulang sekarang.”

Silvia ikut tersenyum senang. “Aku harap semangatmu tidak akan membuatmu lupa pada janji kita besok.”
***

“Jadi, orang tuamu berniat menjodohkanmu?” Jihan menegaskan kesimpulan untuk cerita Silvia.

“Bukan menjodohkan.” Silvia mengoreksi kata-kata Jihan. Tetapi ia tidak menyalahkan sahabatnya itu. Siapa pun yang mendengar cerita tentang niat orang tuanya itu pasti akan berpikir itu menuju pada sebuah perjodohan. “Mereka hanya ingin aku saling mengenal dengan salah seorang anak lelaki dari teman ibuku.”

Saat ini mereka berdua sedang berada di salah satu kafe dengan nuansa warna pelangi. Kafe itu cukup ramai di akhir pekan seperti ini. Banyak remaja yang berkumpul bersama teman-temannya. Pelanggan lainnya adalah pasangan muda yang sedang menghabiskan waktu berdua. Ada juga beberapa gadis yang duduk bersama kantung belanjaan dari toko-toko yang berderet di sekitar sini.

Pada bagian depan bangunan terpampang papan kayu bertuliskan nama kafe itu: Rainbow Cafe. Di bawah papan tersebut membentang kanopi yang menjulur dan menimbulkan bayang-bayang gelap di teras. Memberikan suasana teduh bagi pelanggan yang duduk sambil merokok di luar sana. Sementara Jihan dan Silvia memilih untuk duduk di dalam bangunan, pada tempat duduk yang berada di dekat jendela. Mereka duduk berhadapan dengan posisi Jihan yang membelakangi pintu masuk kafe.

“Lalu, kau menerima begitu saja perkenalan itu?” tanya Jihan sambil mengaduk-aduk orange juice di hadapannya.

“Mau tidak mau aku menyetujui permintaan orang tuaku.” Silvia menggidikkan bahunya. Lalu ia tertawa kecil ketika teringat pada ibunya. “Apalagi ibuku menatapku seolah aku adalah gadis penuh dosa karena masih melajang di usia seperti ini.”

Alis Jihan terangkat.

“Pada awalnya, ibuku hanya menujukkan foto lelaki itu. Dan menurutku, tidak terlalu buruk.” Senyuman Silvia seolah menyimpan sejuta makna. “Lagi pula tidak ada salahnya mencoba.”

Jihan memicingkan matanya curiga. “Aku berani bertaruh lelaki di foto itu pasti ganteng banget. Benar?”

“Aku tidak mau menjawab pertanyaanmu,” elak Silvia sambil memutar bola matanya. Tetapi rona di wajahnya seolah sudah cukup menjawab pertanyaan Jihan.

“Tapi apa kau yakin untuk menerima perkenalan itu?” Jihan melemparkan tatapan skeptis ke arah Silvia. “Di zaman seperti ini... foto seseorang bisa saja dimanipulasi, kau tahu?”

“Bagaimana jika kau menilainya secara langsung?”

Mata Jihan terbelalak. Kepalanya langsung celingukan memerhatikan sekitar kafe. Tetapi tidak tampak seorang pun lelaki yang sepertinya tengah memerhatikan ke arah mereka berdua. “Maksudmu, kau akan mempertemukanku dengan lelaki itu?”

Silvia mengangguk dan menatap jam tangannya. “Sebentar lagi dia akan datang ke sini.”

Jihan mengernyit. “Sebentar lagi? Ke sini?”

“Ya. Aku harap kau tidak keberatan.” Silvia mengedipkan satu matanya. Lalu ia menyelipkan rambut ikalnya ke belakang telinga. Penampilan gadis itu tampak lebih segar dengan rambut yang digerai bebas. Berbeda dengan penampilan konservatifnya di kantor.

Tentu saja Jihan keberatan. Ia pikir hari ini akan menjadi harinya untuk bebas dari perkenalan dengan orang asing. Pekerjaannya di bagian pemasaran tidak jarang menuntutnya untuk bertemu dengan klien yang menggunakan jasa perusahaan tempatnya bekerja. Tetapi mana mungkin ia mengatakan terang-terangan seperti itu kepada Silvia. Ia tidak ingin menyakiti perasaan sahabatnya. Jadi, tidak ada pilihan selain menuruti maksud Silvia. Asalkan bukan dengan tujuan menipu atau sejenisnya—

“Jangan-jangan... kau mengajakku hari ini sebagai tameng jika lelaki itu tidak sesuai dengan apa yang ada di fotonya?” tebak Jihan sambil tersenyum masam.

“Tentu saja tidak!” bantah Silvia cepat. Ia tertawa geli mendengar tuduhan Jihan. “Aku sudah pernah bertemu dengan lelaki itu. Bahkan kami cukup dekat dalam satu bulan terakhir.”

“Kenapa kau baru menceritakannya sekarang?”

“Saat itu aku belum merasa percaya diri untuk bercerita. Apalagi dia bersikap seolah tidak tertarik padaku.”

“Dan sekarang?”

“Sedikit demi sedikit sepertinya dia mulai membuka hatinya untukku.” Wajah Silvia merona dengan mata berbinar. “Dan aku ingin mengetahui pendapatmu tentang lelaki itu sebelum kami melangkah ke hubungan yang serius. Lagi pula siapa tahu kita bisa pergi double date, jika kau sudah bertemu dengan lelaki” Silvia menghentikan kata-katanya begitu saja lalu tampak sibuk dengan ponselnya yang berbunyi. “Halo? Oh, kau sudah sampai? Aku akan menjemputmu di tempat parkir.”

Silvia bangkit dari kursinya dan mengedipkan sebelah mata ke arah Jihan. Lalu gadis itu berlalu menuju pintu keluar kafe. Meninggalkan Jihan yang mulai menyibukkan diri memperhatikan es batu yang mulai mencair dalam gelasnya.
***

Langkah kaki Silvia sedikit tergesa membawanya menuju pelataran parkir untuk pelanggan kafe yang terletak di bagian samping bangunan. Di sana ia melihat lelaki itu masih duduk di atas motor sport miliknya. Lelaki itu tampak sibuk merapikan rambutnya sambil berkaca pada spion. Begitu menyadari kedatangan Silvia, ia menoleh dan tersenyum.

Silvia memerhatikan dengan cermat. Seperti biasa lelaki itu selalu tampak menawan. Lelaki itu turun dari motornya lalu berjalan untuk menyambut kedatangan Silvia. Ia seolah mengerti bagaimana berpenampilan yang bisa menunjukkan kelebihannya. Seperti kali ini, polo shirt hijau hutan dan celana jeans hitam membungkus sempurna tubuhnya. Rambut hitamnya tergerai menyentuh kerah bajunya. Begitu cocok dengan bentuk wajahnya yang tirus. Sorot matanya tajam, hidungnya mancung, dan bibir tipisnya kembali mengurai senyum. Silvia tentu tidak akan keberatan jika menjadi istri dari lelaki setampan ini.

“Maaf membuatmu menunggu lama,” ucap lelaki itu dengan senyum meminta maaf. Ia melangkahkan kaki beriringan dengan Silvia menuju kembali ke kafe.

“Tidak juga.” Silvia tersenyum maklum. “Lagi pula aku datang bersama temanku.”

“Oh, ya?” tanya lelaki itu dengan alis terangkat. Mengingatkan Silvia pada ekspresi Jihan saat ia menceritakan tentang ibunya yang mulai menuntut pernikahan.

Silvia menganggukkan kepalanya semangat. “Semoga kalian cepat akrab.”

“Semoga saja,” sahut lelaki itu sambil tersenyum. Ia mendorong pintu kaca kafe dan mempersilakan Silvia untuk masuk duluan. Secara impulsif, Silvia langsung mengamit lengan lelaki itu dan menuntunnya menuju tempat duduk di mana Jihan menunggu.

“Perkenalkan, ini Jihan. Sahabat baikku,” ucap Silvia sambil berdiri di samping tempat duduk Jihan.

Mendengar namanya disebut, Jihan cepat-cepat bangkit. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya. Sebisa mungkin ia mencoba tersenyum ramah.

“Lho? Jihan?” Lelaki di hadapannya tampak sangat terkejut.


Jihan tidak kalah terkejutnya dengan lelaki itu. Ia menelan ludahnya pahit. Matanya terbelalak nyaris melompat keluar dari rongga matanya. Mulutnya yang menganga menggumam dengan terkejut, “R-rangga?”


4 komentar:

  1. Jiastin.. Gimana perasaane Jihan yaaa.. Miris cyak.. Itu Rangga loh.. RANGGA!!
    Ayoooo OS2 nyaaa.. Ga sabaaarrrr... >.<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siaaaap <(' o ' )
      Red Lie chapter 4 juga ditunggu nih :D

      Hapus
  2. Sangat di tunggu OS2-nya he.he :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas kunjungannya :D
      siaaap... ditunggu dengan sabar yaaa...
      sambil menunggu bisa jalan-jalan dulu ke cerita yang lainnya hehehe.
      kalau ada typo atau kesalahan EyD jangan ragu buat mengingatkan yaaa... ^^
      ditunggu komentar selanjutnya :D

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D