Minna, ohayou!
Hari ini Orange Sunset
(Satu) didedikasikan untuk Irene Nadia
Zabrina
yang bilang sinopsisnya
bagus dan penasaran sama ceritanya.
Selamat membaca dan
ditunggu komentarnya, ya \(^o^
MEJA kerja itu tampak lengang dari berbagai macam
kegiatan. Beberapa map dan kertas sudah tersusun rapi dalam file holder di sudut meja. Pensil dan
pulpen juga sudah kembali ke tabung yang menjadi rumah mereka. Seorang gadis
tengah duduk bertopang dagu dengan siku yang bertumpu di atas meja. Seolah
tidak peduli pada cahaya temaram yang melingkupi ruangan itu. Memang sudah
tidak ada kegiatan apa pun di ruangan itu sejak jam kantor berakhir sekitar
satu jam yang lalu.
Kening Jihan berkerut. Matanya menatap kosong ke arah
jendela yang membingkai pemandangan langit sore ini. Warna biru perlahan
dijajah oleh warna jingga kemerahan di ufuk barat. Ia menggigit
bibirnya untuk menghalau sebersit kenangan yang mencoba memasuki benaknya. Hingga
tanpa sadar ia menghela napas berat.
“Tiga kali.”
Jihan tersentak. Ia mengangkat wajahnya lalu menoleh.
Silvia yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya itu tampak mengurai
senyum. Gadis itu adalah salah seorang rekan kerja Jihan yang cukup dekat
dengannya. Sehari-hari, Silvia selalu tampak cantik dengan rambut hitam yang
digelung rapi. Sepasang matanya yang sayu semakin menawan dengan riasan yang
sesuai. Setitik tahi lalat tampak bertengger di sudut mata kirinya. Hidung
mancung dan bibir penuh berwarna merah mudanya
akan membuat siapa pun betah untuk memandanginya.
“Apa maksudmu, Silvia?” tanya Jihan sambil memperdalam
kerutan di keningnya. Bingung.
“Dalam satu menit terakhir kau sudah menghela napas berat
sebanyak tiga kali,” jawab Silvia lantas melemparkan tatapan menyelidik. “Apa
lagi yang kaupikirkan? Lelaki-senja-mu itu?”
Jihan menghela napasnya sekali lagi. “Tidak seperti yang
kau pikir, Silvia.” Ia menunduk lemas lalu menempelkan pipi kanannya pada meja
kerjanya. Untuk yang kelima kalinya, ia menghela napas berat.
Silvia memang sudah pernah mendengar cerita cinta pertama
Jihan itu. Dan setiap kali ia melihat Jihan melamun, bisa dipastikan gadis itu
sedang tenggelam dalam momen masa lalunya.
“Jangan bohong. Aku sudah mengenalmu dengan baik, Jihan,”
ucap Silvia sambil memicingkan mata. “Kau tampak murung di hari Jumat yang
dinanti semua orang. Itu berarti kau sedang teringat pada kisah romantis antara
kau dan... siapa namanya?” Ia baru menyadari bahwa selama ini Jihan belum pernah
menyebutkan nama lelaki itu.
Jihan terkekeh perlahan. “Ra-ha-sia,” jawabnya kemudian
dengan nada jenaka.
Kening Silvia mengernyit protes. “Kenapa?”
Sebenarnya, bukan masalah besar bagi Jihan untuk memberi
tahu Silvia nama lelaki itu. Hanya saja... ia tidak ingin menyebut nama itu
melalui bibirnya. Tidak saat ini. Saat cahaya senja menerpa samar di jendela.
Melukiskan siluet punggung lelaki yang terus menjauh walaupun ia terus
meneriakkan namanya. Lelaki yang dicintainya dan ternyata mencintainya. Tetapi
mereka tidak bisa bersatu karena kebodohan yang dilakukannya.
Ya. Ia memang bodoh.
“Kau hebat, Jihan.” Kali ini Silvia yang menghela
napasnya pelan. “Kau bisa tetap memikirkan lelaki yang sama walaupun lima tahun
sudah berlalu.”
“Aku tidak memikirkannya,” sanggah Jihan.
Silvia mencibir. “Matamu terus menerawang ke arah
matahari senja seolah teringat pada hari di mana lelaki itu menyatakan
perasaannya padamu.”
Jihan menundukkan kepala. Matanya memperhatikan tepian
meja kerjanya. Entah mengapa sudut-sudut meja kerjanya menjadi sesuatu yang
menarik untuk diperhatikan saat ini.
“Saat itu adalah pertama kalinya ada seorang lelaki yang
menyatakan perasaannya padaku. Aku terlalu panik hingga mengucapkan hal yang
menyakitkan,” sahut Jihan lemas.
“Itu bukan sepenuhnya salahmu.” Silvia menelengkan
kepalanya. “Lagi pula selama ini... apa kau tidak pernah mencoba untuk
menghubunginya? Memulai semuanya dari awal... lalu menyatakan perasaanmu?”
Jihan mengangkat bahu lalu menggeleng perlahan. “Sejak
saat itu, hubungan kami renggang... seolah tidak pernah mengenal sebelumnya.
Lagi pula bagaimana kalau ternyata dia sudah punya pacar?”
Jihan sangat ingin bisa bertemu kembali dengan lelaki
itu. Tetapi selalu ada kekhawatiran yang membayangi keinginannya itu. Ia bisa
membayangkan suasana canggung yang akan mendominasi pertemuan mereka. Jika itu
sampai terjadi, apa yang harus dilakukannya?
“Tidak ada salahnya mencoba,” ucap Silvia. “Dan jika dia
sudah punya pacar seperti yang kau khawatirkan, aku akan selalu ada untuk
mendengar ceritamu.”
Kepala Jihan mendongak antusias. Matanya berbinar penuh
semangat. Ia merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Silvia. Mungkin tidak
ada salahnya mencoba menghubungi lelaki itu sekali lagi. Siapa tahu mereka bisa
memulai semuanya lagi dari awal.
“Terima kasih, Silvia. Aku akan berjuang.” Jihan berkata
tegas. Lebih seperti menyemangati dirinya sendiri. Ia meraih tas tangan dari
atas meja dan bangkit dari duduknya. “Ayo kita pulang sekarang.”
Silvia ikut tersenyum senang. “Aku harap semangatmu tidak
akan membuatmu lupa pada janji kita besok.”
***
“Jadi, orang tuamu berniat menjodohkanmu?” Jihan menegaskan
kesimpulan untuk cerita Silvia.
“Bukan menjodohkan.” Silvia mengoreksi kata-kata Jihan. Tetapi
ia tidak menyalahkan sahabatnya itu. Siapa pun yang mendengar cerita tentang
niat orang tuanya itu pasti akan berpikir itu menuju pada sebuah perjodohan. “Mereka
hanya ingin aku saling mengenal dengan salah seorang anak lelaki dari teman
ibuku.”
Saat ini mereka berdua sedang berada di salah satu kafe
dengan nuansa warna pelangi. Kafe itu cukup ramai di akhir pekan seperti ini. Banyak
remaja yang berkumpul bersama teman-temannya. Pelanggan lainnya adalah pasangan
muda yang sedang menghabiskan waktu berdua. Ada juga beberapa gadis yang duduk
bersama kantung belanjaan dari toko-toko yang berderet di sekitar sini.
Pada bagian depan bangunan terpampang papan kayu
bertuliskan nama kafe itu: Rainbow Cafe. Di bawah papan tersebut membentang
kanopi yang menjulur dan menimbulkan bayang-bayang gelap di teras. Memberikan
suasana teduh bagi pelanggan yang duduk sambil merokok di luar sana. Sementara
Jihan dan Silvia memilih untuk duduk di dalam bangunan, pada tempat duduk yang berada
di dekat jendela. Mereka duduk berhadapan dengan posisi Jihan yang membelakangi
pintu masuk kafe.
“Lalu, kau menerima begitu saja perkenalan itu?” tanya
Jihan sambil mengaduk-aduk orange
juice di hadapannya.
“Mau tidak mau aku menyetujui permintaan orang tuaku.”
Silvia menggidikkan bahunya. Lalu ia tertawa kecil ketika teringat pada ibunya.
“Apalagi ibuku menatapku seolah aku adalah gadis penuh dosa karena masih
melajang di usia seperti ini.”
Alis Jihan terangkat.
“Pada awalnya, ibuku hanya menujukkan foto lelaki itu.
Dan menurutku, tidak terlalu buruk.” Senyuman Silvia seolah menyimpan sejuta
makna. “Lagi pula tidak ada salahnya mencoba.”
Jihan memicingkan matanya curiga. “Aku berani bertaruh
lelaki di foto itu pasti ganteng banget. Benar?”
“Aku tidak mau menjawab pertanyaanmu,” elak Silvia sambil
memutar bola matanya. Tetapi rona di wajahnya seolah sudah cukup menjawab pertanyaan
Jihan.
“Tapi apa kau yakin untuk menerima perkenalan itu?” Jihan
melemparkan tatapan skeptis ke arah Silvia. “Di zaman seperti ini... foto
seseorang bisa saja dimanipulasi, kau tahu?”
“Bagaimana jika kau menilainya secara langsung?”
Mata Jihan terbelalak. Kepalanya langsung celingukan memerhatikan
sekitar kafe. Tetapi tidak tampak seorang pun lelaki yang sepertinya tengah memerhatikan
ke arah mereka berdua. “Maksudmu, kau akan mempertemukanku dengan lelaki itu?”
Silvia mengangguk dan menatap jam tangannya. “Sebentar
lagi dia akan datang ke sini.”
Jihan mengernyit. “Sebentar lagi? Ke sini?”
“Ya. Aku harap kau tidak keberatan.” Silvia mengedipkan
satu matanya. Lalu ia menyelipkan rambut ikalnya ke belakang telinga.
Penampilan gadis itu tampak lebih segar dengan rambut yang digerai bebas.
Berbeda dengan penampilan konservatifnya di kantor.
Tentu saja Jihan keberatan. Ia pikir hari ini akan
menjadi harinya untuk bebas dari perkenalan dengan orang asing. Pekerjaannya di
bagian pemasaran tidak jarang menuntutnya untuk bertemu dengan klien yang
menggunakan jasa perusahaan tempatnya bekerja. Tetapi mana mungkin ia
mengatakan terang-terangan seperti itu kepada Silvia. Ia tidak ingin menyakiti
perasaan sahabatnya. Jadi, tidak ada pilihan selain menuruti maksud Silvia.
Asalkan bukan dengan tujuan menipu atau sejenisnya—
“Jangan-jangan... kau mengajakku hari ini sebagai tameng
jika lelaki itu tidak sesuai dengan apa yang ada di fotonya?” tebak Jihan
sambil tersenyum masam.
“Tentu saja tidak!” bantah Silvia cepat. Ia tertawa geli
mendengar tuduhan Jihan. “Aku sudah pernah bertemu dengan lelaki itu. Bahkan
kami cukup dekat dalam satu bulan terakhir.”
“Kenapa kau baru menceritakannya sekarang?”
“Saat itu aku belum merasa percaya diri untuk bercerita.
Apalagi dia bersikap seolah tidak tertarik padaku.”
“Dan sekarang?”
“Sedikit demi sedikit sepertinya dia mulai membuka
hatinya untukku.” Wajah Silvia merona dengan mata berbinar. “Dan aku ingin
mengetahui pendapatmu tentang lelaki itu sebelum kami melangkah ke hubungan
yang serius. Lagi pula siapa tahu kita bisa pergi double date, jika kau sudah bertemu dengan lelaki—” Silvia
menghentikan kata-katanya begitu saja lalu tampak sibuk dengan ponselnya yang
berbunyi. “Halo? Oh, kau sudah sampai? Aku akan menjemputmu di tempat parkir.”
Silvia bangkit dari kursinya dan mengedipkan sebelah mata
ke arah Jihan. Lalu gadis itu berlalu menuju pintu keluar kafe. Meninggalkan
Jihan yang mulai menyibukkan diri memperhatikan es batu yang mulai mencair
dalam gelasnya.
***
Langkah kaki Silvia sedikit tergesa membawanya menuju pelataran
parkir untuk pelanggan kafe yang terletak di bagian samping bangunan. Di sana
ia melihat lelaki itu masih duduk di atas motor sport miliknya. Lelaki itu tampak sibuk merapikan rambutnya sambil
berkaca pada spion. Begitu menyadari kedatangan Silvia, ia menoleh dan
tersenyum.
Silvia memerhatikan dengan cermat. Seperti biasa lelaki
itu selalu tampak menawan. Lelaki itu turun dari motornya lalu berjalan untuk
menyambut kedatangan Silvia. Ia seolah mengerti bagaimana berpenampilan yang
bisa menunjukkan kelebihannya. Seperti kali ini, polo shirt hijau hutan dan
celana jeans hitam membungkus
sempurna tubuhnya. Rambut hitamnya tergerai menyentuh kerah bajunya. Begitu
cocok dengan bentuk wajahnya yang tirus. Sorot matanya tajam, hidungnya
mancung, dan bibir tipisnya kembali mengurai senyum. Silvia tentu tidak akan
keberatan jika menjadi istri dari lelaki setampan ini.
“Maaf membuatmu menunggu lama,” ucap lelaki itu dengan
senyum meminta maaf. Ia melangkahkan kaki beriringan dengan Silvia menuju
kembali ke kafe.
“Tidak juga.” Silvia tersenyum maklum. “Lagi pula aku
datang bersama temanku.”
“Oh, ya?” tanya lelaki itu dengan alis terangkat.
Mengingatkan Silvia pada ekspresi Jihan saat ia menceritakan tentang ibunya
yang mulai menuntut pernikahan.
Silvia menganggukkan kepalanya semangat. “Semoga kalian
cepat akrab.”
“Semoga saja,” sahut lelaki itu sambil tersenyum. Ia
mendorong pintu kaca kafe dan mempersilakan Silvia untuk masuk duluan. Secara
impulsif, Silvia langsung mengamit lengan lelaki itu dan menuntunnya menuju
tempat duduk di mana Jihan menunggu.
“Perkenalkan, ini Jihan. Sahabat baikku,” ucap Silvia
sambil berdiri di samping tempat duduk Jihan.
Mendengar namanya disebut, Jihan cepat-cepat bangkit. Ia
berdiri dan mengulurkan tangannya. Sebisa mungkin ia mencoba tersenyum ramah.
“Lho? Jihan?” Lelaki di hadapannya tampak sangat
terkejut.
Jihan tidak kalah terkejutnya dengan lelaki itu. Ia menelan
ludahnya pahit. Matanya terbelalak nyaris melompat keluar dari rongga matanya.
Mulutnya yang menganga menggumam dengan terkejut, “R-rangga?”
Jiastin.. Gimana perasaane Jihan yaaa.. Miris cyak.. Itu Rangga loh.. RANGGA!!
BalasHapusAyoooo OS2 nyaaa.. Ga sabaaarrrr... >.<
Siaaaap <(' o ' )
HapusRed Lie chapter 4 juga ditunggu nih :D
Sangat di tunggu OS2-nya he.he :)
BalasHapusterima kasih atas kunjungannya :D
Hapussiaaap... ditunggu dengan sabar yaaa...
sambil menunggu bisa jalan-jalan dulu ke cerita yang lainnya hehehe.
kalau ada typo atau kesalahan EyD jangan ragu buat mengingatkan yaaa... ^^
ditunggu komentar selanjutnya :D