Sabtu, 27 Juni 2015

Red Lie - Chapter 9


Malam itu cerah, dan bulan purnama bersinar terang ditemani bintang-bintang yang bertaburan pada langit yang telah menghitam pada jam sepuluh malam. Seorang lelaki kecil duduk di ayunan besar, menengadahkan kepalanya dan berkali-kali mengembuskan napas besarnya. Matanya secara bergantian menatap foto yang ada di genggaman tangan mungilnya.

Sejak ibunya melihat foto itu, keluarganya tak lagi seharmonis sebelumnya. Kedua orang tuanya lebih sering bertengkar, bahkan ibunya tak lagi mengurus kedua anaknya dan melimpahkan tanggung jawabnya pada baby sitter hingga jam sembilan malam. Ibunya selalu mengurung diri, dan beberapa hari ini, ibunya tak lagi mengajaknya bicara. Hanya sesekali memberikan susu untuk adiknya ketika baby sitter telah usai bertugas.

Dari dalam rumahnya, kembali terdengar suara-suara bernada tinggi yang ia hafal betul itu adalah suara kedua orang tuanya. Lagi... Perang mulut terjadi di antara keduanya. Di sela itu, suara tangisan seorang lelaki kecil yang agaknya terganggu dengan suara gaduh terdengar nyaring tanpa henti. Keegoisan muncul dalam hatinya. Ia membiarkan tangisan adik kecilnya itu, meski dalam hati kecilnya perasaan tak tega menggelayutinya.

Sesaat kemudian suara perang mulut itu berhenti, begitu juga dengan suara tangisan adik kecilnya. Lalu ia melihat mobil ayahnya berjalan mundur, keluar dari garasi dan berputar dengan kecepatan tinggi hingga decitan bannya terdengar jelas di telinga lelaki kecil itu. Tiba-tiba hidungnya terasa sakit, air mata mulai menggenangi matanya. Ini tidak adil. Mengapa ibunya tak pernah mengajaknya bicara? Sedangkan sesekali ia melihat ibunya memberikan susu pada adiknya ketika adiknya menangis. Apa salahku? Batinnya dalam hati sambil menangis sesegukan. Bahkan ibunya tak pernah lagi memeluknya ketika ia menangis.

Ia mengusap air matanya dengan lengan kaos hijau yang dikenakannya, kemudian berjalan menuju ke dalam rumah karena ia merasakan udara di luar yang mulai dingin. Ia mengintip di balik pintu kamar yang terbuka setengahnya. Yang bisa lelaki kecil itu lihat di menit berikutnya dari tempatnya berdiri di balik pintu kamar, ibunya meraih sebuah guling kecil yang kemudian digunakan untuk membekap wajah adiknya yang telah tertidur.

“Apa yang ibu lakukan?” tanya lelaki kecil itu. Ibunya terperanjat hingga guling di tangannya terjatuh menimpa adiknya. Tangisan adik kecilnya kembali menguar.
Ibunya berdecak, menatap lelaki kecil itu dengan amarah yang membabi buta. Sang ibu pun mendatangi lelaki kecil itu mencengkeram lengannya kuat-kuat hingga membuat lelaki kecil itu kesakitan. Ia terus meronta, mencoba melepaskan diri dari wanita yang tak lagi dikenalnya itu. Butuh waktu lama bagi lelaki kecil itu untuk melepaskan diri, keputusannya untuk menendang perut ibunya membuahkan hasil, hingga ia segera berlari untuk bersembunyi di bawah meja ruang makan. Langkah ibunya berhenti beberapa meter di dekat meja. Dengan jantung yang berdegup kencang, lelaki kecil itu memberanikan diri untuk mengintip. Sebilah pisau telah berada dalam genggaman ibunya. Darah mulai merembes dari pakaiannya, tubuhnya tumbang tepat di hadapan lelaki kecil itu.

Harry terduduk tegak di ranjangnya. Keringat yang lembap dan dingin membanjiri tubuhnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, sama persis dengan kejadian saat itu. Masa lalunya masih saja menghantui mimpi-mimpinya. Ia tak akan pernah lupa malam itu ketika ibunya bunuh diri tepat di depan matanya.

Harry bangkit dan memercikkan air dingin ke wajahnya, dan saat itu rasa bersalah kembali menggelayuti hatinya. Seandainya saja waktu itu ia tak menunjukkan foto itu. Ia mendesah, kemudian keluar dari kamarnya, mengambil segelas air dingin untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

Bayangan seseorang di ruang tengah tertangkap oleh ekor mata Harry. Ia memutar langkahnya, untuk memastikan siapa yang masih terjaga pukul tiga pagi, meski ia tahu tak ada siapapun lagi di rumah itu kecuali Leo.

Dalam cahaya remang-remang, tangan besarnya sedang sibuk memainkan ponsel lima inci miliknya. Ia tampak serius hingga tak menyadari seseorang berdiri di belakangnya, ikut mengamati layar ponselnya yang memperlihatkan foto seorang gadis. Dengan latar yang sangat Harry pahami, Harry tahu betul siapa gadis itu. Seorang pegawai Quarts Design. Harry berdehem, mengagetkan adiknya yang tengah sibuk dengan pengamatannya pada gadis itu.

“Kak… Kau mengagetkanku.” Ujar Leo yang hampir saja menjatuhkan ponselnya.

“Em.. Ya.. Kurasa karena kau terlalu sibuk memandangi gadis itu.” Kata Harry sambil berjalan menuju dapur yang hanya dibatasi oleh tembok setinggi pinggang orang dewasa. Leo terkejut kakaknya menyadari apa yang tengah ia perhatikan. Kemudian arah matanya mengikuti kakaknya yang tengah menuang air dingin.

“Kenapa kau mempekerjakan asisten?” Tanya Leo tiba-tiba.

Harry hampir saja tersedak mendengar pertanyaan Leo. “Memangnya ada yang salah?” Balas Harry mengabaikan pertanyaan adiknya.

“Seperti bukan kau saja,” Tukas Leo. “kudengar kau meminta Denis untuk merekrutnya secara eksklusif?”

“Benar.”

“Kenapa harus dia?”

Hening. Harry bahkan sama sekali tak memiliki minat untuk membahasnya terlebih setelah mimpi buruk membangunkannya.

“Kak,” Leo berusaha merebut kembali perhatian Harry, “kenapa harus Trisia?”

Harry meletakkan gelasnya di atas meja tanpa menghabiskan sisa minumannya. Kemudian dengan langkah cepat ia kembali menuju ke kamarnya tanpa menjawab pertanyaan Leo. Ini bukan saat yang tepat untuk membahas itu. Ia tak ingin siapapun mengganggu rencananya, termasuk Leo.
***

Ia tahu benar bagaimana karakter Harry. Ia tak akan mengijinkan siapapun mencampuri urusannya, termasuk Leo. Namun rasa penasaran yang memang kental dalam dirinya, membuatnya harus berusaha lebih untuk menjawab segala pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya.

Leo bersandar di tempat tidur, menopang tubuhnya dengan siku. Sebelah tangannya kembali sibuk dengan ponsel yang ia letakkan di atas tempat tidur, menggeser layar dengan telunjuknya yang panjang. Beberapa foto yang di ambil diam-diam pada beberapa acara makan siang bersama Trisia beberapa hari yang lalu masih menjadi topik hangat dalam pikirannya.

Ketika tengah sibuk memindah gambar demi gambar, sebuah foto kenangan beberapa tahun silam mendapatkan perhatian lebih dari Leo. Saat itu ia masih kecil, duduk di pangkuan seorang wanita cantik yang ia kenal sebagai ibunya. Di sampingnya, berdiri ayahnya yang tengah menggendong seorang lelaki kecil dengan wajah ceria dan berseri-seri. Harry. Wajah ceria itu kini tak lagi bersarang di wajah kakaknya. Dalam foto itu semua tertawa tanpa beban, seolah tak akan ada yang tahu bahwa keluarganya akan hancur berantakan.

Leo membuka laci nakas di samping tempat tidurnya, kemudian ia mengeluarkan sebuah buku. Buku harian dengan warna kertas putih yang mulai kusam. Ia membuka halaman yang telah ditandai dengan selembar foto kusut, foto seorang wanita bersama seorang anak perempuan dan seorang bayi mungil di tangannya. Wanita asing dengan rambut pirang dan mata hijaunya. Leo membalik foto itu, sebuah tulisan yang selalu ia baca setiap kali melihat foto tersebut.

Dank je, Haryo. Ik hou van jou. 19 Maart 1991.  (1)

Leo mengembuskan nafas berat. Nama ayahnya tertulis jelas. Kemudian mulai membaca baris demi baris, mencoba memahami kata demi kata. Ini sudah yang ketiga kalinya Leo membaca habis buku harian ibunya yang ia temukan hampir setahun yang lalu di gudang rumah ayahnya itu dan kembali mengulanginya untuk menemukan sesuatu.

Awalnya ia tak pernah berminat untuk mengetahui isi buku harian tersebut. Namun seiring rasa penasarannya yang kian membeludak, Leo memutuskan untuk membukanya. Alangkah terkejutnya ia menemukan kenyataan bahwa ibunya meninggal bukan karena penyakit, melainkan bunuh diri. Tepat sehari sebelumnya, ibunya menuliskan rencananya untuk mengakhiri hidupnya. Entah karena benar-benar tidak tahu atau memang tak berniat memberi tahu, Harry selalu mengatakan bahwa ibu mereka meninggal karena penyakit.

Calista, adalah sebuah nama yang selalu diingat oleh Leo. Nama wanita yang selalu dituliskan oleh ibunya dalam buku harian itu, wanita yang ia yakini adalah selingkuhan ayahnya, nama yang akan selalu tertancap kuat dalam ingatan Leo. Dan satu-satunya cara untuk menemukannya adalah gadis itu.
***

Trisia membuka matanya, kemudian terpejam kembali, setengah dibutakan oleh cahaya ponsel yang bersinar terang di tengah keadaan gelap kamarnya. Kelopak mata kirinya terbuka beberapa millimeter, berusaha melihat siapa yang mengiriminya pesan tengah malam seperti ini. Mungkin saja itu bosnya. Lelaki yang bisa membuatnya kerja rodi lebih dari lima belas jam sehari dengan tuntutan yang tak masuk akal. Karena kau hidup dengan uangku, adalah kalimat pamungkas untuk mendeklarasikan pemaksaan. Gaji yang terbilang cukup besar memang sepadan dengan lelah yang didapatkan Trisia.

Jam di ponsel menunjukkan pukul empat lima puluh tiga pagi— berarti ini bukan tengah malam. Tanpa terasa tidur pulasnya sudah menghabiskan malam dengan sangat cepat. Sebuah nama yang terpampang pada layar ponselnya mengirimkan pesan di pagi buta. Sedetik kemudian Trisia merasakan jantungnya berdebar dengan kencang tanpa ia mampu mengendalikannya. Perutnya terasa teraduk-aduk, membuat matanya terbelalak seketika. Leo…

Selamat pagi, Trisia :)

Sebuah pesan singkat yang mampu membuat Trisia tersenyum saat membacanya.

Selamat pagi juga, Leo :)

Pesan balasan segera dikirimkan oleh Trisia. Trisia bangkit, menyeret langkahnya menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Pagi ini tampak berbeda, ada yang sedang ia nantikan. Meski ia berkeinginan untuk bangun lebih siang dan nyatanya ia justru bangun lebih pagi dari biasanya, sama sekali tak ada perasaan kecewa dalam hatinya. Malaikat seperti sedang menabur bunga berwarna warni di sekelilingnya, membuat suasana hatinya tampak bagus pagi ini.

Sudah seminggu sejak perkenalan pertamanya dengan Leo. Sudah tiga kali mereka makan siang bersama, bertukar nomor ponsel, dan mereka saling bertukar pesan singkat setiap hari. Tentu saja semua itu Leo yang memulai, Trisia masih paham betul posisinya. Kemudian ponsel Trisia kembali berbunyi. Balasan dari Leo.

          Mau kujemput pagi ini?

Sesuatu dalam diri Trisia bersorak. Besar keinginan untuk menjawab ya, namun Trisia harus memikirkan dampak yang akan diterimanya. Tomi yang akan mencincangnya atau Harry yang akan memecatnya karena adiknya menjemput asisten rendahan seperti dirinya. Keduanya sama-sama mengerikan.

          Tidak perlu, terima kasih banyak atas tawarannya.

Send. Bagaimanapun juga ini adalah jawaban yang paling tepat, yang akan membawanya dalam zona aman. Seperti rutinitas paginya, setelah membersihkan dirinya, ia akan membuatkan sarapan dan kopi untuk Tomi. Ya, Tomi.

Kau tak boleh berharap lebih pada Leo, bagaimanapun juga kau masih besama Tomi, kata hati Trisia mulai mengingatkan.

“Iya… Aku tahu. Aku hanya merasa sungkan pada Leo. Leo hanya rekan kerja. Dia juga bosku.” Gumamnya pada diri sendiri.

Rekan kerja? Semacam rekan kerja yang perhatian dengan mengucapkan selamat tidur dan selamat pagi setiap hari? Bos yang bersedia mengantar jemputmu? Rekan kerja yang selalu kau nanti-nantikan pesan singkatnya? Yang selalu kau pikirkan? Yang—

“Tidak! Cukup!” Trisia menggeleng kuat-kuat. “Trisia, fokus!” Ujarnya pada dirinya sendiri sambil terus mengaduk secangkir kopi yang disiapkannya untuk Tomi. Jam digital di meja Trisia menunjukkan pukul enam pagi. Ia harus bergegas untuk membangunkan Tomi.

Trisia mengembuskan nafas berat. Sekelebat bayangan Leo membayangi langkahnya. Ia menggeleng pelan, mencoba menghilangkan bayangan itu, “Leo hanya rekan kerja,” Tegas Trisia pada dirinya sendiri sebelum membuka pintu kamar Tomi.

“Tom… Bangun…” Suara nyaring Trisia membangunkan. Tak ada jawaban dari Tomi. Seperti biasa, lelaki itu memang cukup sulit dibangunkan. Mungkin semalam ia pulang cukup larut. Trisia menyalakan lampu kamar Tomi, namun ternyata lelaki itu tak ada di tempat tidurnya. Mungkin di kamar mandi, batin Trisia. Trisia merebahkan tubuhnya di tempat tidur Tomi sambil menunggu lelaki itu keluar dari kamar mandi.

Sepuluh menit berlalu, tak ada suara percikan air yang terdengar dari kamar mandi. Trisia mengerutkan kening, tak biasanya Tomi akan selama itu berada di kamar mandi. Trisia beringsut, menyeret langkahnya untuk mengetuk pintu kamar mandi.

“Tom, kau di dalam?” Tanya Trisia setelah mengetuk pintu. Hening. Tak ada jawaban apapun. Kemudian Trisia meraih gagang pintu kamar mandi, perlahan membukanya.

“Tom,” Kepala Trisia melongok ke dalam. Tak ada siapapun, bahkan lantai kamar mandi masih kering. Apa mungkin Tomi tidak pulang? Tapi tak mungkin.

Trisia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan menghubungi Tomi. Tepat sebelum Trisia membuka pintu, sebuah notes kecil tertempel di dekat gagang pintu kamar. Kemudian Trisia meraihnya dan membacanya dengan saksama.

Trisia,
Maafkan aku, aku harus pergi dengan cara seperti ini.
Keputusanku sudah bulat. Aku akan kembali pada orang tuaku.
Aku akan kembali pada kehidupanku.
Mari kita jalani kehidupan kita masing-masing.
Berbahagialah. Maafkan aku yang selalu bersikap kasar padamu.
Temukan lelaki yang lebih baik dariku, yang akan selalu menjagamu dengan baik.
Terima kasih atas pelajaran hidup yang telah kau berikan padaku.
Selamat tinggal.

Tanpa terasa air mata Trisia menetes. Mengapa Tomi harus meninggalkannya seperti ini? Trisia bergegas menuju kamarnya, meraih ponselnya untuk menghubungi Tomi. Sebuah pesan dari Leo pun ia abaikan. Dengan cepat ia menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepalanya. Tak tersambung. Kemudian Trisia menghujani nomor Tomi dengan pesan singkat, namun tak satupun terkirim. Air mata Trisia mengalir dengan deras. Bagaimanapun juga, ia masih menyayangi Tomi.

Tomi… Dimana kau?

Bersambung.


(1) Terima kasih, Ardi. Aku cinta padamu. 19 Maret 1991 (CMIIW ^^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D