Senin, 22 Juni 2015

Orange Sunset (Lima)



Selamat malam, teman-teman! (^_^ )
Hari ini Orange Sunset (Lima) didedikasikan untuk seluruh Silent Reader Stoples Cerita.
Ditunggu komentar perdananya! \(*^-^*)/
Selamat membaca bacaan pengantar tidur kalian... hehehe



BUNYI berdering yang khas memenuhi kamar Jihan. Ia mengerang perlahan, mencoba mengabaikan. Tetapi beberapa detik kemudian, telinganya sudah merasa tidak tahan mendengar bunyi raungan itu. Dengan mata yang masih terpejam, tangannya meraba-raba nakas dan menekan tombol pembungkam benda berisik itu.

Jihan menarik selimut hingga menutupi kepalanya, berencana untuk kembali tidur. Hingga tiba-tiba saja wajah Silvia muncul di balik kelopak matanya. Ia langsung terlonjak duduk di atas tempat tidur. Kepalanya berputar cepat ke arah beker di atas nakas.

Gawat! Sudah lima puluh menit berlalu sejak Jihan membungkam paksa perusak hari Sabtu-nya itu. Padahal ia merasa hanya memejamkan mata selama beberap detik. Ia tidak menyangka waktu bisa berlalu begitu saja tanpa terasa.

Walaupun masih dalam keadaan setengah mengantuk, Jihan secepat kilat menyambar handuknya dan masuk ke kamar mandi. Ia harus bergerak lebih cepat untuk melunasi lima puluh menit waktu bersiap-siapnya yang hilang. Tidak mungkin ia membiarkan Silvia kecewa mendapati ia masih belum selesai bersiap saat gadis itu datang menjemput.

Setelah selesai mandi, Jihan mendapatkan kembali kesadaran penuhnya. Ia mengenakan sweter lengan panjang dengan motif garis-garis yang terlihat sedikit longgar di tubuhnya. Sementara celana jeans biru gelap menggantung di pinggangnya hingga bagian atas mata kaki. Dan untuk melengkapi penampilannya, ia memoles bibirnya dengan lipgloss rasa cherry lalu menyemprotkan sedikit wewangian.

Tepat pukul sembilan kurang lima belas menit, Jihan sudah selesai bersiap. Ia juga sudah sarapan selembar roti dan secangkir kopi. Sekarang hanya tinggal menunggu kedatangan Silvia ke flatnya. Sambil menunggu, ia mematut bayangannya di cermin sekali lagi dan memberikan penilaian pribadi untuk penampilannya. Sepertinya tidak terlalu buruk untuk sebuah kencan buta.

Ya. Sebuah kencan buta yang diatur Silvia untuknya. Gadis itu bersikeras memaksanya segera membuka hati untuk lelaki lain untuk mencoba melupakan lelaki-dari-masa-lalu-Jihan. Walaupun tanpa sepengetahuan Silvia, lelaki-dari-masa-lalu-Jihan itu adalah orang yang sama dengan lelaki yang dicintai Silvia. Lelaki bernama Rangga.

Jihan menghela napas panjang. Hanya dengan mengingat nama itu saja dadanya sudah terasa penuh dengan perasaan rindu. Andai saja hari ini ia akan pergi berkencan dengan lelaki itu dan bukan dengan lelaki yang tidak dikenalnya. Andai saja gadis yang dekat dengan lelaki itu bukanlah sahabat baiknya. Andai saja ia bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki segalanya. Andai saja....

Bunyi dering bel memutus angan-angan Jihan. Ia melirik jam tangannya dan mengernyit. Silvia datang sepuluh menit lebih cepat rupanya. Untuk terakhir kalinya, ia memeriksa penampilannya di cermin lalu membuka pintu flat tanpa mengintip melalui peephole di pintunya terlebih dahulu.

Begitu pintu terbuka, Jihan langsung mendapatkan sebuah pelukan hangat penuh kerinduan. Tubuhnya terdorong ke belakang dan nyaris jatuh terjengkang. Jihan mengerjapkan matanya beberapa kali hingga akhirnya menyadari bahwa yang datang bukanlah Silvia.

“Mama?” seru Jihan tidak percaya ketika akhirnya ia terlepas dari pelukan tamu-nya itu. “Apa yang Mama lakukan di sini?”

“Tentu saja untuk mengunjungi anak gadisku tersayang,” jawab ibunya sambil tersenyum lebar.

“K-kenapa tidak memberitahuku terlebih dahulu?” Nada gugup terlihat jelas pada kata-kata Jihan.

Dan seolah menyadari hal itu, ibu Jihan menatap anaknya sambil memicingkan mata penuh curiga. “Jangan-jangan... kau menyembunyikan lelaki di flatmu? Awas saja jika itu sampai terjadi!”

“Tentu s-saja tidak ada lelaki di sini. Hanya saja....” Jihan kesulitan untuk mengalihkan pembicaraan sambil berusaha menghalau ibunya untuk tidak melihat ke balik punggungnya.

Tetapi terlambat. Ibunya sudah melihat apa yang seharusnya tidak dilihat. Mata ibunya memandang ke sekeliling ruangan dengan tajam. Dan sekarang wanita itu sudah memekik histeris seolah baru saja melihat hantu. “Astaga, Jihan. Kenapa flatmu berantakan seperti kapal pecah?”

Nah, itu dia! Itulah hal yang ditakutkan Jihan jika ibunya berkunjung secara mendadak seperti ini. Ia tidak akan punya waktu untuk mendengarkan nasehat tentang kerapian yang sudah sangat dihafalnya. Diam-diam ia bersyukur dalam hati karena pintunya sudah dalam keadaan tertutup sehingga tidak ada tetangga yang bisa mendengar omelan ibunya.

“Kau akan berkencan dengan pacarmu hari ini?” tanya ibunya tiba-tiba. Kali ini suaranya lebih lembut dan sedikit... heran. Tetapi setidaknya, perhatian ibunya dari kondisi kamarnya sedikit teralihkan.

“A, apa?”

“Akhirnya, kau menentukan pilihanmu,” ucap ibunya dengan wajah berbinar. “Segera beritahu Mama jika kau sudah siap menikah.”

“Apa?”

Ibunya memandang penampilan Jihan dari atas ke bawah dengan penuh penilaian. “Jadi, siapa lelaki beruntung itu?” tanya ibunya dengan mata berkilat penasaran.

“Tidak ada!” Jihan menatap ibunya sambil tersenyum geli. “Aku hanya akan pergi dengan Silvia. Itu saja.”

Ibunya mengangkat alis. “Benarkah?”

“Tentu saja, Ma,” jawab Jihan sambil mengangkat bahunya.

Ibunya baru akan membuka mulut hendak mengatakan sesuatu ketika bel pintu kembali berbunyi.

“Ah, Silvia sudah datang,” ujar Jihan sambil berbalik dan berjalan ke arah pintu.

Sebelum membuka pintu, Jihan mengintip terlebih dahulu siapa yang datang kali ini. Ia tidak ingin kembali terkejut dengan kedatangan tamu tidak terduga seperti sebelumnya. Dan begitu mendapati Silvia yang berdiri di luar flatnya, ia mendesah lega. Setidaknya selama beberapa saat ia akan terselamatkan dari omelan ibunya.

Jihan menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu. Ia tersenyum lebar penuh kelegaan kepada Silvia yang berdiri di hadapannya. “Kau datang tepat waktu,” ujar Jihan.

Silvia mengernyit heran. Apa-apaan dengan senyuman itu? Tetapi ia berusaha mengabaikan. Mungkin saja Jihan sedang merasa bahagia karena sudah berhasil terbebas masa lalunya. “Tentu saja. Apa kau sudah siap?”

Sebelum Jihan sempat menjawab, Silvia melihat seorang wanita cantik setengah baya melongok dari balik tubuh sahabatnya. “Oh. Hai, Silvia.” Mata wanita itu melebar melihat Silvia. “Kau tidak ingin masuk dulu?”

“Apa kabar, Tante?” Silvia melangkah masuk melewati Jihan, lalu memberikan pelukan untuk ibu sahabatnya itu. Ini merupakan pertemuan mereka yang kedua. Mereka pernah bertemu saat ibu Jihan berkunjung ke flat Jihan sebelumnya.

“Baik,” jawab ibu Jihan sambil melepaskan pelukannya. “Kau sendiri bagaimana kabarmu, Silvia?”

“Aku juga baik-baik saja, Tante.”

“Dan bagaimana dengan... oh.” Ibu Jihan melupakan begitu saja apa yang akan dikatakannya begitu melihat penampilan Silvia. Gadis itu mengenakan terusan berwarna dadu dengan bagian rok yang sedikit mengembang sampai ke lutut. Dan dilapisi dengan kardigan merah muda yang menyempurnakan penampilan Silvia. “Kau terlihat cantik, Silvia.”

“Terima kasih, Tante.”

Jihan mencoba berdeham perlahan karena mulai merasa diabaikan keberadaannya. Ibunya menoleh sekilas ke arahnya, tetapi dengan cepat kembali berhadapan dengan Silvia.

“Jadi benar kalian akan pergi kencan?” tanya ibu Jihan kepada Silvia. Ia merasa tidak percaya pada jawaban Jihan sebelumnya.

Jihan tersentak dan langsung melemparkan tatapan tajam penuh peringatan kepada Silvia. Tetapi sepertinya gadis itu tidak menyadarinya. Atau tidak peduli lebih tepatnya.

“Tentu saja.” Silvia tersenyum dan mengedipkan satu matanya. “Sebuah kencan ganda.”
***

Laura memerhatikan kondisi flat anaknya dengan saksama. Berbagai macam barang tergeletak pada tempat yang tidak seharusnya. Ruangan ini sebenarnya cukup sederhana. Hanya terdiri dari sebuah sofa panjang dengan meja persegi di hadapannya yang dipenuhi tumpukan majalah. Di sudut ruangan terdapat pantri kecil yang terlihat lebih rapi dari tempat lainnya. Dan ada dua pintu yang menghubungkan ke ruangan lain yaitu kamar tidur dan kamar mandi.

Flat ini terlalu berantakan untuk menyambut tamu seorang lelaki. Diam-diam Laura merasa lega sekaligus merasa kecewa. Ia berjalan menghampiri meja persegi di tengah ruangan lalu mulai menumpuk majalah-majalah dan memindahkannya pada rak buku di sudut ruangan.

Bukankah itu berarti Jihan sama sekali belum berhasil bangkit dari luka masa lalunya?

Alis Laura berkerut samar. Tiba-tiba teringat pada hari kelulusan Jihan dari SMA. Pada hari itu pihak sekolah mengundang seluruh orang tua siswa untuk menghadiri upacara kelulusan di gedung pertemuan sekolah. Semua siswa yang lulus hadir mengenakan pakaian resmi seperti kebaya untuk perempuan dan setelan jas untuk laki-laki.

Acara ditutup dengan jamuan makan sambil saling mengakrabkan diri. Sesaat sebelum acara ditutup itulah ia baru menyadari bahwa Jihan sudah tidak ada di ruangan. Dan ketika melangkah keluar dari gedung sekolah, semua orang disambut dengan hujan kertas warna-warni yang seolah turun dari langit merayakan kegembiraan hari itu. Beberapa siswa bergumam bahwa itu adalah perbuatan Jihan dan sahabat baiknya, Rangga.

Laura mengenal Rangga tentu saja. Anak lelaki itu sering berkunjung ke kediaman mereka. Terkadang hanya sekedar bermain atau mengerjakan tugas sekolah. Walaupun mereka selalu berkata bahwa hubungan mereka tidak pernah lebih dari sahabat, tetapi ia bisa melihat bahwa Jihan bisa tertawa dan berbicara dengan cara yang sama kepada semua teman lelakinya. Tetapi ia selalu menatap Rangga dengan cara yang berbeda, membuat lelaki itu tampak istimewa. Begitu juga dengan cara Rangga menatap Jihan. Seolah tidak ada gadis selain Jihan dalam pandangannya.

Laura cukup yakin tentang hal itu. Ia percaya pada nalurinya. Dan naluri wanita tidak boleh diremehkan. Kala itu naluri Laura berkata bahwa mereka berdua saling mencintai. Tetapi ia memilih untuk bungkam mengingat usia Jihan dan Rangga yang masih terlalu belia.

Tetapi ketika Laura sekeluarga pada akhirnya harus pindah keluar kota setelah kelulusan Jihan, anak gadisnya itu tidak menolak atau pun terlihat ragu seperti sebelumnya. Secara tiba-tiba Jihan menurut begitu saja tanpa membantah. Walaupun begitu lulus kuliah, Jihan memutuskan untuk kembali  ke kota ini dan bekerja di sini. Seolah ada sesuatu yang tertinggal atau belum selesai di kota ini.

Pada awalnya, Laura dan suaminya merasa berat hati melepas putri mereka untuk tinggal sendiri. Tetapi setiap kali ia melihat kekosongan pada senyuman Jihan, hatinya merasa terluka. Seolah cahaya telah direnggut paksa dari senyuman anak gadisnya.

Laura tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi sejak hari kelulusan itu, ia menyadari benar bahwa cara Jihan tersenyum tidak pernah lagi sama.
***

“Kenapa kau mengatakan kita akan pergi kencan pada ibuku?” protes Jihan ketika mereka sudah keluar dari bangunan flatnya dan masuk ke mobil Silvia.

“Karena memang itu yang akan kita lakukan,” jawab Silvia enteng sambil melirik kaca spion sebelum melajukan mobilnya di jalan.

“Itu bisa menimbulkan suatu kesalahpahaman, kau tahu?”

“Memang kesalahpahaman seperti apa yang kau takutkan, gadis muda?” sahut Silvia sambil lalu. “Dan... hei, kenakan sabuk pengamanmu.”

Jihan menuruti apa yang dikatakan Silvia. Lalu menatap gadis di sampingnya itu dengan kening yang berkerut. “Ibuku bisa saja menuntut lebih setelah ini. Seperti meminta bertemu dengan pacarku dalam tanda kutip... atau yang terburuk memaksaku merencanakan pernikahan.”

“Kalau begitu....” Silvia membelokkan setir yang dicengkeramnya memasuki jalan utama yang cukup padat Sabtu pagi ini. “Kau harus menaklukkan hati teman kencanmu hari ini.”

Mata Jihan terbelalak mendengar solusi asal-asalan yang diungkapkan Silvia. Baru saja bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tetapi ia mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk memalingkan wajah dan memandang ke luar jendela. Benaknya bahkan tidak tahu apa yang harus dipikirkan saat ini.

Memang mudah bagi Silvia mengucapkan kata-kata seperti itu. Gadis itu bisa menaklukkan lelaki mana pun bahkan hanya dengan menghela napas. Beberapa kali ajakan kencan dan makan siang mampir ke meja kerja Silvia, tetapi gadis itu selalu menolak dengan halus. Tentu saja demi lelaki beruntung yang membuatnya jatuh hati. Tidak hanya lelaki itu yang bernasib mujur. Silvia juga beruntung bisa dekat dengan lelaki yang selalu dipikirkan Jihan selama ini. Andai saja....

Jihan menepuk pipinya sendiri, menghalau angan-angan kosong yang terbit dalam pikirannya. Ia sendiri bahkan merasa tidak pantas untuk merasa cemburu kepada sahabatnya itu.
***

Jihan tidak pernah menduga ia akan jatuh cinta. Pada dasarnya, ia bukanlah tipikal gadis yang memiliki khayalan akan pangeran berkuda putih yang akan membawanya dalam kehidupan yang bahagia selamanya. Walaupun bukan berarti ia menolak keras ketertarikan dengan lawan jenis. Hanya saja ia selalu merasa bahwa perasaan cinta itu akan datang tepat pada saatnya nanti.

Sialnya, ketika perasaan itu hinggap di hatinya, otak Jihan kelewat bebal untuk memahami perkembangan perasaannya. Proses jatuh cintanya memang berlangsung cepat, intens, lembut, dan nyaris tidak terasa menyengat. Sehingga logikanya terus saja menyangkal dan mengabaikan batinnya yang meneriakkan kata cinta.

Bahkan ketika lelaki yang membuatnya jatuh cinta itu mengungkapkan perasaan kepadanya, logikanya tetap berkukuh pada penyangkalannya. Hingga batin Jihan ikut menyetujui bahwa perasaan itu bukanlah cinta melainkan kasih sayang pada sahabat. Tetapi begitu lelaki itu pergi dengan langkah kecewa, barulah logikanya menyerah dan menyatakan bahwa perasaan Jihan kepada Rangga adalah perasaan cinta.

Tetapi terlambat. Hati lelaki itu terlanjur terluka untuk mendengarkan penjelasan Jihan. Rangga memilih untuk terus pergi dan tidak mengacuhkan jeritan hati Jihan. Setelah persahabatan yang begitu kental selama ini, hubungan mereka membeku dalam sekejap hanya karena pernyataan cinta. Dan kemudian hubungan itu pecah menjadi serpihan es yang menghujam tajam.

Benar-benar perpisahan yang buruk.

Hingga pada akhirnya mereka diberi kesempatan untuk kembali bertemu. Tetapi mengapa harus dalam situasi yang rumit? Jika terus seperti ini, bagaimana mungkin Jihan bisa menjelaskan perasaannya kepada lelaki itu. Ia tidak ingin bersikap egois tanpa memikirkan perasaan orang terdekatnya. Sehingga tanpa sadar ia malah bersikap canggung kepada lelaki- senja-nya itu.

Tetapi ketika suasana canggung itu sudah mencair menjadi keakraban seperti dahulu, Jihan malah mengatakan hal yang tidak penting. Bahkan mengucapkan “selamat tinggal” kepada Rangga, membekukan kembali kekariban di antara mereka.

Haruskah ia mengecat kukunya dengan warna norak sekali lagi?
***

“Jihan, kau melamun lagi.”

Jihan tersentak dan mengangkat wajah menatap Silvia yang duduk di hadapannya. “Apa?”

“Kenapa kau masih saja melamun?” tanya Silvia dengan kening mengernyit tidak suka. “Kukira kau benar-benar ingin melangkah maju.”

Jihan memilih bungkam. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu menangkup cangkir dari atas meja dengan kedua tangan. Perlahan, ia mendekati bibir cangkir dan menyesap perlahan kopinya yang terasa hambar.



Saat ini mereka berdua sedang duduk di sebuah kafe yang terletak berhadapan dengan gedung bioskop. Menunggu kedatangan pasangan kencan masing-masing. Silvia memang merencanakan kencan kali ini untuk menonton film bersama.

“Aku berani bertaruh, kau pasti tidak mendengarkan kata-kataku tadi.” Silvia menggerutu lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

“Aku hanya sedang membayangkan seperti apa teman kencan yang kaupilihkan untukku,” jawab Jihan sekenanya. Ia tidak mungkin berkata jujur bahwa ia tidak peduli pada teman kencan yang dipilih Silvia untuknya, ia lebih peduli seperti apa ia harus bersikap saat nanti bertemu dengan Rangga.

“Aku jamin kau tidak akan kecewa.” Silvia mengerlingkan mata kirinya penuh rasa bangga. Kerutan yang muncul karena kerlingan itu sesaat menyembunyikan tahi lalat yang bertengger di sudut matanya.

“Yah... kuharap begitu,” desah Jihan lantas meletakkan cangkir kosongnya ke atas meja.

“Dia seorang koki.”

“Siapa?”

Silvia memutar bola matanya. “Teman kencanmu, Jihan.”

“Oh.”

“Dia teman apartemen Rangga.”

Jihan langsung menegakkan posisi duduknya dengan antusias. Alisnya berkerut bingung. “Rangga... tinggal di apartemen?” tanyan Jihan. Tetapi sepertinya gadis itu tidak mendengar.

“Ah, mereka sudah datang.” Silvia bangkit dari duduknya lalu melambaikan tangannya beberapa kali. “Benar-benar panjang umur.”

Tanpa ikut bangkit dari duduknya, Jihan menggerakkan lehernya mengikuti arah pandang Silvia. Saat itulah matanya bertemu pandang dengan sepasang mata yang tengah menatapnya penuh kesedihan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D