Selamat malam,
teman-teman! (^_^ )
Hari ini Orange Sunset
(Lima) didedikasikan untuk seluruh Silent
Reader Stoples Cerita.
Ditunggu komentar perdananya! \(*^-^*)/
Selamat membaca bacaan
pengantar tidur kalian... hehehe
BUNYI berdering yang khas memenuhi kamar Jihan. Ia
mengerang perlahan, mencoba mengabaikan. Tetapi beberapa detik kemudian,
telinganya sudah merasa tidak tahan mendengar bunyi raungan itu. Dengan mata
yang masih terpejam, tangannya meraba-raba nakas dan menekan tombol pembungkam
benda berisik itu.
Jihan menarik selimut hingga menutupi kepalanya,
berencana untuk kembali tidur. Hingga tiba-tiba saja wajah Silvia muncul di
balik kelopak matanya. Ia langsung terlonjak duduk di atas tempat tidur. Kepalanya
berputar cepat ke arah beker di atas nakas.
Gawat! Sudah lima
puluh menit berlalu sejak Jihan membungkam paksa perusak hari Sabtu-nya itu.
Padahal ia merasa hanya memejamkan mata selama beberap detik. Ia tidak
menyangka waktu bisa berlalu begitu saja tanpa terasa.
Walaupun masih dalam keadaan setengah mengantuk, Jihan
secepat kilat menyambar handuknya dan masuk ke kamar mandi. Ia harus bergerak
lebih cepat untuk melunasi lima puluh menit waktu bersiap-siapnya yang hilang. Tidak
mungkin ia membiarkan Silvia kecewa mendapati ia masih belum selesai bersiap
saat gadis itu datang menjemput.
Setelah selesai mandi, Jihan mendapatkan kembali
kesadaran penuhnya. Ia mengenakan sweter lengan panjang dengan motif
garis-garis yang terlihat sedikit longgar di tubuhnya. Sementara celana jeans biru gelap menggantung di
pinggangnya hingga bagian atas mata kaki. Dan untuk melengkapi penampilannya,
ia memoles bibirnya dengan lipgloss
rasa cherry lalu menyemprotkan
sedikit wewangian.
Tepat pukul sembilan kurang lima belas menit, Jihan sudah
selesai bersiap. Ia juga sudah sarapan selembar roti dan secangkir kopi.
Sekarang hanya tinggal menunggu kedatangan Silvia ke flatnya. Sambil menunggu,
ia mematut bayangannya di cermin sekali lagi dan memberikan penilaian pribadi
untuk penampilannya. Sepertinya tidak terlalu buruk untuk sebuah kencan buta.
Ya. Sebuah kencan buta yang diatur Silvia untuknya. Gadis
itu bersikeras memaksanya segera membuka hati untuk lelaki lain untuk mencoba
melupakan lelaki-dari-masa-lalu-Jihan. Walaupun tanpa sepengetahuan Silvia, lelaki-dari-masa-lalu-Jihan
itu adalah orang yang sama dengan lelaki yang dicintai Silvia. Lelaki bernama
Rangga.
Jihan menghela napas panjang. Hanya dengan mengingat nama
itu saja dadanya sudah terasa penuh dengan perasaan rindu. Andai saja hari ini
ia akan pergi berkencan dengan lelaki itu dan bukan dengan lelaki yang tidak
dikenalnya. Andai saja gadis yang dekat dengan lelaki itu bukanlah sahabat
baiknya. Andai saja ia bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki segalanya.
Andai saja....
Bunyi dering bel memutus angan-angan Jihan. Ia melirik
jam tangannya dan mengernyit. Silvia datang sepuluh menit lebih cepat rupanya. Untuk
terakhir kalinya, ia memeriksa penampilannya di cermin lalu membuka pintu flat
tanpa mengintip melalui peephole di
pintunya terlebih dahulu.
Begitu pintu terbuka, Jihan langsung mendapatkan sebuah
pelukan hangat penuh kerinduan. Tubuhnya terdorong ke belakang dan nyaris jatuh
terjengkang. Jihan mengerjapkan matanya beberapa kali hingga akhirnya menyadari
bahwa yang datang bukanlah Silvia.
“Mama?” seru Jihan tidak percaya ketika akhirnya ia
terlepas dari pelukan tamu-nya itu.
“Apa yang Mama lakukan di sini?”
“Tentu saja untuk mengunjungi anak gadisku tersayang,”
jawab ibunya sambil tersenyum lebar.
“K-kenapa tidak memberitahuku terlebih dahulu?” Nada
gugup terlihat jelas pada kata-kata Jihan.
Dan seolah menyadari hal itu, ibu Jihan menatap anaknya
sambil memicingkan mata penuh curiga. “Jangan-jangan... kau menyembunyikan
lelaki di flatmu? Awas saja jika itu sampai terjadi!”
“Tentu s-saja tidak ada lelaki di sini. Hanya saja....”
Jihan kesulitan untuk mengalihkan pembicaraan sambil berusaha menghalau ibunya
untuk tidak melihat ke balik punggungnya.
Tetapi terlambat. Ibunya sudah melihat apa yang
seharusnya tidak dilihat. Mata ibunya memandang ke sekeliling ruangan dengan
tajam. Dan sekarang wanita itu sudah memekik histeris seolah baru saja melihat
hantu. “Astaga, Jihan. Kenapa flatmu berantakan seperti kapal pecah?”
Nah, itu dia! Itulah
hal yang ditakutkan Jihan jika ibunya berkunjung secara mendadak seperti ini.
Ia tidak akan punya waktu untuk mendengarkan nasehat tentang kerapian yang
sudah sangat dihafalnya. Diam-diam ia bersyukur dalam hati karena pintunya
sudah dalam keadaan tertutup sehingga tidak ada tetangga yang bisa mendengar
omelan ibunya.
“Kau akan berkencan dengan pacarmu hari ini?” tanya
ibunya tiba-tiba. Kali ini suaranya lebih lembut dan sedikit... heran. Tetapi
setidaknya, perhatian ibunya dari kondisi kamarnya sedikit teralihkan.
“A, apa?”
“Akhirnya, kau menentukan pilihanmu,” ucap ibunya dengan
wajah berbinar. “Segera beritahu Mama jika kau sudah siap menikah.”
“Apa?”
Ibunya memandang penampilan Jihan dari atas ke bawah
dengan penuh penilaian. “Jadi, siapa lelaki beruntung itu?” tanya ibunya dengan
mata berkilat penasaran.
“Tidak ada!” Jihan menatap ibunya sambil tersenyum geli.
“Aku hanya akan pergi dengan Silvia. Itu saja.”
Ibunya mengangkat alis. “Benarkah?”
“Tentu saja, Ma,” jawab Jihan sambil mengangkat bahunya.
Ibunya baru akan membuka mulut hendak mengatakan sesuatu
ketika bel pintu kembali berbunyi.
“Ah, Silvia sudah datang,” ujar Jihan sambil berbalik dan
berjalan ke arah pintu.
Sebelum membuka pintu, Jihan mengintip terlebih dahulu
siapa yang datang kali ini. Ia tidak ingin kembali terkejut dengan kedatangan tamu
tidak terduga seperti sebelumnya. Dan begitu mendapati Silvia yang berdiri di
luar flatnya, ia mendesah lega. Setidaknya selama beberapa saat ia akan
terselamatkan dari omelan ibunya.
Jihan menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu. Ia
tersenyum lebar penuh kelegaan kepada Silvia yang berdiri di hadapannya. “Kau
datang tepat waktu,” ujar Jihan.
Silvia mengernyit heran. Apa-apaan dengan senyuman itu? Tetapi ia berusaha mengabaikan.
Mungkin saja Jihan sedang merasa bahagia karena sudah berhasil terbebas masa
lalunya. “Tentu saja. Apa kau sudah siap?”
Sebelum Jihan sempat menjawab, Silvia melihat seorang
wanita cantik setengah baya melongok dari balik tubuh sahabatnya. “Oh. Hai,
Silvia.” Mata wanita itu melebar melihat Silvia. “Kau tidak ingin masuk dulu?”
“Apa kabar, Tante?” Silvia melangkah masuk melewati
Jihan, lalu memberikan pelukan untuk ibu sahabatnya itu. Ini merupakan
pertemuan mereka yang kedua. Mereka pernah bertemu saat ibu Jihan berkunjung ke
flat Jihan sebelumnya.
“Baik,” jawab ibu Jihan sambil melepaskan pelukannya.
“Kau sendiri bagaimana kabarmu, Silvia?”
“Aku juga baik-baik saja, Tante.”
“Dan bagaimana dengan... oh.” Ibu Jihan melupakan begitu
saja apa yang akan dikatakannya begitu melihat penampilan Silvia. Gadis itu
mengenakan terusan berwarna dadu dengan bagian rok yang sedikit mengembang
sampai ke lutut. Dan dilapisi dengan kardigan merah
muda yang menyempurnakan penampilan Silvia. “Kau terlihat cantik, Silvia.”
“Terima kasih, Tante.”
Jihan mencoba berdeham perlahan karena mulai merasa
diabaikan keberadaannya. Ibunya menoleh sekilas ke arahnya, tetapi dengan cepat
kembali berhadapan dengan Silvia.
“Jadi benar kalian akan pergi kencan?” tanya ibu Jihan
kepada Silvia. Ia merasa tidak percaya pada jawaban Jihan sebelumnya.
Jihan tersentak dan langsung melemparkan tatapan tajam
penuh peringatan kepada Silvia. Tetapi sepertinya gadis itu tidak menyadarinya.
Atau tidak peduli lebih tepatnya.
“Tentu saja.” Silvia tersenyum dan mengedipkan satu
matanya. “Sebuah kencan ganda.”
***
Laura memerhatikan kondisi flat anaknya dengan saksama. Berbagai
macam barang tergeletak pada tempat yang tidak seharusnya. Ruangan ini
sebenarnya cukup sederhana. Hanya terdiri dari sebuah sofa panjang dengan meja
persegi di hadapannya yang dipenuhi tumpukan majalah. Di sudut ruangan terdapat
pantri kecil yang terlihat lebih rapi dari tempat lainnya. Dan ada dua pintu
yang menghubungkan ke ruangan lain yaitu kamar tidur dan kamar mandi.
Flat ini terlalu berantakan untuk menyambut tamu seorang
lelaki. Diam-diam Laura merasa lega sekaligus merasa kecewa. Ia berjalan
menghampiri meja persegi di tengah ruangan lalu mulai menumpuk majalah-majalah
dan memindahkannya pada rak buku di sudut ruangan.
Bukankah itu berarti Jihan sama sekali belum berhasil
bangkit dari luka masa lalunya?
Alis Laura berkerut
samar. Tiba-tiba teringat pada hari kelulusan Jihan dari SMA. Pada hari itu
pihak sekolah mengundang seluruh orang tua siswa untuk menghadiri upacara
kelulusan di gedung pertemuan sekolah. Semua siswa yang lulus hadir mengenakan
pakaian resmi seperti kebaya untuk perempuan dan setelan jas untuk laki-laki.
Acara ditutup dengan jamuan
makan sambil saling mengakrabkan diri. Sesaat sebelum acara ditutup itulah ia
baru menyadari bahwa Jihan sudah tidak ada di ruangan. Dan ketika melangkah
keluar dari gedung sekolah, semua orang disambut dengan hujan kertas
warna-warni yang seolah turun dari langit merayakan kegembiraan hari itu. Beberapa
siswa bergumam bahwa itu adalah perbuatan Jihan dan sahabat baiknya, Rangga.
Laura mengenal Rangga
tentu saja. Anak lelaki itu sering berkunjung ke kediaman mereka. Terkadang
hanya sekedar bermain atau mengerjakan tugas sekolah. Walaupun mereka selalu
berkata bahwa hubungan mereka tidak pernah lebih dari sahabat, tetapi ia bisa
melihat bahwa Jihan bisa tertawa dan berbicara dengan cara yang sama kepada
semua teman lelakinya. Tetapi ia selalu menatap Rangga dengan cara yang berbeda,
membuat lelaki itu tampak istimewa. Begitu juga dengan cara Rangga menatap
Jihan. Seolah tidak ada gadis selain Jihan dalam pandangannya.
Laura cukup yakin
tentang hal itu. Ia percaya pada nalurinya. Dan naluri wanita tidak boleh
diremehkan. Kala itu naluri Laura berkata bahwa mereka berdua saling mencintai.
Tetapi ia memilih untuk bungkam mengingat usia Jihan dan Rangga yang masih
terlalu belia.
Tetapi ketika Laura sekeluarga
pada akhirnya harus pindah keluar kota setelah kelulusan Jihan, anak gadisnya
itu tidak menolak atau pun terlihat ragu seperti sebelumnya. Secara tiba-tiba
Jihan menurut begitu saja tanpa membantah. Walaupun begitu lulus kuliah, Jihan memutuskan
untuk kembali ke kota ini dan bekerja di
sini. Seolah ada sesuatu yang tertinggal atau belum selesai di kota ini.
Pada awalnya, Laura dan
suaminya merasa berat hati melepas putri mereka untuk tinggal sendiri. Tetapi
setiap kali ia melihat kekosongan pada senyuman Jihan, hatinya merasa terluka.
Seolah cahaya telah direnggut paksa dari senyuman anak gadisnya.
Laura tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi sejak
hari kelulusan itu, ia menyadari benar bahwa cara Jihan tersenyum tidak pernah
lagi sama.
***
“Kenapa kau mengatakan kita akan pergi kencan pada
ibuku?” protes Jihan ketika mereka sudah keluar dari bangunan flatnya dan masuk
ke mobil Silvia.
“Karena memang itu yang akan kita lakukan,” jawab Silvia
enteng sambil melirik kaca spion sebelum melajukan mobilnya di jalan.
“Itu bisa menimbulkan suatu kesalahpahaman, kau tahu?”
“Memang kesalahpahaman seperti apa yang kau takutkan,
gadis muda?” sahut Silvia sambil lalu. “Dan... hei, kenakan sabuk pengamanmu.”
Jihan menuruti apa yang dikatakan Silvia. Lalu menatap
gadis di sampingnya itu dengan kening yang berkerut. “Ibuku bisa saja menuntut
lebih setelah ini. Seperti meminta bertemu dengan pacarku dalam tanda kutip...
atau yang terburuk memaksaku merencanakan pernikahan.”
“Kalau begitu....” Silvia membelokkan setir yang
dicengkeramnya memasuki jalan utama yang cukup padat Sabtu pagi ini. “Kau harus
menaklukkan hati teman kencanmu hari ini.”
Mata Jihan terbelalak mendengar solusi asal-asalan yang
diungkapkan Silvia. Baru saja bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu,
tetapi ia mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk memalingkan wajah dan
memandang ke luar jendela. Benaknya bahkan tidak tahu apa yang harus dipikirkan
saat ini.
Memang mudah bagi Silvia mengucapkan kata-kata seperti
itu. Gadis itu bisa menaklukkan lelaki mana pun bahkan hanya dengan menghela
napas. Beberapa kali ajakan kencan dan makan siang mampir ke meja kerja Silvia,
tetapi gadis itu selalu menolak dengan halus. Tentu saja demi lelaki beruntung
yang membuatnya jatuh hati. Tidak hanya lelaki itu yang bernasib mujur. Silvia
juga beruntung bisa dekat dengan lelaki yang selalu dipikirkan Jihan selama
ini. Andai saja....
Jihan menepuk pipinya sendiri, menghalau angan-angan
kosong yang terbit dalam pikirannya. Ia sendiri bahkan merasa tidak pantas
untuk merasa cemburu kepada sahabatnya itu.
***
Jihan tidak pernah menduga
ia akan jatuh cinta. Pada dasarnya, ia bukanlah tipikal gadis yang memiliki
khayalan akan pangeran berkuda putih yang akan membawanya dalam kehidupan yang
bahagia selamanya. Walaupun bukan berarti ia menolak keras ketertarikan dengan
lawan jenis. Hanya saja ia selalu merasa bahwa perasaan cinta itu akan datang
tepat pada saatnya nanti.
Sialnya, ketika perasaan
itu hinggap di hatinya, otak Jihan kelewat bebal untuk memahami perkembangan
perasaannya. Proses jatuh cintanya memang berlangsung cepat, intens, lembut,
dan nyaris tidak terasa menyengat. Sehingga logikanya terus saja menyangkal dan
mengabaikan batinnya yang meneriakkan kata cinta.
Bahkan ketika lelaki
yang membuatnya jatuh cinta itu mengungkapkan perasaan kepadanya, logikanya
tetap berkukuh pada penyangkalannya. Hingga batin Jihan ikut menyetujui bahwa
perasaan itu bukanlah cinta melainkan kasih sayang pada sahabat. Tetapi begitu
lelaki itu pergi dengan langkah kecewa, barulah logikanya menyerah dan
menyatakan bahwa perasaan Jihan kepada Rangga adalah perasaan cinta.
Tetapi terlambat. Hati
lelaki itu terlanjur terluka untuk mendengarkan penjelasan Jihan. Rangga
memilih untuk terus pergi dan tidak mengacuhkan jeritan hati Jihan. Setelah
persahabatan yang begitu kental selama ini, hubungan mereka membeku dalam sekejap
hanya karena pernyataan cinta. Dan kemudian hubungan itu pecah menjadi serpihan
es yang menghujam tajam.
Benar-benar perpisahan
yang buruk.
Hingga pada akhirnya
mereka diberi kesempatan untuk kembali bertemu. Tetapi mengapa harus dalam
situasi yang rumit? Jika terus seperti ini, bagaimana mungkin Jihan bisa
menjelaskan perasaannya kepada lelaki itu. Ia tidak ingin bersikap egois tanpa
memikirkan perasaan orang terdekatnya. Sehingga tanpa sadar ia malah bersikap
canggung kepada lelaki- senja-nya itu.
Tetapi ketika suasana
canggung itu sudah mencair menjadi keakraban seperti dahulu, Jihan malah
mengatakan hal yang tidak penting. Bahkan mengucapkan “selamat tinggal” kepada
Rangga, membekukan kembali kekariban di antara mereka.
Haruskah ia mengecat
kukunya dengan warna norak sekali lagi?
***
“Jihan, kau melamun lagi.”
Jihan tersentak dan mengangkat wajah menatap Silvia yang
duduk di hadapannya. “Apa?”
“Kenapa kau masih saja melamun?” tanya Silvia dengan
kening mengernyit tidak suka. “Kukira kau benar-benar ingin melangkah maju.”
Jihan memilih bungkam. Ia mencondongkan tubuhnya ke
depan, lalu menangkup cangkir dari atas meja dengan kedua tangan. Perlahan, ia
mendekati bibir cangkir dan menyesap perlahan kopinya yang terasa hambar.
Saat ini mereka berdua
sedang duduk di sebuah kafe yang terletak berhadapan dengan gedung bioskop.
Menunggu kedatangan pasangan kencan masing-masing. Silvia memang merencanakan
kencan kali ini untuk menonton film bersama.
“Aku berani bertaruh, kau pasti tidak mendengarkan
kata-kataku tadi.” Silvia menggerutu lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran
kursi.
“Aku hanya sedang
membayangkan seperti apa teman kencan yang kaupilihkan untukku,” jawab Jihan
sekenanya. Ia tidak mungkin berkata jujur bahwa ia tidak peduli pada teman
kencan yang dipilih Silvia untuknya, ia lebih peduli seperti apa ia harus
bersikap saat nanti bertemu dengan Rangga.
“Aku jamin kau tidak akan
kecewa.” Silvia mengerlingkan mata kirinya penuh rasa bangga. Kerutan yang
muncul karena kerlingan itu sesaat menyembunyikan tahi lalat yang bertengger di
sudut matanya.
“Yah... kuharap begitu,”
desah Jihan lantas meletakkan cangkir kosongnya ke atas meja.
“Dia seorang koki.”
“Siapa?”
Silvia memutar bola
matanya. “Teman kencanmu, Jihan.”
“Oh.”
“Dia teman apartemen
Rangga.”
Jihan langsung
menegakkan posisi duduknya dengan antusias. Alisnya berkerut bingung.
“Rangga... tinggal di apartemen?” tanyan Jihan. Tetapi sepertinya gadis itu
tidak mendengar.
“Ah, mereka sudah
datang.” Silvia bangkit dari duduknya lalu melambaikan tangannya beberapa kali.
“Benar-benar panjang umur.”
Tanpa ikut bangkit dari
duduknya, Jihan menggerakkan lehernya mengikuti arah pandang Silvia. Saat
itulah matanya bertemu pandang dengan sepasang mata yang tengah menatapnya
penuh kesedihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D