Senin, 29 Juni 2015

Orange Sunset (Tujuh)



‘KAU ingin menonton apa?’

Rangga duduk bersila di atas sofa, di ruang tamu rumah Jihan. Lelaki itu memangku kotak kardus yang dijejali berbagai macam DVD film milik keluarga Jihan. Ada film romantis kesukaan ibunya, film sejarah kesukaan ayahnya, film action kesukaan Jihan yang juga merupakan genre film kesukaan Rangga, dan beberapa genre film lain yang hanya menjadi minoritas.

Jihan meletakkan stoples penuh popcorn yang tadi mereka beli di minimarket, lalu melirik ke arah Rangga yang tampak sibuk memilih. Seolah-olah ia sedang memilih setelan yang akan dikenakan untuk menghadiri jamuan makan malam dari Presiden. Setumpuk DVD sudah berpindah ke pangkuannya.

‘Bagaimana kalau film ini?’ Rangga menyodorkan satu DVD ke arah Jihan. Gadis itu mengernyit dan langsung memalingkan wajah setelah melihat kover DVD itu.

‘Kau tahu benar aku tidak suka nonton film seperti itu,’ gerutu Jihan sambil merutuk dalam hati. Siapa yang tega memasukkan film horor seperti itu ke rumah ini? Ia berharap tidak ada film lain bergenre sama di dalam kotak kardus itu.

Rangga menatap gadis berambut panjang hingga menutupi sebagian wajahnya di kover itu. Gadis itu sedang merangkak seolah hendak melompat keluar dari kover. Tampak tidak peduli pada gaun putihnya yang kotor. Rangga terkekeh lalu bergumam, ‘Sesekali tidak ada salahnya menunjukkan kelemahanmu sebagai perempuan.’

Jihan mengepalkan tangan lalu mengetuk kepala Rangga dengan kesal. Lelaki itu mengaduh sambil mengusap-usap kepalanya.

‘Ini saja,’ usul Jihan sambil tersenyum iseng. Ia menarik salah satu DVD yang menampilkan dua orang gadis detektif cerdas yang sering memecahkan berbagai kasus.

Rangga bergidik dan melirik sekilas ke arah Jihan. ‘Itu terlalu berat, Jihan. Aku ingin menonton film yang seru tapi santai. Seperti ini misalnya....’ Ia menarik lagi sebuah DVD dan menunjukkannya pada Jihan.

Kening Jihan berkerut samar. ‘Film itu lagi?’

‘Ya. Ini film favorit kita berdua, kan?’ Rangga mengeluarkan kepingan DVD dari wadahnya dengan hati-hati.

Film action itu dipenuhi dengan balapan mobil-mobil keren dan diwarnai dengan adegan laga yang seru. Pusat dari cerita ini adalah sekelompok orang yang sangat menjunjung tinggi persahabatan mereka. Bahkan mereka sudah merasa terikat seperti saudara. Kurang lebih seperti hubungan Jihan dan Rangga saat itu. Setidaknya sudah empat kali mereka menonton ulang film tersebut. Dan itu berarti ini akan menjadi  yang kelima.

Pertama kali Jihan dan Rangga menonton film itu di bioskop dan langsung jatuh cinta. Setelah itu, mereka mengumpulkan uang untuk membeli DVD-nya bersama. Sehingga mereka bisa menonton film itu kapan pun mereka inginkan.

‘Kukira kau sudah bosan.’

‘Mana mungkin,’ sahut Rangga sambil menyingkarkan kotak kardus dari pangkuannya. Kata-kata selanjutnya lebih seperti bisikan. ‘Apalagi aku menontonnya denganmu.’

‘Apa?’

‘Apalagi sequel film ini akan rilis pertengahan tahun ini. Setelah kita lulus dari SMA,’ Rangga berjongkok memunggungi Jihan, sambil meletakkan DVD ke dalam player. ‘Kau mau kita pergi menonton bersama?’

‘Tentu saja,’ sahut Jihan tanpa berpikir lagi. Bahkan tidak memikirkan sedikit pun kemungkinan bahwa rencana menonton itu ternyata tidak pernah terwujud.

Jihan melipat kaki dan memeluknya di atas sofa sambil menunggu Rangga selesai memasang DVD. Ia sudah mengganti seragam sekolah dengan kaus oblong dan celana jeans selutut. Begitu juga dengan Rangga yang tadi sempat pulang sebentar untuk berpamitan pada orang tuanya bahwa ia akan pulang larut malam ini. Sering kali Jihan merasa iri pada anak lelaki yang begitu mudah mendapat izin untuk pulang malam.

Walaupun sebenarnya orang tua Jihan tidak pernah mengekangnya terlalu berlebihan. Sebagai bukti, orang tuanya mengizinkan Rangga menemaninya selama mereka berdua pergi menjenguk pamannya yang sakit di luar kota. Jihan tidak ikut serta karena saat ibunya mendapat kabar itu, ia sedang di sekolah untuk mengikuti ujiannya yang terakhir.

Ibunya merasa lega dan mendukung Rangga untuk menemani Jihan di rumah sepulang sekolah, sedangkan ayahnya agak ragu membiarkan putri semata wayangnya tinggal berdua dengan laki-laki walaupun hanya untuk beberapa jam. Tetapi kemudian ayahnya menyimpulkan bahwa ia lebih suka melihat ada seseorang yang menemani Jihan dan memastikan anaknya baik-baik saja. Mungkin ayahnya tidak tega jika Jihan yang penakut harus tinggal sendirian hingga larut malam. Lagi pula ayahnya sudah mengenal Rangga, dan yakin bahwa sahabat karib anaknya itu adalah lelaki yang baik.

Jihan senang orang tuanya mempercayainya. Dan ia tidak ingin mengkhianati kepercayaan itu. Lagi pula apa yang bisa terjadi di antara dua orang sahabat yang saling menyayangi?

Tidak lama kemudian Rangga duduk di samping Jihan dan meletakkan stoples popcorn di antara mereka berdua. Ia membiarkan Jihan untuk mengambil segenggam pertama dan mereka menonton sambil makan. Dalam sekejap popcorn itu habis bahkan belum seperempat bagian film berjalan.

‘Kau mau piza?’ tanya Rangga sambil menyingkirkan stoples yang kosong kembali ke atas meja.

Jihan menatapnya ragu dengan sebelah alis terangkat. ‘Aku ragu kau bisa membuatnya.’

Saat itulah bel pintu rumah Jihan berbunyi. Keningnya mengernyit dan matanya melirik jam dinding yang tergantung beberapa sentimeter di atas televisi. Tidak mungkin orang tuanya sudah pulang. Dan jika memang begitu, untuk apa mereka membunyikan bel rumah mereka sendiri?

‘Ah, tepat waktu,’ gumam Rangga di samping Jihan. Kerutan di kening gadis itu semakin dalam sementara Rangga meraih remote untuk menekan tombol pause. Lelaki itu bangkit dan membuka pintu.

Jihan tertegun di atas sofa. Ia hanya memerhatikan punggung Rangga sambil bersiaga jika saja yang datang adalah perampok. Mungkin ia bisa menyerang dengan memukulkan stoples kosong ke kepala perampok itu.

Tetapi sepertinya dugaannya salah karena Jihan bisa mendengar lelaki itu mengobrol singkat dengan tamu tak diundang itu. Ia juga melihat Rangga mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya dan menyerahkannya kepada orang yang berada di luar. Setelah menutup pintu, Rangga berbalik dengan sekotak piza berukuran besar.

‘Kau memesan piza?’ Mata Jihan langsung berbinar takjub. ‘Tapi... kapan?’

‘Aku menelepon delivery saat kau pergi ke kamar,’ jawab Rangga sambil meletakkan dan membuka kotak piza di atas meja. Uap hangat piza langsung menguar di udara, begitu menggugah selera.

Rangga yang lebih dahulu menarik potongan piza pertama. Ia menekan tombol play kemudian mengigit ujung yang kecil lebih dahulu. Sementara Jihan mulai menyantap piza sambil terus memuji Rangga dan piza yang dipesannya. Lelaki itu tersenyum angkuh dengan pipi berlepotan saus. Dan seperti yang bisa diduga, piza itu tandas sebelum pertengahan film.

‘Kau benar-benar rakus, Nona Jihan,’ kelakar Rangga.

‘Hei, kata-katamu bisa menyakiti hati seorang gadis lemah lembut sepertiku,’ sahut Jihan berpura-pura marah.

‘Maafkan hamba, Baginda Ratu,’ ujar Rangga seolah memohon padahal tidak ada sedikit pun rasa bersalah di sana. Yang tampak hanya binar humor.

Jihan mengangkat alisnya dan mereka saling berpandangan lama. Seolah mereka sedang mengikuti staring contest di mana dua orang saling memandang sampai salah seorang kalah karena lebih dahulu berkedip, tertawa, atau mengalihkan pandangan. Hingga akhirnya mereka tergelak keras bersama-sama.

Malam itu, Jihan dan Rangga menonton banyak film secara maraton. Setelah film favorit mereka selesai, DVD player lanjut memutar film komedi yang membuat mereka tergelak hingga mengeluarkan air mata. Bahkan Rangga diam-diam memutar film horor yang tadi sudah ditolak Jihan. Dan lelaki itu terkikik geli setiap kali Jihan menjerit sepanjang film. Kemudian film romantis yang dipilih Rangga karena pemeran utamanya yang cantik. Dan setelah itu, Jihan tidak lagi terlalu peduli karena matanya mulai terasa berat.

Sementara Rangga sendiri tidak menghitung berapa film yang sudah mereka tonton. Sampai akhirnya, ia menyadari bahwa kepala Jihan tiba-tiba terkulai ke samping.

‘Selanjutnya kau mau menonton apa?’ tanya Rangga pelan.

Tidak ada jawaban.

‘Jihan?’ Rangga mencondongkan tubuh ke arah Jihan untuk memastikan. Mungkin saja gadis itu sedang menahan kantuk atau mulai merasa bosan.

Ternyata gadis itu sudah terlelap rupanya.

‘Dasar tukang tidur,’ gerutu Rangga sambil melihat jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Sebaiknya ia membangunkan gadis itu dan menyuruhnya pindah ke kamarnya sebelum kedua orang tuanya pulang.

Rangga kembali menatap Jihan di sampingnya, hendak membangunkan gadis itu. Tetapi ketika ia menatap wajah tenang Jihan yang sedang tidur, entah mengapa ia mengurungkan niatnya. Mungkin sebaiknya ia membiarkan gadis itu tidur sebentar lagi.

Rangga sendiri tidak tahu mengapa ia melakukan hal ini. Ketika melihat kepala Jihan terkulai miring seperti itu, tubuhnya seolah bergerak sendiri untuk perlahan-lahan bergeser merapat ke arah gadis itu. Lalu dengan satu tangan ia meraih sisi kepala Jihan dengan hati-hati tanpa membuat gadis itu terbangun. Ia menyandarkan kepala Jihan ke bahunya.

‘Benar-benar merepotkan.’ Rangga mendengus lalu menggerutu pelan.

Tetapi Rangga tidak bisa menjelaskan mengapa begitu kepala Jihan bersandar di bahunya, kepalanya menoleh dan secara impulsif mendaratkan kecupan seringan bulu di puncak kepala gadis itu. Dan ia juga berbisik lembut, berharap mimpi indah akan menghiasi tidur gadis itu malam ini.
***

Jihan masih termangu selama beberapa detik setelah Rangga mengajukan pertanyaan untuknya. Ia hanya mampu memandang lelaki itu tanpa berkata apa-apa. Sementara perutnya mulai kembali menegang tidak nyaman.

“Apa yang kau lakukan, Jihan?” Rangga mengulang pertanyaannya. Kali ini ia menyebut dengan jelas kepada siapa pertanyaan itu ditujukan.

Jihan terkesiap dan mengerjap sebelum menjawab. “A-aku baru akan membeli popcorn. Apa kau juga ingin membelikan juga untuk Silvia?”

“Oh,” gumam Rangga acuh tidak acuh. Dan ia mengabaikan pertanyaan Jihan seolah itu hanyalah deretan kalimat kosong. “Di mana Julian?”

“Eh? Julian... tadi dia pergi ke toilet,” jawab Jihan tergeragap menunjuk ke arah Julian pergi. Ia mengutuk dirinya sendiri yang terus-menerus bersikap gugup selama berada di dekat Rangga. Seolah keakraban mereka di supermarket minggu lalu hanya terjadi dalam mimpi.

Begitu Rangga menghilang di belokan yang sama tempat Julian menghilang, Jihan bergegas membeli dua porsi popcorn. Ia harus cepat kembali ke dalam teater sebelum Silvia sempat mencurigai sesuatu.
***

Ada apa sebenarnya?

Kening Silvia berkerut hingga menciptakan lekukan di antara alisnya. Ia menatap bergantian tiga kursi kosong di dekatnya. Mungkinkah telah terjadi sesuatu?

Firasat buruk menelusup ke dalam hatinya. Tiba-tiba saja ia menyadari sikap aneh orang-orang di sekitarnya. Rangga yang tiba-tiba bersikap ketus. Jihan yang seperti orang bingung. Dan Julian yang tampak misterius.

Tetapi sepertinya dugaan Silvia kurang tepat. Jihan memang selalu terlihat bingung karena sering melamun. Dan Julian memang selalu terlihat tenang dan pandai menyembunyikan perasaan. Lalu, bagaimana dengan Rangga? Bukankah selama ini lelaki itu selalu bersikap ramah dan ceria? Mengapa tiba-tiba berubah menjadi begitu dingin?

Dan sekarang mereka bertiga pergi meninggalkannya sendirian. Seolah mereka bertiga terisap ke dalam satu pusaran yang sama. Tanpa sedikit pun bermaksud melibatkan Silvia.

Jadi, ada apa sebenarnya? Ataukah pikirannya saja yang terlalu berlebihan?

Baru saja Silvia bangkit hendak menyusul keluar, tiba-tiba pandangannya menggelap. Langkah kakinya goyah hingga ia memutuskan untuk kembali duduk. Ia menyandarkan kepala dan punggungnya ke sandaran kursi. Telunjuknya memijat-mijat pelipisnya, mencoba mengusir kunang-kunang yang bermain-main di balik kelopak matanya.

Sial. Silvia mendesah kesal dalam hati. Ini pasti karena tekanan darahnya menurun. Sebenarnya, dalam dua minggu terakhir ia sedang menjalani diet ketat untut menurunkan berat badannya. Ia ingin selalu terlihat cantik di mata Rangga. Tetapi ia malu untuk mengakuinya, sekali pun itu kepada Jihan.

Apa boleh buat, sepertinya yang bisa dilakukannya sekarang hanya menunggu.
***

Toilet itu dalam keadaan sepi. Mungkin karena semua orang sedang menonton film yang diputar pada jam yang sama di sepuluh teater yang berbeda. Julian berdiri di depan cermin besar dan mencuci tangannya di atas wastafel.

Julian masih bisa mengingat jelas ekspresi Jihan yang menegang dan memutuskan untuk keluar di tengah film. Ia bisa melihatnya dengan jelas walaupun teater dalam keadaan minim cahaya. Dan entah mengapa ia yakin reaksi itu ada hubungannya dengan Rangga. Mungkin nanti sepulang dari sini ia bisa bertanya kepada sahabatnya itu. Walaupun tidak ada jaminan Rangga akan bercerita dengan senang hati.

Pintu toilet terbuka dan seseorang masuk. Saat Julian mengangkat wajah, ia bisa melihat jelas melalui cermin sosok Rangga yang sedang memandangnya penuh intimidasi. Ia tersenyum dalam hati sambil mengeringkan tangannya, lalu berbalik dan berhadapan langsung dengan housemate-nya itu.

“Apa-apaan dengan wajahmu itu, eh?”

“Jauhkan tangan sialan-mu itu dari Jihan,” tukas Rangga cepat dengan nada tajam dan menusuk. Julian memahami dengan benar itu bukan sebuah permintaan melainkan kalimat perintah.

“Memang apa pedulimu?” balas Julian sama sekali tidak terpengaruh. Seharusnya Rangga sudah mengerti dengan sifat penentang dalam diri Julian.

“Aku mengajakmu kemari atas permintaan Silvia.” Rangga bertahan dengan ekspresi datarnya. Tetapi sepertinya tubuhnya tidak tahan untuk melangkah maju dan mendorong tubuh Julian hingga menghantam dinding. “Tapi bukan berarti kau bisa sesuka hati menyentuh Jihan-ku seperti itu.”

“Apa katamu? Jihan-mu?” Julian mendengus geli. Ia balik menantang dengan melangkahkan kakinya ke depan. Dan Rangga memilih mundur seakan kehilangan nyalinya. “Kalau memang begitu, jauhi Silvia!”

Rangga tercenung. Wajahnya sedikit memucat. Kata-kata Julian seolah menohok perasaannya. Ia tahu itu adalah kesalahannya. Tetapi ia butuh waktu. Tidak semudah itu melepaskan gadis yang dikenalnya dari ibunya itu. Apalagi kedua pihak orang tua mereka saling bersikap seolah mereka akan menikah dalam waktu dekat.

“Aku tidak bisa,”gumam Rangga lirih. Kepalanya tertekuk dalam. “Tidak secepat itu.”

Darah Julian langsung mendidih sampai ubun-ubun. Ia tidak menyangka sahabatnya itu bisa bersikap seberengsek itu. Padahal beberapa detik yang lalu fotografer keparat itu baru saja memperlakukannya seolah Julian adalah lelaki paling berengsek di muka bumi.

“Berhentilah bersikap seperti seorang bajingan! Pilih salah satu!” Julian mendorong dada Rangga hingga lelaki itu sedikit terhuyung ke belakang. Julian melirik enggan kepada Rangga seolah sedang melihat sesuatu yang menjijikan. Kemudian ia melangkah keluar dan membanting pintu di belakangnya. Meninggalkan Rangga yang tertunduk dengan harga diri berserakan di lantai.
***

“Hei, kau ketinggalan banyak hal,” gumam Silvia saat Jihan menyusup kembali ke kursinya. “Bangsa Zestorian sudah hampir berhasil melakukan agresi mereka.”

“Maaf. Antreannya panjang.” Jihan menyodorkan satu wadah popcorn yang dibawanya kepada Silvia.

“Apa kau tidak bertemu Rangga dan Julian?” bisik Silvia sambil melahap popcorn yang digenggamnya.

“Ya. Aku bertemu mereka ketika sedang mengantre.” Jihan mencoba terlihat fokus pada film di depannya. “Mereka tadi pergi ke toilet. Mungkin sebentar lagi kembali.”

“Aku benar-benar khawatir. Hampir saja aku akan menyusul kalian bertiga keluar. Sampai akhirnya kau datang.”

Batin Jihan tersenyum lega di dalam sana. Syukurlah, ia datang tepat waktu. Setelah itu, Jihan memilih untuk menonton dengan hening. Dan sepertinya Silvia mengerti dengan mudah untuk tidak berisik dan mengganggu penonton yang lain.

Sisa film itu dipenuhi adegan serangan dari pihak musuh secara bertubi-tubi. Mereka semua saling menyerang dan bertahan. Jihan bersyukur tidak ada lagi adegan percintaan yang membuat otot-otot perutnya menjadi tegang. Baru setelah menjelang akhir cerita, lelaki yang menjadi tokoh utama menyadari bahwa ada seseorang yang mengkhianatinya. Dan ia berencana untuk memberi pelajaran kepada orang itu.

Kira-kira tiga menit menjelang film berakhir, Julian kembali masuk ke teater. Lelaki itu tersenyum meminta maaf sambil kembali duduk di kursinya. Jihan dan Silvia menoleh dan langsung menyadari bahwa lelaki itu datang sendirian.

“Dari mana saja kau? Beberapa menit lagi filmnya selesai,” ujar Silvia sambil menjaga nada bicaranya agar tidak meninggi. “Di mana Rangga?”

“Dia tadi masih di toilet. Perutnya sakit karena kedinginan. Yah... begitulah.” Julian mengangkat bahu sambil tertawa kecil dengan nada rendah.

Beberapa saat kemudian, film berakhir dan lampu teater menyala sesuai urutan. Sampai akhirnya ruangan itu kembali terang benderang. Tetapi Rangga belum juga kembali.
***

Silvia melangkahkan kakinya dengan hati-hati meninggalkan kursinya. Ia menuruni anak tangga teater satu per satu. Sementara tangannya meraba-raba barisan sandaran kursi sebagai pegangan. Sosok Julian dan Jihan yang berjalan di depannya perlahan mulai mengabur.


Ah, andai saja ada Rangga yang menyangga langkahnya sekarang. Tetapi lelaki itu tidak terlihat sama sekali sejauh mata memandang. Bahkan Jihan yang biasanya begitu perhatian, tampak tidak menyadari perubahan kondisi tubuh Silvia. Itu wajar saja terjadi. Ia tidak akan menyalahkan sahabatnya itu. Pesona Julian memang menyilaukan bagi semua perempuan. Dan semoga saja pesona lelaki itu bisa membantu Jihan melangkah maju dari masa lalunya.

Beberapa langkah keluar dari teater, Silvia langsung tersenyum lega. Ia melihat Rangga sedang duduk di bangku di luar pintu teater. Lelaki itu sudah kembali tersenyum hangat saat bangkit dan menyambut mereka bertiga.

Oh, tidak! Silvia merasakan kunang-kunang saling bertabrakan dalam benaknya. Kepalanya mulai berputar-putar. Dan sebelum lantai bioskop menyentuh wajahnya, ia merasakan lengan yang kokoh memeluknya dengan hangat. Walaupun dalam keadaan nyaris pingsan, tetapi ia masih bisa mengenali pemilik lengan itu.

Rangga.

Silvia tersenyum mengingat nama itu. Ia lalu menyandarkan kepalanya di dada Rangga dan memejamkan mata. Hal terakhir yang didengarnya sebelum kehilangan kesadaran dalam pelukan lelaki yang dicintainya adalah tiga suara yang meneriakkan namanya bersamaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D