‘KAU ingin menonton apa?’
Rangga duduk bersila di atas sofa, di ruang tamu rumah
Jihan. Lelaki itu memangku kotak kardus yang dijejali berbagai macam DVD film
milik keluarga Jihan. Ada film romantis kesukaan ibunya, film sejarah kesukaan
ayahnya, film action kesukaan Jihan
yang juga merupakan genre film kesukaan Rangga, dan beberapa genre film lain
yang hanya menjadi minoritas.
Jihan meletakkan stoples penuh popcorn yang tadi mereka beli di minimarket, lalu melirik ke arah
Rangga yang tampak sibuk memilih. Seolah-olah ia sedang memilih setelan yang
akan dikenakan untuk menghadiri jamuan makan malam dari Presiden. Setumpuk DVD sudah
berpindah ke pangkuannya.
‘Bagaimana kalau film ini?’ Rangga menyodorkan satu DVD
ke arah Jihan. Gadis itu mengernyit dan langsung memalingkan wajah setelah
melihat kover DVD itu.
‘Kau tahu benar aku tidak suka nonton film seperti itu,’ gerutu
Jihan sambil merutuk dalam hati. Siapa yang tega memasukkan film horor seperti
itu ke rumah ini? Ia berharap tidak ada film lain bergenre sama di dalam kotak kardus
itu.
Rangga menatap gadis berambut panjang hingga menutupi
sebagian wajahnya di kover itu. Gadis itu sedang merangkak seolah hendak melompat
keluar dari kover. Tampak tidak peduli pada gaun putihnya yang kotor. Rangga
terkekeh lalu bergumam, ‘Sesekali tidak ada salahnya menunjukkan kelemahanmu
sebagai perempuan.’
Jihan mengepalkan tangan lalu mengetuk kepala Rangga
dengan kesal. Lelaki itu mengaduh sambil mengusap-usap kepalanya.
‘Ini saja,’ usul Jihan sambil tersenyum iseng. Ia menarik
salah satu DVD yang menampilkan dua orang gadis detektif cerdas yang sering
memecahkan berbagai kasus.
Rangga bergidik dan melirik sekilas ke arah Jihan. ‘Itu
terlalu berat, Jihan. Aku ingin menonton film yang seru tapi santai. Seperti
ini misalnya....’ Ia menarik lagi sebuah DVD dan menunjukkannya pada Jihan.
Kening Jihan berkerut samar. ‘Film itu lagi?’
‘Ya. Ini film favorit kita berdua, kan?’ Rangga mengeluarkan
kepingan DVD dari wadahnya dengan hati-hati.
Film action itu
dipenuhi dengan balapan mobil-mobil keren dan diwarnai dengan adegan laga yang
seru. Pusat dari cerita ini adalah sekelompok orang yang sangat menjunjung
tinggi persahabatan mereka. Bahkan mereka sudah merasa terikat seperti saudara.
Kurang lebih seperti hubungan Jihan dan Rangga saat itu. Setidaknya sudah empat
kali mereka menonton ulang film tersebut. Dan itu berarti ini akan menjadi yang kelima.
Pertama kali Jihan dan Rangga menonton film itu di
bioskop dan langsung jatuh cinta. Setelah itu, mereka mengumpulkan uang untuk
membeli DVD-nya bersama. Sehingga mereka bisa menonton film itu kapan pun
mereka inginkan.
‘Kukira kau sudah bosan.’
‘Mana mungkin,’ sahut Rangga sambil menyingkarkan kotak
kardus dari pangkuannya. Kata-kata selanjutnya lebih seperti bisikan. ‘Apalagi
aku menontonnya denganmu.’
‘Apa?’
‘Apalagi sequel
film ini akan rilis pertengahan tahun ini. Setelah kita lulus dari SMA,’ Rangga
berjongkok memunggungi Jihan, sambil meletakkan DVD ke dalam player. ‘Kau mau kita pergi menonton
bersama?’
‘Tentu saja,’ sahut Jihan tanpa berpikir lagi. Bahkan tidak
memikirkan sedikit pun kemungkinan bahwa rencana menonton itu ternyata tidak
pernah terwujud.
Jihan melipat kaki dan memeluknya di atas sofa sambil
menunggu Rangga selesai memasang DVD. Ia sudah mengganti seragam sekolah dengan
kaus oblong dan celana jeans selutut.
Begitu juga dengan Rangga yang tadi sempat pulang sebentar untuk berpamitan pada
orang tuanya bahwa ia akan pulang larut malam ini. Sering kali Jihan merasa iri
pada anak lelaki yang begitu mudah mendapat izin untuk pulang malam.
Walaupun sebenarnya orang tua Jihan tidak pernah
mengekangnya terlalu berlebihan. Sebagai bukti, orang tuanya mengizinkan Rangga
menemaninya selama mereka berdua pergi menjenguk pamannya yang sakit di luar
kota. Jihan tidak ikut serta karena saat ibunya mendapat kabar itu, ia sedang
di sekolah untuk mengikuti ujiannya yang terakhir.
Ibunya merasa lega dan mendukung Rangga untuk menemani
Jihan di rumah sepulang sekolah, sedangkan ayahnya agak ragu membiarkan putri
semata wayangnya tinggal berdua dengan laki-laki walaupun hanya untuk beberapa
jam. Tetapi kemudian ayahnya menyimpulkan bahwa ia lebih suka melihat ada
seseorang yang menemani Jihan dan memastikan anaknya baik-baik saja. Mungkin
ayahnya tidak tega jika Jihan yang penakut harus tinggal sendirian hingga larut
malam. Lagi pula ayahnya sudah mengenal Rangga, dan yakin bahwa sahabat karib anaknya
itu adalah lelaki yang baik.
Jihan senang orang tuanya mempercayainya. Dan ia tidak
ingin mengkhianati kepercayaan itu. Lagi pula apa yang bisa terjadi di antara
dua orang sahabat yang saling menyayangi?
Tidak lama kemudian Rangga duduk di samping Jihan dan
meletakkan stoples popcorn di antara
mereka berdua. Ia membiarkan Jihan untuk mengambil segenggam pertama dan mereka
menonton sambil makan. Dalam sekejap popcorn
itu habis bahkan belum seperempat bagian film berjalan.
‘Kau mau piza?’ tanya Rangga sambil menyingkirkan stoples
yang kosong kembali ke atas meja.
Jihan menatapnya ragu dengan sebelah alis terangkat. ‘Aku
ragu kau bisa membuatnya.’
Saat itulah bel pintu rumah Jihan berbunyi. Keningnya
mengernyit dan matanya melirik jam dinding yang tergantung beberapa sentimeter
di atas televisi. Tidak mungkin orang tuanya sudah pulang. Dan jika memang
begitu, untuk apa mereka membunyikan bel rumah mereka sendiri?
‘Ah, tepat waktu,’ gumam Rangga di samping Jihan. Kerutan
di kening gadis itu semakin dalam sementara Rangga meraih remote untuk menekan tombol pause.
Lelaki itu bangkit dan membuka pintu.
Jihan tertegun di atas sofa. Ia hanya memerhatikan
punggung Rangga sambil bersiaga jika saja yang datang adalah perampok. Mungkin
ia bisa menyerang dengan memukulkan stoples kosong ke kepala perampok itu.
Tetapi sepertinya dugaannya salah karena Jihan bisa
mendengar lelaki itu mengobrol singkat dengan tamu tak diundang itu. Ia juga
melihat Rangga mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya dan
menyerahkannya kepada orang yang berada di luar. Setelah menutup pintu, Rangga
berbalik dengan sekotak piza berukuran besar.
‘Kau memesan piza?’ Mata Jihan langsung berbinar takjub. ‘Tapi...
kapan?’
‘Aku menelepon delivery
saat kau pergi ke kamar,’ jawab Rangga sambil meletakkan dan membuka kotak piza
di atas meja. Uap hangat piza langsung menguar di udara, begitu menggugah
selera.
Rangga yang lebih dahulu menarik potongan piza pertama. Ia
menekan tombol play kemudian mengigit
ujung yang kecil lebih dahulu. Sementara Jihan mulai menyantap piza sambil
terus memuji Rangga dan piza yang dipesannya. Lelaki itu tersenyum angkuh dengan
pipi berlepotan saus. Dan seperti yang bisa diduga, piza itu tandas sebelum
pertengahan film.
‘Kau benar-benar rakus, Nona Jihan,’ kelakar Rangga.
‘Hei, kata-katamu bisa menyakiti hati seorang gadis lemah
lembut sepertiku,’ sahut Jihan berpura-pura marah.
‘Maafkan hamba, Baginda Ratu,’ ujar Rangga seolah memohon
padahal tidak ada sedikit pun rasa bersalah di sana. Yang tampak hanya binar
humor.
Jihan mengangkat alisnya dan mereka saling berpandangan
lama. Seolah mereka sedang mengikuti staring
contest —di mana
dua orang saling memandang sampai salah seorang kalah karena lebih dahulu berkedip,
tertawa, atau mengalihkan pandangan. Hingga akhirnya mereka tergelak keras bersama-sama.
Malam itu, Jihan dan Rangga menonton banyak film secara
maraton. Setelah film favorit mereka selesai, DVD player lanjut memutar film komedi yang membuat mereka tergelak
hingga mengeluarkan air mata. Bahkan Rangga diam-diam memutar film horor yang
tadi sudah ditolak Jihan. Dan lelaki itu terkikik geli setiap kali Jihan
menjerit sepanjang film. Kemudian film romantis yang dipilih Rangga karena
pemeran utamanya yang cantik. Dan setelah itu, Jihan tidak lagi terlalu peduli
karena matanya mulai terasa berat.
Sementara Rangga sendiri tidak menghitung berapa film
yang sudah mereka tonton. Sampai akhirnya, ia menyadari bahwa kepala Jihan
tiba-tiba terkulai ke samping.
‘Selanjutnya kau mau menonton apa?’ tanya Rangga pelan.
Tidak ada jawaban.
‘Jihan?’ Rangga mencondongkan tubuh ke arah Jihan untuk
memastikan. Mungkin saja gadis itu sedang menahan kantuk atau mulai merasa
bosan.
Ternyata gadis itu sudah terlelap rupanya.
‘Dasar tukang tidur,’ gerutu Rangga sambil melihat jam
dinding. Sudah hampir tengah malam. Sebaiknya ia membangunkan gadis itu dan
menyuruhnya pindah ke kamarnya sebelum kedua orang tuanya pulang.
Rangga kembali menatap Jihan di sampingnya, hendak
membangunkan gadis itu. Tetapi ketika ia menatap wajah tenang Jihan yang sedang
tidur, entah mengapa ia mengurungkan niatnya. Mungkin sebaiknya ia membiarkan
gadis itu tidur sebentar lagi.
Rangga sendiri tidak tahu mengapa ia melakukan hal ini.
Ketika melihat kepala Jihan terkulai miring seperti itu, tubuhnya seolah
bergerak sendiri untuk perlahan-lahan bergeser merapat ke arah gadis itu. Lalu
dengan satu tangan ia meraih sisi kepala Jihan dengan hati-hati tanpa membuat
gadis itu terbangun. Ia menyandarkan kepala Jihan ke bahunya.
‘Benar-benar
merepotkan.’ Rangga mendengus lalu menggerutu pelan.
Tetapi Rangga tidak bisa menjelaskan mengapa begitu
kepala Jihan bersandar di bahunya, kepalanya menoleh dan secara impulsif
mendaratkan kecupan seringan bulu di puncak kepala gadis itu. Dan ia juga
berbisik lembut, berharap mimpi indah akan menghiasi tidur gadis itu malam ini.
***
Jihan masih termangu selama beberapa detik setelah Rangga
mengajukan pertanyaan untuknya. Ia hanya mampu memandang lelaki itu tanpa
berkata apa-apa. Sementara perutnya mulai kembali menegang tidak nyaman.
“Apa yang kau lakukan, Jihan?” Rangga mengulang
pertanyaannya. Kali ini ia menyebut dengan jelas kepada siapa pertanyaan itu
ditujukan.
Jihan terkesiap dan mengerjap sebelum menjawab. “A-aku
baru akan membeli popcorn. Apa kau
juga ingin membelikan juga untuk
Silvia?”
“Oh,” gumam Rangga acuh tidak acuh. Dan ia mengabaikan pertanyaan
Jihan seolah itu hanyalah deretan kalimat kosong. “Di mana Julian?”
“Eh? Julian... tadi dia pergi ke toilet,” jawab Jihan
tergeragap menunjuk ke arah Julian pergi. Ia mengutuk dirinya sendiri yang
terus-menerus bersikap gugup selama berada di dekat Rangga. Seolah keakraban
mereka di supermarket minggu lalu hanya terjadi dalam mimpi.
Begitu Rangga menghilang di belokan yang sama tempat
Julian menghilang, Jihan bergegas membeli dua porsi popcorn. Ia harus cepat kembali ke dalam teater sebelum Silvia
sempat mencurigai sesuatu.
***
Ada apa sebenarnya?
Kening Silvia berkerut hingga menciptakan lekukan di
antara alisnya. Ia menatap bergantian tiga kursi kosong di dekatnya. Mungkinkah
telah terjadi sesuatu?
Firasat buruk menelusup ke dalam hatinya. Tiba-tiba saja
ia menyadari sikap aneh orang-orang di sekitarnya. Rangga yang tiba-tiba bersikap
ketus. Jihan yang seperti orang bingung. Dan Julian yang tampak misterius.
Tetapi sepertinya dugaan Silvia kurang tepat. Jihan
memang selalu terlihat bingung karena sering melamun. Dan Julian memang selalu
terlihat tenang dan pandai menyembunyikan perasaan. Lalu, bagaimana dengan
Rangga? Bukankah selama ini lelaki itu selalu bersikap ramah dan ceria? Mengapa
tiba-tiba berubah menjadi begitu dingin?
Dan sekarang mereka bertiga pergi meninggalkannya
sendirian. Seolah mereka bertiga terisap ke dalam satu pusaran yang sama. Tanpa
sedikit pun bermaksud melibatkan Silvia.
Jadi, ada apa sebenarnya? Ataukah pikirannya saja yang
terlalu berlebihan?
Baru saja Silvia bangkit hendak menyusul keluar,
tiba-tiba pandangannya menggelap. Langkah kakinya goyah hingga ia memutuskan
untuk kembali duduk. Ia menyandarkan kepala dan punggungnya ke sandaran kursi. Telunjuknya
memijat-mijat pelipisnya, mencoba mengusir kunang-kunang yang bermain-main di
balik kelopak matanya.
Sial. Silvia
mendesah kesal dalam hati. Ini pasti karena tekanan darahnya menurun. Sebenarnya,
dalam dua minggu terakhir ia sedang menjalani diet ketat untut menurunkan berat
badannya. Ia ingin selalu terlihat cantik di mata Rangga. Tetapi ia malu untuk
mengakuinya, sekali pun itu kepada Jihan.
Apa boleh buat, sepertinya yang bisa dilakukannya
sekarang hanya menunggu.
***
Toilet itu dalam keadaan sepi. Mungkin karena semua orang
sedang menonton film yang diputar pada jam yang sama di sepuluh teater yang
berbeda. Julian berdiri di depan cermin besar dan mencuci tangannya di atas
wastafel.
Julian masih bisa mengingat jelas ekspresi Jihan yang
menegang dan memutuskan untuk keluar di tengah film. Ia bisa melihatnya dengan
jelas walaupun teater dalam keadaan minim cahaya. Dan entah mengapa ia yakin
reaksi itu ada hubungannya dengan Rangga. Mungkin nanti sepulang dari sini ia
bisa bertanya kepada sahabatnya itu. Walaupun tidak ada jaminan Rangga akan
bercerita dengan senang hati.
Pintu toilet terbuka dan seseorang masuk. Saat Julian
mengangkat wajah, ia bisa melihat jelas melalui cermin sosok Rangga yang sedang
memandangnya penuh intimidasi. Ia tersenyum dalam hati sambil mengeringkan
tangannya, lalu berbalik dan berhadapan langsung dengan housemate-nya itu.
“Apa-apaan dengan wajahmu itu, eh?”
“Jauhkan tangan sialan-mu
itu dari Jihan,” tukas Rangga cepat dengan nada tajam dan menusuk. Julian
memahami dengan benar itu bukan sebuah permintaan melainkan kalimat perintah.
“Memang apa pedulimu?” balas Julian sama sekali tidak
terpengaruh. Seharusnya Rangga sudah mengerti dengan sifat penentang dalam diri
Julian.
“Aku mengajakmu kemari atas permintaan Silvia.” Rangga
bertahan dengan ekspresi datarnya. Tetapi sepertinya tubuhnya tidak tahan untuk
melangkah maju dan mendorong tubuh Julian hingga menghantam dinding. “Tapi
bukan berarti kau bisa sesuka hati menyentuh Jihan-ku seperti itu.”
“Apa katamu? Jihan-mu?”
Julian mendengus geli. Ia balik menantang dengan melangkahkan kakinya ke depan.
Dan Rangga memilih mundur seakan kehilangan nyalinya. “Kalau memang begitu, jauhi
Silvia!”
Rangga tercenung. Wajahnya sedikit memucat. Kata-kata
Julian seolah menohok perasaannya. Ia tahu itu adalah kesalahannya. Tetapi ia
butuh waktu. Tidak semudah itu melepaskan gadis yang dikenalnya dari ibunya
itu. Apalagi kedua pihak orang tua mereka saling bersikap seolah mereka akan
menikah dalam waktu dekat.
“Aku tidak bisa,”gumam Rangga lirih. Kepalanya tertekuk
dalam. “Tidak secepat itu.”
Darah Julian langsung mendidih sampai ubun-ubun. Ia tidak
menyangka sahabatnya itu bisa bersikap seberengsek itu. Padahal beberapa detik
yang lalu fotografer keparat itu baru saja memperlakukannya seolah Julian
adalah lelaki paling berengsek di muka bumi.
“Berhentilah bersikap seperti seorang bajingan! Pilih
salah satu!” Julian mendorong dada Rangga hingga lelaki itu sedikit terhuyung
ke belakang. Julian melirik enggan kepada Rangga seolah sedang melihat sesuatu
yang menjijikan. Kemudian ia melangkah keluar dan membanting pintu di
belakangnya. Meninggalkan Rangga yang tertunduk dengan harga diri berserakan di
lantai.
***
“Hei, kau ketinggalan banyak hal,” gumam Silvia saat
Jihan menyusup kembali ke kursinya. “Bangsa Zestorian sudah hampir berhasil
melakukan agresi mereka.”
“Maaf. Antreannya panjang.” Jihan menyodorkan satu wadah popcorn yang dibawanya kepada Silvia.
“Apa kau tidak bertemu Rangga dan Julian?” bisik Silvia
sambil melahap popcorn yang
digenggamnya.
“Ya. Aku bertemu mereka ketika sedang mengantre.” Jihan
mencoba terlihat fokus pada film di depannya. “Mereka tadi pergi ke toilet.
Mungkin sebentar lagi kembali.”
“Aku benar-benar khawatir. Hampir saja aku akan menyusul
kalian bertiga keluar. Sampai akhirnya kau datang.”
Batin Jihan tersenyum lega di dalam sana. Syukurlah, ia
datang tepat waktu. Setelah itu, Jihan memilih untuk menonton dengan hening.
Dan sepertinya Silvia mengerti dengan mudah untuk tidak berisik dan mengganggu
penonton yang lain.
Sisa film itu dipenuhi adegan serangan dari pihak musuh
secara bertubi-tubi. Mereka semua saling menyerang dan bertahan. Jihan
bersyukur tidak ada lagi adegan percintaan yang membuat otot-otot perutnya
menjadi tegang. Baru setelah menjelang akhir cerita, lelaki yang menjadi tokoh
utama menyadari bahwa ada seseorang yang mengkhianatinya. Dan ia berencana
untuk memberi pelajaran kepada orang itu.
Kira-kira tiga menit menjelang film berakhir, Julian
kembali masuk ke teater. Lelaki itu tersenyum meminta maaf sambil kembali duduk
di kursinya. Jihan dan Silvia menoleh dan langsung menyadari bahwa lelaki itu
datang sendirian.
“Dari mana saja kau? Beberapa menit lagi filmnya
selesai,” ujar Silvia sambil menjaga nada bicaranya agar tidak meninggi. “Di
mana Rangga?”
“Dia tadi masih di toilet. Perutnya sakit karena
kedinginan. Yah... begitulah.” Julian mengangkat bahu sambil tertawa kecil
dengan nada rendah.
Beberapa saat kemudian, film berakhir dan lampu teater
menyala sesuai urutan. Sampai akhirnya ruangan itu kembali terang benderang. Tetapi
Rangga belum juga kembali.
***
Silvia melangkahkan kakinya dengan hati-hati meninggalkan
kursinya. Ia menuruni anak tangga teater satu per satu. Sementara tangannya
meraba-raba barisan sandaran kursi sebagai pegangan. Sosok Julian dan Jihan
yang berjalan di depannya perlahan mulai mengabur.
Ah, andai saja ada Rangga yang menyangga langkahnya
sekarang. Tetapi lelaki itu tidak terlihat sama sekali sejauh mata memandang.
Bahkan Jihan yang biasanya begitu perhatian, tampak tidak menyadari perubahan kondisi
tubuh Silvia. Itu wajar saja terjadi. Ia tidak akan menyalahkan sahabatnya itu.
Pesona Julian memang menyilaukan bagi semua perempuan. Dan semoga saja pesona lelaki
itu bisa membantu Jihan melangkah maju dari masa lalunya.
Beberapa langkah keluar dari teater, Silvia langsung
tersenyum lega. Ia melihat Rangga sedang duduk di bangku di luar pintu teater. Lelaki
itu sudah kembali tersenyum hangat saat bangkit dan menyambut mereka bertiga.
Oh, tidak! Silvia
merasakan kunang-kunang saling bertabrakan dalam benaknya. Kepalanya mulai
berputar-putar. Dan sebelum lantai bioskop menyentuh wajahnya, ia merasakan
lengan yang kokoh memeluknya dengan hangat. Walaupun dalam keadaan nyaris
pingsan, tetapi ia masih bisa mengenali pemilik lengan itu.
Rangga.
Silvia tersenyum mengingat nama itu. Ia lalu menyandarkan
kepalanya di dada Rangga dan memejamkan mata. Hal terakhir yang didengarnya
sebelum kehilangan kesadaran dalam pelukan lelaki yang dicintainya adalah tiga
suara yang meneriakkan namanya bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D