Selamat malam, teman-teman! ^^
Hari ini Orange Sunset (Tiga) didedikasikan untuk Alvi Lutfiah Agisni Az yang memahami perasaan Jihan. :D
Selamat membaca dan ditunggu komentarnya. Terima kasih.
:)
ALUNAN musik memenuhi kamar Jihan semalaman. Tetapi tidak
bisa mengalahkan alunan kesedihan di dalam hatinya. Di dalam sana hatinya remuk
dihantam tanpa ampun. Ia memaksa untuk menghapus semua memorinya tentang
Rangga. Tetapi selalu berujung pada kegagalan. Semakin ia ingin melupakan,
semakin ia mendapati dirinya tersiksa karena kehilangan. Kehilangan sesuatu
yang tidak pernah dimilikinya.
Sejak berpisah dari Silvia dan Rangga kemarin siang,
Jihan memilih untuk pulang ke flatnya. Memberikan kepuasan pada rasa patah
hatinya. Ia menikmati untuk setiap tetes air mata yang mengalir di pipinya,
sementara tubuhnya meringkuk seperti bayi di atas tempat tidurnya. Seakan
seluruh organ tubuhnya ingin saling memeluk dan menguatkan.
Begitu pagi menyapa, Jihan terbangun dengan kepala pening
luar biasa. Susah payah ia mengumpulkan semangatnya yang berserakan di lantai.
Mencoba merekatkannya kembali dan memulai hari yang baru.
Hal pertama yang disadarinya adalah pemutar musiknya yang
berhenti bernyanyi karena kehabisan baterai. Jihan menatap nanar benda mungil
itu lalu menghela napas panjang. Benda itu begitu kehabisan daya. Begitu
kosong. Sama seperti dirinya. Perasaannya yang sudah terkumpul sejak lama harus
diisap paksa ke dalam sebuah penyedot debu raksasa.
Hal berikutnya yang menarik perhatiannya adalah keadaan
kamarnya. Entah mengapa, mendadak Jihan merasa peduli pada kekacauan di
hadapannya. Seolah kamar dan hatinya terhubung oleh sebuah garis yang membuat
mereka bisa saling memahami satu sama lain. Beruntung, batinnya sudah
memperingatkan diri untuk tidak membuka laci paling bawah pada lemarinya. Laci
itu berisi beberapa album foto yang banyak diisi oleh fotonya dan Ra—lelaki itu semasa
SMA. Tentu saja ia harus menghindari segala sesuatu yang akan memperburuk
suasana hatinya.
Mata Jihan memandang berkeliling. Ruangan itu dihiasi
buku-buku yang menumpuk asal di atas rak tidak terbatas yang biasa disebut
lantai. Sekumpulan pakaian kotor teronggok di sudut ruangan. Rak sepatu
dipenuhi beberapa pasang sepatu yang saling tumpang tindih berebut wilayah.
Seolah ruangan itu baru saja diterjang badai yang berkecamuk lalu diabaikan
selama berabad-abad.
Jihan ingin menata ulang kamarnya sekaligus menata ulang
perasaannya.
Sayangnya, niat baik itu langsung teralihkan saat Jihan
menemukan koleksi kuteksnya dari dalam laci nakas. Rencana awalnya menguap
begitu saja ke udara, meninggalkan ia yang langsung sibuk mewarnai kuku sesuka
hati. Masing-masing kukunya diberi warna yang berbeda sesuai warna kuteks yang
dimilikinya. Sehingga kini jemarinya tampak seperti sekumpulan permen yang
berkilauan.
Jihan berada di tengah
ruangan flatnya yang berantakan bagaikan seorang ratu. Ia duduk bersila
di atas lantai sambil meniup perlahan kukunya yang sudah dipolesi kuteks.
Begitu ia menggerak-gerakkan sepuluh jarinya, senyum kemenangan terbit di
wajahnya. Seolah ia baru saja menyelesaikan lukisan yang akan dipajang pada
sebuah pameran berkelas internasional. Tetapi sedetik kemudian, senyuman itu
sirna. Mendadak ia menyesali pemilihan warna kukunya. Sekarang jemarinya tampak
norak dengan warna menyala yang sama sekali tidak serasi.
Jihan menghela napas berat. Bahunya terkulai lemas dengan
telapak tangan yang menempel ke lantai. Sepertinya perasaan patah hati selalu
mengundang sudut pandang negatif terhadap apa pun. Secepat mungkin ia harus
menghapus perasaan itu. Ya... setidaknya warna kuku yang norak jauh lebih baik
daripada mata yang sembap karena air mata.
Jihan sangat menyadari bahwa ia tidak boleh membiarkan
dirinya terus merenerus terombang-ambing. Atau gelombang kesedihan akan
menenggelamkannya. Ia harus berenang cepat menyelamatkan diri dari semua ini.
Mungkin pergi ke supermarket bisa sedikit membantu. Ia
bisa membeli beberapa bahan makanan yang habis. Atau mencoba memasak sesuatu
yang baru dari buku resep masakan. Apa pun itu. Asalkan bisa membantunya untuk
lupa.
Dalam satu gerakan cepat, Jihan menyambar jaketnya yang
tergantung di balik pintu. Sedetik kemudian, ia terpaku menatap dompet jingganya.
Dompet itu hadiah dari Rangga pada ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Saat itu
Rangga mengingatkannya untuk berhemat dan menggunakan uang secara bijaksana.
Tetapi sekarang... kenangan itu sudah tertumpuk oleh
kenangan yang tidak menyenangkan.
‘Tidak perlu, Jihan. Aku yang traktir hari ini.’
Kata-kata itu yang diucapkan Rangga ketika melihat
dompetnya kemarin. Tanpa sadar, Jihan menggigit bibirnya demi menahan tetesan
air matanya. Bahkan mungkin kini lelaki itu sudah melupakan kenangan akan
dompet ini.
Jihan berusaha tidak peduli. Buru-buru ia menarik semua
lembaran uangnya dan membiarkan dompet itu tergeletak di atas lantai. Dengan
langkah-langkah lebar ia meninggalkan flatnya.
Mungkin ia perlu membeli sebuah dompet baru.
***
Beberapa kali guncangan di bahu, sedikit mengganggu
tidurnya yang nyenyak. Tetapi ia menolak untuk bangun. Ia sudah berencana untuk
tidur seharian demi melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Dengan harapan,
ketika terbangun keesokan harinya, perasaannya akan lebih nyaman dan cepat
teralihkan oleh pekerjaan yang menunggu di hari Senin.
Tetapi sepertinya rencana itu tidak berjalan lancar.
Sebuah guncangan mendarat kembali di bahunya. Ia menepis
tangan yang menyentuh bahunya lalu menenggelamkan diri dalam selimut hangatnya.
Bantal yang menyangga lehernya beralih fungsi menjadi penutup telinga saat
guncangan itu diikuti suara sumbang yang memanggil namanya.
“Rangga! Sampai kapan kau akan terus tidur?”
Suara itu terdengar lagi bersamaan dengan selimutnya yang
ditarik paksa.
“Pergi, Julian! Jangan ganggu aku!” Rangga menyalak
dengan suara serak.
Lelaki bernama Julian itu mendengus. Ia melipat tangannya
di depan dada, menatap kesal ke arah teman apartemennya yang pemalas...
setidaknya untuk hari ini. Biasanya, sahabatnya itu sangat menghindari kegiatan
tidak-melakukan-apa-apa. Ia yakin ada sesuatu yang terjadi.
“Bangun, Rangga! Aku memerlukan bantuanmu,” ujar Julian
sambil menarik paksa lengan Rangga hingga lelaki itu terduduk di atas tempat
tidur. Memiliki profesi sebagai koki utama di sebuah restoran bintang lima,
tidak membuat Julian lalai memerhatikan kesehatan dan bentuk tubuhnya. Walaupun
tubuhnya sedikit lebih kurus dari Rangga, tetapi postur tubuh mereka sama-sama
tegap dengan otot yang liat.
Kening Rangga mengernyit dalam karena dipaksa duduk
seperti itu. Ia memicingkan mata menatap Julian yang berdiri di samping tempat
tidurnya. Samar-samar ia menghirup aroma masakan yang mungkin menempel pada
celemek yang dikenakan Julian.
“Apa?” Rangga bertanya dengan galak.
“Coba lihat jam berapa sekarang,” kata Julian sambil
melirik jam beker berwarna jingga yang terletak di atas nakas.
Rangga mengikuti arah pandangan Julian. Sudah lewat jam dua belas siang!
“Aku kira kau sudah mati tadi,” sindir Julian. “Kau pasti
kelaparan. Jadi, aku berniat membuatkan piza kesukaanmu. Tapi aku kehabisan
terigu.”
“Tidak. Aku tidak lapar—“ Sebenarnya Rangga ingin menyanggah dugaan Julian agar
lelaki itu bisa membiarkannya kembali tidur dengan nyaman. Tetapi ternyata
perut sialannya memutuskan
berkhianat. Perut itu bergemuruh tidak tahu malu, mengundang gelak tawa Julian.
“Aku seorang koki dan aku tahu perut tidak pernah
berbohong,” kata Julian di sela tawanya. “Cepat pergi dan belikan aku terigu.”
“Kenapa kau tidak membelinya sendiri?” Rangga masih
mencoba memenangkan rasa malasnya.
“Aku harus menyiapkan bahan makanan yang lain. Lagi pula,
coba lihat ponselmu yang sejak tadi terus berkedap-kedip tanpa suara,” ujar
Julian sambil berlalu meninggalkan Rangga yang masih termangu.
***
Supermarket cukup ramai pada hari Minggu. Antrean
mengular di bilik-bilik kasir yang tersedia. Hal tersebut wajar saja mengingat
supermarket ini terletak di area yang padat penduduk. Bangunannya yang luas
dikelilingi flat dan apartemen yang menjulang. Banyak orang yang memilih tempat
tinggal di sini karena dekat dengan area perkantoran.
Sudah tiga puluh menit berlalu. Tetapi Jihan belum juga
menemukan barang apa saja yang harus dibelinya. Seharusnya tadi ia menyiapkan
catatan kecil untuk mempermudahnya berbelanja. Tetapi apa daya, sekarang ia
hanya mampu mengandalkan ingatannya tentang barang-barang yang ada di flatnya.
Ternyata berbelanja di tengah keramaian seperti ini sama
sekali tidak membantu. Ia tetap tidak bisa lari dari Rangga yang memenuhi
benaknya. Seolah ada konektor tidak terlihat yang mengacaukan jaringan otaknya.
Sehingga apa yang dilihatnya langsung terhubung kepada lelaki itu.
Seperti lelaki yang baru saja lewat di hadapannya. Parfum
lelaki itu menguar di udara menyebarkan aroma citrus seperti aroma parfum yang dahulu sering dikenakan Rangga.
Atau lelaki yang sedang duduk di foodcourt
yang disediakan supermarket, tampak lahap menyantap potongan segitiga piza
di tangannya. Lelaki itu sama sekali tidak mirip dengan Rangga, hanya saja piza
adalah makanan kesukaan Rangga. Dan lelaki yang berjalan menyusuri rak tinggi
tempat memajang makanan ringan itu memiliki gaya berjalan seperti Rangga. Atau
lelaki yang di sebelah sana—
Jihan cepat-cepat mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari
benaknya. Ia mengalihkan pandangannya pada keranjangnya yang masih kosong. Ia
mendesah lelah. Oh—mungkin
buah-buahan bisa menyegarkan pikirannya.
Perlahan Jihan menyusuri rak yang memamerkan warna-warna
cerah yang memanjakan mata. Pandangannya terpaku pada apel-apel merah mengilap yang ditata rapi. Ia membungkuk lalu
mulai sibuk memilih apel di hadapannya sementara otaknya berputar mencari ide
untuk mengolah apel yang akan dibelinya. Mungkin jus apel atau pai apel bisa
jadi pilihan. Tetapi tiba-tiba ia malah teringat potongan apel yang dicelup
karamel kesukaan Rangga.
Mendadak Jihan terkesiap. Sebuah tangan terulur dan
mengambil sebutir jeruk yang ditata tepat di sebelah apel yang sedang
dipilihnya. Syukurlah orang itu membuatnya terkejut sehingga menutup paksa
pikirannya. Tetapi ternyata ia sendiri jauh lebih terkejut ketika melihat siapa
orang itu.
Orang yang berada di hadapan Jihan tidak kalah terkejut.
Selama beberapa detik mereka saling memandang tanpa kata-kata. Tangan orang itu
yang menggenggam jeruk membeku di udara. Sementara tangan yang satunya memegang
keranjang belanja berisi sekantung terigu.
“Jihan?”
Orang itu berucap lirih, membuat Jihan mengerjapkan
matanya beberapa kali. Napasnya terasa sesak seketika. Lalu dalam sedetik
berubah menjadi debaran cepat yang menghentikan kerja otaknya. Matanya bergerak
cepat ke kanan dan ke kiri mencari sosok yang mungkin juga hadir di sini.
Silvia.
“Rangga... apa yang kau lakukan di sini?”
Tentu untuk berbelanja, bodoh! Batin Jihan menghardiknya dengan kasar.
***
Benar-benar sialan kau, Julian!
Rangga berjalan keluar dari apertemennya dengan langkah
gusar. Kakinya mengentak-entak dengan kesal. Bibirnya mencibir sementara
batinnya tidak berhenti menggerutu. Ia merutuk dan memaki dalam hati. Perintah
sahabatnya itu kadang kala sulit sekali dibantah. Mungkin karena Julian sudah
terbiasa memerintah sebagai koki utama di dapurnya.
Tentu saja Rangga mengakui kelezatan masakan Julian. Ia
bersyukur bisa tinggal satu atap dengan sahabatnya itu. Sehingga ia bisa
menyantap makanan ala restoran bintang lima tanpa harus merogoh sakunya
dalam-dalam. Dan tentu saja menyelamatkan perutnya dari kelaparan. Rangga
mengusap perutnya yang kembali bergemuruh.
Tetapi Rangga merasa paling malas jika tiba-tiba harus
menjadi staf pembelian bahan seperti sekarang ini. Terutama di hari Minggu di
mana supermarket sangat penuh sesak. Apalagi hari Minggu ini adalah hari yang
ingin dilompatinya seolah tidak pernah tertulis di kalender.
Begitu memasuki supermarket, mata Rangga menatap malas
pada deretan manusia yang berbaris di bilik-bilik kasir. Ia menghela napas
sambil menatap sekantung terigu dalam genggamannya. Haruskah ia mengantre
bersama-sama orang dengan troli penuh mereka?
Tentu saja tidak.
Sebenarnya ada beberapa minimarket yang terletak di
daerah ini. Mungkin saja minimarket itu menyediakan terigu yang diinginkan
Julian. Tetapi kaki pemalas Rangga menolak untuk berjalan lebih jauh lagi.
Sehingga ia memutuskan untuk mengambil keranjang belanja untuk terigunya
kemudian berjalan menyusuri rak-rak tinggi yang diletakkan berhadapan sehingga
membentuk lorong.
Persetan dengan Julian! Koki sialan itu hanya bisa
menunggu sambil menggerutu di dapur apartemen mereka. Tidak ada cara untuk
menghubungi Rangga. Ia sengaja tidak membawa ponselnya yang penuh dengan pesan
singkat dan panggilan tidak terjawab dari Silvia.
Bukannya Rangga ingin menghindar. Selama satu bulan
terakhir, hubungan mereka baik-baik saja. Dan ia yakin bahwa Silvia memiliki
perasaan lebih terhadapnya. Ia juga tidak menyangkal bahwa sebagai seorang
gadis, Silvia memiliki daya tarik tersendiri. Hanya saja... pertemuan tidak
terduganya dengan Jihan—yang
ternyata bersahabat dengan Silvia—membuatnya sedikit... risau. Seolah ada gumpalan kecil yang selama ini
terkurung di dalam hatinya. Dan gumpalan itu sedikit demi sedikit mengetuk
hatinya menuntut pembebasan.
Tetapi tidak semudah itu Rangga memberikan kebebasan.
Saat ini ia tengah dekat dengan seorang gadis yang dikenalkan oleh ibunya. Mana
mungkin ia menyakiti para perempuan itu dengan mengatakan bahwa ia ingin pergi
untuk mengejar Jihan—gadis
yang belum bisa dipastikan memiliki perasaan yang sama dengannya. Apalagi jika
mengingat penolakan yang diterimanya lima tahun yang lalu.
Lima tahun. Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa selama
itu juga Rangga tidak bisa berhenti memikirkan Jihan. Entah mengapa, ia merasa
penolakan yang diungkapan Jihan kala itu tidak berasal dari dalam hati gadis
itu. Tetapi perasaan tersinggungnya saat itu membuat ia mempertahankan
gengsinya sebagai seorang lelaki. Hingga tidak menghiraukan Jihan yang terus
meneriakkan namanya.
Kaki Rangga berhenti di counter buah-buahan. Pandangannya langsung terfokus pada deretan
jeruk yang ditata rapi. Mungkin ia bisa meminta Julian untuk membuatkannya orange juice. Ia sedikit merunduk untuk
meraih satu buah jeruk. Warna oranye yang segar mengingatkannya pada dompet yang
dihadiahkannya untuk Jihan... langit senja kesukaan mereka berdua... dan apel
karamel....
Rangga terperangah dengan mulut menganga. Tiba-tiba saja
sosok yang tengah dipikirkannya menjelma nyata menjadi gadis yang tengah
memilih apel di sebelahnya. Gadis itu menoleh dengan sepasang mata yang
membulat lebar karena terkejut.
“Jihan?” gumam Rangga. Hanya ingin memastikan gadis itu
merespon sebagai bukti bahwa ini bukan sekedar khayalannya.
“Rangga... apa yang kau lakukan di sini?”
Entah mengapa, Rangga merasa suara gadis itu sedikit
bergetar dan... bingung?
“Aku membeli terigu dan mungkin beberapa buah jeruk,”
jawab Rangga sambil menggidikkan tangannya yang menggenggam jeruk. “Kau
sendiri?” Rangga balik bertanya sambil menatap keranjang kosong di tangan
Jihan.
Jihan tergeragap selama beberapa detik. Tidak pernah ia
merasa segugup ini. “Aku hanya... ingin membeli beberapa camilan,” jawabnya
kemudian. Melupakan rencananya untuk membeli apel. Sekarang yang diinginkannya
hanyalah cepat pergi dari hadapan lelaki ini. “Jadi, aku permisi dulu. Pilihlah
jeruk yang bagus.”
“Tidak. Eh—maksudku, tunggu. Aku akan menemanimu.” Rangga meletakkan kembali jeruk
yang dipegangnya lalu menyejajarkan langkahnya dengan langkah Jihan.
Sial. Jihan
memutar bola matanya. Kalau seperti ini caranya, ia harus memilih dengan cepat
dan bergegas pulang ke flatnya. Kembali meringkuk dengan musik yang
menemaninya.
“Keripik kentang?” Rangga bertanya dengan nada bingung.
“Sejak kapan kau menyukai keripik kentang?”
Jihan memang bergerak cepat sesuai keinginannya. Tetapi
ia terlalu cepat tidak menyadari barang apa yang diambilnya. Dengan wajah semerah tomat, ia melihat tiga bungkus keripik kentang
berbeda rasa ada di keranjang belanjanya.
Sial. Jihan
mengerutkan keningnya dengan kesal. Sebenarnya ada berapa banyak perusahaan
yang memproduksi keripik kentang di dunia ini? Mengapa ada berbagai macam merk dan rasa keripik kentang yang
berjajar di sepanjang rak ini? Padahal itu hanyalah camilan kelewat asin yang
tidak terasa lezat bagi lidah Jihan.
“Oh—K-kau benar.” Cepat-cepat Jihan mengembalikan snack-snack itu ke rak masing-masing. Lalu kakinya sudah melangkah
cepat melewati lorong yang dipenuhi orang-orang yang berbelanja.
Jihan mencoba untuk tidak peduli pada Rangga yang
tertinggal di belakang. Dalam sekejap ia sudah memasuki lorong yang menyediakan
berbagai macam kopi, teh, dan minuman lainnya. Tubuhnya berkelit lincah di
tengah orang-orang yang membungkuk atau berjongkok untuk mengambil barang yang
mereka perlukan.
Jihan berdecak kesal saat mendapati kopi kesukaannya
terletak pada rak di tingkat paling atas. Perlahan ia berjinjit sambil
memanjang-manjangkan lengannya. Sekuat tenaga mencoba meraih kopi yang
diinginkannya. Saat tiba-tiba sebuah tangan terulur melewati kepalanya dan
dengan mudah menggapai tempat yang tinggi itu. Tangan milik Rangga. Semula,
Jihan mengira pemilik tangan itu akan membantunya mengambil kopi yang
diinginkannya.
Tetapi ternyata ia salah.
Tangan itu meraih dan menggenggam jemari Jihan dengan
lembut. Lelaki itu berdiri di belakangnya, menyebarkan aroma citrus yang khas. Sedetik kemudian,
lelaki itu berbisik dengan suara yang sangat dikenalnya... sedikit ada nada
humor di sana. “Kukumu... warna-warni.”
Perasaan malu menyebar cepat di wajah Jihan. Ia lupa pada
warna kukunya yang berantakan. Tergesa, ia menarik paksa jemarinya dari
genggaman tangan Rangga. Ia bahkan bisa melihat lelaki itu tertawa di belakang
kepalanya.
“Silakan... kopimu.” Kali ini Rangga menyodorkan
sebungkus kopi bubuk yang tadi berusaha diraih Jihan.
Jihan merenggut kasar kopi itu dari genggaman Rangga,
meletakkannya ke dalam keranjang, lalu melangkah pergi. Apakah rasa gugup bisa
membuat seseorang kehilangan sopan santunnya? Mengapa ia berlalu begitu saja
tanpa mengucapkan terima kasih?
“Ada lagi yang kau perlukan?” tanya Rangga begitu kembali
berjalan di sisi Jihan.
“Tidak,” jawab Jihan ketus yang langsung disesalinya
dalam hati. Sungguh, ia sama sekali tidak berniat untuk bertingkah menyebalkan.
“Kalau begitu, ayo kita pergi ke kasir.”
Jihan memang tidak mengatakan apa pun untuk menjawab
ajakan Rangga. Tetapi gadis itu mengikuti saja langkahnya menuju salah satu
bilik kasir. Dan diam-diam ia bersyukur saat melihat antrean panjang di hadapan
mereka. Dengan sengaja, Rangga memilih antrean paling panjang. Sehingga ia
memiliki alasan untuk berada di dekat Jihan sedikit lebih lama.
***
“Terima kasih banyak, Rangga,” ujar Jihan dengan tulus.
Sekarang gadis itu sudah bisa sedikit membuka hatinya. Suasana canggung di
antara mulai mencair setelah obrolan panjang mereka selama mengantre di
supermarket tadi. Kenangan nostalgia semasa mereka SMA ternyata mampu mencairkan
kecanggungan di antara mereka. “Seharusnya kau tidak perlu membayar
belanjaanku.”
“Tidak masalah,” sahut Rangga cepat. Pintu otomatis di
belakang mereka menutup setelah mereka menjauh ke pelataran parkir. “Anggap
saja sebagai salam perkenalan setelah lima tahun tidak bertemu.”
“Bisa saja,” balas Jihan lantas tergelak. “Kalau aku tahu
kau akan membayar belanjaanku, seharusnya aku sekalian mengambil beras, minyak,
dan gula tadi.”
Rangga ikut terkekeh. “Aku bisa membayangkan kau
mencampur gula dan beras lalu menggorengnya dalam minyak panas.”
“Hei,” tegur Jihan sambil berkacak pinggang. “Jangan
meremehkan kemampuan memasakku, ya.”
“Tentu saja tidak,” sanggah Rangga tanpa menghentikan
tawanya. “Lain halnya dengan kemampuanmu memilih warna kuteks.”
Rasa malu langsung menjalari wajah Jihan. Ia
mengepal-ngepalkan tangannya untuk menyembunyikan warna kukunya yang
berantakan. “T-tadi aku hanya... sedang iseng saja,” ujarnya membela diri tanpa
sedikit pun berani menatap ke arah Rangga.
Rangga memilih untuk tidak mengatakan apa pun. Ia hanya
terus tertawa hingga matanya menyipit. Matanya memang terlihat nyaris terpejam,
tetapi dengan cara itu ia menutupi tatapannya yang langsung tertuju pada wajah
Jihan. Ia bersyukur Jihan-nya telah kembali.
“Berhenti tertawa, Rangga. Kau tahu akibatnya.” Bibir
Jihan memberengut. Sementara matanya menatap tajam ke arah Rangga.
Rangga berhenti tertawa begitu saja. Wajahnya berubah
tegang membayangkan konsekuensi yang harus dihadapinya. Sejak dahulu, ia dan
Jihan sudah menetapkan suatu hukuman bagi siapa pun yang tertawa berlebihan di
antara mereka berdua. Hukumannya adalah digelitiki hingga tidak sanggup tertawa
lagi. Cukup mengerikan bukan? Siapa di dunia ini yang bisa hidup tanpa tertawa?
“Di mana tempat tinggalmu?” tanya Rangga mengalihkan
pembicaraan.
Jihan memberitahu Rangga.
“Bolehkah aku mengantarmu pulang?”
“Tidak perlu,” tolak Jihan halus sambil mengibaskan
tangannya di udara. “Tempat tinggalku sangat dekat. Hanya lima menit dengan
berjalan kaki.”
“Tapi... bisa saja kau tersandung batu saat berjalan.”
“Jangan
mengejekku, Rangga.” Jihan mengangkat alisnya mengancam. “Lagi pula jika aku
terjatuh, aku akan bangkit sendiri dan kembali berjalan lagi.”
“Benar juga.” Rangga mengusap tengkuknya dengan perasaan frustrasi
karena tidak menemukan alasan lain untuk berdekatan lebih lama dengan Jihan.
“Kenapa kau tiba-tiba begitu baik hati?” tanya Jihan
sambil tersenyum simpul. “Semua itu... pasti karena pengaruh Silvia. Benar?”
Rangga tertegun. Bagaimana mungkin Jihan berpikir ini
semua ada hubungannya dengan Silvia?
“Dia memang gadis yang baik,” lanjut Jihan. Matanya
menerawang ke puncak gedung yang menjulang berhadapan dengan supermarket. “Aku
berharap kalian bisa menjadi pasangan harmonis yang selalu berbahagia.”
Ingin rasanya Rangga membantah semua tuduhan Jihan
kepadanya. Sejak dahulu bahkan mungkin hingga saat ini, hatinya hanya
menginginkan satu orang. Tetapi lidahnya terlanjur kelu tanpa mampu mengucapkan
apa yang dirasakannya.
“Kalau begitu, selamat tinggal... Rangga,” ucap Jihan
lantas berlalu.
Rangga hanya bisa termangu, menatap punggung Jihan yang
semakin menjauh. Sosok itu semakin mengecil setelah menyeberang jalan raya. Dan
hilang di antara gedung tinggi yang menutupi langit.
Seperti inikah yang dirasakan Jihan saat itu? Saat Rangga
terus berjalan tanpa menghiraukan gadis itu memanggil namanya. Sementara
dirinya sekarang begitu pengecut bahkan untuk sekedar memanggil nama Jihan.
Apalagi mengejar gadis itu.
Andaikan Rangga bisa terbang mundur ke masa lima tahun
yang lalu, ia akan mencegah dirinya sendiri untuk menyatakan perasaan kepada
Jihan. Biarkan saja mereka tetap saling memendam perasaan. Asalkan mereka bisa
terus berdekatan lalu diam-diam saling memiliki.
Tetapi sayangnya, waktu tidak mengizinkan siapa pun untuk
kembali.
Aku gak mudah jatuh cinta. Tapi, kalau masih ada stok lelaki kaya Rangga bolehlah pesan satu ha.ha
BalasHapusBTW kayanya yang benar itu 'Memerhatikan & Sekadar' bukan "Memperhatikan & Sekedar' he.he :)
Tapi kalau temen sendiri juga suka gimana dongg?? o(╯□╰)o
Hapus.
Oh iyaa... kemarin udah ngantuk banget jadi nggak sempet diperiksa lagi... ≧﹏≦
Terima kasih atas koreksinya. Segera diperbaiki (*^ω^*)