Kamis, 11 Juni 2015

Orange Sunset (Tiga)



Selamat malam, teman-teman! ^^

Hari ini Orange Sunset (Tiga) didedikasikan untuk Alvi Lutfiah Agisni Az yang memahami perasaan Jihan. :D

Selamat membaca dan ditunggu komentarnya. Terima kasih. :)
 




ALUNAN musik memenuhi kamar Jihan semalaman. Tetapi tidak bisa mengalahkan alunan kesedihan di dalam hatinya. Di dalam sana hatinya remuk dihantam tanpa ampun. Ia memaksa untuk menghapus semua memorinya tentang Rangga. Tetapi selalu berujung pada kegagalan. Semakin ia ingin melupakan, semakin ia mendapati dirinya tersiksa karena kehilangan. Kehilangan sesuatu yang tidak pernah dimilikinya.

Sejak berpisah dari Silvia dan Rangga kemarin siang, Jihan memilih untuk pulang ke flatnya. Memberikan kepuasan pada rasa patah hatinya. Ia menikmati untuk setiap tetes air mata yang mengalir di pipinya, sementara tubuhnya meringkuk seperti bayi di atas tempat tidurnya. Seakan seluruh organ tubuhnya ingin saling memeluk dan menguatkan.

Begitu pagi menyapa, Jihan terbangun dengan kepala pening luar biasa. Susah payah ia mengumpulkan semangatnya yang berserakan di lantai. Mencoba merekatkannya kembali dan memulai hari yang baru.

Hal pertama yang disadarinya adalah pemutar musiknya yang berhenti bernyanyi karena kehabisan baterai. Jihan menatap nanar benda mungil itu lalu menghela napas panjang. Benda itu begitu kehabisan daya. Begitu kosong. Sama seperti dirinya. Perasaannya yang sudah terkumpul sejak lama harus diisap paksa ke dalam sebuah penyedot debu raksasa.

Hal berikutnya yang menarik perhatiannya adalah keadaan kamarnya. Entah mengapa, mendadak Jihan merasa peduli pada kekacauan di hadapannya. Seolah kamar dan hatinya terhubung oleh sebuah garis yang membuat mereka bisa saling memahami satu sama lain. Beruntung, batinnya sudah memperingatkan diri untuk tidak membuka laci paling bawah pada lemarinya. Laci itu berisi beberapa album foto yang banyak diisi oleh fotonya dan Ralelaki itu semasa SMA. Tentu saja ia harus menghindari segala sesuatu yang akan memperburuk suasana hatinya.

Mata Jihan memandang berkeliling. Ruangan itu dihiasi buku-buku yang menumpuk asal di atas rak tidak terbatas yang biasa disebut lantai. Sekumpulan pakaian kotor teronggok di sudut ruangan. Rak sepatu dipenuhi beberapa pasang sepatu yang saling tumpang tindih berebut wilayah. Seolah ruangan itu baru saja diterjang badai yang berkecamuk lalu diabaikan selama berabad-abad.

Jihan ingin menata ulang kamarnya sekaligus menata ulang perasaannya.

Sayangnya, niat baik itu langsung teralihkan saat Jihan menemukan koleksi kuteksnya dari dalam laci nakas. Rencana awalnya menguap begitu saja ke udara, meninggalkan ia yang langsung sibuk mewarnai kuku sesuka hati. Masing-masing kukunya diberi warna yang berbeda sesuai warna kuteks yang dimilikinya. Sehingga kini jemarinya tampak seperti sekumpulan permen yang berkilauan.

Jihan berada di tengah  ruangan flatnya yang berantakan bagaikan seorang ratu. Ia duduk bersila di atas lantai sambil meniup perlahan kukunya yang sudah dipolesi kuteks. Begitu ia menggerak-gerakkan sepuluh jarinya, senyum kemenangan terbit di wajahnya. Seolah ia baru saja menyelesaikan lukisan yang akan dipajang pada sebuah pameran berkelas internasional. Tetapi sedetik kemudian, senyuman itu sirna. Mendadak ia menyesali pemilihan warna kukunya. Sekarang jemarinya tampak norak dengan warna menyala yang sama sekali tidak serasi.

Jihan menghela napas berat. Bahunya terkulai lemas dengan telapak tangan yang menempel ke lantai. Sepertinya perasaan patah hati selalu mengundang sudut pandang negatif terhadap apa pun. Secepat mungkin ia harus menghapus perasaan itu. Ya... setidaknya warna kuku yang norak jauh lebih baik daripada mata yang sembap karena air mata.


Jihan sangat menyadari bahwa ia tidak boleh membiarkan dirinya terus merenerus terombang-ambing. Atau gelombang kesedihan akan menenggelamkannya. Ia harus berenang cepat menyelamatkan diri dari semua ini.

Mungkin pergi ke supermarket bisa sedikit membantu. Ia bisa membeli beberapa bahan makanan yang habis. Atau mencoba memasak sesuatu yang baru dari buku resep masakan. Apa pun itu. Asalkan bisa membantunya untuk lupa.

Dalam satu gerakan cepat, Jihan menyambar jaketnya yang tergantung di balik pintu. Sedetik kemudian, ia terpaku menatap dompet jingganya. Dompet itu hadiah dari Rangga pada ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Saat itu Rangga mengingatkannya untuk berhemat dan menggunakan uang secara bijaksana.

Tetapi sekarang... kenangan itu sudah tertumpuk oleh kenangan yang tidak menyenangkan.

‘Tidak perlu, Jihan. Aku yang traktir hari ini.’

Kata-kata itu yang diucapkan Rangga ketika melihat dompetnya kemarin. Tanpa sadar, Jihan menggigit bibirnya demi menahan tetesan air matanya. Bahkan mungkin kini lelaki itu sudah melupakan kenangan akan dompet ini.

Jihan berusaha tidak peduli. Buru-buru ia menarik semua lembaran uangnya dan membiarkan dompet itu tergeletak di atas lantai. Dengan langkah-langkah lebar ia meninggalkan flatnya.

Mungkin ia perlu membeli sebuah dompet baru.
***

Beberapa kali guncangan di bahu, sedikit mengganggu tidurnya yang nyenyak. Tetapi ia menolak untuk bangun. Ia sudah berencana untuk tidur seharian demi melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Dengan harapan, ketika terbangun keesokan harinya, perasaannya akan lebih nyaman dan cepat teralihkan oleh pekerjaan yang menunggu di hari Senin.

Tetapi sepertinya rencana itu tidak berjalan lancar.

Sebuah guncangan mendarat kembali di bahunya. Ia menepis tangan yang menyentuh bahunya lalu menenggelamkan diri dalam selimut hangatnya. Bantal yang menyangga lehernya beralih fungsi menjadi penutup telinga saat guncangan itu diikuti suara sumbang yang memanggil namanya.

“Rangga! Sampai kapan kau akan terus tidur?”

Suara itu terdengar lagi bersamaan dengan selimutnya yang ditarik paksa.

“Pergi, Julian! Jangan ganggu aku!” Rangga menyalak dengan suara serak.

Lelaki bernama Julian itu mendengus. Ia melipat tangannya di depan dada, menatap kesal ke arah teman apartemennya yang pemalas... setidaknya untuk hari ini. Biasanya, sahabatnya itu sangat menghindari kegiatan tidak-melakukan-apa-apa. Ia yakin ada sesuatu yang terjadi.

“Bangun, Rangga! Aku memerlukan bantuanmu,” ujar Julian sambil menarik paksa lengan Rangga hingga lelaki itu terduduk di atas tempat tidur. Memiliki profesi sebagai koki utama di sebuah restoran bintang lima, tidak membuat Julian lalai memerhatikan kesehatan dan bentuk tubuhnya. Walaupun tubuhnya sedikit lebih kurus dari Rangga, tetapi postur tubuh mereka sama-sama tegap dengan otot yang liat.

Kening Rangga mengernyit dalam karena dipaksa duduk seperti itu. Ia memicingkan mata menatap Julian yang berdiri di samping tempat tidurnya. Samar-samar ia menghirup aroma masakan yang mungkin menempel pada celemek yang dikenakan Julian.

“Apa?” Rangga bertanya dengan galak.

“Coba lihat jam berapa sekarang,” kata Julian sambil melirik jam beker berwarna jingga yang terletak di atas nakas.

Rangga mengikuti arah pandangan Julian. Sudah lewat jam dua belas siang!

“Aku kira kau sudah mati tadi,” sindir Julian. “Kau pasti kelaparan. Jadi, aku berniat membuatkan piza kesukaanmu. Tapi aku kehabisan terigu.”

“Tidak. Aku tidak lapar“ Sebenarnya Rangga ingin menyanggah dugaan Julian agar lelaki itu bisa membiarkannya kembali tidur dengan nyaman. Tetapi ternyata perut sialannya memutuskan berkhianat. Perut itu bergemuruh tidak tahu malu, mengundang gelak tawa Julian.

“Aku seorang koki dan aku tahu perut tidak pernah berbohong,” kata Julian di sela tawanya. “Cepat pergi dan belikan aku terigu.”

“Kenapa kau tidak membelinya sendiri?” Rangga masih mencoba memenangkan rasa malasnya.

“Aku harus menyiapkan bahan makanan yang lain. Lagi pula, coba lihat ponselmu yang sejak tadi terus berkedap-kedip tanpa suara,” ujar Julian sambil berlalu meninggalkan Rangga yang masih termangu.
***

Supermarket cukup ramai pada hari Minggu. Antrean mengular di bilik-bilik kasir yang tersedia. Hal tersebut wajar saja mengingat supermarket ini terletak di area yang padat penduduk. Bangunannya yang luas dikelilingi flat dan apartemen yang menjulang. Banyak orang yang memilih tempat tinggal di sini karena dekat dengan area perkantoran.

Sudah tiga puluh menit berlalu. Tetapi Jihan belum juga menemukan barang apa saja yang harus dibelinya. Seharusnya tadi ia menyiapkan catatan kecil untuk mempermudahnya berbelanja. Tetapi apa daya, sekarang ia hanya mampu mengandalkan ingatannya tentang barang-barang yang ada di flatnya.

Ternyata berbelanja di tengah keramaian seperti ini sama sekali tidak membantu. Ia tetap tidak bisa lari dari Rangga yang memenuhi benaknya. Seolah ada konektor tidak terlihat yang mengacaukan jaringan otaknya. Sehingga apa yang dilihatnya langsung terhubung kepada lelaki itu.

Seperti lelaki yang baru saja lewat di hadapannya. Parfum lelaki itu menguar di udara menyebarkan aroma citrus seperti aroma parfum yang dahulu sering dikenakan Rangga. Atau lelaki yang sedang duduk di foodcourt yang disediakan supermarket, tampak lahap menyantap potongan segitiga piza di tangannya. Lelaki itu sama sekali tidak mirip dengan Rangga, hanya saja piza adalah makanan kesukaan Rangga. Dan lelaki yang berjalan menyusuri rak tinggi tempat memajang makanan ringan itu memiliki gaya berjalan seperti Rangga. Atau lelaki yang di sebelah sana

Jihan cepat-cepat mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari benaknya. Ia mengalihkan pandangannya pada keranjangnya yang masih kosong. Ia mendesah lelah. Ohmungkin buah-buahan bisa menyegarkan pikirannya.

Perlahan Jihan menyusuri rak yang memamerkan warna-warna cerah yang memanjakan mata. Pandangannya terpaku pada apel-apel merah mengilap yang ditata rapi. Ia membungkuk lalu mulai sibuk memilih apel di hadapannya sementara otaknya berputar mencari ide untuk mengolah apel yang akan dibelinya. Mungkin jus apel atau pai apel bisa jadi pilihan. Tetapi tiba-tiba ia malah teringat potongan apel yang dicelup karamel kesukaan Rangga.

Mendadak Jihan terkesiap. Sebuah tangan terulur dan mengambil sebutir jeruk yang ditata tepat di sebelah apel yang sedang dipilihnya. Syukurlah orang itu membuatnya terkejut sehingga menutup paksa pikirannya. Tetapi ternyata ia sendiri jauh lebih terkejut ketika melihat siapa orang itu.

Orang yang berada di hadapan Jihan tidak kalah terkejut. Selama beberapa detik mereka saling memandang tanpa kata-kata. Tangan orang itu yang menggenggam jeruk membeku di udara. Sementara tangan yang satunya memegang keranjang belanja berisi sekantung terigu.

“Jihan?”

Orang itu berucap lirih, membuat Jihan mengerjapkan matanya beberapa kali. Napasnya terasa sesak seketika. Lalu dalam sedetik berubah menjadi debaran cepat yang menghentikan kerja otaknya. Matanya bergerak cepat ke kanan dan ke kiri mencari sosok yang mungkin juga hadir di sini. Silvia.

“Rangga... apa yang kau lakukan di sini?”

Tentu untuk berbelanja, bodoh! Batin Jihan menghardiknya dengan kasar.
***

Benar-benar sialan kau, Julian!

Rangga berjalan keluar dari apertemennya dengan langkah gusar. Kakinya mengentak-entak dengan kesal. Bibirnya mencibir sementara batinnya tidak berhenti menggerutu. Ia merutuk dan memaki dalam hati. Perintah sahabatnya itu kadang kala sulit sekali dibantah. Mungkin karena Julian sudah terbiasa memerintah sebagai koki utama di dapurnya.

Tentu saja Rangga mengakui kelezatan masakan Julian. Ia bersyukur bisa tinggal satu atap dengan sahabatnya itu. Sehingga ia bisa menyantap makanan ala restoran bintang lima tanpa harus merogoh sakunya dalam-dalam. Dan tentu saja menyelamatkan perutnya dari kelaparan. Rangga mengusap perutnya yang kembali bergemuruh.

Tetapi Rangga merasa paling malas jika tiba-tiba harus menjadi staf pembelian bahan seperti sekarang ini. Terutama di hari Minggu di mana supermarket sangat penuh sesak. Apalagi hari Minggu ini adalah hari yang ingin dilompatinya seolah tidak pernah tertulis di kalender.

Begitu memasuki supermarket, mata Rangga menatap malas pada deretan manusia yang berbaris di bilik-bilik kasir. Ia menghela napas sambil menatap sekantung terigu dalam genggamannya. Haruskah ia mengantre bersama-sama orang dengan troli penuh mereka?  Tentu saja tidak.

Sebenarnya ada beberapa minimarket yang terletak di daerah ini. Mungkin saja minimarket itu menyediakan terigu yang diinginkan Julian. Tetapi kaki pemalas Rangga menolak untuk berjalan lebih jauh lagi. Sehingga ia memutuskan untuk mengambil keranjang belanja untuk terigunya kemudian berjalan menyusuri rak-rak tinggi yang diletakkan berhadapan sehingga membentuk lorong.

Persetan dengan Julian! Koki sialan itu hanya bisa menunggu sambil menggerutu di dapur apartemen mereka. Tidak ada cara untuk menghubungi Rangga. Ia sengaja tidak membawa ponselnya yang penuh dengan pesan singkat dan panggilan tidak terjawab dari Silvia.

Bukannya Rangga ingin menghindar. Selama satu bulan terakhir, hubungan mereka baik-baik saja. Dan ia yakin bahwa Silvia memiliki perasaan lebih terhadapnya. Ia juga tidak menyangkal bahwa sebagai seorang gadis, Silvia memiliki daya tarik tersendiri. Hanya saja... pertemuan tidak terduganya dengan Jihanyang ternyata bersahabat dengan Silviamembuatnya sedikit... risau. Seolah ada gumpalan kecil yang selama ini terkurung di dalam hatinya. Dan gumpalan itu sedikit demi sedikit mengetuk hatinya menuntut pembebasan.

Tetapi tidak semudah itu Rangga memberikan kebebasan. Saat ini ia tengah dekat dengan seorang gadis yang dikenalkan oleh ibunya. Mana mungkin ia menyakiti para perempuan itu dengan mengatakan bahwa ia ingin pergi untuk mengejar Jihangadis yang belum bisa dipastikan memiliki perasaan yang sama dengannya. Apalagi jika mengingat penolakan yang diterimanya lima tahun yang lalu.

Lima tahun. Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa selama itu juga Rangga tidak bisa berhenti memikirkan Jihan. Entah mengapa, ia merasa penolakan yang diungkapan Jihan kala itu tidak berasal dari dalam hati gadis itu. Tetapi perasaan tersinggungnya saat itu membuat ia mempertahankan gengsinya sebagai seorang lelaki. Hingga tidak menghiraukan Jihan yang terus meneriakkan namanya.

Kaki Rangga berhenti di counter buah-buahan. Pandangannya langsung terfokus pada deretan jeruk yang ditata rapi. Mungkin ia bisa meminta Julian untuk membuatkannya orange juice. Ia sedikit merunduk untuk meraih satu buah jeruk. Warna oranye yang segar mengingatkannya pada dompet yang dihadiahkannya untuk Jihan... langit senja kesukaan mereka berdua... dan apel karamel....

Rangga terperangah dengan mulut menganga. Tiba-tiba saja sosok yang tengah dipikirkannya menjelma nyata menjadi gadis yang tengah memilih apel di sebelahnya. Gadis itu menoleh dengan sepasang mata yang membulat lebar karena terkejut.

“Jihan?” gumam Rangga. Hanya ingin memastikan gadis itu merespon sebagai bukti bahwa ini bukan sekedar khayalannya.

“Rangga... apa yang kau lakukan di sini?”

Entah mengapa, Rangga merasa suara gadis itu sedikit bergetar dan... bingung?

“Aku membeli terigu dan mungkin beberapa buah jeruk,” jawab Rangga sambil menggidikkan tangannya yang menggenggam jeruk. “Kau sendiri?” Rangga balik bertanya sambil menatap keranjang kosong di tangan Jihan.

Jihan tergeragap selama beberapa detik. Tidak pernah ia merasa segugup ini. “Aku hanya... ingin membeli beberapa camilan,” jawabnya kemudian. Melupakan rencananya untuk membeli apel. Sekarang yang diinginkannya hanyalah cepat pergi dari hadapan lelaki ini. “Jadi, aku permisi dulu. Pilihlah jeruk yang bagus.”

“Tidak. Ehmaksudku, tunggu. Aku akan menemanimu.” Rangga meletakkan kembali jeruk yang dipegangnya lalu menyejajarkan langkahnya dengan langkah Jihan.

Sial. Jihan memutar bola matanya. Kalau seperti ini caranya, ia harus memilih dengan cepat dan bergegas pulang ke flatnya. Kembali meringkuk dengan musik yang menemaninya.

“Keripik kentang?” Rangga bertanya dengan nada bingung. “Sejak kapan kau menyukai keripik kentang?”

Jihan memang bergerak cepat sesuai keinginannya. Tetapi ia terlalu cepat tidak menyadari barang apa yang diambilnya. Dengan wajah semerah tomat, ia melihat tiga bungkus keripik kentang berbeda rasa ada di keranjang belanjanya.

Sial. Jihan mengerutkan keningnya dengan kesal. Sebenarnya ada berapa banyak perusahaan yang memproduksi keripik kentang di dunia ini? Mengapa ada berbagai macam merk dan rasa keripik kentang yang berjajar di sepanjang rak ini? Padahal itu hanyalah camilan kelewat asin yang tidak terasa lezat bagi lidah Jihan.

“OhK-kau benar.” Cepat-cepat Jihan mengembalikan snack-snack itu ke rak masing-masing. Lalu kakinya sudah melangkah cepat melewati lorong yang dipenuhi orang-orang yang berbelanja.

Jihan mencoba untuk tidak peduli pada Rangga yang tertinggal di belakang. Dalam sekejap ia sudah memasuki lorong yang menyediakan berbagai macam kopi, teh, dan minuman lainnya. Tubuhnya berkelit lincah di tengah orang-orang yang membungkuk atau berjongkok untuk mengambil barang yang mereka perlukan.

Jihan berdecak kesal saat mendapati kopi kesukaannya terletak pada rak di tingkat paling atas. Perlahan ia berjinjit sambil memanjang-manjangkan lengannya. Sekuat tenaga mencoba meraih kopi yang diinginkannya. Saat tiba-tiba sebuah tangan terulur melewati kepalanya dan dengan mudah menggapai tempat yang tinggi itu. Tangan milik Rangga. Semula, Jihan mengira pemilik tangan itu akan membantunya mengambil kopi yang diinginkannya.

Tetapi ternyata ia salah.

Tangan itu meraih dan menggenggam jemari Jihan dengan lembut. Lelaki itu berdiri di belakangnya, menyebarkan aroma citrus yang khas. Sedetik kemudian, lelaki itu berbisik dengan suara yang sangat dikenalnya... sedikit ada nada humor di sana. “Kukumu... warna-warni.”

Perasaan malu menyebar cepat di wajah Jihan. Ia lupa pada warna kukunya yang berantakan. Tergesa, ia menarik paksa jemarinya dari genggaman tangan Rangga. Ia bahkan bisa melihat lelaki itu tertawa di belakang kepalanya.

“Silakan... kopimu.” Kali ini Rangga menyodorkan sebungkus kopi bubuk yang tadi berusaha diraih Jihan.

Jihan merenggut kasar kopi itu dari genggaman Rangga, meletakkannya ke dalam keranjang, lalu melangkah pergi. Apakah rasa gugup bisa membuat seseorang kehilangan sopan santunnya? Mengapa ia berlalu begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih?

“Ada lagi yang kau perlukan?” tanya Rangga begitu kembali berjalan di sisi Jihan.

“Tidak,” jawab Jihan ketus yang langsung disesalinya dalam hati. Sungguh, ia sama sekali tidak berniat untuk bertingkah menyebalkan.

“Kalau begitu, ayo kita pergi ke kasir.”

Jihan memang tidak mengatakan apa pun untuk menjawab ajakan Rangga. Tetapi gadis itu mengikuti saja langkahnya menuju salah satu bilik kasir. Dan diam-diam ia bersyukur saat melihat antrean panjang di hadapan mereka. Dengan sengaja, Rangga memilih antrean paling panjang. Sehingga ia memiliki alasan untuk berada di dekat Jihan sedikit lebih lama.
***

“Terima kasih banyak, Rangga,” ujar Jihan dengan tulus. Sekarang gadis itu sudah bisa sedikit membuka hatinya. Suasana canggung di antara mulai mencair setelah obrolan panjang mereka selama mengantre di supermarket tadi. Kenangan nostalgia semasa mereka SMA ternyata mampu mencairkan kecanggungan di antara mereka. “Seharusnya kau tidak perlu membayar belanjaanku.”

“Tidak masalah,” sahut Rangga cepat. Pintu otomatis di belakang mereka menutup setelah mereka menjauh ke pelataran parkir. “Anggap saja sebagai salam perkenalan setelah lima tahun tidak bertemu.”

“Bisa saja,” balas Jihan lantas tergelak. “Kalau aku tahu kau akan membayar belanjaanku, seharusnya aku sekalian mengambil beras, minyak, dan gula tadi.”

Rangga ikut terkekeh. “Aku bisa membayangkan kau mencampur gula dan beras lalu menggorengnya dalam minyak panas.”

“Hei,” tegur Jihan sambil berkacak pinggang. “Jangan meremehkan kemampuan memasakku, ya.”

“Tentu saja tidak,” sanggah Rangga tanpa menghentikan tawanya. “Lain halnya dengan kemampuanmu memilih warna kuteks.”

Rasa malu langsung menjalari wajah Jihan. Ia mengepal-ngepalkan tangannya untuk menyembunyikan warna kukunya yang berantakan. “T-tadi aku hanya... sedang iseng saja,” ujarnya membela diri tanpa sedikit pun berani menatap ke arah Rangga.

Rangga memilih untuk tidak mengatakan apa pun. Ia hanya terus tertawa hingga matanya menyipit. Matanya memang terlihat nyaris terpejam, tetapi dengan cara itu ia menutupi tatapannya yang langsung tertuju pada wajah Jihan. Ia bersyukur Jihan-nya telah kembali.

“Berhenti tertawa, Rangga. Kau tahu akibatnya.” Bibir Jihan memberengut. Sementara matanya menatap tajam ke arah Rangga.

Rangga berhenti tertawa begitu saja. Wajahnya berubah tegang membayangkan konsekuensi yang harus dihadapinya. Sejak dahulu, ia dan Jihan sudah menetapkan suatu hukuman bagi siapa pun yang tertawa berlebihan di antara mereka berdua. Hukumannya adalah digelitiki hingga tidak sanggup tertawa lagi. Cukup mengerikan bukan? Siapa di dunia ini yang bisa hidup tanpa tertawa?

“Di mana tempat tinggalmu?” tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.

Jihan memberitahu Rangga.

“Bolehkah aku mengantarmu pulang?”

“Tidak perlu,” tolak Jihan halus sambil mengibaskan tangannya di udara. “Tempat tinggalku sangat dekat. Hanya lima menit dengan berjalan kaki.”

“Tapi... bisa saja kau tersandung batu saat berjalan.”

 “Jangan mengejekku, Rangga.” Jihan mengangkat alisnya mengancam. “Lagi pula jika aku terjatuh, aku akan bangkit sendiri dan kembali berjalan lagi.”

“Benar juga.” Rangga mengusap tengkuknya dengan perasaan frustrasi karena tidak menemukan alasan lain untuk berdekatan lebih lama dengan Jihan.

“Kenapa kau tiba-tiba begitu baik hati?” tanya Jihan sambil tersenyum simpul. “Semua itu... pasti karena pengaruh Silvia. Benar?”

Rangga tertegun. Bagaimana mungkin Jihan berpikir ini semua ada hubungannya dengan Silvia?

“Dia memang gadis yang baik,” lanjut Jihan. Matanya menerawang ke puncak gedung yang menjulang berhadapan dengan supermarket. “Aku berharap kalian bisa menjadi pasangan harmonis yang selalu berbahagia.”

Ingin rasanya Rangga membantah semua tuduhan Jihan kepadanya. Sejak dahulu bahkan mungkin hingga saat ini, hatinya hanya menginginkan satu orang. Tetapi lidahnya terlanjur kelu tanpa mampu mengucapkan apa yang dirasakannya.

“Kalau begitu, selamat tinggal... Rangga,” ucap Jihan lantas berlalu.

Rangga hanya bisa termangu, menatap punggung Jihan yang semakin menjauh. Sosok itu semakin mengecil setelah menyeberang jalan raya. Dan hilang di antara gedung tinggi yang menutupi langit.

Seperti inikah yang dirasakan Jihan saat itu? Saat Rangga terus berjalan tanpa menghiraukan gadis itu memanggil namanya. Sementara dirinya sekarang begitu pengecut bahkan untuk sekedar memanggil nama Jihan. Apalagi mengejar gadis itu.

Andaikan Rangga bisa terbang mundur ke masa lima tahun yang lalu, ia akan mencegah dirinya sendiri untuk menyatakan perasaan kepada Jihan. Biarkan saja mereka tetap saling memendam perasaan. Asalkan mereka bisa terus berdekatan lalu diam-diam saling memiliki.


Tetapi sayangnya, waktu tidak mengizinkan siapa pun untuk kembali.


2 komentar:

  1. Aku gak mudah jatuh cinta. Tapi, kalau masih ada stok lelaki kaya Rangga bolehlah pesan satu ha.ha
    BTW kayanya yang benar itu 'Memerhatikan & Sekadar' bukan "Memperhatikan & Sekedar' he.he :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi kalau temen sendiri juga suka gimana dongg?? o(╯□╰)o
      .
      Oh iyaa... kemarin udah ngantuk banget jadi nggak sempet diperiksa lagi... ≧﹏≦
      Terima kasih atas koreksinya. Segera diperbaiki (*^ω^*)

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D