Trisia mendesah, menyelipkan
rambutnya ke belakang telinga sambil menatap ke arah jendela kaca yang
membingkai langit gelap dengan tetesan air langit yang turun dengan deras. Ini
sudah jam sebelas malam, tetapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Sudah
sejak jam tujuh malam hujan terus mengguyur, merubah udara sekitar menjadi
lebih dingin dari biasanya.
Seragam kerjanya yang berwarna
pelangi bahkan tak cukup mampu mengusir dingin yang menyentuh kulitnya.
"Minumlah." Seseorang
menyodorkan secangkir coklat panas yang aromanya begitu manis. Trisia
membuyarkan lamunan kosongnya, memandang sesosok lelaki baik hati yang
memberinya kehangatan di antara dinginnya malam.
"Thank
you, Ryan." Ujar Trisia sembari menerima secangkir coklat dari teman
kerjanya itu.
Trisia tak akan besar kepala
menerima perhatian itu, Ryan baik pada semua orang. Wajahnya tampan dengan
hidungnya yang mancung, alis yang tebal dan mata yang tajam. Posturnya yang
menjulang di atas Trisia membuatnya tampak gagah. Namun gambaran tersebut akan
menghilang setelah ia membuka suara. Cara bicaranya yang begitu feminin kadang
kala membuat beberapa gadis mengurungkan niat mereka untuk menyukai Ryan.
Suara berisik di pintu
mengalihkan perhatian Trisia yang tengah menyesap coklat panasnya. Seorang
lelaki yang mengenakan kemeja biru tua memasuki cafe dengan rambut basah.
Trisia mengernyit memerhatikan sosok tersebut. Sepertinya ia pernah melihatnya,
tapi entah dimana. Trisia mencoba mengingatnya kembali, namun memori di
kepalanya seolah sudah terlalu penuh.
"Tris, cappucino satu."
Gadis berambut lurus sebahu yang juga mengenakan seragam serupa dengan Trisia
tiba-tiba berdiri di hadapan Trisia dan membuyarkan lamunan singkatnya. Trisia
mengernyitkan dahinya sebagai pertanda agar gadis itu mengulangi pesanannya.
"Cappucino satu." Ia
mengulangi. Ibu jarinya mengarah ke balik bahunya, mengisyaratkan agar Trisia
melihat pemandangan di belakang gadis itu.
Meja dua belas.
Meja yang ditempati oleh seorang
lelaki dengan rambut yang nyaris botak yang sudah duduk sejak satu jam yang
lalu dan tepat di hadapannya, duduk lelaki itu.
Lelaki yang sempat menyita
perhatian Trisia beberapa saat yang lalu.
Mata Trisia sempat bertatapan
langsung dengan lelaki itu, namun dengan cepat Trisia menghindar.
"Ganteng." Bisik gadis
itu dengan tawa genit yang biasa dilontarkannya saat menemukan pelanggan yang
berparas tampan.
"Yang botak?" Goda
Trisia sambil tersenyum geli melihat tingkah rekannya itu.
Gadis itu menggeleng kuat-kuat.
"Tentu saja yang memakai kemeja biru. Kau ini seperti tak paham
seleraku."
"Sudah, cepat antarkan ini.
Sebentar lagi ganti shift. Aku mau pulang." Ujar Trisia sambil meletakkan
secangkir cappucino di atas nampan yang dibawa gadis itu.
Trisia meletakkan celemeknya,
mengganti pakaian kerjanya dan bersiap untuk meninggalkan pekerjaannya. Namun
sesuatu masih mengganjal pikirannya.
Sejak kejadian di club semalam,
ia masih marah atas perlakuan Tomi. Terlebih ketika ia menatap pergelangan tangan
kanannya yang masih berbekas sundutan rokok milik Tomi. Trisia menghentikan
langkahnya tepat di depan pintu kaca Rainbow Café yang mulai sepi pengunjung di
tengah hujan deras malam ini.
Ia menghela nafasnya dalam-dalam,
melangkah ragu keluar dari tempat kerjanya.
Trisia menengadahkan kepalanya,
menatap langit yang seolah tengah bersedih, air mata langit tak berhenti
mengalir, justru semakin deras. Bahkan payung yang dipinjam Trisia dari sang
pemilik cafe pun tampaknya tak akan mampu melindungi tubuhnya.
Trisia memilih untuk menunggu
hujan sedikit reda dan duduk di salah satu kursi pengunjung yang memang sengaja
diletakkan di teras café.
Ia menyangga dagu dengan tangan
kirinya. Memandang beberapa luka di pergelangan tangan kanannya. Memori dalam
kepala Trisia berputar seperti video yang direkam oleh ingatan Trisia.
"Kau pikir siapa kau berani menamparku di depan umum
seperti itu?" Tomi membentak Trisia yang meringkuk ketakutan di atas
karpet berwarna merah. Ia memeluk kedua kakinya, menyembunyikan wajahnya di
antara lututnya.
"Tapi itu juga salahmu." Trisia bergumam pelan tanpa
memandang wajah Tomi.
"Apa kau bilang? Katakan dengan keras!" Tomi kembali
meneriaki Trisia. Namun gadis itu bergeming.
"Kau berani membantahku Tris, kau harus diberi
pelajaraan!"
Malam itu bagaikan neraka untuk
Trisia. Sebuah cendera mata disematkan pada pergelangan tangan Trisia sebagai
bentuk penghargaan atas kelancangannya menampar Tomi di hadapan umum. Kemudian
satu lagi untuk lelaki yang mencoba melindunginya.
"Kau perempuan tidak berguna. Kau selalu
menyusahkanku."
Sepenggal kalimat yang cukup
menyakitkan mengakhiri penyiksaan malam itu. Kalimat yang cukup mencabik-cabik
hati Trisia.
Suara isak Trisia mengalun
perlahan ditemani hujan yang tampak sedikit mereda. Isak gadis patah hati yang
terdengar menyedihkan. Trisia termenung menatap air yang menggenang di
pelataran. Helaan napas panjang kembali terdengar di sela isak tangisnya.
Merasa sesak oleh beban yang dipikulnya.
Trisia mengusap air mata yang
berjatuhan membasahi pipinya, "Sudahlah Tris." Gumam Trisia pada
dirinya sendiri.
Ia berdiri, kemudian membuka
payungnya untuk segera menerobos butiran-butiran air langit yang kunjung habis.
***
Ia terus memperhatikan gadis itu.
Gadis yang berdiri di balik meja pemesanan yang sempat bertatapan mata
dengannya. Mata hijaunya yang cantik dan rambut ikalnya yang dikuncir ekor
kuda, mengingatkannya pada gadis semalam.
Tentu saja tidaklah sulit
menemukan seseorang bermata hijau di antara pribumi.
Waitress datang membawa menu pesanan
lelaki itu. Cappucino panas dengan aromanya yang harum, membuat tubuh hangat
ditengah suasana yang dingin.
Leo menyesap cappucinonya,
kemudian menatap sahabatnya di hadapannya serius, "Jadi kau masih akan
menggantungkan nasibmu pada keajaiban?"
"Entahlah, aku jadi merasa
bersalah pada Tuhan. Tuhan selalu memberiku keajaiban dan aku tak pernah
membalasnya dengan berdoa padaNya." Lelaki itu menjawab. "Tapi untuk
urusan gadis," Dia menegaskan kata gadis dalam kalimatnya. "Aku benar-benar
harus mengandalkan keajaiban." Ia terkekeh mendengar kalimatnya sendiri.
"Kenapa? Adam, kau ini
laki-laki. Kau bisa mendapatkan perempuan mana saja. Selama kau punya
ini," Leo menggesekkan ibu jari dengan telunjuknya untuk mengisyaratkan
uang, "Perempuan mana saja pasti mau."
"Seperti Anastasia,
misalnya?" Tukas lelaki yang dipanggil Adam itu.
Pertanyaan itu membuat Leo
membeku. Hening.
Adam tersenyum geli melihat
perubahan wajah Leo, "Kenapa? Apa aku salah bicara?"
Sial, kenapa harus nama itu lagi! Gumam Leo dalam hati, lalu menggelengkan kepala dan melepas
helaan napas panjang. "Tidak. Kau memang benar. Tapi perempuan itu memang
benar-benar brengsek. Bagaimana dia bisa menipuku mentah-mentah seperti itu.
Sialan!"
"Itu karena kau menggunakan
ini, " Sindir Adam memberikan isyarat uang dengan jemarinya. "Setelah
itu mendadak kau menjadi bodoh dan tenggelam dalam cinta bodohmu itu. Sudahlah,
kau tak perlu mengguruiku. Seperti kau sudah hebat saja dalam percintaan."
Adam menertawakan sahabatnya yang tertipu ratusan juta oleh gadis yang baru
saja meninggalkannya beberapa hari yang lalu itu.
Wajah murung Leo mendadak berubah
ceria kembali, "Lihat," Leo menebarkan pandangan pada seluruh penjuru
cafe. "Disini banyak perempuan cantik, Adam. Kau bisa memilih salah satu
diantara mereka untuk kau bawa ke pesta kantor minggu depan."
"Memangnya kau sudah
menemukan pasangan?" Tanya Adam menyelidik yang disambut dengan gelengan
kepala Leo membuatnya terkikik geli.
Adam memutar kepalanya, melempar
pandangan matanya ke penjuru café. Pengunjung di cafe yang memang berparas
cantik itu kebanyakan berpasangan. Kemudian Adam memerhatikan gadis-gadis
berseragam pelangi yang tersebar di penjuru ruangan. Waitress di cafe ini tak bisa disepelekan
kecantikannya. Keseluruhan pegawai di cafe ini begitu memesona. Kemudian
pandangan mata Adam berhenti pada seorang gadis.
"Bagaimana dengan yang
itu?" Adam menunjuk seorang gadis yang tengah melepas celemek warna warni
yang senada dengan pakaiannya.
"Tidak!" Sergah Leo
tiba-tiba.
Adam mengernyitkan dahi menatap sahabatnya yang tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Dia milikku. Aku yang akan
pergi bersamanya ke pesta itu minggu depan." Leo menaikkan alisnya dan
tersenyum jahil pada Adam.
Tak lama kemudian gadis itu telah
merubah pakaiannya, berpamitan dan menebar senyum pada rekan-rekannya lalu
melangkah keluar café.
Apa yang akan dilakukannya? batin Leo. Hujan masih turun dengan derasnya. Gadis itu menarik
sebuah kursi yang ada di teras, duduk termenung melamunkan sesuatu.
"Hei," Adam
menggoyang-goyangkan kelima jarinya tepat di depan wajah Leo yang pandangannya
menerawang jauh. "Kau ini lihat apa?" Tangan Adam yang semakin
mendekat seolah hendak mencengkeram wajah Leo, membuat Leo tersentak.
"Apa-apaan kau ini?"
Gerutu Leo menepis tangan Adam. Semburat kemerahan di wajah Leo membuat Adam
terkikik geli.
"Kau ini seperti gadis abg saja. Memalukan."
"Apanya yang seperti gadis
abg?" Leo buru-buru menyesap minumannya untuk menetralkan kembali suasana
hatinya.
" Itu," Adam menunjuk
seorang gadis yang duduk sendirian di teras café, "dan itu." Adam
beralih menunjuk wajah Leo yang seperti pencuri tertangkap basah.
Adam kembali melirik gadis itu.
Gadis itu membuka payung lipatnya, sepertinya ia mulai bersiap untuk menerobos
hujan.
"Kita taruhan seratus ribu.
Dia akan menolakmu untuk mengantarnya atau tidak."
"Jangan bercanda. Tentu saja
dia tak akan menolak seorang Leo." Leo membanggakan diri.
Kemudian Leo beranjak dari tempat
duduknya dan segera menyusul gadis itu. Tepat setelah gadis itu turun di anak
tangga pertama menuju pelataran, Leo menarik tangan gadis itu hingga membuat
gadis itu terkesiap.
"Ijinkan aku
mengantarmu."
Gadis itu menatap Leo bingung.
Apakah dia salah orang? Batin gadis itu.
"Aku?" Ia menunjuk
dirinya sendiri untuk meyakinkan.
"Hari sedang hujan. Apakah
kau dijemput pacarmu? atau kau membawa kendaraan pribadi?"
"Tidak, aku jalan kaki.
Disini dekat dengan tempat tinggalku, terima kasih."
"Kalau begitu aku akan
mengantarmu. Hujannya masih lebat. Dan lagi, ini sudah larut." Leo
memaksa.
"Maafkan aku, tapi aku bisa
pulang sendiri," Ujar gadis itu mencoba melepas genggaman tangan Leo.
"Ayo, aku akan
mengantarmu."
"Tidak. Dan lagi, kau orang
asing bagiku. Aku tidak boleh sembarangan. Permisi."
Leo bagaikan tertampar mendengar
perkataan gadis itu. Ia ditolak oleh seorang gadis? Padahal ia tak pernah
mendapatkan penolakan sebelumnya -tentu saja penipuan bukan termasuk bagian
penolakan. Leo menghela napasnya, tersenyum getir memandang punggung gadis yang
semakin menjauh.
Aku harus bisa mendapatkannya.
Bersambung
Kurang panjang dde... :|
BalasHapusayo, Leo harus bisa mendapatkan Trisia. semangat \(^o^)/
Iya kalo Leo sama Adam??? :v
Hapusjadi ternyata... Leo dan Adam itu... yara...? (•̩̩̩̩_•̩̩̩̩)
Hapus