Senin, 06 Juli 2015

Orange Sunset (Delapan)





JIHAN tidak mengerti mengapa ia menangis.

Tetapi setidaknya ia bersyukur karena otot-otot matanya masih cukup kuat untuk menahan agar tangisnya tidak tumpah di sembarang tempat. Tetes pertama air matanya jatuh tepat setelah ia menutup dan mengunci pintu flatnya. Ia menempelkan punggungnya pada daun pintu, lalu perlahan merosot hingga ia duduk bersandar dengan kepala tertunduk. Sedetik kemudian, tetes demi tetes ikut meluncur di pipinya tanpa diminta.

Jihan benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya mengapa air matanya tumpah begitu saja seperti air bah? Seharusnya ia merasa lega karena Silvia dalam keadaan baik-baik saja. Tadi mereka bertiga Jihan, Rangga, dan Julian bergegas membawa Silvia ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa Silvia mengalami anemia ringan karena kekurangan asupan makanan.

Saat itulah Jihan baru menyadari porsi makan Silvia yang menurun drastis akhir-akhir ini. Wajah pucat Silvia berkelebat di balik kelopak matanya. Ucapan Silvia yang mengeluh sakit kepala terngiang di telinganya. Mengapa ia baru menyadarinya sekarang?

Jadi, apakah ini adalah air mata penyesalan? Bukan.

Kali ini, benak Jihan membuka layar putihnya lebar-lebar. Sementara batinnya mulai memucat dan mengigil dalam selimut hangatnya. Bayangan wajah Rangga yang penuh kekhawatiran berkelebat di atas layar putih itu. Slide berganti cepat menampilkan adegan Rangga yang membopong Silvia. Kemudian wajah pucat Rangga ketika berbicara dengan dokter. Walaupun sangat khawatir, tetapi Rangga memilih untuk tidak menghubungi orang tua Silvia maupun orang tuanya. Ia tidak ingin membuat cemas orang tua mereka yang sedang pergi bersama ke Sydney.

Berlibur bersama? Jihan mengernyitkan keningnya dengan pahit. Ah, syukurlah.... bahkan keakraban orang tua mereka tidak diragukan lagi. Seharusnya ia turut berbahagia atas kelancaran hubungan percintaan sahabatnya itu.

Sahabat... pantaskah ia menyebut dirinya sahabat Silvia?

“Jihan? Kaukah itu, Nak?”

Sebuah suara yang berasal dari kamarnya membuat Jihan terkesiap. Bagaimana mungkin ia lupa bahwa ibunya datang kemari tadi pagi? Bergegas ia bangkit dan menghapus air matanya dengan punggung telapak tangannya. Tetapi sebelum sempat ia menjawab, seraut wajah khawatir ibunya sudah hadir di hadapannya.

“Jihan... apa kau baik-baik saja?” Alarm kekhawatiran ibunya tampak berkelap-kelip di atas kepalanya.

Tidak.

“Ya. Aku baik-baik saja, Ma,” jawab Jihan sambil memaksakan seulas senyum. “Hanya saja... tadi Silvia jatuh pingsan.”

“Oh, astaga. Lalu di mana Silvia sekarang? Bagaimana keadaannya?” Jihan bisa mendengar jelas kekhawatiran yang berlipat ganda dari nada bicara ibunya.

“Dia ada di rumah sakit sekarang. Kondisinya sudah membaik. Hanya butuh istirahat. Mungkin besok pagi dia sudah diperbolehkan pulang,” ujar Jihan sambil tersenyum meyakinkan.

Laura menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Lalu kenapa kau tidak menemani Silvia di rumah sakit?”

Jihan mengigit bibir untuk menahan air matanya saat wajah Rangga kembali muncul di benaknya. “Tidak. Dia... sudah ada yang menemani,” kata Jihan setengah berbisik lirih menahan perih. “Aku akan kembali lagi nanti malam.”

“Mama ingin menemanimu... tapi kau tahu bukan kondisi pamanmu seperti apa?” Laura mengulurkan tangan dan membelai rambut anak gadisnya.

Jihan menganggukkan kepalanya mengerti. Kondisi kesehatan pamannya memang memburuk sejak lima tahun yang lalu. Berbagai macam pengobatan tidak cukup membantu untuk membuatnya sembuh dari penyakitnya. Belum lagi, kehidupannya yang sebatang kara setelah istri dan anaknya meninggal karena kecelakaan. Itulah mengapa, begitu Jihan lulus SMA, orang tuanya memutuskan pindah ke kota tempat tinggal pamannya.

Pada awalnya, Jihan merasa keberatan untuk ikut. Ia tidak ingin berpisah dari Rangga. Tetapi setelah kejadian di hari kelulusan itu, Jihan sudah tidak peduli lagi ia akan tinggal di mana. Walaupun begitu lulus kuliah, hatinya membawa kakinya melangkah untuk bekerja di kota ini. Ia kembali ke kota di mana Rangga tinggal. Dengan harapan ia bisa kembali bertemu dengan lelaki itu untuk meminta maaf. Dan jika diberi kesempatan, ia ingin memperbaiki segalanya.

Memang benar, ia dipertemukan lagi dengan Rangga. Tetapi dalam keadaan yang... rumit.

“Jadi, sebelum Mama pergi, maukah kau menceritakan alasanmu menangis?” Suara Laura terdengar lembut dan nyaman.

Jihan menelan ludah. Ia mengangkat wajahnya dan menatap ibunya yang tersenyum dengan penuh kepedulian. Air mata kembali membayang di pelupuk matanya. Ternyata ia salah jika menganggap ibunya akan puas dengan alasan kamuflase seperti itu. Jadi, haruskah ia bercerita?

“Ya... ini hanya tentang seorang lelaki....” Jihan mencoba untuk memulai ceritanya dengan menyamarkan tokoh utamanya. Padahal ia tahu bahwa ibunya mengenal lelaki itu dengan baik seakan mengenal anaknya sendiri.

“Oh, apa yang dia lakukan padamu? Dia menyakitimu?” tanya Laura seolah merasa tersiksa. Alarm kekhawatirannya kembali menyala tajam.

“Tidak. Ini bukan seperti itu.” Walaupun memang terasa menyakitkan. Tetapi Jihan sama sekali tidak ingin siapa pun mengkhawatirkannya karena masalah ini.

“Apa dia pacarmu yang pergi kencan denganmu hari ini?” tanya Laura sedikit mendesak.

“Bukan,” sanggah Jihan sambil menggeleng. Ia menghela napas panjang. “Aku tidak punya pacar, Ma. Tolong berhenti menanyakan tentang pasangan kepadaku. Aku belum siap untuk itu.”

“Jadi, kau belum siap untuk melupakan Rangga?”

Mata Jihan melebar seketika. Ia menatap ibunya tidak percaya.

Laura tersenyum sedih tetapi penuh pengertian. “Ya. Tentu saja Mama tahu.”

“T-tapi... sejak kapan...?” Jihan tergugu dan tidak tahu harus berkata apa.

“Sejak Mama melihat kalian berdua.” Laura kembali membelai kepala anaknya penuh kasih sayang. “Saat itu Mama berbisik pada Papa bahwa kalian berdua jatuh cinta terlalu cepat.”

Jihan mendenguskan tawa kecilnya. “Ya. Mama benar. Aku memang terlalu bodoh untuk memahami apa itu cinta.”

“Oh, kau salah paham, Sayang. Bukan itu maksud Mama.” Laura menghela Jihan untuk memasuki kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur lalu menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan agar anak gadisnya itu berbaring di pangkuannya.

Jihan menurut. Sejak kecil, seperti inilah cara ibunya untuk meredam kesedihannya. Dan ia menyukai itu. Seperti ketika ia kalah lomba berlari, ketika kelinci peliharaannya meninggal, atau ia mendapatkan nilai ujian yang tidak sesuai harapan. Perasaannya selalu jauh lebih tenang setelah berbaring di pangkuan ibunya.

Jari-jari Laura bergerak perlahan membelai wajah Jihan sebelum melanjutkan kata-katanya yang tadi terputus. “Mama sama sekali tidak pernah melihat perasaan cinta yang hanya ‘main-main’ di antara kalian berdua. Tapi Mama bersyukur kalian tidak pernah keluar dari zona aman persahabatan yang kalian bangun. Karena menurut Mama, lima belas tahun bukanlah usia yang tepat untuk jatuh cinta. Terlalu cepat.”

Jihan terpana. Bagaimana mungkin? Saat itu bahkan ia sendiri belum menyadari bahwa ia jatuh cinta kepada Rangga. Tetapi ibunya sudah bisa melihat hal itu dengan jelas.

“Sampai ketika Mama melihat perubahan sikapmu sejak hari kelulusanmu itu. Kau sering murung, jarang tersenyum, dan ekspresi kaku yang kautunjukkan setiap kali Mama atau Papa menanyakan kabar Rangga. Dan kami juga tahu kau kembali kemari untuk bekerja karena ingin bertemu dengan Rangga.” Laura tersenyum tipis. “Saat itulah Mama sadar, bahwa cinta tidak mengenal usia.”

Wajah Jihan terasa panas. Ia meletakkan telapak tangan di kedua pipinya karena ia yakin wajahnya sudah semerah kepiting rebus sekarang. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa ibunya begitu perhatian. Bahwa ibunya peduli. Bahwa ibunya mengerti.

“Tapi, sepertinya usahamu tidak berhasil, ya?” Alis Laura berkerut simpati. “Kau belum bertemu kembali dengan Rangga.”

Jihan hendak menjawab, tetapi ia merasakan tenggorokannya tercekat. Sehingga ia hanya menggelengkan kepalanya, sementara jari-jarinya sibuk menghapus air mata yang mulai menetes. “A-aku sudah bertemu... dengannya,” ucap Jihan dengan suara serak menahan isakan.

Mata Laura melebar antusias. “Lalu, kenapa kau menangis? Apa dia menolak menemuimu? Atau hubungan kalian sudah tidak dapat diperbaiki? Atau oh, jangan-jangan... dia tidak setampan dulu lagi?” Laura terus berspekulasi dengan wajah berbinar jenaka.

“Tidak, Ma,” jawab Jihan di antara tangisan dan tawa kecilnya. “Rangga... sekarang adalah pacar Silvia.”

Binar humor yang menghias wajah Laura, sirna begitu saja. Ia tidak mengatakan apa pun lagi untuk menghibur perasaan anaknya. Hanya jari-jarinya yang terus membelai kepala Jihan penuh kasih sayang.

“Apakah... aku sudah melakukan hal yang sia-sia, Ma?”

Laura diam sejenak.

“Tidak ada yang sia-sia dalam cinta. Yang mana pun yang kau pilih. Entah itu cintamu pada keluarga, cintamu pada sahabat, atau cintamu pada Rangga, kau tetap berhak untuk merasa bahagia sekaligus merasa sedih.” Laura menggidikkan bahunya lalu tersenyum miris. “Apa boleh buat. Perasaan manusia memang rumit.”

Setelah mendengar kata-kata ibunya, Jihan terdiam karena sekarang air matanya yang berbicara. Dan kehangatan terus mengalir dari ujung-ujung jari ibunya. Ia hanya bisa berbaring tersedu-sedu, membiarkan pangkuan ibunya banjir oleh air mata.
***

Ketika Jihan membuka mata, ia merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Ia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur, keluar dari balutan selimutnya. Jutaan cahaya senja menghujani melalui jendela kamarnya yang menghadap ke arah barat. Menerangi kamarnya dengan kehangatan melalui celah bangunan yang menjulang. Jendela kamarnya membingkai pemandangan langit senja seperti sebuah lukisan.

Dan seketika itu juga ia merasakan kehampaan luar biasa.

“Mama?” Jihan mencoba memanggil ibunya. Suaranya terdengar serak. Ia langsung berdeham saat merasakan kekeringan melanda tenggorokannya.

Kepala Jihan berputar ke arah nakas dan langsung meneguk segelas air yang diletakkan di sana. Hal lain yang menarik perhatiannya adalah sekeranjang buah-buahan dan secarik kertas dengan tulisan bertinta biru di atasnya. Itu tulisan ibunya.

Mata Jihan bergerak cepat dari kiri ke kanan seperti mesin scanner. Sedetik kemudian, ia menghela napas panjang. Ternyata itu pesan dari ibunya yang sudah pulang sejak ia tertidur tiga jam yang lalu. Jihan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamarnya. Ruangan ini sekarang terasa kosong sekaligus rapi.

Ya. Kamar ini terlihat rapi. Tidak ada lagi pakaian kotor yang menumpuk, buku yang berserakan, atau pintu lemari yang tidak bisa ditutup karena isinya dijejalkan asal-asalan. Saat kembali menatap keranjang buah di atas nakas, ia berani bertaruh pasti kulkasnya juga penuh.

Jihan mendengus geli. Seulas senyuman mengintip malu-malu di sudut bibirnya. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan perhatian yang berlebihan seperti ini.

Ternyata pangkuan ibunya masih menyimpan keajaiban. Sekarang Jihan merasa jauh lebih baik. Jadi, sepertinya sekarang yang harus ia lakukan adalah bersiap-siap untuk kembali ke rumah sakit. Mungkin ia bisa membawa beberapa dari buah-buahan ini untuk Silvia. Apel, anggur, jeruk....

Jeruk.

Jihan meraih buah bulat itu ke dalam genggamannya. Warna oranye cerahnya begitu menarik perhatian di antara buah yang lainnya. Seberkas ingatan kembali bermain-main dalam benaknya. Ia meringis masam mencoba menghalau cuplikan kenangan itu. Tetapi yang terjadi justru di luar kendalinya. Tangan gadis itu malah mengambil pisau kupas yang tersedia di keranjang.

Dengan satu tangan, Jihan menggenggam erat pisau itu. Sementara tangan yang lainnya sedikit menekan jeruk ke atas nakas. Perlahan, ia menggelindingkan buah itu di bawah kendali telapak tangannya yang terbuka lebar. Seperti roda yang bergerak maju dan mundur berkali-kali.

Setelah merasa cukup, Jihan mulai menyayat kulit berkilau buah itu. Ia membuat garis tipis vertikal di bagian tengah jeruk. Garis itu terus memanjang dan berputar hingga ujung pisau yang runcing kembali ke titik pertama ia memulai. Walaupun harus memotong kulit buah dengan sempurna, tetapi ia menjaga pisaunya agar tidak menggores bagian dalam buah yang lembut ini.

Jihan menyelipkan sebuah sendok kecil ke bawah kulit jeruk yang dipotongnya tadi. Ia menggerakkan sendok ke sekeliling buah untuk melonggarkan dan memisahkan buah dari kulitnya. Begitu tahap ini selesai, ia menarik dengan hati-hati bagian kulit jeruk.

Begitu kulit itu terbebas, Jihan tersenyum lebar. Matanya berbinar saat menatap kulit jeruk yang kini terlihat seperti sebuah mangkuk itu. Rupanya ia masih mengingat baik cara mengupas jeruk yang pernah diajarkan lelaki itu kepadanya.

Jihan menelungkupkan kulit jeruk itu di atas kosen jendela kamarnya. Kemudian ia melangkah mundur menjauh dari jendela. Tetapi matanya terus memperhatikan kulit jeruk itu dengan saksama. Hingga akhirnya sebuah senyum terbit di wajah gadis itu.

Dari tempat Jihan berdiri saat ini, kulit jeruk yang tertelungkup itu tampak menyatu dengan matahari terbenam di luar sana. Warna khas itu perlahan berpendar seperti lembayung yang disapukan ke atas kanvas.

Pemandangan yang penuh nostalgia. Andaikan ia bisa kembali ke masa itu. Betapa ia merindukan kebersamaan yang tidak akan pernah bisa diulang. Sekalipun jika langit senja runtuh dan membanjiri bumi dengan warna jingga kebanggaannya.

Dan entah mengapa, Jihan merasa seolah ia mengerti sesuatu.

Senja. Rindu. Jingga.
***

Suasana rumah sakit begitu tenang dan damai malam ini. Hanya terdengar bunyi pintu yang didorong atau suara obrolan lirih para perawat yang bertugas malam ini. Aroma rumah sakit yang khas bercampur dengan oksigen yang dihirup Silvia.

Ruang rawat yang ditempati Silvia didominasi warna putih khas rumah sakit. Ada lima tempat tidur yang berderet di ruangan itu. Silvia menempati tempat tidur yang berada di tengah dan bisa melihat langsung ke arah pintu. Sementara tempat tidur yang lainnya kosong tanpa pasien. Syukurlah, itu berarti tidak banyak orang yang mengabaikan kesehatan seperti dirinya.

Benar-benar memalukan. Silvia tertawa kecil untuk dirinya sendiri. Ia melakukan diet karena malu dengan bentuk tubuhnya yang tampak lebih tembam. Tetapi justru tindakannya itu lebih mempermalukan dirinya. Pingsan di bioskop sama sekali tidak ada dalam rencana dietnya. Ia hanya ingin tampil sempurna saat mengenakan gaun baru yang dimilikinya. Gaun itu rencananya akan ia kenakan saat acara makan malam bersama Rangga dan kedua orang tua mereka. Tentu saja setelah kedua pasangan itu kembali dari berlibur.

Silvia menikmati suasana hening di sekitarnya. Terlalu hening hingga ia bisa mendengar dengkuran halus Rangga. Lelaki itu sedang tertidur di tepi tempat tidur, berbantalkan kedua lengannya yang tertelungkup. Tidak sedikit pun Silvia menyia-nyiakan pemandangan indah di hadapannya sekarang.

Walaupun merasa malu, tetapi Silvia bahagia. Ia bahagia karena ia pingsan di pelukan Rangga. Bahkan di tengah kesadarannya yang tipis, samar-samar ia masih bisa merasakan kekhawatiran dari lengan Rangga saat lelaki itu membopong tubuhnya. Ah, semoga saja bobot tubuhnya tidak terlalu berat bagi lelaki itu. Tanpa sadar, ujung bibir Silvia tertarik melengkungkan senyuman.

Rangga mengkhawatirkan dirinya.

Silvia mengulurkan tangannya. Ia menyentuh samar kepala Rangga. Tidak ingin mengganggu tidur lelaki itu. Ujung-ujung rambut Rangga membelai telapak tangan Silvia, membuat gadis itu tertawa kecil. Sedetik kemudian, Silvia membungkukkan punggungnya perlahan tetapi pasti. Lalu ia mendaratkan kecupan seringan bulu di puncak kepala lelaki itu.

“Aku mencintaimu, Rangga,” bisiknya. Dengan harapan kata-kata itu akan masuk melalui pori-pori kulit Rangga, mengalir di pembuluh darahnya, dan bersemayam di dalam hati lelaki itu. Sehingga ketika terbangun nanti, Rangga akan menyadari perasaan cintanya kepada Silvia.
***

Jihan tiba di rumah sakit tepat pukul setengah tujuh malam. Masih ada waktu sebelum jam besuk berakhir. Ia melangkahkan kakinya di koridor rumah sakit yang tampak lengang. Bunyi ketukan sepatunya bergema di dinding koridor. Tangannya menggenggam sekantung buah-buahan dan camilan untuk Silvia.


Begitu tiba di depan pintu ruang rawat Silvia, Jihan memutar handle pintu sepelan mungkin tanpa menimbulkan bunyi. Ia mendorong pintu perlahan hingga terbuka sedikit. Melalui celah pintu yang terbuka itu, ia melihat pemandangan yang seharusnya tidak dilihatnya.

Silvia sedang duduk bersandar pada tumpukan bantal-bantal di atas tempat tidur. Tangannya terulur mengusap kepala Rangga yang sedang tertidur. Kemudian gadis itu mendekatkan wajahnya dan mengecup cepat puncak kepala Rangga. Jihan bisa mendengar Silvia berbisik lirih kepada lelaki itu.

Jihan mengerti. Seharusnya ia tidak berada di sini.

Tangan Jihan kembali merapatkan pintu tanpa menimbulkan bunyi gaduh. Pelan-pelan ia melangkah mundur menjauhi pintu. Sudut matanya mulai menghangat. Napasnya terasa sesak. Ia berbalik dan kembali berjalan di koridor yang tadi dilaluinya. Dan saat itulah ia bertatapan dengan seseorang.

***

Kekurangan asupan makanan? Yang benar saja!

Julian masih tidak habis pikir. Bagaimana mungkin gadis itu bisa terkena anemia ringan karena kekurangan asupan makanan? Padahal sejauh yang ia tahu, Silvia adalah gadis berkecukupan yang pasti mampu untuk membeli makanan yang layak. Jadi, gadis itu bodoh atau apa? Manusia mana di dunia ini yang tidak membutuhkan makanan? Begitu banyak orang terkena busung lapar dan gadis itu memilih untuk menyia-nyiakan kesempatannya untuk bisa makan dengan layak. Benar-benar tindakan yang konyol!

Kening Julian berkerut memikirkan hal itu. Sebenarnya ia tidak terlalu peduli pada apa yang akan dilakukan orang lain. Hanya saja, setiap kali mendengar ada orang tidak bersedia memberikan makanan layak untuk tubuhnya sendiri sering kali membuatnya merasa kesal.

Mencoba mengusir pikiran itu dari benaknya, Julian memilih untuk memerhatikan jalan di depannya. Sebuah tas tersampir di bahu lelaki itu. Ia baru saja pulang ke apartemen untuk beristarahat sejenak. Sebelum akhirnya ia kembali ke rumah sakit dan membawakan pakaian ganti untuk Rangga. Housemate-nya itu berencana untuk menginap dan menemani Silvia.

Julian masih bisa mengingat jelas kekhawatiran yang mencemari wajah Rangga. Ia begitu gelisah ketika mendapati Silvia jatuh pingsan. Sorot matanya seolah menunjukkan bahwa kedua orang tuanya pasti akan membunuhnya jika sampai terjadi sesuatu pada Silvia. Baiklah, itu berlebihan. Tetapi dari apa yang dilihat Julian, Rangga tampak merasa bersalah pada apa yang terjadi pada Silvia. Padahal jelas-jelas ia tidak melakukan apa-apa.

Rangga terlampau panik. Bahkan terlalu panik untuk mengingat kemarahannya kepada Julian. Kemarahan yang janggal. Apakah Rangga harus marah seperti itu hanya karena Julian merangkul gadis bernama Jihan itu? Sebenarnya benang apa yang menghubungkan mereka berdua?

Langkah Julian berhenti mendadak. Matanya menangkap sosok teman kencannya hari ini yang sedang berjalan dengan ekspresi wajah tidak keruan. Benak Julian langsung menduga bahwa gadis itu tidak sengaja melihat sesuatu terjadi di antara Rangga dan Silvia.

“Jihan?” sapa Julian perlahan sambil melirik sekilas kantung yang dibawa Jihan. “Kau sudah ke kamar Silvia?”

Gadis itu mengangguk singkat. Tetapi masih tampak terkejut.

“Aku mau mengantarkan pakaian untuk Rangga. Kau mau menemaniku?”

Jihan menggeleng. “Aku mau pulang.”

Julian mengamati ekspresi wajah Jihan yang berubah-ubah. Lalu ia mengerti bahwa gadis ini tidak ingin kembali ke ruangan itu lagi. Setidaknya untuk malam ini. “Kalau begitu, tunggulah di sini. Aku akan memberikan tas ini kepada Rangga sebentar. Setelah itu, aku akan mengantarmu pulang.”

Jihan tampak ragu mempertimbangkan tawaran Julian. Cepat-cepat ia menambahkan dengan nada jenaka, “tenang saja. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakanmu.”

Sejenak Jihan terdiam. Lalu ia mengangguk kaku menyetujui tawaran Julian.

“Bagus.” Julian tersenyum lebar. “Jadi, apakah isi kantung itu seharusnya kau berikan untuk Silvia?”

Jihan menundukkan wajah dan baru menyadari kantung yang dibawanya untuk Silvia. Sontak ia menganggukkan kepala dengan wajah memerah.

Julian tersenyum penuh pengertian. “Kau ingin aku yang memberikannya? Aku tidak akan menyebut namamu jika memang itu yang kau inginkan.”

Memang itu yang diharapkan Jihan. Ia menyerahkan kantung itu kepada Julian lalu berujar lirih, “terima kasih.”

“Baiklah. Tunggu sebentar, ya. Aku tidak akan lama.”

Jihan mengangguk lalu duduk di salah satu kursi panjang yang ada di koridor. Ia menatap punggung Julian yang menghilang di belokan pertama ke arah kamar rawat Silvia. Dalam hati Jihan bersyukur ia bertemu dengan lelaki yang penuh pengertian seperti Julian.
***

“Sepertinya mereka berdua tidak ada yang menyadari kedatanganmu,” kata Julian ketika mereka sudah berada di dalam mobil dan meluncur mulus di jalan raya.

Jihan menoleh dan menatap Julian bingung.

“Rangga dan Silvia. Kukira kau mengkhawatirkan hal itu.”

“Oh.” Jihan mendesah ketika setitik cahaya muncul di benaknya. “Syukurlah kalau begitu.”

Jihan mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Lampu-lampu jalan berderet rapi menyinari malam. Tidak peduli walaupun beberapa dari mereka dalam keadaan padam. Bunyi bising jalanan sesekali bercampur dengan bunyi klakson yang bersahutan.

“Apa ada sesuatu antara kau dan Rangga?” tanya Julian memecah keheningan.

Julian bisa melihat jelas tubuh Jihan menegang begitu mendengar pertanyaannya. Ia tahu pertanyaannya ini mendadak, tetapi ia ingin segera menjawab rasa penasarannya. Alasan apa yang mendasari Rangga bersikap over-protective terhadap gadis yang bukan-siapa-siapa-nya ini.

“Aku... kami teman semasa SMA,” jawab Jihan sedikit terbata.

Julian yakin hubungan mereka lebih dari itu. Ia melirik singkat memperhatikan ekspresi Jihan sebelum meluncurkan pertanyaan selanjutnya. “Jihan, apa kau mencintai Rangga?”

Sekali lagi Julian merasa Jihan menegang di sampingnya. Mata gadis itu melebar. Dengan berbagai perasaan tergambar di sana. Julian bisa melihatnya dengan jelas ketika mobilnya melaju di bawah pancaran sinar lampu jalanan.

“Tentu saja tidak,” jawab Jihan dengan tenggorokan tercekat. “Kami hanya... teman. Itu saja.”

Julian hampir tidak bisa menahan tawanya. Gadis ini sama sekali tidak pintar berbohong. “Kalau begitu... jadilah pacarku.”

Apa maksudnya? Kepala Jihan berputar cepat menoleh kepada Julian yang duduk di balik kemudi. Tanpa sadar ia menahan napas ketika mendengar permintaan yang tiba-tiba itu. Sepasang mata hitamnya terus menatap wajah Julian dalam-dalam. Julian tidak bisa menduga dengan pasti apa yang kini sedang berkelebat dalam benak Jihan, atau apa yang sedang dicari gadis itu di wajahnya.

Julian tahu Jihan tidak pintar berbohong. Tetapi ia yakin bahwa gadis itu tidak tuli. Melihat ekspresi Jihan yang tampak ragu, membuat Julian khawatir ini akan menjadi pertama kalinya seorang gadis yang menolaknya.

“Tenang saja, aku hanya bercanda,” ucap Julian cepat lantas terkekeh. “Lagi pula menjalin hubungan karena terpaksa bukanlah hobiku.”

Benar. Julian tidak seperti Rangga. Ia tidak akan rela mengorbankan perasaannya sendiri demi menjaga perasaan orang lain. Julian hanya akan mendekati gadis yang menarik perhatiannya. Dan menurutnya, Jihan adalah gadis yang cukup menarik untuk ditaklukkan.

Benarkah Julian hanya bercanda? Jihan membiarkan kedua tangannya saling meremas gugup di atas pangkuannya. Sementara matanya masih sibuk mencari-cari kebenaran di wajah Julian. Entah mengapa, gurauan-pernyataan-cinta barusan seolah mencubit hati Jihan. Mungkinkah... déjà vu semata?

Julian melirik ke arah Jihan yang masih menatapnya penuh spekulasi. Tetapi itu wajar saja sebenarnya. Gadis mana pun pasti akan shock jika mendengar pernyataan cinta prematur seperti yang baru saja dilakukannya. Tiba-tiba Julian merasakan dorongan untuk menertawakan dirinya sendiri. Tetapi ia menahannya, takut membuat gadis di sampingnya tersinggung. Demi Tuhan. Mereka baru bertemu tadi pagi. Baru kali ini ia begitu terburu-buru menghadapi perempuan.

“Jangan menatapku seperti itu, Jihan. Itu membuatku tidak nyaman,” gumam Julian sambil tersenyum masam.

Jihan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Oh, maaf. Aku hanya sedikit... terkejut.”

“Maaf jika tadi aku mengejutkanmu.” Julian sudah kembali dengan senyum cerahnya. “Sebagai permintaan maaf, maukah kau menemaniku makan malam?”

Kecanggungan yang tadi melingkupi udara di mobil ini tiba-tiba menguap begitu saja. Seajaib itukah pengaruh senyuman lelaki ini? Hingga tanpa sadar, Jihan balas tersenyum itu lalu menganggukkan kepalanya.
***

Rangga menarik selimut Silvia hingga sebatas leher gadis itu. Baru saja seorang perawat memberikan obat untuk diminum Silvia. Dan setelah menelan obatnya, Silvia langsung diserang kantuk dan terlelap begitu saja.

Rangga tidak tahu apa yang terjadi hingga hal seperti ini terjadi pada Silvia. Tetapi ketika melihat gadis itu jatuh pingsan, oksigen di paru-parunya seolah mengosong secara tiba-tiba. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan kedua orang tua mereka jika sampai terjadi hal buruk pada Silvia.

Alih-alih mengkhawatirkan kondisi Silvia, sebenarnya Rangga lebih mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ia takut jika kedua orang tua mereka memercayakan keselamatan gadis itu ke tangannya. Ia takut jika diminta untuk menjaga Silvia seumur hidupnya. Ia takut jika harus terpaksa menikahi gadis yang tidak dicintainya hanya karena tanggung jawab semu seperti itu.

Itu semua memang berlebihan. Tetapi hal-hal itulah yang ditakutkan Rangga selama ini. Selama kedekatan yang dijalaninya bersama Silvia. Belum lagi makan malam yang direncanakan kedua orang tuanya sepulang mereka dari Australia. Entah mengapa ia merasakan firasat yang tidak menyenangkan dari rencana itu.

Tetapi tidak ada gunanya memikirkan hal itu sekarang.

Rangga berdiri di samping nakas di mana Julian meletakkan barang yang dibawanya tadi. Sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Rangga dan sekantung buah-buahan. Nah, mungkin ia bisa memakan satu apel untuk pelengkap makan malamnya. Tetapi ada sesuatu yang tampak lebih menarik dari apel yang tadi diincarnya. Sebuah jeruk dengan penampilan yang aneh.

Jeruk itu tampak sudah tidak segar. Buahnya yang berkumpul melingkar itu tampak terekspos jelas. Kulit bagian atasnya sudah dikupas rapi, menyisakan kulit bawahnya yang mulai sedikit kisut. Mata Rangga melebar tidak percaya. Ia mengingat jelas cara mengupas jeruk seperti ini.

Rangga menggenggam jeruk itu seolah hendak meremukkannya. Sementara seluruh tubuhnya seolah lemas tidak bertenaga. Kemudian bibirnya membisikkan sebuah nama.

“Jihan....”



5 komentar:

  1. Eleeeehhh..ngupas jeruk ajee syusyah amiir jeng :v
    Memang tak ada yang bisa melupakan kenangan.hahahaha
    GWS yaa Silvia :3

    BalasHapus
  2. Eleeeehhh..ngupas jeruk ajee syusyah amiir jeng :v
    Memang tak ada yang bisa melupakan kenangan.hahahaha
    GWS yaa Silvia :3

    BalasHapus
  3. nulis random, tapi terencana gitu ya. keren kak! salam ya buat jeruk. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. halo, Happy Hawra ... terima kasih atas kunjungannya.
      tapi yang ini bukan tulisan untuk #NulisRandom2015 melainkan proyek bersama untuk Rainbow of Love hehehe... (ini merupakan cerita yang kedua, yang pertama judulnya Red Lie)
      hehehe... terima kasih ya sudah meninggalkan komentar... :D
      salam kenal :)

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D