JIHAN tidak mengerti mengapa ia menangis.
Tetapi setidaknya ia bersyukur karena otot-otot matanya
masih cukup kuat untuk menahan agar tangisnya tidak tumpah di sembarang tempat.
Tetes pertama air matanya jatuh tepat setelah ia menutup dan mengunci pintu
flatnya. Ia menempelkan punggungnya pada daun pintu, lalu perlahan merosot
hingga ia duduk bersandar dengan kepala tertunduk. Sedetik kemudian, tetes demi
tetes ikut meluncur di pipinya tanpa diminta.
Jihan benar-benar tidak
mengerti. Sebenarnya mengapa air matanya tumpah begitu saja seperti air bah?
Seharusnya ia merasa lega karena Silvia dalam keadaan baik-baik saja. Tadi
mereka bertiga— Jihan, Rangga, dan Julian bergegas membawa Silvia
ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa Silvia mengalami anemia ringan karena
kekurangan asupan makanan.
Saat itulah Jihan baru
menyadari porsi makan Silvia yang menurun drastis akhir-akhir ini. Wajah pucat
Silvia berkelebat di balik kelopak matanya. Ucapan Silvia yang mengeluh sakit
kepala terngiang di telinganya. Mengapa ia baru menyadarinya sekarang?
Jadi, apakah ini adalah
air mata penyesalan? Bukan.
Kali ini, benak Jihan
membuka layar putihnya lebar-lebar. Sementara batinnya mulai memucat dan
mengigil dalam selimut hangatnya. Bayangan wajah Rangga yang penuh kekhawatiran
berkelebat di atas layar putih itu. Slide
berganti cepat menampilkan adegan Rangga yang membopong Silvia. Kemudian wajah
pucat Rangga ketika berbicara dengan dokter. Walaupun sangat khawatir, tetapi
Rangga memilih untuk tidak menghubungi orang tua Silvia maupun orang tuanya. Ia
tidak ingin membuat cemas orang tua mereka yang sedang pergi bersama ke Sydney.
Berlibur bersama? Jihan mengernyitkan keningnya
dengan pahit. Ah, syukurlah.... bahkan keakraban orang tua mereka tidak
diragukan lagi. Seharusnya ia turut berbahagia atas kelancaran hubungan
percintaan sahabatnya itu.
Sahabat... pantaskah ia menyebut dirinya sahabat Silvia?
“Jihan? Kaukah itu, Nak?”
Sebuah suara yang berasal dari kamarnya membuat Jihan
terkesiap. Bagaimana mungkin ia lupa bahwa ibunya datang kemari tadi pagi?
Bergegas ia bangkit dan menghapus air matanya dengan punggung telapak
tangannya. Tetapi sebelum sempat ia menjawab, seraut wajah khawatir ibunya sudah
hadir di hadapannya.
“Jihan... apa kau baik-baik saja?” Alarm kekhawatiran
ibunya tampak berkelap-kelip di atas kepalanya.
Tidak.
“Ya. Aku baik-baik saja, Ma,” jawab Jihan sambil
memaksakan seulas senyum. “Hanya saja... tadi Silvia jatuh pingsan.”
“Oh, astaga. Lalu di mana Silvia sekarang? Bagaimana
keadaannya?” Jihan bisa mendengar jelas kekhawatiran yang berlipat ganda dari
nada bicara ibunya.
“Dia ada di rumah sakit sekarang. Kondisinya sudah
membaik. Hanya butuh istirahat. Mungkin besok pagi dia sudah diperbolehkan
pulang,” ujar Jihan sambil tersenyum meyakinkan.
Laura menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Lalu kenapa
kau tidak menemani Silvia di rumah sakit?”
Jihan mengigit bibir untuk menahan air matanya saat wajah
Rangga kembali muncul di benaknya. “Tidak. Dia... sudah ada yang menemani,”
kata Jihan setengah berbisik lirih menahan perih. “Aku akan kembali lagi nanti
malam.”
“Mama ingin menemanimu... tapi kau tahu bukan kondisi
pamanmu seperti apa?” Laura mengulurkan tangan dan membelai rambut anak
gadisnya.
Jihan menganggukkan kepalanya mengerti. Kondisi kesehatan
pamannya memang memburuk sejak lima tahun yang lalu. Berbagai macam pengobatan
tidak cukup membantu untuk membuatnya sembuh dari penyakitnya. Belum lagi,
kehidupannya yang sebatang kara setelah istri dan anaknya meninggal karena
kecelakaan. Itulah mengapa, begitu Jihan lulus SMA, orang tuanya memutuskan pindah
ke kota tempat tinggal pamannya.
Pada awalnya, Jihan merasa keberatan untuk ikut. Ia tidak
ingin berpisah dari Rangga. Tetapi setelah kejadian di hari kelulusan itu, Jihan
sudah tidak peduli lagi ia akan tinggal di mana. Walaupun begitu lulus kuliah, hatinya
membawa kakinya melangkah untuk bekerja di kota ini. Ia kembali ke kota di mana
Rangga tinggal. Dengan harapan ia bisa kembali bertemu dengan lelaki itu untuk
meminta maaf. Dan jika diberi kesempatan, ia ingin memperbaiki segalanya.
Memang benar, ia dipertemukan lagi dengan Rangga. Tetapi
dalam keadaan yang... rumit.
“Jadi, sebelum Mama pergi, maukah kau menceritakan
alasanmu menangis?” Suara Laura terdengar lembut dan nyaman.
Jihan menelan ludah. Ia mengangkat wajahnya dan menatap
ibunya yang tersenyum dengan penuh kepedulian. Air mata kembali membayang di
pelupuk matanya. Ternyata ia salah jika menganggap ibunya akan puas dengan
alasan kamuflase seperti itu. Jadi, haruskah ia bercerita?
“Ya... ini hanya tentang seorang lelaki....” Jihan
mencoba untuk memulai ceritanya dengan menyamarkan tokoh utamanya. Padahal ia
tahu bahwa ibunya mengenal lelaki itu dengan baik seakan mengenal anaknya
sendiri.
“Oh, apa yang dia lakukan padamu? Dia menyakitimu?” tanya
Laura seolah merasa tersiksa. Alarm kekhawatirannya kembali menyala tajam.
“Tidak. Ini bukan seperti itu.” Walaupun memang terasa menyakitkan. Tetapi Jihan sama sekali tidak
ingin siapa pun mengkhawatirkannya karena masalah ini.
“Apa dia pacarmu yang pergi kencan denganmu hari ini?”
tanya Laura sedikit mendesak.
“Bukan,” sanggah Jihan sambil menggeleng. Ia menghela
napas panjang. “Aku tidak punya pacar, Ma. Tolong berhenti menanyakan tentang
pasangan kepadaku. Aku belum siap untuk itu.”
“Jadi, kau belum siap untuk melupakan Rangga?”
Mata Jihan melebar seketika. Ia menatap ibunya tidak
percaya.
Laura tersenyum sedih tetapi penuh pengertian. “Ya. Tentu
saja Mama tahu.”
“T-tapi... sejak kapan...?” Jihan tergugu dan tidak tahu
harus berkata apa.
“Sejak Mama melihat kalian berdua.” Laura kembali
membelai kepala anaknya penuh kasih sayang. “Saat itu Mama berbisik pada Papa bahwa
kalian berdua jatuh cinta terlalu cepat.”
Jihan mendenguskan tawa kecilnya. “Ya. Mama benar. Aku
memang terlalu bodoh untuk memahami apa itu cinta.”
“Oh, kau salah paham, Sayang. Bukan itu maksud Mama.” Laura
menghela Jihan untuk memasuki kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur lalu
menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan agar anak gadisnya itu berbaring di
pangkuannya.
Jihan menurut. Sejak kecil, seperti inilah cara ibunya
untuk meredam kesedihannya. Dan ia menyukai itu. Seperti ketika ia kalah lomba
berlari, ketika kelinci peliharaannya meninggal, atau ia mendapatkan nilai
ujian yang tidak sesuai harapan. Perasaannya selalu jauh lebih tenang setelah
berbaring di pangkuan ibunya.
Jari-jari Laura bergerak perlahan membelai wajah Jihan
sebelum melanjutkan kata-katanya yang tadi terputus. “Mama sama sekali tidak
pernah melihat perasaan cinta yang hanya ‘main-main’ di antara kalian berdua.
Tapi Mama bersyukur kalian tidak pernah keluar dari zona aman persahabatan yang
kalian bangun. Karena menurut Mama, lima belas tahun bukanlah usia yang tepat
untuk jatuh cinta. Terlalu cepat.”
Jihan terpana. Bagaimana mungkin? Saat itu bahkan ia sendiri
belum menyadari bahwa ia jatuh cinta kepada Rangga. Tetapi ibunya sudah bisa
melihat hal itu dengan jelas.
“Sampai ketika Mama melihat perubahan sikapmu sejak hari
kelulusanmu itu. Kau sering murung, jarang tersenyum, dan ekspresi kaku yang
kautunjukkan setiap kali Mama atau Papa menanyakan kabar Rangga. Dan kami juga
tahu kau kembali kemari untuk bekerja karena ingin bertemu dengan Rangga.”
Laura tersenyum tipis. “Saat itulah Mama sadar, bahwa cinta tidak mengenal
usia.”
Wajah Jihan terasa panas. Ia meletakkan telapak tangan di
kedua pipinya karena ia yakin wajahnya sudah semerah
kepiting rebus sekarang. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa ibunya begitu
perhatian. Bahwa ibunya peduli. Bahwa ibunya mengerti.
“Tapi, sepertinya usahamu tidak berhasil, ya?” Alis Laura
berkerut simpati. “Kau belum bertemu kembali dengan Rangga.”
Jihan hendak menjawab, tetapi ia merasakan tenggorokannya
tercekat. Sehingga ia hanya menggelengkan kepalanya, sementara jari-jarinya
sibuk menghapus air mata yang mulai menetes. “A-aku sudah bertemu...
dengannya,” ucap Jihan dengan suara serak menahan isakan.
Mata Laura melebar antusias. “Lalu, kenapa kau menangis?
Apa dia menolak menemuimu? Atau hubungan kalian sudah tidak dapat diperbaiki? Atau
oh, jangan-jangan... dia tidak setampan dulu lagi?” Laura terus berspekulasi
dengan wajah berbinar jenaka.
“Tidak, Ma,” jawab Jihan di antara tangisan dan tawa
kecilnya. “Rangga... sekarang adalah pacar Silvia.”
Binar humor yang menghias wajah Laura, sirna begitu saja.
Ia tidak mengatakan apa pun lagi untuk menghibur perasaan anaknya. Hanya
jari-jarinya yang terus membelai kepala Jihan penuh kasih sayang.
“Apakah... aku sudah melakukan hal yang sia-sia, Ma?”
Laura diam sejenak.
“Tidak ada yang sia-sia dalam cinta. Yang mana pun yang
kau pilih. Entah itu cintamu pada keluarga, cintamu pada sahabat, atau cintamu
pada Rangga, kau tetap berhak untuk merasa bahagia sekaligus merasa sedih.” Laura
menggidikkan bahunya lalu tersenyum miris. “Apa boleh buat. Perasaan manusia
memang rumit.”
Setelah mendengar kata-kata ibunya, Jihan terdiam karena
sekarang air matanya yang berbicara. Dan kehangatan terus mengalir dari
ujung-ujung jari ibunya. Ia hanya bisa berbaring tersedu-sedu, membiarkan
pangkuan ibunya banjir oleh air mata.
***
Ketika Jihan membuka mata, ia merasakan sinar matahari
menerpa wajahnya. Ia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur, keluar dari
balutan selimutnya. Jutaan cahaya senja menghujani melalui jendela kamarnya
yang menghadap ke arah barat. Menerangi kamarnya dengan kehangatan melalui
celah bangunan yang menjulang. Jendela kamarnya membingkai pemandangan langit
senja seperti sebuah lukisan.
Dan seketika itu juga ia merasakan kehampaan luar biasa.
“Mama?” Jihan mencoba memanggil ibunya. Suaranya
terdengar serak. Ia langsung berdeham saat merasakan kekeringan melanda
tenggorokannya.
Kepala Jihan berputar ke arah nakas dan langsung meneguk
segelas air yang diletakkan di sana. Hal lain yang menarik perhatiannya adalah sekeranjang
buah-buahan dan secarik kertas dengan tulisan bertinta biru di atasnya. Itu
tulisan ibunya.
Mata Jihan bergerak cepat dari kiri ke kanan seperti
mesin scanner. Sedetik kemudian, ia
menghela napas panjang. Ternyata itu pesan dari ibunya yang sudah pulang sejak ia
tertidur tiga jam yang lalu. Jihan mengedarkan pandangannya ke sekeliling
kamarnya. Ruangan ini sekarang terasa kosong sekaligus rapi.
Ya. Kamar ini terlihat rapi. Tidak ada lagi pakaian kotor
yang menumpuk, buku yang berserakan, atau pintu lemari yang tidak bisa ditutup
karena isinya dijejalkan asal-asalan. Saat kembali menatap keranjang buah di
atas nakas, ia berani bertaruh pasti kulkasnya juga penuh.
Jihan mendengus geli. Seulas senyuman mengintip malu-malu
di sudut bibirnya. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan perhatian yang
berlebihan seperti ini.
Ternyata pangkuan ibunya masih menyimpan keajaiban. Sekarang
Jihan merasa jauh lebih baik. Jadi, sepertinya sekarang yang harus ia lakukan adalah
bersiap-siap untuk kembali ke rumah sakit. Mungkin ia bisa membawa beberapa
dari buah-buahan ini untuk Silvia. Apel, anggur, jeruk....
Jeruk.
Jihan meraih buah bulat itu ke dalam genggamannya. Warna
oranye cerahnya begitu menarik perhatian di antara buah yang lainnya. Seberkas
ingatan kembali bermain-main dalam benaknya. Ia meringis masam mencoba
menghalau cuplikan kenangan itu. Tetapi yang terjadi justru di luar kendalinya.
Tangan gadis itu malah mengambil pisau kupas yang tersedia di keranjang.
Dengan satu tangan, Jihan menggenggam erat pisau itu. Sementara
tangan yang lainnya sedikit menekan jeruk ke atas nakas. Perlahan, ia menggelindingkan
buah itu di bawah kendali telapak tangannya yang terbuka lebar. Seperti roda
yang bergerak maju dan mundur berkali-kali.
Setelah merasa cukup, Jihan mulai menyayat kulit berkilau
buah itu. Ia membuat garis tipis vertikal di bagian tengah jeruk. Garis itu
terus memanjang dan berputar hingga ujung pisau yang runcing kembali ke titik
pertama ia memulai. Walaupun harus memotong kulit buah dengan sempurna, tetapi
ia menjaga pisaunya agar tidak menggores bagian dalam buah yang lembut ini.
Jihan menyelipkan sebuah sendok kecil ke bawah kulit
jeruk yang dipotongnya tadi. Ia menggerakkan sendok ke sekeliling buah untuk
melonggarkan dan memisahkan buah dari kulitnya. Begitu tahap ini selesai, ia
menarik dengan hati-hati bagian kulit jeruk.
Begitu kulit itu terbebas, Jihan tersenyum lebar. Matanya
berbinar saat menatap kulit jeruk yang kini terlihat seperti sebuah mangkuk itu.
Rupanya ia masih mengingat baik cara mengupas jeruk yang pernah diajarkan lelaki
itu kepadanya.
Jihan menelungkupkan kulit jeruk itu di atas kosen
jendela kamarnya. Kemudian ia melangkah mundur menjauh dari jendela. Tetapi
matanya terus memperhatikan kulit jeruk itu dengan saksama. Hingga akhirnya
sebuah senyum terbit di wajah gadis itu.
Dari tempat Jihan berdiri saat ini, kulit jeruk yang tertelungkup
itu tampak menyatu dengan matahari terbenam di luar sana. Warna khas itu
perlahan berpendar seperti lembayung yang disapukan ke atas kanvas.
Pemandangan yang penuh nostalgia. Andaikan ia bisa
kembali ke masa itu. Betapa ia merindukan kebersamaan yang tidak akan pernah
bisa diulang. Sekalipun jika langit senja runtuh dan membanjiri bumi dengan
warna jingga
kebanggaannya.
Dan entah mengapa, Jihan merasa seolah ia mengerti
sesuatu.
Senja. Rindu. Jingga.
***
Suasana rumah sakit begitu tenang dan damai malam ini.
Hanya terdengar bunyi pintu yang didorong atau suara obrolan lirih para perawat
yang bertugas malam ini. Aroma rumah sakit yang khas bercampur dengan oksigen
yang dihirup Silvia.
Ruang rawat yang ditempati Silvia didominasi warna putih
khas rumah sakit. Ada lima tempat tidur yang berderet di ruangan itu. Silvia
menempati tempat tidur yang berada di tengah dan bisa melihat langsung ke arah
pintu. Sementara tempat tidur yang lainnya kosong tanpa pasien. Syukurlah, itu
berarti tidak banyak orang yang mengabaikan kesehatan seperti dirinya.
Benar-benar memalukan. Silvia tertawa kecil untuk dirinya
sendiri. Ia melakukan diet karena malu dengan bentuk tubuhnya yang tampak lebih
tembam. Tetapi justru tindakannya itu lebih mempermalukan dirinya. Pingsan di
bioskop sama sekali tidak ada dalam rencana dietnya. Ia hanya ingin tampil
sempurna saat mengenakan gaun baru yang dimilikinya. Gaun itu rencananya akan ia
kenakan saat acara makan malam bersama Rangga dan kedua orang tua mereka. Tentu
saja setelah kedua pasangan itu kembali dari berlibur.
Silvia menikmati suasana hening di sekitarnya. Terlalu
hening hingga ia bisa mendengar dengkuran halus Rangga. Lelaki itu sedang tertidur
di tepi tempat tidur, berbantalkan kedua lengannya yang tertelungkup. Tidak
sedikit pun Silvia menyia-nyiakan pemandangan indah di hadapannya sekarang.
Walaupun merasa malu, tetapi Silvia bahagia. Ia bahagia
karena ia pingsan di pelukan Rangga. Bahkan di tengah kesadarannya yang tipis,
samar-samar ia masih bisa merasakan kekhawatiran dari lengan Rangga saat lelaki
itu membopong tubuhnya. Ah, semoga saja bobot tubuhnya tidak terlalu berat bagi
lelaki itu. Tanpa sadar, ujung bibir Silvia tertarik melengkungkan senyuman.
Rangga mengkhawatirkan dirinya.
Silvia mengulurkan tangannya. Ia menyentuh samar kepala
Rangga. Tidak ingin mengganggu tidur lelaki itu. Ujung-ujung rambut Rangga
membelai telapak tangan Silvia, membuat gadis itu tertawa kecil. Sedetik
kemudian, Silvia membungkukkan punggungnya perlahan tetapi pasti. Lalu ia
mendaratkan kecupan seringan bulu di puncak kepala lelaki itu.
“Aku mencintaimu, Rangga,” bisiknya. Dengan harapan
kata-kata itu akan masuk melalui pori-pori kulit Rangga, mengalir di pembuluh
darahnya, dan bersemayam di dalam hati lelaki itu. Sehingga ketika terbangun
nanti, Rangga akan menyadari perasaan cintanya kepada Silvia.
***
Jihan tiba di rumah sakit tepat pukul setengah tujuh
malam. Masih ada waktu sebelum jam besuk berakhir. Ia melangkahkan kakinya di koridor
rumah sakit yang tampak lengang. Bunyi ketukan sepatunya bergema di dinding
koridor. Tangannya menggenggam sekantung buah-buahan dan camilan untuk Silvia.
Begitu tiba di depan pintu ruang rawat Silvia, Jihan
memutar handle pintu sepelan mungkin
tanpa menimbulkan bunyi. Ia mendorong pintu perlahan hingga terbuka sedikit.
Melalui celah pintu yang terbuka itu, ia melihat pemandangan yang seharusnya
tidak dilihatnya.
Silvia sedang duduk bersandar pada tumpukan bantal-bantal
di atas tempat tidur. Tangannya terulur mengusap kepala Rangga yang sedang
tertidur. Kemudian gadis itu mendekatkan wajahnya dan mengecup cepat puncak
kepala Rangga. Jihan bisa mendengar Silvia berbisik lirih kepada lelaki itu.
Jihan mengerti. Seharusnya ia tidak berada di sini.
Tangan Jihan kembali merapatkan pintu tanpa menimbulkan
bunyi gaduh. Pelan-pelan ia melangkah mundur menjauhi pintu. Sudut matanya
mulai menghangat. Napasnya terasa sesak. Ia berbalik dan kembali berjalan di
koridor yang tadi dilaluinya. Dan saat itulah ia bertatapan dengan seseorang.
***
Kekurangan asupan makanan? Yang benar saja!
Julian masih tidak habis pikir. Bagaimana mungkin gadis
itu bisa terkena anemia ringan karena kekurangan asupan makanan? Padahal sejauh
yang ia tahu, Silvia adalah gadis berkecukupan yang pasti mampu untuk membeli
makanan yang layak. Jadi, gadis itu bodoh atau apa? Manusia mana di dunia ini
yang tidak membutuhkan makanan? Begitu banyak orang terkena busung lapar dan
gadis itu memilih untuk menyia-nyiakan kesempatannya untuk bisa makan dengan
layak. Benar-benar tindakan yang konyol!
Kening Julian berkerut memikirkan hal itu. Sebenarnya ia
tidak terlalu peduli pada apa yang akan dilakukan orang lain. Hanya saja,
setiap kali mendengar ada orang tidak bersedia memberikan makanan layak untuk
tubuhnya sendiri sering kali membuatnya merasa kesal.
Mencoba mengusir pikiran itu dari benaknya, Julian
memilih untuk memerhatikan jalan di depannya. Sebuah tas tersampir di bahu
lelaki itu. Ia baru saja pulang ke apartemen untuk beristarahat sejenak.
Sebelum akhirnya ia kembali ke rumah sakit dan membawakan pakaian ganti untuk
Rangga. Housemate-nya itu berencana
untuk menginap dan menemani Silvia.
Julian masih bisa mengingat jelas kekhawatiran yang
mencemari wajah Rangga. Ia begitu gelisah ketika mendapati Silvia jatuh
pingsan. Sorot matanya seolah menunjukkan bahwa kedua orang tuanya pasti akan
membunuhnya jika sampai terjadi sesuatu pada Silvia. Baiklah, itu berlebihan. Tetapi
dari apa yang dilihat Julian, Rangga tampak merasa bersalah pada apa yang
terjadi pada Silvia. Padahal jelas-jelas ia tidak melakukan apa-apa.
Rangga terlampau panik. Bahkan terlalu panik untuk
mengingat kemarahannya kepada Julian. Kemarahan yang janggal. Apakah Rangga
harus marah seperti itu hanya karena
Julian merangkul gadis bernama Jihan itu? Sebenarnya benang apa yang
menghubungkan mereka berdua?
Langkah Julian berhenti mendadak. Matanya menangkap sosok
teman kencannya hari ini yang sedang berjalan dengan ekspresi wajah tidak
keruan. Benak Julian langsung menduga bahwa gadis itu tidak sengaja melihat
sesuatu terjadi di antara Rangga dan Silvia.
“Jihan?” sapa Julian perlahan sambil melirik sekilas
kantung yang dibawa Jihan. “Kau sudah ke kamar Silvia?”
Gadis itu mengangguk singkat. Tetapi masih tampak
terkejut.
“Aku mau mengantarkan pakaian untuk Rangga. Kau mau
menemaniku?”
Jihan menggeleng. “Aku mau pulang.”
Julian mengamati ekspresi wajah Jihan yang berubah-ubah.
Lalu ia mengerti bahwa gadis ini tidak ingin kembali ke ruangan itu lagi. Setidaknya
untuk malam ini. “Kalau begitu, tunggulah di sini. Aku akan memberikan tas ini
kepada Rangga sebentar. Setelah itu, aku akan mengantarmu pulang.”
Jihan tampak ragu mempertimbangkan tawaran Julian. Cepat-cepat
ia menambahkan dengan nada jenaka, “tenang saja. Aku tidak akan melakukan
sesuatu yang membahayakanmu.”
Sejenak Jihan terdiam. Lalu ia mengangguk kaku menyetujui
tawaran Julian.
“Bagus.” Julian tersenyum lebar. “Jadi, apakah isi
kantung itu seharusnya kau berikan untuk Silvia?”
Jihan menundukkan wajah dan baru menyadari kantung yang
dibawanya untuk Silvia. Sontak ia menganggukkan kepala dengan wajah memerah.
Julian tersenyum penuh pengertian. “Kau ingin aku yang
memberikannya? Aku tidak akan menyebut namamu jika memang itu yang kau inginkan.”
Memang itu yang diharapkan Jihan. Ia menyerahkan kantung
itu kepada Julian lalu berujar lirih, “terima kasih.”
“Baiklah. Tunggu sebentar, ya. Aku tidak akan lama.”
Jihan mengangguk lalu duduk di salah satu kursi panjang
yang ada di koridor. Ia menatap punggung Julian yang menghilang di belokan pertama
ke arah kamar rawat Silvia. Dalam hati Jihan bersyukur ia bertemu dengan lelaki
yang penuh pengertian seperti Julian.
***
“Sepertinya mereka berdua tidak ada yang menyadari
kedatanganmu,” kata Julian ketika mereka sudah berada di dalam mobil dan
meluncur mulus di jalan raya.
Jihan menoleh dan menatap Julian bingung.
“Rangga dan Silvia. Kukira kau mengkhawatirkan hal itu.”
“Oh.” Jihan mendesah ketika setitik cahaya muncul di
benaknya. “Syukurlah kalau begitu.”
Jihan mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Lampu-lampu
jalan berderet rapi menyinari malam. Tidak peduli walaupun beberapa dari mereka
dalam keadaan padam. Bunyi bising jalanan sesekali bercampur dengan bunyi
klakson yang bersahutan.
“Apa ada sesuatu antara kau dan Rangga?” tanya Julian
memecah keheningan.
Julian bisa melihat jelas tubuh Jihan menegang begitu
mendengar pertanyaannya. Ia tahu pertanyaannya ini mendadak, tetapi ia ingin
segera menjawab rasa penasarannya. Alasan apa yang mendasari Rangga bersikap over-protective terhadap gadis yang bukan-siapa-siapa-nya ini.
“Aku... kami teman semasa SMA,” jawab Jihan sedikit
terbata.
Julian yakin hubungan mereka lebih dari itu. Ia melirik singkat memperhatikan
ekspresi Jihan sebelum meluncurkan pertanyaan selanjutnya. “Jihan, apa kau
mencintai Rangga?”
Sekali lagi Julian merasa Jihan menegang di sampingnya. Mata
gadis itu melebar. Dengan berbagai perasaan tergambar di sana. Julian bisa
melihatnya dengan jelas ketika mobilnya melaju di bawah pancaran sinar lampu
jalanan.
“Tentu saja tidak,” jawab Jihan dengan tenggorokan
tercekat. “Kami hanya... teman. Itu saja.”
Julian hampir tidak bisa menahan tawanya. Gadis ini sama
sekali tidak pintar berbohong. “Kalau begitu... jadilah pacarku.”
Apa maksudnya? Kepala
Jihan berputar cepat menoleh kepada Julian yang duduk di balik kemudi. Tanpa
sadar ia menahan napas ketika mendengar permintaan yang tiba-tiba itu. Sepasang
mata hitamnya terus menatap wajah Julian dalam-dalam. Julian tidak bisa menduga
dengan pasti apa yang kini sedang berkelebat dalam benak Jihan, atau apa yang
sedang dicari gadis itu di wajahnya.
Julian tahu Jihan tidak pintar berbohong. Tetapi ia yakin
bahwa gadis itu tidak tuli. Melihat ekspresi Jihan yang tampak ragu, membuat
Julian khawatir ini akan menjadi pertama kalinya seorang gadis yang menolaknya.
“Tenang saja, aku hanya bercanda,” ucap Julian cepat lantas
terkekeh. “Lagi pula menjalin hubungan karena terpaksa bukanlah hobiku.”
Benar. Julian tidak seperti Rangga. Ia tidak akan rela mengorbankan
perasaannya sendiri demi menjaga perasaan orang lain. Julian hanya akan
mendekati gadis yang menarik perhatiannya. Dan menurutnya, Jihan adalah gadis
yang cukup menarik untuk ditaklukkan.
Benarkah Julian hanya bercanda? Jihan membiarkan kedua
tangannya saling meremas gugup di atas pangkuannya. Sementara matanya masih
sibuk mencari-cari kebenaran di wajah Julian. Entah mengapa, gurauan-pernyataan-cinta
barusan seolah mencubit hati Jihan. Mungkinkah... déjà vu semata?
Julian melirik ke
arah Jihan yang masih menatapnya penuh spekulasi. Tetapi itu wajar saja
sebenarnya. Gadis mana pun pasti akan shock
jika mendengar pernyataan cinta prematur seperti yang baru saja dilakukannya. Tiba-tiba
Julian merasakan dorongan untuk menertawakan dirinya sendiri. Tetapi ia
menahannya, takut membuat gadis di sampingnya tersinggung. Demi Tuhan. Mereka
baru bertemu tadi pagi. Baru kali ini ia begitu terburu-buru menghadapi
perempuan.
“Jangan menatapku
seperti itu, Jihan. Itu membuatku tidak nyaman,” gumam Julian sambil tersenyum
masam.
Jihan mengerjapkan
matanya beberapa kali. “Oh, maaf. Aku hanya sedikit... terkejut.”
“Maaf jika tadi
aku mengejutkanmu.” Julian sudah kembali dengan senyum cerahnya. “Sebagai
permintaan maaf, maukah kau menemaniku makan malam?”
Kecanggungan yang
tadi melingkupi udara di mobil ini tiba-tiba menguap begitu saja. Seajaib
itukah pengaruh senyuman lelaki ini? Hingga tanpa sadar, Jihan balas tersenyum
itu lalu menganggukkan kepalanya.
***
Rangga menarik selimut Silvia hingga sebatas leher gadis
itu. Baru saja seorang perawat memberikan obat untuk diminum Silvia. Dan
setelah menelan obatnya, Silvia langsung diserang kantuk dan terlelap begitu
saja.
Rangga tidak tahu
apa yang terjadi hingga hal seperti ini terjadi pada Silvia. Tetapi ketika
melihat gadis itu jatuh pingsan, oksigen di paru-parunya seolah mengosong
secara tiba-tiba. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan kedua
orang tua mereka jika sampai terjadi hal buruk pada Silvia.
Alih-alih
mengkhawatirkan kondisi Silvia, sebenarnya Rangga lebih mengkhawatirkan dirinya
sendiri. Ia takut jika kedua orang tua mereka memercayakan keselamatan gadis
itu ke tangannya. Ia takut jika diminta untuk menjaga Silvia seumur hidupnya. Ia
takut jika harus terpaksa menikahi gadis yang tidak dicintainya hanya karena
tanggung jawab semu seperti itu.
Itu semua memang
berlebihan. Tetapi hal-hal itulah yang ditakutkan Rangga selama ini. Selama
kedekatan yang dijalaninya bersama Silvia. Belum lagi makan malam yang
direncanakan kedua orang tuanya sepulang mereka dari Australia. Entah mengapa
ia merasakan firasat yang tidak menyenangkan dari rencana itu.
Tetapi tidak ada
gunanya memikirkan hal itu sekarang.
Rangga berdiri di
samping nakas di mana Julian meletakkan barang yang dibawanya tadi. Sebuah tas
berisi pakaian ganti untuk Rangga dan sekantung buah-buahan. Nah, mungkin ia
bisa memakan satu apel untuk pelengkap makan malamnya. Tetapi ada sesuatu yang
tampak lebih menarik dari apel yang tadi diincarnya. Sebuah jeruk dengan
penampilan yang aneh.
Jeruk itu tampak
sudah tidak segar. Buahnya yang berkumpul melingkar itu tampak terekspos jelas.
Kulit bagian atasnya sudah dikupas rapi, menyisakan kulit bawahnya yang mulai
sedikit kisut. Mata Rangga melebar tidak percaya. Ia mengingat jelas cara
mengupas jeruk seperti ini.
Rangga menggenggam
jeruk itu seolah hendak meremukkannya. Sementara seluruh tubuhnya seolah lemas
tidak bertenaga. Kemudian bibirnya membisikkan sebuah nama.
“Jihan....”
Eleeeehhh..ngupas jeruk ajee syusyah amiir jeng :v
BalasHapusMemang tak ada yang bisa melupakan kenangan.hahahaha
GWS yaa Silvia :3
gapapa dongg biar nge-hits... ;)
HapusEleeeehhh..ngupas jeruk ajee syusyah amiir jeng :v
BalasHapusMemang tak ada yang bisa melupakan kenangan.hahahaha
GWS yaa Silvia :3
nulis random, tapi terencana gitu ya. keren kak! salam ya buat jeruk. hahaha
BalasHapushalo, Happy Hawra ... terima kasih atas kunjungannya.
Hapustapi yang ini bukan tulisan untuk #NulisRandom2015 melainkan proyek bersama untuk Rainbow of Love hehehe... (ini merupakan cerita yang kedua, yang pertama judulnya Red Lie)
hehehe... terima kasih ya sudah meninggalkan komentar... :D
salam kenal :)