Entah sudah berapa kali mata Winda melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam terasa semakin melambat. Lehernya bergerak menoleh ke kanan dan ke kiri hingga kepalanya terasa pusing. Bibirnya mengerucut gelisah. Hidungnya mengembuskan napas berat hingga ia terdengar seperti sedang mendengus. Kakinya bergoyang-goyang tidak sabar.
Winda saat ini sedang duduk di sebuah
bangku panjang yang terletak di tengah taman kota. Sesekali ia berdiri dan
melongok ke arah pintu masuk taman. Di sebelah bangku taman itu —tepat di titik tengah taman kota yang
berbentuk melingkar, berdiri kokoh sebuah tiang dengan jam yang ada di
puncaknya.
Jangan membayangkan astronomical clock atau clock
tower yang ada di kota-kota besar. Jam yang ada di taman ini kondisinya
benar-benar menyedihkan. Tiangnya yang walaupun kokoh tapi tampak sudah
berkarat. Sementara jamnya sendiri sudah tidak bisa menunjukkan waktu yang
tepat. Ketiga jarumnya diam tak bergerak. Terus-terusan menunjukkan pukul
sepuluh. Padahal sekarang sudah pukul dua belas siang. Pantas saja sinar
matahari terasa makin menyengat. Dan itu berarti Winda sudah menunggu di taman
ini selama dua jam lamanya.
Benar!
Dua jam!
Winda mengepalkan tinjunya. Ia menghantam
perlahan ke arah keningnya. Ini memang bukan yang pertama kalinya. Tapi entah
mengapa, Winda tetap saja merasa kecewa saat mendapati Dewa kembali tidak
datang tepat waktu. Seharusnya hatinya merasa terbiasa. Tapi mengapa perasaan
kecewa itu rasanya semakin berkumpul dan menggores hati Winda tanpa ampun?
Waktu terus berlalu. Dalam setiap detik
pergerakan jarum jam terasa menyakitkan. Semakin lama semakin menumpuk perasaan
kecewa yang memenuhi dada. Winda merasa tidak tahan dengan ini semua! Berbagi
cerita dengan teman perempuannya kemarin malam benar-benar sudah membuka
matanya.
Untuk yang ke sekian kalinya, Winda
melirik kesal ke arah jam tangannya. Batinnya sibuk memutuskan hukuman yang pantas bagi kekasihnya yang
tidak tepat waktu itu. Jika dalam lima menit Dewa tidak juga muncul di
hadapannya... maka... Winda akan mengakhiri hubungan mereka hari ini juga!
Bukankah itu hukuman yang pantas bagi Dewa?
Winda merasa, perpisahan mereka tidak akan
berakibat buruk bagi siapapun. Dewa tidak perlu lagi membuat janji yang
kemudian akan dilanggarnya sendiri. Dan Winda juga tidak perlu membuang waktu
untuk menunggu Dewa yang tidak bisa tepat waktu. Sekalipun Dewa sendiri yang
selalu menentukan waktu janjian mereka. Sepertinya perpisahan akan terasa adil
bagi pihak manapun.
Tiga menit sudah berlalu.
Helaan napas berat mengembus tajam dari
hidung Winda. Dua menit terasa lebih lama kali ini. Ia berusaha menikmati
detik-detik menjelang perpisahannya dengan Dewa. Benaknya berputar mencari
kata-kata yang tepat untuk memutuskan hubungan mereka tanpa banyak perdebatan.
Teman-teman Winda juga menyarankan hal yang sama kepadanya kemarin malam.
Winda bangkit dari duduknya. Ia berdiri
berhadapan dengan jam rusak itu. Matanya memandang saksama ke arah jarum jam
yang tidak lagi berdetak. Ingatannya melayang ke masa lalu.
Pertemuan pertama Winda dan Dewa, terjadi
di taman ini. Tepat di tempat Winda berdiri saat ini. Begitu juga hari
pernyataan cinta Dewa kepada Winda. Kemudian kencan pertama mereka. Dan...
kencan-kencan selanjutnya yang selalu dihabiskan Winda untuk menunggu Dewa
datang terlambat. Sepertinya tidak ada salahnya jika Winda mengakhiri hubungan
mereka di tempat ini juga. Ia berharap, semoga itu akan menambah nilai sejarah
bagi tempat ini.
“Winda!”
Winda mendengar suara yang dikenalnya dari
kejauhan. Langkah berderap semakin mendekat ke arahnya. Tanpa perlu menolehkan
kepalanya, Winda tahu persis siapa yang memanggilnya.
Mata Winda langsung melirik jam tangan
warna tosca-nya. Lelaki beruntung, batinnya. Waktu baru berlalu satu menit lebih
sedikit. Belum melebihi batas waktu yang ditentukan Winda.
“Winda, maaf aku terlambat lagi hari ini.”
Suara Dewa sedikit terputus-putus karena napasnya yang tersengal.
Tentu
saja, bodoh. Winda
mengumpat dalam hati. Sementara matanya tidak bergerak sedikitpun dari jam yang
menjulang di hadapannya. Kepalanya mendongak seolah tidak peduli pada kehadiran
Dewa.
“Winda?” Dewa memanggil nama gadisnya
dengan suara lirih. Gurat kebingungan tergambar jelas di nada suaranya.
Napasnya belum teratur. Ia berlari secepat mungkin menuju ke taman. Tidak sabar
untuk segera bertemu dengan Winda. Tapi kini, gadis itu mengabaikannya seperti
debu yang menempel pada aspal yang kelabu.
Dengan enggan, Winda menggerakkan
kepalanya. Ia menoleh ke arah calon mantan kekasihnya. Lelaki itu tampan
seperti biasanya —atau
setidaknya di mata Winda. Rambutnya yang bergelombang menjuntai lembut di
keningnya, nyaris menyentuh alisnya yang tegas. Sepasang mata yang selalu
menatap penuh kelembutan. Juga rahang yang—
Winda mengerjap satu kali. Lalu
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ini
bukan saatnya untuk terpesona!
“Menurutmu jam berapa sekarang,” kata
Winda ketus.
Mata Dewa membelalak karena terkejut. Ia
tahu benar itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Dan nada bicara yang
keras dan tajam seperti itu... tidak seperti Winda yang biasanya.
Winda yakin, Dewa pasti terkejut dengan sikapnya
yang berubah kali ini. Biasanya, Winda akan menyambut Dewa dengan senyum ceria
walaupun terbesit rasa kecewa. Ia tidak ingin membuat kekasihnya merasa
bersalah karena sudah membuatnya menunggu lebih dari satu jam. Tapi seperti
kata teman-temannya kemarin malam, Winda tidak boleh terus-terusan bersikap
lembek seperti itu.
Mata Winda menatap Dewa dengan garang.
Kemarahan itu hampir saja —walaupun
akhirnya tidak sampai—
memenuhi wajahnya. Rasanya sudah lama sekali wajah Winda tidak pernah membara
oleh kemarahan seperti apapun. Sekali lagi, ia harus sedikit menunjukkan
taringnya seperti saran teman-temannya tadi malam.
Winda harus menunjukkan kepada Dewa. Tidak
ada seorangpun yang berhak menginjak harga dirinya. Sekalipun itu lelaki yang
dicintainya dengan tulus.
“M-maaf,” gumam Dewa kemudian. Ia masih
merasa bingung dengan sikap Winda yang mendadak berubah dingin seperti ini.
Sebenarnya, Dewa tahu saat seperti ini
akan tiba. Tapi ia ternyata belum siap saat hal itu terjadi. Tidak ada
perlindungan bagi kapalnya untuk menghadapi badai. Dan itu berarti ia sedang
dalam masalah besar.
Maaf? Winda mendengus. Kata-kata itu lagi yang
meluncur bibir Dewa. Benar-benar memuakkan!
“Tidak bisakah kau menghargai waktuku,
Dewa?” Winda menatap Dewa dengan kening yang berkerut. Nada bicaranya terdengar
sarkartis. “Satu detik saja?”
Dewa hanya membisu. Ia sadar benar bahwa
ia salah. Benar-benar salah. Keterlambatannya ternyata sudah memupuk kekecewaan
yang berlipat di hati Winda. Perasaan kecewa yang seperti bom waktu dan siap
meledak kapan saja. Atau mungkin akan meledak hanya dalam hitungan beberapa detik
lagi.
Setiap kali Dewa memiliki janji kencan
dengan Winda, ia selalu berusaha untuk datang tepat waktu. Tapi ternyata tidak
semudah itu. Ada alasan cukup kuat yang melatar belakangi keterlambatannya. Dan
Dewa yakin, Winda pasti akan mengerti dan memaafkannya jika mengetahui alasan
itu. Tapi Dewa tidak bisa mengatakannya kepada Winda —setidaknya hingga tiba saat yang tepat.
“Winda... aku mohon maafkan aku. Lain kali
aku akan berusaha untuk tidak datang terlambat.”
Tapi Winda sepertinya tidak mendengarkan.
Ia menarik napas panjang dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tampaknya
gadis itu benar-benar marah hingga tangannya gemetar.
“Kau tahu, ini bukan pertama kalinya kau
membuatku menunggu selama hampir tiga jam lamanya,” kata Winda setengah
menggeram.
Dewa hanya menganggukkan kepalanya.
Winda ikut diam. Ia menunggu. Siapa tahu
Dewa akan mengatakan sesuatu untuk menenangkannya. Tapi ternyata tidak. Lelaki
itu tetap membisu seperti patung yang menghiasi taman. Sikap yang seperti itu membuat Winda merasa
semakin kesal.
“Kalau kau tahu akan datang terlambat dua
jam dari waktu kita janjian, kenapa kau tidak memintaku datang di waktu-waktu
kau bisa datang tepat waktu?”
“Aku selalu berusaha untuk datang tepat
waktu, Winda. Tapi akhir-akhir ini selalu saja ada yang menghambatku—“ Suara Dewa perlahan mengecil lalu hilang
begitu saja. Ia tidak mengatakan apapun untuk melanjutkan kata-katanya yang
terpotong.
“Apa yang menghambatmu?” tanya Winda
penasaran. Alisnya berkerut dan menegang saat mencoba mencari kemungkinan yang
ada.
Dewa mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Terang-terangan
ia tidak ingin menjawab pertanyaan Winda. Bibirnya menolak untuk berbicara.
“Baiklah. Biarkan aku yang menebak,” kata
Winda sambil menimbang-nimbang tebakan yang paling tepat. Ia melanjutkan dengan
nada sinis. “Kau hanya perlu mengangguk atau menggelengkan kepala. Karena
sepertinya hanya itu yang bisa kau lakukan.”
Winda memulai dengan tebakan pertamanya.
“Ada gadis lain yang kau cintai?” tanya
Winda sambil memicingkan mata. “Kau berselingkuh? Benar?”
“Tentu saja tidak benar!” sergah Dewa.
“Jangan pernah sekalipun kau berpikir seper—“
Sebelum Dewa menyelesaikan kalimatnya,
Winda mengangkat telapak tangannya seperti ingin menghentikan mobil di tengah
jalan. “Aku hanya memintamu untuk menggeleng atau mengangguk. Ingat?”
Dewa terkesiap. Ini... gadis ini
benar-benar berbeda dengan Winda yang ia kenal. Sepertinya selama ini ia sudah
merakit bom untuk membunuh dirinya sendiri. Tiba-tiba Dewa bergidik ngeri. Ia
merasa takut saat membayangkan kata-kata perpisahan meluncur dari bibir Winda.
“Kau sudah tidak mencintaiku?” Mata Winda
tidak berkedip sedetikpun. Ia berusaha mencari kejujuran di mata Dewa. Dengan
harapan, tiba-tiba saja memiliki kemampuan untuk membaca pikiran lelaki itu. “Kau
sengaja membuatku kesal hingga aku mencapai batas sabarku. Kau ingin aku yang
memutuskan hubungan kita sehingga kau tidak perlu merasa bersalah kepadaku?”
Mata Dewa terbelalak tidak percaya. Seburuk
itukah dirinya di mata Winda? Hampir saja bibirnya melontarkan penjelasan yang
tentu akan membuat Winda menyesali rasa curiganya itu. Tapi sedetik kemudian,
Dewa menggelengkan kepalanya dengan lemah.
Sekilas, Dewa melihat Winda tersenyum
separuh yang tampak muram. Dewa menelan ludah saat menyadari bahwa ia sudah
menyakiti Winda sedalam itu. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
“Lalu apa kau... seorang super hero yang sedang sibuk membasmi
kejahatan? Dan merahasiakan identitas dari orang-orang terdekat?”
Teori
macam apa itu? Dewa
menggelengkan kepalanya dengan dahi yang mengernyit.
Winda terdiam cukup lama. Sementara Dewa
menunggu pertanyaan interogasi selanjutnya. Tapi Winda sudah kehabisan teori
sekarang. Hanya tiga kemungkinan itu yang dilontarkan teman-temannya kemarin
malam. Sebenarnya hanya dua tentu saja. Kemungkinan yang ketiga muncul secara
spontan saat ia teringat pada sebuah film superhero
yang ditontonnya belum lama ini.
“Jadi, apakah kau akan menceritakan
alasanmu kepadaku sekarang?” Winda
sengaja memberi penekanan pada kata sekarang.
Ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi.
Sekali lagi, Dewa menggelengkan kepalanya.
Tanpa ia menyadari bahwa itu menjadi bahan bakar yang membuat darah di kepala
Winda mendidih. Gadis itu benar-benar merasa geram sekarang.
“Kalau begitu, katakan saja jika kau
menginginkan hubungan ini berakhir!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D