Kamis, 26 Februari 2015

Waiting for You Part 1



Entah sudah berapa kali mata Winda melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam terasa semakin melambat. Lehernya bergerak menoleh ke kanan dan ke kiri hingga kepalanya terasa pusing. Bibirnya mengerucut gelisah. Hidungnya mengembuskan napas berat hingga ia terdengar seperti sedang mendengus. Kakinya bergoyang-goyang tidak sabar.

Winda saat ini sedang duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di tengah taman kota. Sesekali ia berdiri dan melongok ke arah pintu masuk taman. Di sebelah bangku taman itu tepat di titik tengah taman kota yang berbentuk melingkar, berdiri kokoh sebuah tiang dengan jam yang ada di puncaknya.

Jangan membayangkan astronomical clock atau clock tower yang ada di kota-kota besar. Jam yang ada di taman ini kondisinya benar-benar menyedihkan. Tiangnya yang walaupun kokoh tapi tampak sudah berkarat. Sementara jamnya sendiri sudah tidak bisa menunjukkan waktu yang tepat. Ketiga jarumnya diam tak bergerak. Terus-terusan menunjukkan pukul sepuluh. Padahal sekarang sudah pukul dua belas siang. Pantas saja sinar matahari terasa makin menyengat. Dan itu berarti Winda sudah menunggu di taman ini selama dua jam lamanya.

Benar! Dua jam!

Winda mengepalkan tinjunya. Ia menghantam perlahan ke arah keningnya. Ini memang bukan yang pertama kalinya. Tapi entah mengapa, Winda tetap saja merasa kecewa saat mendapati Dewa kembali tidak datang tepat waktu. Seharusnya hatinya merasa terbiasa. Tapi mengapa perasaan kecewa itu rasanya semakin berkumpul dan menggores hati Winda tanpa ampun?

Waktu terus berlalu. Dalam setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan. Semakin lama semakin menumpuk perasaan kecewa yang memenuhi dada. Winda merasa tidak tahan dengan ini semua! Berbagi cerita dengan teman perempuannya kemarin malam benar-benar sudah membuka matanya.

Untuk yang ke sekian kalinya, Winda melirik kesal ke arah jam tangannya. Batinnya sibuk memutuskan hukuman yang pantas bagi kekasihnya yang tidak tepat waktu itu. Jika dalam lima menit Dewa tidak juga muncul di hadapannya... maka... Winda akan mengakhiri hubungan mereka hari ini juga!

Bukankah itu hukuman yang pantas bagi Dewa?

Winda merasa, perpisahan mereka tidak akan berakibat buruk bagi siapapun. Dewa tidak perlu lagi membuat janji yang kemudian akan dilanggarnya sendiri. Dan Winda juga tidak perlu membuang waktu untuk menunggu Dewa yang tidak bisa tepat waktu. Sekalipun Dewa sendiri yang selalu menentukan waktu janjian mereka. Sepertinya perpisahan akan terasa adil bagi pihak manapun.

Tiga menit sudah berlalu.

Helaan napas berat mengembus tajam dari hidung Winda. Dua menit terasa lebih lama kali ini. Ia berusaha menikmati detik-detik menjelang perpisahannya dengan Dewa. Benaknya berputar mencari kata-kata yang tepat untuk memutuskan hubungan mereka tanpa banyak perdebatan. Teman-teman Winda juga menyarankan hal yang sama kepadanya kemarin malam.

Winda bangkit dari duduknya. Ia berdiri berhadapan dengan jam rusak itu. Matanya memandang saksama ke arah jarum jam yang tidak lagi berdetak. Ingatannya melayang ke masa lalu.

Pertemuan pertama Winda dan Dewa, terjadi di taman ini. Tepat di tempat Winda berdiri saat ini. Begitu juga hari pernyataan cinta Dewa kepada Winda. Kemudian kencan pertama mereka. Dan... kencan-kencan selanjutnya yang selalu dihabiskan Winda untuk menunggu Dewa datang terlambat. Sepertinya tidak ada salahnya jika Winda mengakhiri hubungan mereka di tempat ini juga. Ia berharap, semoga itu akan menambah nilai sejarah bagi tempat ini.

“Winda!”

Winda mendengar suara yang dikenalnya dari kejauhan. Langkah berderap semakin mendekat ke arahnya. Tanpa perlu menolehkan kepalanya, Winda tahu persis siapa yang memanggilnya.

Mata Winda langsung melirik jam tangan warna tosca-nya. Lelaki beruntung, batinnya. Waktu baru berlalu satu menit lebih sedikit. Belum melebihi batas waktu yang ditentukan Winda.

“Winda, maaf aku terlambat lagi hari ini.” Suara Dewa sedikit terputus-putus karena napasnya yang tersengal.

Tentu saja, bodoh. Winda mengumpat dalam hati. Sementara matanya tidak bergerak sedikitpun dari jam yang menjulang di hadapannya. Kepalanya mendongak seolah tidak peduli pada kehadiran Dewa.

“Winda?” Dewa memanggil nama gadisnya dengan suara lirih. Gurat kebingungan tergambar jelas di nada suaranya. Napasnya belum teratur. Ia berlari secepat mungkin menuju ke taman. Tidak sabar untuk segera bertemu dengan Winda. Tapi kini, gadis itu mengabaikannya seperti debu yang menempel pada aspal yang kelabu.

Dengan enggan, Winda menggerakkan kepalanya. Ia menoleh ke arah calon mantan kekasihnya. Lelaki itu tampan seperti biasanya atau setidaknya di mata Winda. Rambutnya yang bergelombang menjuntai lembut di keningnya, nyaris menyentuh alisnya yang tegas. Sepasang mata yang selalu menatap penuh kelembutan. Juga rahang yang

Winda mengerjap satu kali. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ini bukan saatnya untuk terpesona!

“Menurutmu jam berapa sekarang,” kata Winda ketus.

Mata Dewa membelalak karena terkejut. Ia tahu benar itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Dan nada bicara yang keras dan tajam seperti itu... tidak seperti Winda yang biasanya.

Winda yakin, Dewa pasti terkejut dengan sikapnya yang berubah kali ini. Biasanya, Winda akan menyambut Dewa dengan senyum ceria walaupun terbesit rasa kecewa. Ia tidak ingin membuat kekasihnya merasa bersalah karena sudah membuatnya menunggu lebih dari satu jam. Tapi seperti kata teman-temannya kemarin malam, Winda tidak boleh terus-terusan bersikap lembek seperti itu.

Mata Winda menatap Dewa dengan garang. Kemarahan itu hampir saja walaupun akhirnya tidak sampai memenuhi wajahnya. Rasanya sudah lama sekali wajah Winda tidak pernah membara oleh kemarahan seperti apapun. Sekali lagi, ia harus sedikit menunjukkan taringnya seperti saran teman-temannya tadi malam.

Winda harus menunjukkan kepada Dewa. Tidak ada seorangpun yang berhak menginjak harga dirinya. Sekalipun itu lelaki yang dicintainya dengan tulus.

“M-maaf,” gumam Dewa kemudian. Ia masih merasa bingung dengan sikap Winda yang mendadak berubah dingin seperti ini.

Sebenarnya, Dewa tahu saat seperti ini akan tiba. Tapi ia ternyata belum siap saat hal itu terjadi. Tidak ada perlindungan bagi kapalnya untuk menghadapi badai. Dan itu berarti ia sedang dalam masalah besar.

Maaf? Winda mendengus. Kata-kata itu lagi yang meluncur bibir Dewa. Benar-benar memuakkan!

“Tidak bisakah kau menghargai waktuku, Dewa?” Winda menatap Dewa dengan kening yang berkerut. Nada bicaranya terdengar sarkartis.  “Satu detik saja?”

Dewa hanya membisu. Ia sadar benar bahwa ia salah. Benar-benar salah. Keterlambatannya ternyata sudah memupuk kekecewaan yang berlipat di hati Winda. Perasaan kecewa yang seperti bom waktu dan siap meledak kapan saja. Atau mungkin akan meledak hanya dalam hitungan beberapa detik lagi.

Setiap kali Dewa memiliki janji kencan dengan Winda, ia selalu berusaha untuk datang tepat waktu. Tapi ternyata tidak semudah itu. Ada alasan cukup kuat yang melatar belakangi keterlambatannya. Dan Dewa yakin, Winda pasti akan mengerti dan memaafkannya jika mengetahui alasan itu. Tapi Dewa tidak bisa mengatakannya kepada Winda setidaknya hingga tiba saat yang tepat.

“Winda... aku mohon maafkan aku. Lain kali aku akan berusaha untuk tidak datang terlambat.”

Tapi Winda sepertinya tidak mendengarkan. Ia menarik napas panjang dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tampaknya gadis itu benar-benar marah hingga tangannya gemetar.

“Kau tahu, ini bukan pertama kalinya kau membuatku menunggu selama hampir tiga jam lamanya,” kata Winda setengah menggeram.

Dewa hanya menganggukkan kepalanya.

Winda ikut diam. Ia menunggu. Siapa tahu Dewa akan mengatakan sesuatu untuk menenangkannya. Tapi ternyata tidak. Lelaki itu tetap membisu seperti patung yang menghiasi taman.  Sikap yang seperti itu membuat Winda merasa semakin kesal.

“Kalau kau tahu akan datang terlambat dua jam dari waktu kita janjian, kenapa kau tidak memintaku datang di waktu-waktu kau bisa datang tepat waktu?”

“Aku selalu berusaha untuk datang tepat waktu, Winda. Tapi akhir-akhir ini selalu saja ada yang menghambatku“ Suara Dewa perlahan mengecil lalu hilang begitu saja. Ia tidak mengatakan apapun untuk melanjutkan kata-katanya yang terpotong.

“Apa yang menghambatmu?” tanya Winda penasaran. Alisnya berkerut dan menegang saat mencoba mencari kemungkinan yang ada.

Dewa mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Terang-terangan ia tidak ingin menjawab pertanyaan Winda. Bibirnya menolak untuk berbicara.

“Baiklah. Biarkan aku yang menebak,” kata Winda sambil menimbang-nimbang tebakan yang paling tepat. Ia melanjutkan dengan nada sinis. “Kau hanya perlu mengangguk atau menggelengkan kepala. Karena sepertinya hanya itu yang bisa kau lakukan.”

Winda memulai dengan tebakan pertamanya.

“Ada gadis lain yang kau cintai?” tanya Winda sambil memicingkan mata. “Kau berselingkuh? Benar?”

“Tentu saja tidak benar!” sergah Dewa. “Jangan pernah sekalipun kau berpikir seper

Sebelum Dewa menyelesaikan kalimatnya, Winda mengangkat telapak tangannya seperti ingin menghentikan mobil di tengah jalan. “Aku hanya memintamu untuk menggeleng atau mengangguk. Ingat?”

Dewa terkesiap. Ini... gadis ini benar-benar berbeda dengan Winda yang ia kenal. Sepertinya selama ini ia sudah merakit bom untuk membunuh dirinya sendiri. Tiba-tiba Dewa bergidik ngeri. Ia merasa takut saat membayangkan kata-kata perpisahan meluncur dari bibir Winda.

“Kau sudah tidak mencintaiku?” Mata Winda tidak berkedip sedetikpun. Ia berusaha mencari kejujuran di mata Dewa. Dengan harapan, tiba-tiba saja memiliki kemampuan untuk membaca pikiran lelaki itu. “Kau sengaja membuatku kesal hingga aku mencapai batas sabarku. Kau ingin aku yang memutuskan hubungan kita sehingga kau tidak perlu merasa bersalah kepadaku?”

Mata Dewa terbelalak tidak percaya. Seburuk itukah dirinya di mata Winda? Hampir saja bibirnya melontarkan penjelasan yang tentu akan membuat Winda menyesali rasa curiganya itu. Tapi sedetik kemudian, Dewa menggelengkan kepalanya dengan lemah.

Sekilas, Dewa melihat Winda tersenyum separuh yang tampak muram. Dewa menelan ludah saat menyadari bahwa ia sudah menyakiti Winda sedalam itu. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Lalu apa kau... seorang super hero yang sedang sibuk membasmi kejahatan? Dan merahasiakan identitas dari orang-orang terdekat?”

Teori macam apa itu? Dewa menggelengkan kepalanya dengan dahi yang mengernyit.

Winda terdiam cukup lama. Sementara Dewa menunggu pertanyaan interogasi selanjutnya. Tapi Winda sudah kehabisan teori sekarang. Hanya tiga kemungkinan itu yang dilontarkan teman-temannya kemarin malam. Sebenarnya hanya dua tentu saja. Kemungkinan yang ketiga muncul secara spontan saat ia teringat pada sebuah film superhero yang ditontonnya belum lama ini.

“Jadi, apakah kau akan menceritakan alasanmu kepadaku sekarang?” Winda sengaja memberi penekanan pada kata sekarang. Ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi.

Sekali lagi, Dewa menggelengkan kepalanya. Tanpa ia menyadari bahwa itu menjadi bahan bakar yang membuat darah di kepala Winda mendidih. Gadis itu benar-benar merasa geram sekarang.

“Kalau begitu, katakan saja jika kau menginginkan hubungan ini berakhir!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D