Kilatan cahaya merah, biru, begitu menyilaukan mata. Suara riuh lautan manusia yang meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti dentuman musik yang begitu keras membuat telinga Alexa sakit.
“Kau
baik-baik saja, Lex?” Tanya Crystal, sahabat Alexa yang memaksa gadis itu untuk
menemaninya ke tempat terkutuk itu.
“Aku mau
pulang.” Kata Alexa sambil memutar gelas kaca berisi tequila yang ia sesap
sedikit. Tentu saja sebelumnya ia tak tahu apa itu tequila. Club-club semacam
ini merupakan tempat yang asing baginya. Ia hanya pernah beberapa kali
mendengar Crystal berbicara mengenai tequila, margarita, vodka dan rum. Hingga
Alexa secara impulsif memesan minuman yang diingatnya secara acak.
“Apa?” Tanya
Crystal yang tak mendengar ucapan Alexa.
“Pulang
Crys. Aku mau pulang.” Teriak Alexa mencoba mengalahkan hingar bingar musik
yang terlalu keras baginya.
“Ayolah Lex,
ini masih jam sebelas.” Seru Crystal sambil menggoyangkan tubuhnya mengikuti
irama musik.
“Kalau
begitu aku pulang sendiri.” Kata Alexa geram. Crystal hanya mengangkat
pundaknya dan melambaikan tangannya ketika Alexa meninggalkannya.
Dalam
perjalanan menuju pintu keluar, Alexa melihat sebuah pintu hitam yang terbuka sedikit.
Alexa memutar langkahnya menuju pintu tersebut. Asap rokok mengepul seperti
lapisan selimut yang tebal. Meja-meja bundar memenuhi ruangan yang terang
benderang itu.
Perjudian. Alexa tahu itu. Ia sering mengikuti keempat kakaknya untuk berjudi
ketika ia masih tinggak di Las Vegas. Alexa melangkah memasuki ruangan tersebut
dan bergabung dengan salah satu meja untuk memainkan poker. Strategi menggertak
adalah keahlian Alexa dan permainan poker adalah permainan kesukaannya.
Dengan
sedikit trik, Alexa menjadi gadis yang beruntung malam ini. Alexa telah
memenangkan empat dari lima putaran yang ia mainkan. Dan akhirnya gadis itu
membawa pulang banyak uang atas kemenangannya. Semua berkat ayah dan keempat kakak
laki-lakinya sering mengajarkan permainan poker hingga dia memiliki keahlian
untuk itu.
Alexa
menguap, matanya terasa berat. Ini sudah
jam dua pagi dan ia tak pernah pulang selarut ini sebelumnya. Alexa memutar
gagang pintu apartemennya setelah ia memutar kuncinya.
“Alexa.”
seru seorang lelaki yang berdiri di belakang Alexa. Mendadak rasa kantuk Alexa
hilang berganti dengan keterkejutan.
“Siapa kau?”
Tanya Alexa melihat lelaki yang jelas memiliki campuran darah Asia itu.
“Aku Hideki.
Kau tak mengingatku?” Alexa memandang tajam kemudian menggeleng pelan. “Hide,
teman Mark. Kau benar tidak ingat aku?” Dengan menyebut nama Mark otomatis
ingatan Alexa bergulir dengan cepat.
“Ha! Hide. Aku
ingat. Sudah lama sekali kita tak bertemu. Ada apa kau malam-malam begini
kemari? Masuklah.” Seru Alexa pada sahabat karib kakaknya, peranakan Jepang-Inggris
yang semasa kecilnya sering mengajak Alexa bermain.
“Lex, aku
diusir oleh ayahku. Ketika aku berbicara pada Mark, dia menyuruhku kemari. Dia
memberikan alamatmu padaku.”
“Lalu kenapa
kakak tak memberitahuku sebelumnya?”
Tanya Alexa jengkel.
“Ia sudah
menelponmu, tapi hpmu tidak aktif.”
Oh, sial! Alexa merogoh tasnya, saku celananya dan saku jaketnya. Namun ia
tak menemukan ponselnya. Raut panik Alexa membuat Hideki bertanya-tanya.
“Kurasa
ponselku hilang. Aku minta tolong padamu katakan itu pada Mark dan lewatkan
bagian aku pulang jam dua malam.” Alexa memperingatkan. “Kau bisa tidur di sofa
sekarang. Kita bicara besok. Aku lelah dan selamat tidur Hideki.” Kata Alexa
tanpa menunggu jawaban dari Hideki.
***
Aroma sedap
menggelitik hidung Alexa. Alexa mencoba membuka matanya perlahan, menyesuaikan
pengelihatannya dengan cahaya yang menerobos celah tirai kamar Alexa. Gadis itu
menarik selimutnya kemudian keluar dari kamar untuk mengambil air.
“Selamat
siang Lex.” Seorang pria tinggi besar dengan matanya yang nyaris terpejam
ketika mengurai senyum sedang berdiri di dapur Alexa. Alexa menatap Hideki
bingung, melupakan kenyataan semalam sahabat kakaknya itu menumpang di
apartemen Alexa.
“Baunya
begitu menggoda.” Kata Alexa mendekati Hideki. Kemudian Alexa mencicipi makanan
yang telah tersaji diatas piring. “Apa ini? Rasanya enak.” Puji Alexa setelah melahap
telur yang disiram saus di atasnya.
“Ini namanya
Huevos Rancheros. Ini masakan
Meksiko. Sebenarnya aku ingin membuatkan masakan Jepang untukmu, tapi aku tak
menemukan bahan yang pas di dapurmu.” Ujar Hideki membanggakan diri.
“Kenapa kau
tak menjadi koki saja?” Tanya Alexa sambil memasukkan potongan tortilla ke
dalam mulutnya.
“Itu
rencanaku. Karena New York adalah kota besar, Mark bilang disini banyak
restoran besar dan aku bisa melamar di restoran disini.”
Alexa
teringat tentang Yoshida Yasuo. Laki-laki yang ia temui di restoran Jepang
beberapa hari yang lalu. “Ha! Aku punya kenalan orang Jepang. Ayahnya punya
restoran Jepang di dekat kampusku. Coba kita kesana, mungkin Yasuo masih belum
pulang ke negaranya dan siapa tahu dia bisa membantumu.”
“Boleh
saja.” Kata Hideki gembira.
***
Restoran
yang megah, didominasi dengan warna silver membuatnya tampak begitu mewah. Suatu keberuntungan untuk Alexa karena Crystal
telah mentraktirnya di restoran mahal tersebut. Jika tidak, mungkin seumur
hidup Alexa tak akan pernah menginjakkan kakinya disini.
“Miss
Wright.” Seru seorang lelaki membuat Alexa dan Hideki menoleh bersamaan.
“Ha!
Yoshida. Kebetulan sekali kau belum kembali.” Kata Alexa senang. “Sampai kapan
kau disini?” Tanya Alexa basa-basi.
“Besok aku
kembali ke Jepang. Liburan sekolahku sudah habis.” Ujar Yoshida dengan bahasa Inggrisnya yang lancar.
“Bisa kah
kau membantuku– ah temanku. Dia butuh pekerjaan. Mungkin ayahmu bisa
menjadikannya koki di sini. Masakannya benar-benar enak.” Puji Alexa.
Yoshida
menatap lelaki di samping Alexa, kemudian mengurai senyum berarti pada lelaki
itu. “Apa dia pacarmu?” Tanya Yoshida pada Hideki dengan bahasa Jepang.
“Ah– bukan.
Dia temanku.” Jawab Hideki dalam bahasa Jepang.
“Sayang
sekali, bukankah dia sangat cantik?” Goda Yoshida yang masih menggunakan bahasa
Jepang membuat wajah Hideki memerah. Sedangkan Alexa justru mengomel karena ia
tak paham dengan bahasa yang digunakan mereka.
Keberuntungan
ada di pihak Hideki. Hideki diterima kerja dengan gaji yang cukup besar. Jam
kerja yang panjang memang setimpal dengan gajinya. Setelah menumpang di
apartemen Alexa selama satu bulan akhirnya Hideki bisa menyewa sebuah apartemen
untuk dirinya.
“Kenapa kau
pindah?” Tanya Alexa menatap Hideki yang sedang berkemas.
“Lex, tidak
baik aku berada disini terlalu lama. Aku tak akan tahan berada disini bersama
gadis cantik sepertimu.” Goda Hideki yang membuatnya dilempar bantal oleh
Alexa.
“Lalu siapa
yang akan memasakkanku setiap pagi? Siapa yang akan menemaniku bermain poker
setiap malam?” Alexa menggigit bibirnya mencoba menahan perasaannya yang siap
meledak kapan saja.
Hideki
bangun dari duduknya, kemudian berpindah di samping Alexa. Lelaki itu mengusap
lembut rambut Alexa, seperti saat mereka kecil. Tanpa terasa air mata pun
menetes dari mata Alexa, membuat jejak-jejak basah di pipinya. Alexa pun
memeluk Hideki, tangis Alexa membuat Hideki meloloskan tawa dari mulutnya.
“Lex, kau
ini sudah dewasa. Kenapa kau masih saja cengeng seperti ini?” Tangis Alexa
semakin keras, bagai anak-anak yang kehilangan mainannya. Hideki menyentuh
wajah Alexa dengan kedua tangannya, mengusap air mata Alexa dengan kedua ibu
jarinya. Secara perlahan, Hideki mendekatkan wajahnya ke wajah Alexa, menghapus
jarak di antara mereka. Kemudian bibir Hideki menyentuh bibir Alexa. Mencium
gadis itu dengan lembut.
“Jauh-jauh
kau dari Alexa, brengsek!” Suara maskulin diikuti benda jatuh yang keras
membuat Alexa melepaskan diri dari
Hideki. Sesaat kemudian tubuh bongsor lelaki itu telah menindih Hideki dan
menghujamnya dengan pukulan yang bertubi-tubi di wajah Hideki.
Alexa yang
panik segera mendorong lelaki itu hingga terjatuh. “Mark, apa yang kau
lakukan?” Bentak Alexa pada kakaknya.
“Lalu kau
pikir apa yang kau lakukan, Lex??” Mark yang murka menunjuk wajah adiknya yang
masih gemetar ketakutan. “Dan kau brengsek! Kenapa kau malah melakukan itu pada
adikku? Kau benar-benar mengecewakanku.” Mark kembali menghajar Hideki yang
masih tergeletak.
“Mark
hentikan!” Teriak Alexa di telinga Mark yang membuat telinganya sakit. Mark
diam menatap Alexa dan Hideki yang kini duduk bersebelahan. Sorot matanya tajam
seolah siap mengeluarkan pisau untuk menghujam adik dan sahabatnya.
“Maafkan aku
Mark.” Hideki mulai membuka suara. “Aku memang tidak tahu diri. Berada di dekat
Alexa–”
“Jadi kau
menyalahkan A–”
“Mark
hentikan!” potong Alexa dengan semua keberaniannya.
“Lex, apa
kau tak tahu aku mengirimnya kemari berharap dia bisa menjagamu. Tapi
nyatanya–”
“Dia
menjagaku Mark, dia tak pernah berbuat kurang ajar padaku. Dia–” Alexa
menghentikan kalimatnya. Kenangannya bersama Hideki terlalu banyak, air mata
pun kembali membasahi wajahnya.
“Jauhkan tanganmu,
Hide.” Seru Mark saat melihat Hideki mencoba mengusap punggung Alexa meski ia
tahu itu hanya untuk menenangkannya.
Alexa yang
semakin tak tahan dengan sikap kakaknya beringsut meninggalkan mereka berdua ke
kamar.
“Apa kau
menyukai Alexa?” Mark memancarkan aura mengintimidasi melalui matanya yang
tajam.
“Oh, ayolah
Mark kau–“
“Aku sudah
bertahun-tahun mengenalmu. Sekarang aku ingin kau jujur, apa kau menyukai
Alexa?” Hideki tetap diam menundukkan kepalanya menatap kaki meja di
hadapannya. “Hide, cepat jawab aku!” Bentak Mark tak sabar.
“Mark henti–“
“Ya, aku
menyukai Alexa. Aku mencintainya.” Jawab Hideki bersamaan dengan Alexa yang
berdiri di depan pintu kamarnya. Alexa tercengang menatap lelaki yang duduk
berhadapan dengan kakaknya.
“Cepat kemasi
barangmu dan keluar dari sini.” Kata Mark datar tanpa melihat sahabatnya.
Hideki segera meraih ranselnya yang telah terisi pakaiannya.
“Aku pergi.
Terima kasih Mark, Alexa.” Hideki melangkah menuju pintu namun langkahnya
terhenti karena tangan hangat yang meraih pergelangan tangannya.
“Jangan
pergi.” Pinta Alexa sekali lagi.
“Aku akan
menghubungimu nanti.”
***
“Lex, jangan
seperti ini. Ayolah maafkan aku Lex.” Mark terus membujuk adiknya yang terus
menangis. Semalam Hideki menelpon, tetapi ponsel Alexa yang tertinggal di luar
membuat Mark mengangkat telponnya dan kembali bertengkar dengan Hideki.
“Kenapa kau
tak memberikannya padaku? Aku tak tahu dimana alamat Hide yang baru. Dan
sekarang ponselnya tidak aktif. Ini gara-gara kau Mark!” Bentak Alexa kesal.
Mark terdiam, memahami kekesalan adiknya.
Keempat
kakak laki-lakinya memang terlalu protektif pada satu-satunya adik perempuan
mereka. Selalu seperti itu. Terakhir mantan pacar Alexa dihajar habis-habisan
oleh Will dan Shane, kakak kedua dan ketiga Alexa karena mereka memergoki Leo,
mantan pacar Alexa selingkuh.
Ponsel Alexa
berbunyi. Alexa yang sejak pagi berlindung di bawah selimut hangatnya melompat
mencari asal suara. Nomor yang tidak dikenalnya tepampang di layar ponselnya.
“Hide?”
Alexa mencoba menebak.
“Laki-laki
mana lagi itu Lex? Apa aku perlu memberinya pelajaran?” Tawa yang sangat
familiar di telinga Alexa terdengar. Jesse. Kakak pertama Alexa.
“Diam kau
Jesse. Mark yang harusnya kau beri pelajaran.” Kilatan kemarahan begitu jelas di
mata Alexa saat menatap Mark yang berdiri di hadapannya.
“Sudahlah,
aku percaya pada Mark, dia pasti benar.” Ledekan Jesse kembali terdengar di
telinga Alexa. “Aku hanya ingin memberi tahumu, akhir minggu ini aku akan
pulang. Kuharap kau juga bisa pulang dan ajak pacar barumu untuk melawan kami.”
Tawa khas dari Jesse mengakhiri telponnya tanpa memberi kesempatan Alexa untuk
menjawab.
“Apa dia
bilang?” Tanya Mark penasaran.
“Akhir
minggu dia akan pulang. Dia juga menyuruhku pulang dan aku dimintanya membawa
pacarku.”
“Pacar?
Bukannya kau tidak punya pacar?” Ledek Mark dengan tawanya yang renyah.
“Kau pikir
ini gara-gara siapa?” Bentak Alexa yang diikuti kedua tangannya menutup
mulutnya secara serempak.
“Kau
menyukai Hideki?” Pandangan menyelidik Mark membuat Alexa salah tingkah. Untuk
beberapa detik Alexa terdiam hingga Mark mengulangi pertanyaannya.
“Iya, iya,
iya, iya! Sekarang kau puas? Ini semua gara-gara kau.” Wajah Alexa merona malu.
Membuat tawa kakaknya meledak.
“Sialan.
Andai saja aku tak menyuruh Hide kemari, mungkin ini tak akan terjadi.” Gerutu
Mark.
***
Alexa
bersandar di pundak kakaknya, menggenggam ponselnya berharap Hideki akan
menghubunginya. Tak perlu waktu lebih lama lagi nama dan foto Hideki muncul di
layar ponsel Alexa yang berkedip-kedip.
“Lex, maaf
aku baru bisa menghubungimu. “
“Tidak
apa-apa Hide. Aku–“
“Datanglah
kesini dalam sepuluh menit atau aku akan menghajarmu.” Mark merampas ponsel
Alexa membuat Alexa kembali merajuk.
Lima belas
menit kemudian Hideki datang dengan nafasnya yang tersengal. Mark sudah bersiap
di depan pintu untuk menunggu Hideki. Tanpa basa-basi Mark memberikan sebuah
pukulan di wajah Hideki.
“Ini untuk
keterlambatanmu.” Ujar Mark membuat Alexa tak percaya.
“Mark, dia
hanya–“ Ucapan Alexa terhenti karena sebuah tinju melayang kembali di wajah
Hideki.
“Ini karena
kau telah mengecewakanku. Hide.”
“Maafkan aku
Mark. Ini benar-benar diluar dugaanku.” Hideki mencoba membela diri.
“Lalu apa
kau benar-benar menyukai adikku? Kau tahu bahwa dia sangat berharga bagi kami.”
“Aku
sungguh-sungguh mencintainya Mark. Dan aku akan melawan kalian berempat jika
itu adalah syarat untuk menjadi kekasih adikmu.” Seru Hideki percaya diri.
Mark menepuk
bahu Hideki dengan menyunggingkan seulas senyum. “Aku percaya padamu, sob.”
Alexa dan Hideki pun saling bertukar pandang dan mengurai senyum.
“Apakah itu
berarti aku bisa membawa Hideki menemui Jesse, Will dan Shane akhir minggu
ini?” Alexa memastikan. Mark mengangguk, membuat Alexa mengurai tawa bahagia di
wajahnya.
“Aku? Akhir
minggu ini? Untuk apa?” Tanya Hideki bingung.
“Tentu saja
melawan mereka. Bukankah kau sudah memutuskan untuk bersama Alexa?” Goda Mark
membuat sahabatnya gugup.
“Untuk
poker?” Hideki memastikan. Mark mengangguk. “Sial!” rutuk Hideki membuat Alexa
dan Mark meloloskan tawa.
Alexa melangkah
mendekatkan dirinya pada Hide, lelaki bermata sipit yang tengah berdiri di
samping kakaknya. Kemudian Alexa melingkarkan kedua tangannya di leher Hideki.
“Aku juga mencintaimu.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D