Siang ini begitu terik dengan angin yang berhembus cukup kencang.
Lila membuka bingkisan kado yang diberikan Hans sebelum ia berangkat kuliah
pagi tadi. Ini bukan hari ulang tahunnya, namun ini juga bukan pertama kalinya
Hans memberikan bingkisan pada gadis itu.
Perlahan Lila menarik perekat bening yang merekat pada
kertas kado berwarna silver dengan pita pink yang tersemat cantik di permukaan
kertas kadonya. Ia begitu berhati-hati tanpa berniat merusak kertas yang cantik
itu.
“Dor!” Suara seorang lelaki mengejutkan Lila hingga bungkus
kado itu sedikit tersobek.
“Kak Egi.. Apa-apaan sih? kau mengagetkanku .” Bentak Lila
yang terkejut. “Yah kan.. kertas kadonya robek.” Gerutu Lila sambil memanyunkan
bibirnya.
“Itu kan cuma kertas. Besok aku belikan yang lebih bagus.”
Rayu Egi sambil menyodorkan sebuah novel ke hadapan Lila. Lila merajuk, tak mau
memandang apa yang ada di tangan Egi barang sejenak. Egi menggoyang-goyangkan
novel di tangannya dengan seringaian jahil di bibirnya. Mau tak mau, akhirnya
Lila menyempatkan waktunya untuk melirik benda tersebut.
“Wow, ini kan novel terjemahan karya Allysa yang susah
didapat. Bagaimana kakak mendapatkannya?” Tanya Lila penasaran.
“Sulap.” Jawab Egi sambil merobek bungkus
roti isi coklat yang ia beli dari kantin kampus. “Mau?” Egi menawarkan roti
yang telah ia gigit sebelumnya pada Lila. Lila pun melahap roti tersebut tepat
di tengah-tengah, tempat coklat terbanyak berada. Egi hanya menggeleng pelan
karena bagian yang paling disukainya telah dilahap oleh gadis di sampingnya.
“Makasih kak
Egi ganteng.” Kata Lila setelah menghabiskan sekotak susu milik Egi,
menggantinya dengan segelas air mineral yang hanya tersisa setengah.
“Kau ini
selalu saja begitu.” Egi mengocok kotak susunya yang tak lagi berisi. “Kado
dari siapa?” Egi penasaran menatap bingkisan yang dibalut kertas berwarna
silver tersebut.
“Kak Hans.
Tadi pagi dia memberikannya padaku sebelum aku berangkat kuliah.” Kata Lila
sambil kembali mencoba membuka perekatnya secara perlahan.
Egi
merasakan kecemburuan ketika Lila menyebut nama Hans. Ia pernah beberapa kali bertemu
dengan lelaki itu sebelumya. Lelaki yang tampan dengan matanya yang tajam serta tubuhnya yang gagah dan uang yang banyak pasti membuat banyak gadis
mengaguminya. Tentu saja Lila pun begitu. Gadis itu sering menceritakan tentang
Hans yang baik, sering memberinya kado dan mentraktirnya makan. Berbeda dengan
Egi yang memang belum memiliki penghasilan sendiri sehingga tak mampu
menandingi Hans.
Egi mencibir
mendengarkan gadis itu bercerita dengan semangat. “Selalu saja membanggakan
orang itu. Dia itu cuma om-om kaya dan anak-anak sepertimu pasti bukan
tipenya.”
“Memangnya
kenapa kalau aku bukan tipenya?” Tanya Lila cemberut.
Egi
membelalakkan matanya tak percaya ketika menatap ekspresi Lila. “Kau? Kau
benar-benar menyukai om-om itu?” Egi yang memang menaruh hati pada juniornya
sekaligus sahabatnya tiga tahun terakhir itu memastikan.
Lila hanya
mengurai senyum geli sambil memandang Egi yang wajahnya mulai menegang. Beberapa
bulan terakhir Lila mulai menyadari perasaan Egi yang ditujukan untuknya dan
Lila sengaja melakukan itu karena ingin melihat ekspresi Egi, seniornya yang
memberikan hukuman padanya tiga tahun yang lalu ketika ia menjadi peserta
ospek.
Tiga tahun
lalu, Lila yang terlambat masuk barisan mendapatkan hukuman langsung dari Egi,
senior penegak disiplin yang bertanggung jawab atas regu Lila. Sebenarnya
alasan ia terlambat karena jam miliknya memiliki selisih sepuluh menit dengan
seniornya.
“Kamu.” Egi
memanggil gadis berkuncir dua yang datang terlambat memasuki barisan. “Kesini.”
Bentak Egi membuat gadis itu memasang wajah kesal. Lila mencoba mengatur
nafasnya setelah berlarian sepanjang dua ratus meter dari gerbang utama
kampusnya.
Lila
melangkah terhuyung karena ia merasa seperti kehabisan nafas di pagi hari yang
masih banyak menyediakan udara segar. Ia berdiri tegak dihadapan Egi menaikkan
dagu, menantang sang senior yang meneriakinya sepagi ini.
“Kenapa kamu
melihatku seperti itu? Apa kau mencoba menantangku?” Tanya Egi tak terima.
“Tidak kak.”
“Kamu tahu
apa kesalahanmu hingga dipanggil kemari?”
“Tidak kak.”
Jawab Lila datar.
“Kamu tidak
tahu apa kesalahanmu?”
“Tidak kak.”
Suara Lila seperti rekaman yang terus mengulang dua kata itu dengan nada yang
sama. Membuat Egi mendesah kesal.
“Kamu
terlambat.”
“Tidak kak.”
Jawaban yang sama terlontar dari mulut Lila. Membuat Egi geram.
“Tidak? Apa
kau tidak punya kalimat lain? Kau terlambat masuk barisan. Seharusnya jam enam
kau sudah masuk. Tapi kau malah datang jam enam lebih lima menit.” Bentak Egi
yang memang mendapatkan pagi yang buruk sejak ia bangun dua jam yang lalu. “Mau
jadi apa kamu kalau seperti ini saja tidak tepat waktu? Kebiasaan. Apa kau
selalu seperti ini?” Egi menyudutkan.
Lila
mendesah kesal. Lalu mengangkat dagunya menatap seniornya yang mengoceh tanpa
henti. “Kak, tapi aku datang jam enam kurang lima menit dan langsung masuk
barisan. Jamku saja sekarang masih belum jam enam.” Jawab Lila kesal. Egi tak
pernah menduga juniornya berani membantahnya.
“Kau berani
melawan seniormu hah?” Egi menaikkan nadanya. Membuat dua senior lain ikut
berkerumun menatap Lila. Namun Lila yang merasa tidak bersalah terus membela
dirinya.
“Maaf kak,
bukannya saya melawan. Tapi kakak lihat jam saya. Saya sudah berdiri beberapa
menit dan ini baru jam enam tepat. Berarti kesimpulannya saya tidak terlambat.”
Lila membela dirinya.
Salah satu
senior perempuan dengan rambut yang diikat tinggi melihat jam tangan Lila yang memang berbeda sepuluh menit dari jam
panitia. Ia
mengangguk kemudian menaikkan alisnya sebagai kode benar-lalu-bagamana ini untuk Egi. Egi dengan cepat memutar otak
untuk membalas ucapan Lila.
“Itu berarti
jam milikmu yang terlambat.”
“Kak, kita
tidak hidup di zona waktu yang berbeda. Jika jamku terlambat sepuluh menit dari jam kalian bukankan itu wajar? Dan lagi
kemarin bukannya tak ada briefing
untuk menyamakan jam? Kenapa tidak ada toleransi dari pihak panitia? Saya rasa
ini bukan murni kesalahan saya.” Jawab Lila yang membuat ketiga senior itu tak
mampu berkata-kata.
“Lila.
Kenapa malah melamun?” Egi menepuk pipi Lila untuk menyadarkan gadis itu dari
lamunannya. Lila memasang senyum lebar sambil menggeleng kuat-kuat. Kemudian matanya
kembali memandang bingkisan kado yang sejak tadi ada di pangkuannya kemudian
membukanya perlahan. Egi pun menatap bingkisan tersebut lekat-lekat., membuat
Lila sesekali meliriknya geli.
“Wow.” Seru
Lila dengan mata berbinar saat mendapatkan sepaket novel trilogi terjemahan
karya Anna Carlton. Novel romantis sepanjang masa. Egi menghela nafas berat,
merasa kalah dari Hans. Apalagi karena melihat wajah Lila yang berseri-seri
setelah mengetahui isi kadonya.
“Sial.” Egi
merutuk karena kesal pada Hans dan ekspresi senang Lila. Egi meraih tasnya
kemudian berdiri.
“Kakak mau
kemana?” Lila menarik tas Egi untuk menahannya.
“Ada urusan.
Aku pergi dulu.” Seru Egi ketus.
“Kenapa
marah? Kau cemburu?” Tanya Lila terang-terangan membuat wajah Egi memerah
karena malu. Egi tak mau mengakuinya kemudian mengambil langkah seribu untuk
menjauh dari Lila.
Lila pun
tersenyum, kemudian meraih ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan.
Terima kasih kak Hans :*
***
Sesuatu yang
cukup tebal dilempar oleh gadis itu tepat di samping wajah Lila yang tengah
berbaring miring sambil membaca novel yang diberikan Egi. Lila menutup novelnya
kemudian meraih sesuatu yang bertuliskan undangan. Lila menaikkan alisnya,
meminta penjelasan pada kakaknya yang berdiri di samping ranjang Lila.
“Besok malam
Hans mengajakku ke pernikahan atasannya. Tapi aku bingung pakai baju apa. Mana
aku nanti masuk siang, lembur juga sampai malam.” Kata kakaknya.
“Kenapa
tidak sekarang?” Tanya Lila kembali membuka novelnya.
“Hans kerja.
Jika beli bersama Hans aku kan tak perlu membayar.” Kata sang kakak sambil menjulurkan
lidahnya.
“Pakai saja
lah yang ada. Atau kakak pakai saja bajuku.” Ujar Lila tak acuh sambil membaca
bukunya.
“Tidak mau.
Ini pesta besar. Akau tak mau mempermalukan Hans.” Kakaknya mencoba memutar otak. “Ha! Aku punya
ide. Kau pergi bersama Hans. Carikan gaun yang cocok untukku. Kau cobalah
untukku. Ukuran kita kan sama.”
“Tidak mau.
Aku malas.”
“Aku akan
membelikan novel untukmu.” Kakaknya merayu. Namun tak ada respon dari Lila.
“Dua?” Lila hanya melirik kakaknya yang berusaha merayunya dengan dua buah
novel. “Tiga?” Tawar kakaknya lagi yang membuatnya mendapat perhatian penuh
dari Lila.
“Oke, suruh
kak Hans menjemputku jam lima.” Seringaian licik tersungging di bibir mungil
Lila.
***
Satu jam
telah dihabiskan Hans dan Lila memutari butik-butik terkenal di kota itu hingga
kini mereka berada di butik yang mereka putuskan sebagai butik terakhir untuk
dikunjungi. Seorang pramuniaga yang begitu cantik menyambut mereka berdua.
Matanya begitu terpesona menatap Hans yang masuk tepat di belakang Lila.
“Tolong
bantu saya mencari gaun yang cocok untuk saya.” Kata Lila ketus karena lelah berkeliling
tempat yang bukan tempat favoritnya. Ditambah lagi cara melihat pramuniaga itu
pada calon kakak iparnya membuatnya semakin kesal.
Setelah
beberapa saat memilih akhirnya gaun berwarna merah hati menjadi pilihannya.
Lila menghela nafas lega setelah sekian lama perjuangannya demi mendapatkan
tiga novel cuma-cuma akhirnya selesai juga. Lila menenteng sebuah tas berisi
gaun menuju mobil Hans.
“Lila.”
Panggil seseorang yang kemudian menghentikan langkahnya.
“Kakak..”
Lila terperanjat melihat Egi yang tengah menatap Lila dan Hans secara
bergantian.
“Baru
selesai belanja?” Tanya Egi berusaha mengurai senyum. Namun Lila tahu Egi
sedang menahan kekesalannya.
“Iya, aku
pulang dulu ya kak. Sampai jumpa besok.” Lila segera meninggalkan Egi dan
melambaikan tangan pada Egi sebelum ia masuk ke dalam mobil Hans. Ia harus
menyiapkan jawaban untuk besok.
***
“Kakak
tunggu dulu.” Lila mengejar Egi yang
pura-pura tak melihat Lila.
“Ada
apa sih?” Tanya Egi ketus sambil memasukkan ponselnya ke dalam sakunya.
“Kak Egi
kenapa sih? Aneh. Kakak cemburu ya?” Goda Lila sambil melilitkan tangannya
manja di lengan Egi. “Kakak tahu tidak, kemarin kak Hans membelikan gaun mahal sekali
untuk–“
“Lila
cukup.” Egi memotong pembicaraan Lila. “Aku tahu dia kaya, dia tampan. Tapi
tidakkah bisa kau berhenti membicarakan lelaki itu?” Ujar Egi kesal. Egi
melepaskan lilitan tangan Lila. “Aku ada kuliah, maaf.” Kata Egi berusaha
mengurai senyum dengan mengusap kepala Lila. Lalu Egi melangkahkan kakinya
menjauhi Lila yang mematung di tempatnya berdiri.
“Kak Egi.”
Panggil Lila yang sontak membuat Egi menyisihkan perhatiannya untuk gadis itu.
“I love you” ucap Lila tanpa suara.
Lila sengaja hanya menggerakkan bibirnya, membuat Egi yang berjarak sepuluh
meter di hadapan Lila mengerutkan dahi tak mengerti. Kemudian Lila melambaikan
tangannya dan memutar langkahnya untuk menuju kantin.
***
Malam itu Egi
yang bekerja sambilan sebagai pelayan katering, melihat lelaki tampan yang
sering dibicarakan Lila tengah menggamit seorang gadis cantik bergaun merah
hati. Hans. Antara senang dan sakit hati melihat Hans sedang bersama gadis
lain, apalagi Lila terus-menerus membangga-banggakan dirinya di depan Egi.
“Egi, jangan
berhenti di tengah jalan. Cepat ambil piringnya.” Suara rekan kerja Egi
membuyarkan lamunan Egi. Sepanjang acara Egi hanya memikirkan Lila. Bagaimana
jika gadis itu tahu kenyataan bahwa Hans bersama perempuan lain? Sebagian
hatinya ingin memberi tahu gadis itu tentang kenyataan buruk ini, namun sebagian
lagi ia ingin menjaga perasaan gadis yang dicintainya itu.
***
Siang itu
langit tak secerah biasanya. Namun Lila masih berada di tempat favoritnya,
membaca novel sambil duduk di tepi kolam di kampusnya. Titik-titik air langit
mulai membasahi bumi, membuat Lila bergegas mencari tempat yang aman untuk
berteduh.
Air yang
terus-menerus mengguyur akhirnya mulai reda setelah satu jam Lila menunggu. Air
menginggalkan jejak-jejak basah dan genangan dimana-mana. Lila akhirnya
memutuskan untuk segera pulang ke rumahnya.
Ketika
hendak menyeberang, sebuah mobil mewah melaju kencang melewati genangan air di depan
Lila. Otomatis Lila yang tengah berdiri di trotoar pun terciprat air hingga membuat
kemeja putihnya kotor dan basah.
“Sialan
kau.” Teriak Lila geram.
“Lila.”
Suara maskulin yang sangat dikenal oleh gadis itu memanggil namanya. Lila
mengedarkan pandangannya mencari asal suara. Kemudian matanya bertemu dengan
sosok lelaki yang tengah berlari mendekatinya. Lelaki itu merangkul pundak
Lila, mencoba mencari sandaran selagi ia mengatur nafasnya.
“Kakak
kenapa sih?” Tanya Lila sambil membuka botol air mineral miliknya kemudian
diberikannya pada Egi.
“Aku
men..cari..mu” Kata Egi disela nafasnya yang tersengal. “Kenapa bajumu itu?”
“Kakak tidak
lihat? Mobil sialan tadi melaju begitu kencang ketika aku hendak menyeberang.”
Lila merutuk kesal. Egi pun menawarkan Lila untuk mampir ke kostnya untuk
mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih milik Egi. Lila yang memang sudah
beberapa kali kesana pun menyetujui ide tersebut.
“Aku
merindukanmu.” Kata-kata yang akhir-akhir ini sering diucapkan Egi pada Lila.
Lila
tersenyum. “Bukankah kita kemarin juga ketemu?” Kata Lila sambil menyesap teh
hangat yang dibelikan Egi di warung depan kostnya
“Tidak-tidak.
Akhir-akhir ini kurasa aku tak bisa menemanimu seperti biasa. Aku terlalu sibuk
hingga waktuku bersamamu semakin sedikit.” Seringaian sombong tersungging di
bibir Egi.
Lila
menyangga dagunya dengan sebelah tangannya, menatap lelaki di hadapannya
lekat-lekat. Mata coklat milik Egi yang teduh selalu membuat Lila jatuh cinta,
bahkan sejak pertama Lila melihat lelaki itu.
“Kau ini
kenapa?” Egi salah tingkah melihat perlakuan Lila. Lila menggeleng.
“Kakak suka
aku ya?” Tanya Lila yang sontak membuat Egi menyemburkan kopinya hingga
mengenai pakaian Lila yang baru diganti. “Ah! Kakak! Kotor lagi bajunya.”
Rengek Lila kesal.
“Kau kenapa
tiba-tiba bertanya seperti itu?” Tanya Egi dengan jantungnya yang berdetak lebih
kencang. Lila tak menghiraukan ucapan Egi dan membersihkan kaos milik Egi yang
dikenakannya dengan selembar tisu. Egi melangkah, kembali mencari kaos bersih
untuk Lila.
“Ganti
sana.” Kata Egi melempar kaos yang masih terlipat rapi ke pangkuan Lila.
Setelah Lila mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih, kembali Lila duduk
di hadapan Egi sambil mengambil novel yang diberikan Hans kepadanya beberapa
hari yang lalu.
“Kau
menyukai Hans?” Tanya Egi tiba-tiba begitu melihat Lila menggenggam novel
tersebut.
“Kak Hans?”
Tanya Lila tanpa menjawab pertanyaan Egi.
“Sebaiknya
jangan dekati Hans. Kau bukan tipenya. Dan aku kemarin malam melihat Hans
bersama perempuan yang cantik. Begitu serasi dan mesra.” Egi menambahkan
kalimat terakhir untuk melihat tanggapan Lila.
Tawa kecil
keluar dari mulut Lila, membuat Egi bingung. “Kakak, aku tahu kau cemburu pada
kak Hans. Tapi–”
“Aku hanya
tak ingin kau terluka Lil. Dia benar-benar lelaki brengsek. Aku benar-benar
ingin menghajarnya saat aku melihatnya begitu mesra dengan perempuan lain.
Aku–”
Kecupan di
bibir Egi menghentikan kata-katanya. Egi memandang gadis yang tengah tersenyum
beberapa senti di hadapannya.
“Kakak
kenapa selalu memotong ucapanku, ha?” Tanya Lila yang tengah berjongkok dengan
memeluk kedua lututnya. “Dengar ya, kak Hans itu calon kakak iparku.” Lila
menegaskan kalimat calon kakak iparku. “Dan waktu kau bertemu denganku tempo
hari, itu karena kakakku memintaku untuk membeli gaun merah yang kakakku pakai
saat kak Egi melihatnya di pesta kemarin.”
Egi
mengejapkan matanya memandang gadis di hadapannya tak percaya. Kemudian Egi
mendekatkan wajahnya pada wajah Lila, dan mengecup bibir mungil Lila.
“Maafkan aku
Lila, aku cemburu pada Hans karena aku mencintaimu, sejak peristiwa sepuluh menit dulu.”
Ha! Inilah
yang Lila tunggu. Akhirnya Egi yang tertutup mampu menyatakan perasaannya pada
Lila. Lila memang sudah lama merasakan adanya perbedaan dari persahabatan
mereka, namun Lila memutuskan untuk menunggu Egi menyatakan perasaannya. Tapi tetap saja gadis itu tak percaya mengetahui Egi telah
menyimpan rasa padanya begitu lama.
“Aku juga
mencintaimu, kak.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D