Kamis, 12 Februari 2015

A Last Song



Naik, naik ke puncak gunung...   Tinggi, tinggi sekali...
Naik, naik ke puncak gunung... Tinggi, tinggi sekali...
Kiri, kanan ku lihat saja...  Banyak pohon cemara...
Kiri, kanan ku lihat saja...  Banyak pohon cemara...

Begitu lagu selesai dinyanyikan, terdengar suara riuh tepuk tangan yang menggema. Seakan-akan lagu yang baru saja berkumandang itu dinyanyikan oleh dua orang penyanyi terkenal. Padahal sama sekali bukan. Penyanyinya hanya dua orang gadis kecil berusia sepuluh tahun dan lima tahun bersuara cempreng. Sedangkan yang bertepuk tangan adalah dua orang penyanyi itu sendiri —yaitu aku dan adikku, juga Bunda yang duduk di kursi depan. Bunda duduk di samping Ayah yang tidak ikut bertepuk tangan karena  tangannya sibuk menggenggam setir mobil.

Hari ini adalah hari pertama libur sekolah. Dan sesuai janji Ayah, kami sekeluarga akan pergi berlibur ke rumah nenek di desa. Aku sangat senang karena hasil rapotku membuat Ayah dan Bunda tersenyum puas. Walaupun hanya mendapat ranking lima, tapi Ayah dan Bunda memujiku dengan sepenuh hati. Dan aku bertekad, lain kali aku harus menjadi ranking satu!

“Gita sayang, jangan membuka-tutup jendela mobil seperti itu,” suara lembut Bunda terdengar saat melihat Gita —adikku, tampak asyik mempermainkan jendela mobil. Bunda melonggokkan kepala dari balik sandaran kursi untuk melihat Gita yang duduk di belakangnya.

“Kenapa tidak boleh, Bunda?” tanya Gita dengan suaranya yang lucu.

Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya. Adikku itu memang selalu bertanya tentang apa yang dikatakan kedua orang tua kami kepadanya. Berbeda dengan aku yang pasti akan langsung menuruti semua nasihat Ayah dan Bunda tanpa pernah bertanya kenapa.

“Karena di luar masih hujan, Sayang. Kalau Gita membuka jendela mobil, air akan masuk dan membasahi rambut dan bajumu. Apa Gita mau memeluk Nenek dengan baju yang basah?”

Aku melirik ke arah Gita. Adikku tidak langsung menjawab. Ia tampak sedang memperhatikan bajunya yang sudah sedikit basah karena air hujan yang masuk ke mobil bersama angin ketika ia membuka jendela mobil. Ekspresinya tampak sedang memikirkan perkataan Bunda. Sedetik kemudian, sepertinya ia sudah mendapat keputusan.

“Baiklah, Bunda,” kata Gita akhirnya. Lalu ia menutup jendela mobil. Sepertinya ia benar-benar tidak ingin memeluk Nenek dengan baju yang basah.

Aku duduk diam sambil memperhatikan jendela di sampingku yang basah karena air hujan. Pohon-pohon yang dilewati mobil kami juga tampak basah. Aku ingat jalan ini. Sebentar lagi jalanan akan sedikit menanjak. Nah, benar kan! Aku bersorak sendiri di dalam hati saat merasakan mobil bergerak naik. Setelah ini, jalanan akan menjadi berkelok-kelok dan membuat adikku tertawa lebar karena perutnya merasa geli. Sementara aku terkadang merasa ingin muntah. Tapi aku selalu menahannya sekuat tenaga karena  jika sudah memasuki jalan berkelok ini, itu berarti rumah Nenek sudah sangat dekat.

Perlahan aku menolehkan ke arah Gita yang tidak bersuara. Apa mungkin ia tertidur? Tapi ternyata aku salah. Adikku sedang memainkan ujung rok bunga-bunganya dengan ekspresi bosan. Ia pasti tidak tahan untuk terus diam tanpa melakukan apapun. Tanpa sadar, aku tertawa kecil.

“Gita, ayo kita menyanyi lagi!” ajakku dengan riang. Aku memang tidak tahan melihat adikku murung seperti ini. Aku sangat menyayangi Gita dan aku ingin selalu membahagiakannya.

Tapi Gita menggelengkan kepalanya dengan malas. Dan membuat aku merasa sedikit kecewa. Tapi aku berusaha meyakinkan diri, bahwa Gita pasti memliki alasan kenapa ia tidak ingin menyanyi.

“Tenggorokanku sakit, Kak,” ujarnya dengan suara parau.

Aku tersenyum. Benar juga. Tentu Gita tidak berbohong. Sejak berangkat dari rumah tadi kami memang sudah menyanyikan ulang banyak lagu seperti Balonku, Tik tik tik bunyi hujan, Bintang Kecil, dan lain-lain. Wajar saja jika tenggorokannya terasa sakit. “Bagaimana kalau kita makan donat—“

Aku menghentikan ucapanku saat mendengar suara teriakan Bunda dari kursi depan. Mataku langsung melotot saat melihat sebuah bus meluncur cepat ke arah kami dari arah berlawanan. Dengan cepat Ayah membanting setir untuk menghindari tabrakan. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain memeluk erat tubuh adikku yang mulai gemetar.

Braaaakk!

Terdengar suara keras diikuti mobil yang berguncang. Aku refleks memejamkan mataku. Sementara tanganku mendekap erat kepala Gita di depan dadaku.

“Rika! Gita!”

Bunda berteriak kencang memanggil nama kami. Tapi aku tidak bisa bersuara untuk menjawab panggilan Bunda. Detik berikutnya, aku merasakan guncangan yang lebih hebat. Badanku terlempar kuat. Punggungku menghantam permukaan besi yang dingin. Seketika itu, sekitarku terasa sangat gelap.

Ketika akhirnya aku kembali membuka mata, aku bisa melihat Gita yang memejamkan mata dalam pelukanku. Aku yang di dalam mobil tampak memeluk erat adikku. Kepalaku berdarah dan tunggu! Ini sangat aneh! Kenapa aku bisa melihat diriku tergeletak di dalam mobil sementara aku berdiri di luar mobil?

Perlahan aku memperhatikan tubuhku yang tampak transparan. Kemudian melihat keadaan mobil yang tampak mengenaskan karena penyok di mana-mana. Sepertinya mobil kami tadi berguling di atas aspal yang basah.

Aku mendongakkan kepala ke arah langit. Hujan masih turun tapi aku sama sekali tidak basah. Air hujan melewatiku begitu saja seolah aku tidak ada di sana.

Beberapa orang tampak panik dan berkumpul di sekitar mobil kami. Aku memperhatikan apa yang mereka lakukan. Seorang bapak tampak sibuk dengan ponsel di telinganya. Sementara bapak-bapak yang lain mencoba membuka pintu mobil kami secara paksa. Dan begitu berhasil, salah satu dari mereka yang berkaus putih, mengulurkan tangan menyentuh leher kami berempat.

“Hei, cepat bantu! Anaknya masih hidup!” teriak bapak berkaus putih itu.

Setelah mendengar teriakan itu, banyak orang mendekat ke arah mobil. Mereka saling bekerja sama untuk melepaskan Gita dari pelukanku dan mengeluarkannya dari mobil.

Hei! Jangan sentuh adikku! Aku berteriak tanpa suara. Kakiku hendak melangkah untuk melindungi Gita, tapi sentuhan di kedua bahuku menghentikannya.

Saat aku menolehkan kepala, aku melihat Ayah dan Bunda dengan tubuh yang juga transparan berdiri di kedua sisiku. Mereka berdua tersenyum penuh arti. Dan aku memahami arti senyuman itu.

Gita teruslah hidup. Berjuanglah untuk menjadi gadis yang kuat. Tetaplah bernyanyi walaupun hatimu merasa sepi. Sampai nanti kita bertemu lagi dan menyanyi bersama bidadari di surga. Kami selalu menyayangimu, Gita.

TAMAT

2 komentar:

  1. sedih, pedih, perih, miris, tragis, mengiriissss...
    kamu tega ngik bikin Gita sebatang kara :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi 'kan waktu udah gede, Gita nggak sebatang kara lagi. Ada mas Gabriel yang menemani :D

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D