♬ Naik, naik ke
puncak gunung... ♪ Tinggi, tinggi sekali... ♪
♪ Naik, naik ke puncak gunung... ♬ Tinggi, tinggi sekali... ♪
♪ Kiri, kanan ku lihat saja... ♬ Banyak pohon cemara... ♪
♪ Kiri, kanan ku lihat saja... ♪ Banyak pohon cemara... ♬
Begitu lagu selesai dinyanyikan, terdengar suara riuh
tepuk tangan yang menggema. Seakan-akan lagu yang baru saja berkumandang itu
dinyanyikan oleh dua orang penyanyi terkenal. Padahal sama sekali bukan. Penyanyinya
hanya dua orang gadis kecil berusia sepuluh tahun dan lima tahun bersuara
cempreng. Sedangkan yang bertepuk tangan adalah dua orang penyanyi itu sendiri
—yaitu aku dan adikku, juga Bunda yang duduk di kursi depan. Bunda duduk di
samping Ayah yang tidak ikut bertepuk tangan karena tangannya sibuk menggenggam setir mobil.
Hari ini adalah hari pertama libur sekolah. Dan sesuai
janji Ayah, kami sekeluarga akan pergi berlibur ke rumah nenek di desa. Aku
sangat senang karena hasil rapotku membuat Ayah dan Bunda tersenyum puas.
Walaupun hanya mendapat ranking lima,
tapi Ayah dan Bunda memujiku dengan sepenuh hati. Dan aku bertekad, lain kali
aku harus menjadi ranking satu!
“Gita sayang, jangan membuka-tutup jendela mobil seperti
itu,” suara lembut Bunda terdengar saat melihat Gita —adikku, tampak asyik mempermainkan
jendela mobil. Bunda melonggokkan kepala dari balik sandaran kursi untuk
melihat Gita yang duduk di belakangnya.
“Kenapa tidak boleh, Bunda?” tanya Gita dengan suaranya
yang lucu.
Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya. Adikku itu
memang selalu bertanya tentang apa yang dikatakan kedua orang tua kami
kepadanya. Berbeda dengan aku yang pasti akan langsung menuruti semua nasihat
Ayah dan Bunda tanpa pernah bertanya kenapa.
“Karena di luar masih hujan, Sayang. Kalau Gita membuka
jendela mobil, air akan masuk dan membasahi rambut dan bajumu. Apa Gita mau
memeluk Nenek dengan baju yang basah?”
Aku melirik ke arah Gita. Adikku tidak langsung menjawab.
Ia tampak sedang memperhatikan bajunya yang sudah sedikit basah karena air
hujan yang masuk ke mobil bersama angin ketika ia membuka jendela mobil. Ekspresinya
tampak sedang memikirkan perkataan Bunda. Sedetik kemudian, sepertinya ia sudah
mendapat keputusan.
“Baiklah, Bunda,” kata Gita akhirnya. Lalu ia menutup
jendela mobil. Sepertinya ia benar-benar tidak ingin memeluk Nenek dengan baju
yang basah.
Aku duduk diam sambil memperhatikan jendela di sampingku
yang basah karena air hujan. Pohon-pohon yang dilewati mobil kami juga tampak
basah. Aku ingat jalan ini. Sebentar lagi jalanan akan sedikit menanjak. Nah, benar kan! Aku bersorak sendiri di
dalam hati saat merasakan mobil bergerak naik. Setelah ini, jalanan akan
menjadi berkelok-kelok dan membuat adikku tertawa lebar karena perutnya merasa
geli. Sementara aku terkadang merasa ingin muntah. Tapi aku selalu menahannya
sekuat tenaga karena jika sudah memasuki
jalan berkelok ini, itu berarti rumah Nenek sudah sangat dekat.
Perlahan aku menolehkan ke arah Gita yang tidak bersuara.
Apa mungkin ia tertidur? Tapi
ternyata aku salah. Adikku sedang memainkan ujung rok bunga-bunganya dengan
ekspresi bosan. Ia pasti tidak tahan untuk terus diam tanpa melakukan apapun.
Tanpa sadar, aku tertawa kecil.
“Gita, ayo kita menyanyi lagi!” ajakku dengan riang. Aku
memang tidak tahan melihat adikku murung seperti ini. Aku sangat menyayangi
Gita dan aku ingin selalu membahagiakannya.
Tapi Gita menggelengkan kepalanya dengan malas. Dan
membuat aku merasa sedikit kecewa. Tapi aku berusaha meyakinkan diri, bahwa
Gita pasti memliki alasan kenapa ia tidak ingin menyanyi.
“Tenggorokanku sakit, Kak,” ujarnya dengan suara parau.
Aku tersenyum. Benar juga. Tentu Gita tidak berbohong. Sejak
berangkat dari rumah tadi kami memang sudah menyanyikan ulang banyak lagu
seperti Balonku, Tik tik tik bunyi hujan, Bintang Kecil, dan lain-lain. Wajar
saja jika tenggorokannya terasa sakit. “Bagaimana kalau kita makan donat—“
Aku menghentikan ucapanku saat mendengar suara teriakan
Bunda dari kursi depan. Mataku langsung melotot saat melihat sebuah bus
meluncur cepat ke arah kami dari arah berlawanan. Dengan cepat Ayah membanting
setir untuk menghindari tabrakan. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain
memeluk erat tubuh adikku yang mulai gemetar.
Braaaakk!
Terdengar suara keras diikuti mobil yang berguncang. Aku
refleks memejamkan mataku. Sementara tanganku mendekap erat kepala Gita di
depan dadaku.
“Rika! Gita!”
Bunda berteriak kencang memanggil nama kami. Tapi aku
tidak bisa bersuara untuk menjawab panggilan Bunda. Detik berikutnya, aku merasakan
guncangan yang lebih hebat. Badanku terlempar kuat. Punggungku menghantam
permukaan besi yang dingin. Seketika itu, sekitarku terasa sangat gelap.
Ketika akhirnya aku kembali membuka mata, aku bisa
melihat Gita yang memejamkan mata dalam pelukanku. Aku yang di dalam mobil
tampak memeluk erat adikku. Kepalaku berdarah dan— tunggu! Ini sangat
aneh! Kenapa aku bisa melihat diriku tergeletak di dalam mobil sementara
aku berdiri di luar mobil?
Perlahan aku memperhatikan tubuhku yang tampak
transparan. Kemudian melihat keadaan mobil yang tampak mengenaskan karena
penyok di mana-mana. Sepertinya mobil kami tadi berguling di atas aspal yang
basah.
Aku mendongakkan kepala ke arah langit. Hujan masih turun
tapi aku sama sekali tidak basah. Air hujan melewatiku begitu saja seolah aku
tidak ada di sana.
Beberapa orang tampak panik dan berkumpul di sekitar
mobil kami. Aku memperhatikan apa yang mereka lakukan. Seorang bapak tampak
sibuk dengan ponsel di telinganya. Sementara bapak-bapak yang lain mencoba
membuka pintu mobil kami secara paksa. Dan begitu berhasil, salah satu dari
mereka —yang berkaus putih,
mengulurkan tangan menyentuh leher kami berempat.
“Hei, cepat bantu! Anaknya masih hidup!” teriak bapak
berkaus putih itu.
Setelah mendengar teriakan itu, banyak orang mendekat ke
arah mobil. Mereka saling bekerja sama untuk melepaskan Gita dari pelukanku dan
mengeluarkannya dari mobil.
Hei! Jangan
sentuh adikku! Aku berteriak tanpa
suara. Kakiku hendak melangkah untuk melindungi Gita, tapi sentuhan di kedua
bahuku menghentikannya.
Saat aku menolehkan kepala, aku melihat Ayah dan Bunda
dengan tubuh yang juga transparan berdiri di kedua sisiku. Mereka berdua
tersenyum penuh arti. Dan aku memahami arti senyuman itu.
Gita teruslah
hidup. Berjuanglah untuk menjadi gadis yang kuat. Tetaplah bernyanyi walaupun
hatimu merasa sepi. Sampai nanti kita bertemu lagi dan menyanyi bersama
bidadari di surga. Kami selalu menyayangimu, Gita.
TAMAT
sedih, pedih, perih, miris, tragis, mengiriissss...
BalasHapuskamu tega ngik bikin Gita sebatang kara :'(
Tapi 'kan waktu udah gede, Gita nggak sebatang kara lagi. Ada mas Gabriel yang menemani :D
Hapus