Selasa, 24 Februari 2015

Bareland


Wanita itu bilang ini adalah Bareland, sebuah kota yang tak terlalu besar, terletak di daratan Minnesota. Kota gersang yang dihuni masyarakat individualis yang tak akan peduli meski kau telanjang dan berkeliaran seperti orang gila di antara mereka. Tak akan kau temukan pelayan toko dengan senyum ramah yang akan mengantarmu mendapatkan apa yang kau butuhkan, tak akan ada yang menggubrismu ketika kau tersesat dan menanyakan jalan, bahkan tak seorangpun akan membantu ketika kau tergeletak sekarat di tengah jalan.

Kota dengan segala keegoisan dan mementingkan kekayaan diatas segalanya. Kota dengan bangunan-bangunan mewah yang menjulang dengan pagar-pagar tinggi. Sama sekali bukan tempat yang tepat jika kau hanya memiliki sepetak rumah sederhana di pinggiran kota dan mencoba bergaul dengan borjuis angkuh penghuni kota gersang itu.

Kini aku berdiri menggigil di depan kios yang tertutup rapat. Berteduh dari salju yang terus turun sejak dua jam yang lalu. Aku tersesat. Aku tak pernah tahu ada tempat seperti ini di negaraku. Beruntung, seorang nenek tua –yang tidak ramah sama sekali– bersedia menjelaskan dimana aku berada saat ini. Tentu saja setelah aku memaksanya dan mengmbuntutinya hingga aku tersesat semakin jauh. 

Aku memeluk diriku sendiri merasakan dingin yang semakin menusuk. Aku harus berjalan untuk mengusir dingin. Tapi salju turun dengan lebatnya, membuat jalanan tertutup salju yang cukup tebal. Aku tahu hanya orang gila yang akan berkeliaran di tengah hujan salju seperti ini. Dan sayangnya orang itu adalah aku.

Dengan tekat bulat aku mulai berjalan melawan salju untuk menemukan suatu tempat yang bisa memberikan sedikit kehangatan untukku. Basah, dingin, menggigil, dan aku telah berjalan tiga –atau empat kilometer untuk menemukan sebuah kedai kecil yang letaknya sedikit tersembunyi dengan pencahayaan temaram.

“Kopi satu.” Aku memesan dengan suara gemetar. Tentu saja. Berjam-jam aku berkeliaran pada suhu minus yang akhirnya membuat hidungku berdarah. Aku terus menutup hidungku dengan sarung tangan pink yang telah berubah warna pada beberapa bagian. 

Segelas kopi dalam paper cup coklat yang memiliki semburat merah telah disiapkan di mejaku. Tak ada ucapan silahkan atau ini pesanannya. Benar-benar jauh dari kata ramah. Tapi itu bukanlah prioritas utama. Sekarang yang utama, aku akan menyesap minuman ini, dan membuat tubuhku menjadi hangat.

Kedai temaram yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang –tiga atau empat orang selain aku. Kusesap kopiku sambil memperhatikan gadis dengan rambut pirang tengah menatap lelaki penjual kopi dihadapannya. Matanya terus memperhatikan lelaki berambut kecoklatan yang memang terlalu tampan untuk seorang penjual kopi. 

Lelaki itu tampak tak peduli dan sama sekali tak terganggu.

“Jesse, ayolah.” Gadis itu merengek. Namun lelaki itu tetap diam. Sibuk dengan tangannya yang tengah berkutat dengan sesuatu yang tak dapat kujangkau dengan mataku dari tempatku duduk.

“Apa kau masih akan terus seperti ini? Kau keterlaluan.” Gadis itu merutuk karena lelaki yang ia panggil Jesse sama sekali tak mempedulikannya. 

Aku terus menatap drama kecil di hadapanku dengan seksama. Kemudian gadis itu menoleh dan bertemu mata denganku.

“Apa kau tak punya kerjaan melihatku seperti itu, sialan!” Bentak gadis itu sambil mengacungkan jari tengahnya padaku. 

Wow. Sungguh di luar dugaanku. Apa masyarakat di kota aneh ini tak punya sopan santun? Apa mereka sama sekali tak diajari beramah tamah pada orang lain? Ucapan itu tampaknya cukup membuat tubuhku memanas. Harga diriku sepertinya telah diinjak-injak oleh gadis itu.

“Apa kau tak pernah diajari sopan santun, ha? Pantas saja kau tak digubris lelaki itu.” Ujarku sinis kemudian menyesap kembali minuman yang mulai dingin di hadapanku. Aku beranjak dari tempat dudukku, mendekat ke meja disamping gadis itu.

“Tolong berikan aku satu lagi yang masih panas.” Aku memberikan senyum termanisku pada lelaki itu. Ia mengangkat alisnya memberi sedikit perhatian padaku sebelum ia membuat kopi untukku.

“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya gadis itu ketus. Lipstik merah menghiasi bibirnya, begitu kontras dengan wajahnya yang pucat. Kuku panjang yang dicat merah dengan cincin tengkorak besar menghiasi jarinya.

“Mencuci, ah tidak, aku sedang tidur. Oh ayolah nona, kau tahu aku sedang minum dan berteduh dari salju di luar sana. Tidakkah matamu berfungsi dengan baik? Ah, aku tahu. Bukankah sejak tadi matamu sibuk memandang lelaki itu?” Nada menghina terdengar jelas dari suaraku, membuat wajah gadis itu nyaris sewarna dengan lipstiknya. 

Sekilas aku yakin melihat lelaki itu menyeringai sebelum ia memberikan segelas kopi panas untukku. Aku berdiri dan kembali menuju kursiku sebelumnya. Membuat posisiku senyaman mungkin. 

Aku memainkan ponselku kemudian login pada salah satu jejaring sosial, menikmati penjelajahanku di dunia maya hingga sebuah suara pukulan pada meja yang begitu keras mengagetkanku.

“Aku benar-benar tak bisa percaya ini Jesse! Kau keterlaluan!” Teriak gadis itu. Suaranya melengking membuat semua mata tertuju padanya. Senyum penuh arti tersungging di bibirku untuk gadis itu. Kilatan kemarahan terlihat jelas di matanya saat ia memandangku. Kemudian aku melanjutkan aktivitasku untuk berselancar di dunia maya.

Byur.

Sesuatu yang hangat –nyaris dingin– mengguyur kepalaku, menodai sweater biru pemberian mendiang ibuku. Aku menggebrak meja milikku, memandang gadis itu geram.

“Apa yang kau lakukan?” Aku membentaknya penuh amarah.

“Siapa suruh kau mentertawaiku? Dan lagi sweater jelek seperti itu memang harusnya kau buang!” Gadis itu benar-benar menyebalkan. Tanpa mengalihkan pandanganku darinya, tanganku meraih segelas kopi yang masih panas, kemudian kusiram tepat di dadanya. Seperti yang kutebak, dia menjerit kepanasan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Kemudian ia pergi bersama omelan-omelannya yang tak jelas.

Aku mendengus kesal, kemudian kutatap lelaki yang masih sibuk dengan sesuatu di balik mejanya. Kulangkahkan kakiku dengan berat menuju meja itu.

“Aku butuh toilet.” Ucapku ketus. Lelaki itu menatapku sekilas kemudian menggerakkan matanya untuk menunjuk pintu bertuliskan toilet di sudut kedai itu. Aku menggeleng tak percaya. Bagaimana bisa semua orang di kota ini berlaku menyebalkan. Tak ada ramah tamah, tak ada percakapan yang menyenangkan dan yang pasti tak ada orang baik disini! Aku menghentakkan kakiku menuju kamar mandi, mengelap sisa-sisa kopi yang meninggalkan noda di sweater kesayanganku dan bergegas kembali ke mejaku.

“Aku mau tutup.” Suara maskulin itu membuyarkan lamunanku. Untuk pertama kalinya lelaki itu membuka mulutnya. Aku menatap lekat-lekat lelaki itu. “Cepat keluar, aku mau tutup.” Ia mengusirku. Ya, dia mengusirku! Seumur hidup aku tak pernah di usir dengan cara seperti ini. Ya Tuhan, ini benar-benar menyebalkan.

“Aku akan keluar ketika kau benar-benar selesai dengan pekerjaanmu dan meninggalkan tempat ini dalam keadaan terkunci.” Ujarku tegas. Lelaki itu membelalakkan matanya.

“Apa-apaan kau ini. Cepat keluar atau aku akan menyeretmu!” Bentak lelaki itu membuatku terperangah. Benar-benar tidak sopan.

“Apa seperti ini perlakuan orang-orang disini pada orang lain? Benar-benar tak tahu sopan santun! Ah, apa aku perlu mengajarimu sopan santun, ha?” Nadaku seoktaf lebih tinggi. Tanpa banyak kata lelaki itu menyeretku keluar.

“Pulanglah, anak kecil jangan berkeliaran tengah malam seperti ini.” Ujar lelaki itu ketus. Sialan. Aku sudah dua puluh satu tahun! Lelaki itu membanting pintu di depanku. Dingin sesegera mungkin menyergapku. Salju turun lebih lebat dan aku tak punya tempat tujuan.

Perjalananku menuju Dakota Selatan masih sangat jauh dan busku meninggalkanku ketika aku menggunakan toilet di terminal Bareland. Seluruh barangku –kecuali ponsel dan dompet– tertinggal dalam bus. Dan sialnya aku tak pernah tahu ada kota terkutuk seperti Bareland di Minnesota.

Aku duduk meringkuk di depan kedai itu, mencoba membuat posisiku nyaman dan menghangatkan tubuhku. Aku tak bisa tidur diluar dengan suhu minus seperti ini. Tapi mataku begitu berat mengalahkan rasa dingin yang menusuk tulang.

***

Kehangatan mulai menjalar di tubuhku. Aku menarik selimut untuk membuatku semakin hangat. Hangat? Aku segera membuka mataku. Aku berada di sebuah ruangan seluas kamarku. Tapi jelas ini bukan. Lalu aroma roti panggang menggelitik hidungku. Membuatku beranjak dari tempat tidur dan mencari asal aroma itu.

“Jesse.” Satu nama itu muncul ketika kusaksikan seorang lelaki tengah menyesap minuman di tangannya.

“Kau tau namaku? Duduklah, makan sarapanmu.” Kata lelaki itu dengan nada yang lebih lembut. Aku beringsut menuju kursi kosong di sampingnya. Kemudian melahap roti dengan selai kacang dan menyesap teh yang disiapkannya dalam mug polkadot.

“Terima kasih.”

“Kenapa kau tidak pulang?” Tanya Jesse  setelah menelan rotinya.

“Aku tak punya tempat tujuan.”

“Dimana rumahmu?”

“Setelah ayah meninggal, rumah kami di sita. Aku tak punya tempat tinggal. Aku hendak menuju Dakota Selatan, rumah bibiku. Tapi bus yang kutumpangi meninggalkanku di terminal ketika aku menggunakan toilet. Uangku tak cukup untuk membeli tiket lagi.” Ujarku. “Tidak bisakah kau memberiku pekerjaan?”

“Pekerjaan apa yang kau butuhkan?” Tanya Jesse lembut. Lembut? Kurasa lelaki ini kerasukan semacam malaikat –atau ibu peri. Dia berubah begitu lembut, sangat berbeda dengan kemarin. Atau dia punya kepribadian ganda? Segala pertanyaan berputar-putar dalam kepalaku, mencoba menerka  apa yang sebenarnya terjadi dengan lelaki  ini.

“Pekerjaan apa? Kenapa malah melamun?” Suara berat itu membuyarkan lamunanku. “Apa yang ada dalam otakmu itu?”

“Em.. hanya saja–“ Aku menggigit bibirku ragu. Tatapan Jesse begitu tajam, berusaha menuntut jawaban. “ –hanya saja kenapa kau berubah?” Suaraku penuh keraguan. 

Senyum terurai dari bibir Jesse, membuatku terperangah dan membelalakkan mataku. Senyum itu begitu pas di wajahnya. Membuat dia tampak begitu menawan. 

“Siapa namamu?” Jesse bertanya. Ah, ya. Kami belum berkenalan sebelumnya. Aku hanya mengetahui nama lelaki itu dari si pirang kemarin.

“Megan Reed.”

“Oke, miss Reed. Begini, mungkin kau harus tahu di Bareland kau tak diijinkan beramah tamah pada orang lain. Orang lain bukanlah urusanmu. Apapun yang mereka lakukan, meski itu menyimpang kau tak boleh ikut campur bahkan untuk sekedar berkomentar. Jika mereka mendengarnya, mereka akan menuntutmu. Disini tak ada aturan bahwa kau harus menolong orang lain meski ia tergeletak sekarat di jalanan.”

“Kejam sekali.” 

“Memang seperti itu aturan disini. Terlebih penduduk asli Bareland. Tidak ada yang namanya teman. Semua adalah musuh. Setiap mereka mengajukan tuntutan, mereka akan mendapatkan uang. Jadi berhati-hatilah.” Penjelasan Jesse membuatku merinding. Aku teringat si pirang. Bagaimana jika ia menuntutku? 

“Lalu, kenapa kau menolongku?” Jesse memandangku, tatapannya melembut.

“Aku punya adik perempuan. Kau membuatku teringat padanya.” Kemudian ia memandang foto yang terletak di atas bufet. Empat laki-laki dan seorang perempuan yang cantik.

“Aku sepertinya harus berterima kasih pada gadis cantik ini.” Aku melangkah untuk mendekat pada foto tersebut. Menarik. Mereka semua mirip. Gen yang sangat bagus ada dalam keluarga Jesse. “Mereka saudaramu?”

“Ya, aku anak sulung di keluargaku. Aku tinggal disini sejak tiga tahun yang lalu. Kota yang cocok untukku. Kau tak akan menemukan penjilat disini.” Senyum kembali terurai di wajah tampannya, membuatku bagai terhipnotis. “Mulailah bekerja di kedaiku sore nanti. Aku akan membayarmu. Kau bisa tinggal disini sampai uangmu cukup untuk perjalanan ke Dakota” Ujar Jesse membuatku berbinar. Terima kasih Tuhan, masih ada orang baik di sini!

***

Sudah hampir seminggu aku bekerja di kedai kopi yang tak bisa dikatakan besar ini. Tapi setidaknya aku bisa mengumpulkan uang untuk segera pergi dari kota aneh ini. Hawa dingin masih menyelimuti Bareland, membuatku menggigil meski aku berada di dalam ruangan. Aku menatap lelaki yang meracik kopi dengan cekatan itu. 

“Meg, hidungmu.” Jesse menunjuk hidungku. Darah keluar dari hidungku, membuat kepalaku semakin pusing setelah melihat darah. “Naiklah, sepertinya lebih baik kau beristirahat.” Kedai ini memiliki dua lantai, lantai atas adalah tempat tinggal Jesse.

“Tidak Jesse. Kau akan memotong gajiku untuk ini.” Aku meraih tisu di meja dan segera mengelap hidungku. Musim dingin kali ini sangat dingin dengan temperatur minus dua belas derajat pada malam ini. Beruntung hari dimana aku tersesat tak sedingin ini.

“Kubilang naik.” Suara lelaki itu rendah, penuh penekanan. Sorot matanya yang kejam seakan mengatakan naik-atau-kubunuh membuatku takut. Ini kota aneh, bukannya tak mungkin lelaki ini akan membunuhku karena aku tak menuruti kata-katanya. 

Sesuatu yang lama tersimpan dalam seakan muncul. Malaikat dalam hatiku berbisik Jesse memperhatikanmu, dia pasti menyukaimu. Namun malaikat dalam otakku melipat tangannya sambil berteriak, Meg, dia hanya simpati.

“Kau baik-baik saja Meg?” Jesse semakin mendekat. Aku menggeleng membiarkan kedua malaikat itu pergi. “Kubilang naiklah. Aku tak akan memotong gajimu.” Kali ini nadanya lebih lembut, membuat rasa pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi, bukan karena melihat darah, tapi karena pesona lelaki ini. Aku mengangguk setelah beberapa detik terpaku melihat wajah tampan lelaki di hadapanku. Rambutnya yang kecoklatan tampak berantakan, mata birunya begitu indah, alisnya tebal, bibirnya pun  menggoda untuk di– 

“Meg.” Jesse mengguncang pundakku. Membuatku kembali ke daratan. “Kau tak tampak baik-baik saja. Beristirahatlah atau kau kupecat dan aku akan menendangmu keluar malam ini juga.” Pemikiran menggigil pada cuaca seekstrim ini membuatku ngeri. Akhirnya akupun menuruti perkataan Jeese dan merebahkan diriku di sofa hitam di depan televisi.

***

Aku merasakan sesuatu yang hangat membelai wajahku. Perlahan aku membuka mataku dan aku menyadari bahwa aku telah berada di kamar.

“Jesse..” Bisikku ketika menatap wajah tampan yang tengah terduduk menatapku.

“Badanmu panas. Kau meracau sejak tadi malam.” Suara Jeese terdengar parau. Aku melirik jam meja di atas nakas. Ini sudah hampir pagi.

“Sejak kapan kau di sini? Kau tidak tidur?” Jesse menggeleng. 

“Kau memanggilku terus menerus.”

“Apa aku mengatakan sesuatu?” Tanyaku mulai panik, khawatir dengan mulutku. Jesse tersenyum penuh arti. Membuat perutku terasa seperti diaduk-aduk.

“Kau bilang kau mencintaiku.” Suara Jesse terdengar parau. Membuatku mati rasa begitu mendengar kalimat itu keluar dari mulut Jesse. Matilah aku!

“Apa itu yang ada di hatimu?” Goda Jesse. Wajahku memanas, bahkan mungkin seperti udang rebus sekarang. Beruntung suasana temaram menyembunyikan wajahku.

Ya! Ingin sekali aku mengatakan itu dengan suara lantang, namun aku tak punya keberanian. Kenyataan jika aku katakan ya dan Jesse menolakku, membuatku takut. Aku masih membutuhkan pekerjaanku. 

“Tidurlah. Kuharap nanti malam kau sudah bisa bekerja kembali.” 

*** 

“Hai, manis. Berikan kami tiga kopi.” Seorang lelaki menghampiriku, memesan kopi untuk dua temannya yang telah mengambil tempat di meja lima –meja dekat pintu masuk. Seperti biasa tanpa senyum aku melayani mereka. Aku berjalan, mengantar pesanan mereka. 

“Aa–” Pekikku saat tangan seseorang menepuk pantatku. “Apa yang kau lakukan?” Bentakku dengan suara yang tak terlalu keras.

“Kemarilah manis. Kau begitu hangat.” Lelaki itu menarik tanganku.

“Lepaskan dia.” Suara yang sangat ku kenal diikuti tangannya yang menarikku untuk menjauh dari lelaki itu.

“Tak ada urusannya denganmu! Apa kau menginginkan sebuah tuntutan, ha?” Seorang lelaki lainnya berdiri dan menendang kursi disampingnya hingga terguling. Seorang lagi beringsut mendaratkan pukulan untuk Jesse namun Jesse berhasil menghindarinya. 

“Tentu saja ada karena kau mengganggu pacarku.” Suaranya begitu mengancam dengan tatapan pembunuh ala Jesse. Suasana kedai yang sepi berubah ramai karena perkelahian mereka berempat. Dan tentu saja Jesse tak keluar sebagai pemenangnya, ini bukan sinetron.

“Jesse, bagaimana denganmu?” Suaraku bergetar ketakutan, kakiku seolah tak bertulang, tak mampu menopang tubuhku hingga aku jatuh terduduk dan merangkak untuk mendekati Jesse.

“Aku baik-baik saja, jangan menangis.” Jesse mengusap kepalaku, senyum menghiasi wajahnya yang terluka. Aku memeluk Jesse, bersyukur bahwa mereka tak melukai Jesse lebih dari ini. Jesse membalas pelukanku, mengusap punggungku untuk menenangkanku yang masih menangis ketakutan.

“Maafkan aku.” Bisikku di telinganya. membuat lelaki itu mempererat pelukannya.

“Untuk apa Meg?”

“Gara-gara aku kau jadi begini.” Jesse melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

“Sudah seharusnya itu kulakukan untuk orang yang kucintai.” Jesse mendekatkan wajahnya, kemudian memberi sebuah ciuman di bibirku yang memberikan kehangatan di seluruh tubuhku. 

TAMAT

3 komentar:

  1. Suka sama sifatnya mas Jesse. Terus kapan ada cerita tentang Mas Will, Shane, Mark? hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh.. maaf komentarnya baru dibales :p
      sudah dibikin kak. selamat membacaa :3

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D