Malam semakin larut. Seorang mahasiswa
tingkat akhir berjalan keluar dari rumah kosnya. Tubuhnya mengenakan jaket
bertudung sambil menggenggam beberapa lembar uang. Ia memasuki sebuah toko
serbaada yang buka dua puluh empat jam. Bapak pemilik toko tersebut menyambutnya
dengan senyuman ramah. Mahasiswa itu membalas dengan senyum sopan sebelum
mencari apa yang ingin ia beli.
Tiga bungkus mi instan, tujuh kaleng kopi,
dan lima bungkus keripik singkong dalam kantung plastik menggantikan lembaran
uang yang tadi digenggamnya. Ia mendongakkan kepala menatap langit yang semakin
menghitam. Langkahnya gontai saat kembali ke rumah kosnya. Ini sudah hampir
tengah malam, tapi ia belum menyelesaikan proposal skripsinya. Sementara batas
waktu yang diberikan dosen pemimbingnya adalah besok pukul satu siang.
Mahasiswa itu menghela napas berat. Sedetik
kemudian, ia menyadari ada beberapa pasangan yang tengah bermesraan di
sudut-sudut kegelapan malam. Entah mengapa, ia merasa malu hingga menundukkan
kepala dalam-dalam. Bahkan saat ia melewati sebuah gang kecil di dekat rumah
kosnya, ia melihat sepasang kekasih tengah berciuman begitu panas di sana. Di
tengah cahaya minim di gang itu, ia bisa melihat jelas lelaki itu menghimpit
tubuh gadisnya ke dinding. Mereka seperti tengah tenggelam nafsu yang
memabukkan. Bahkan tidak menyadari bahwa mahasiswa itu melangkah cepat untuk
menjauh tanpa suara.
Begitu mahasiswa itu jauh dari jangkauan
pandangan, lelaki itu melangkah mundur. Ia melepaskan gadis yang tadi
dihimpitnya ke dinding. Lelaki itu menyeringai sinis saat melihat kaus putihnya
yang bernoda merah. Noda itu didapatnya dari dada kiri gadisnya yang terkoyak.
Gadis itu tergeletak tak berdaya.
Punggungnya menyandar ke dinding sementara kepalanya tertunduk lemah. Rambutnya
dicat pirang hingga membuat kulitnya semakin tampak begitu pucat seperti bulan
purnama. Darah segar merembes melalui dada kirinya. Kedua matanya terpejam
untuk selama-lamanya.
Lelaki itu berjongkok di samping jasad
gadisnya. Tangan kirinya membelai lembut rambut panjang gadis itu. Sekali lagi,
lelaki itu menyeringai.
“Maafkan aku, Sayang,” ujarnya sambil
mengecup lembut dahi gadis itu. “Aku tahu kau gadis yang pemaaf. Maka, kau
pasti akan memaafkan perbuatanku padamu.”
Lelaki itu berdiri lalu mengambil sebatang
rokok dari saku jaketnya. Ia menyematkan rokok itu di bibir, lalu menyalakannya
dengan sebuah pemantik. Api berkobar sekejap lalu menghilang. Lelaki itu
mengembuskan asap yang membumbung ke langit malam.
“Kau mau merokok, Sayang?”
Lelaki itu menyodorkan kotak rokoknya
kepada gadis yang tergeletak itu. Tentu saja tidak ada jawaban. Sehingga ia menarik
kembali uluran tangannya.
“Oh— maaf. Aku lupa kalau kau sudah tidak mungkin bisa menjawabku lagi.”
Lelaki itu memasukkan kotak rokoknya kembali ke dalam
saku. Ia menengadahkan kepala menatap langit malam yang gelap. Bintang-bintang
tampak berkelap-kelip manja di atas sana.
“Keinginanmu adalah terbang tinggi untuk mengambil
bintang di langit, kau ingat?” Lelaki itu bergumam lebih kepada dirinya
sendiri. “Dan sekarang aku mengabulkan keinginanmu. Apa kau bahagia memiliki
kekasih sebaik aku?”
Suasana kembali hening dan mencekam. Bahkan burung hantu
dan gagak pun takut untuk bersuara. Lelaki itu melemparkan puntung rokoknya ke
jalan lalu menginjaknya. Hingga bara apinya benar-benar padam. Sekarang ia
kembali berjongkok di hadapan gadisnya. Seringainya kembali muncul di susut
bibirnya. Tangannya terulur dan membelai rambut pirang gadis itu berulang kali.
“Kau juga pernah berkata bahwa kau lebih baik mati dari
pada harus berpisah denganku. Maka, aku mengabulkannya.” Lelaki itu membelai
pipi pucat gadisnya penuh kasih sayang. “Lagipula aku sudah mengenal gadis lain
untuk menggantikanmu. Sebentar lagi ia akan datang kemari menjemputku.” Sekali
lagi mungkin untuk yang terakhir, ia mengecup bibir gadisnya. “Bersembunyilah,
Sayang. Aku tak mau kekasihku cemburu jika melihat kita berduaan sepert—“
Sebuah jeritan histeris menginterupsi kata-kata lelaki
itu begitu saja. Ia menolehkan kepala dan mendapati seorang gadis tengah
berdiri kaku di bibir gang sempit itu. Ujung rambut gadis itu menyentuh bahu, lebih
pendek dari rambut gadis yang sebelumnya. Tapi kedua gadis itu memiliki
persamaan. Mereka mengecat warna rambut mereka menjadi pirang.
Inilah gadis yang ditunggunya.
“Kau... kau...” Gadis itu terbata-bata sambil menunjuk
dengan telunjuk gemetar. “A-apa yang kau lakukan?!”
Sedetik kemudian, ia melihat lelaki itu mulai melangkah mendekat.
Ia ingin lari. Tapi kakinya beku seperti direndam dalam semen yang mengering. Sekilas
gadis itu melihat lelaki itu menyeringai tajam hingga tanpa sadar air mata meleleh
di pipinya. Jejak air mata membekas di kulitnya yang berlapis bedak.
“Jangan takut, Sayang,” ujar lelaki itu tenang. “Aku
hanya sedang bersenang-senang.”
Mata gadis itu terbelalak lebar saat melihat noda darah
yang mulai menghitam di kaus putih lelaki itu. Dan sepertinya lelaki itu
menyadari arah pandangan itu. Dengan cepat ia menarik ritsleting jaket hitamnya
dan menutupi noda darah itu.
Semakin lelaki itu mendekat, tubuh gadis itu semakin
gemetar. Ia begitu ketakutan hingga otaknya membeku. Tak ada yang bisa ia
lakukan selain memukulkan tas di genggamannya ke udara. Ia memejamkan mata
sambil berharap salah satu serangannya mampu melumpuhkan lelaki itu.
Tiba-tiba gerakan tangan gadis itu terhenti. Lelaki itu sudah
mencengkram tangannya dengan begitu kuat. Sedetik kemudian, lelaki itu sudah
menarik tubuh gadis itu dengan kasar, menghimpit tubuh gadis itu ke dinding. Sehingga
tidak ada ruang lagi untuk gadis itu untuk meronta.
“Sebenarnya aku tidak berniat melakukan ini padamu dalam
waktu dekat. Tapi kau sudah melihat apa yang seharusnya tidak kau lihat malam
ini. Jadi, aku tak punya pilihan lain.”
“Ja-jangan sakiti aku...” Gadis itu meraung pilu. Air
matanya sudah tak tertahankan lagi. “Aku a-akan melakukan apa saja tapi
le-lepaskan aku... Aku mohoooon...”
Lelaki itu mendekatkan wajahnya lalu berbisik dengan nada
mesra. “Setahun yang lalu, aku mencintai seorang gadis dengan sepenuh hati.
Tapi dia mencampakkanku begitu saja. Itu sangat menyakiti perasaanku. Dia sama
sepertimu, juga gadis yang tergeletak itu.” Jari telunjuk lelaki itu mengarah
pada gadis berambut panjang. “Kalian semua mengubah warna rambut menjadi pirang
seperti ini. Sejak saat itu, setiap kali aku melihat gadis berambut pirang...
aku selalu ingin mengoyak jantungnya.”
Bibir mereka bersentuhan. Lelaki itu memagut gadisnya
dengan begitu panas. Seolah tak ada hari esok untuk berciuman. Sementara gadis
itu merasakan suatu sengatan di jantungnya. Sengatan itu begitu dalam dan
intens hingga rasanya menghisap habis darah di seluruh tubuhnya.
“Maafkan aku, Sayang. Tapi ini satu-satunya cara yang
harus kita hadapi bersama.” bisik lelaki itu dengan wajah berpura-pura sedih.
Ia membelai tengkuk gadis itu lalu menyusupkan tangannya ke dalam rambut pirang
buatan itu. “Aku tidak mengizinkan siapapun mengetahui rahasiaku.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D