Senin, 16 Februari 2015

No One Allowed to Know My Secret



Malam semakin larut. Seorang mahasiswa tingkat akhir berjalan keluar dari rumah kosnya. Tubuhnya mengenakan jaket bertudung sambil menggenggam beberapa lembar uang. Ia memasuki sebuah toko serbaada yang buka dua puluh empat jam. Bapak pemilik toko tersebut menyambutnya dengan senyuman ramah. Mahasiswa itu membalas dengan senyum sopan sebelum mencari apa yang ingin ia beli.

Tiga bungkus mi instan, tujuh kaleng kopi, dan lima bungkus keripik singkong dalam kantung plastik menggantikan lembaran uang yang tadi digenggamnya. Ia mendongakkan kepala menatap langit yang semakin menghitam. Langkahnya gontai saat kembali ke rumah kosnya. Ini sudah hampir tengah malam, tapi ia belum menyelesaikan proposal skripsinya. Sementara batas waktu yang diberikan dosen pemimbingnya adalah besok pukul satu siang.

Mahasiswa itu menghela napas berat. Sedetik kemudian, ia menyadari ada beberapa pasangan yang tengah bermesraan di sudut-sudut kegelapan malam. Entah mengapa, ia merasa malu hingga menundukkan kepala dalam-dalam. Bahkan saat ia melewati sebuah gang kecil di dekat rumah kosnya, ia melihat sepasang kekasih tengah berciuman begitu panas di sana. Di tengah cahaya minim di gang itu, ia bisa melihat jelas lelaki itu menghimpit tubuh gadisnya ke dinding. Mereka seperti tengah tenggelam nafsu yang memabukkan. Bahkan tidak menyadari bahwa mahasiswa itu melangkah cepat untuk menjauh tanpa suara.

Begitu mahasiswa itu jauh dari jangkauan pandangan, lelaki itu melangkah mundur. Ia melepaskan gadis yang tadi dihimpitnya ke dinding. Lelaki itu menyeringai sinis saat melihat kaus putihnya yang bernoda merah. Noda itu didapatnya dari dada kiri gadisnya yang terkoyak.

Gadis itu tergeletak tak berdaya. Punggungnya menyandar ke dinding sementara kepalanya tertunduk lemah. Rambutnya dicat pirang hingga membuat kulitnya semakin tampak begitu pucat seperti bulan purnama. Darah segar merembes melalui dada kirinya. Kedua matanya terpejam untuk selama-lamanya.

Lelaki itu berjongkok di samping jasad gadisnya. Tangan kirinya membelai lembut rambut panjang gadis itu. Sekali lagi, lelaki itu menyeringai.

“Maafkan aku, Sayang,” ujarnya sambil mengecup lembut dahi gadis itu. “Aku tahu kau gadis yang pemaaf. Maka, kau pasti akan memaafkan perbuatanku padamu.”
Lelaki itu berdiri lalu mengambil sebatang rokok dari saku jaketnya. Ia menyematkan rokok itu di bibir, lalu menyalakannya dengan sebuah pemantik. Api berkobar sekejap lalu menghilang. Lelaki itu mengembuskan asap yang membumbung ke langit malam.

“Kau mau merokok, Sayang?”

Lelaki itu menyodorkan kotak rokoknya kepada gadis yang tergeletak itu. Tentu saja tidak ada jawaban. Sehingga ia menarik kembali uluran tangannya.

“Ohmaaf. Aku lupa kalau kau sudah tidak mungkin bisa menjawabku lagi.”

Lelaki itu memasukkan kotak rokoknya kembali ke dalam saku. Ia menengadahkan kepala menatap langit malam yang gelap. Bintang-bintang tampak berkelap-kelip manja di atas sana.

“Keinginanmu adalah terbang tinggi untuk mengambil bintang di langit, kau ingat?” Lelaki itu bergumam lebih kepada dirinya sendiri. “Dan sekarang aku mengabulkan keinginanmu. Apa kau bahagia memiliki kekasih sebaik aku?”

Suasana kembali hening dan mencekam. Bahkan burung hantu dan gagak pun takut untuk bersuara. Lelaki itu melemparkan puntung rokoknya ke jalan lalu menginjaknya. Hingga bara apinya benar-benar padam. Sekarang ia kembali berjongkok di hadapan gadisnya. Seringainya kembali muncul di susut bibirnya. Tangannya terulur dan membelai rambut pirang gadis itu berulang kali.

“Kau juga pernah berkata bahwa kau lebih baik mati dari pada harus berpisah denganku. Maka, aku mengabulkannya.” Lelaki itu membelai pipi pucat gadisnya penuh kasih sayang. “Lagipula aku sudah mengenal gadis lain untuk menggantikanmu. Sebentar lagi ia akan datang kemari menjemputku.” Sekali lagi mungkin untuk yang terakhir, ia mengecup bibir gadisnya. “Bersembunyilah, Sayang. Aku tak mau kekasihku cemburu jika melihat kita berduaan sepert

Sebuah jeritan histeris menginterupsi kata-kata lelaki itu begitu saja. Ia menolehkan kepala dan mendapati seorang gadis tengah berdiri kaku di bibir gang sempit itu. Ujung rambut gadis itu menyentuh bahu, lebih pendek dari rambut gadis yang sebelumnya. Tapi kedua gadis itu memiliki persamaan. Mereka mengecat warna rambut mereka menjadi pirang.

Inilah gadis yang ditunggunya.

“Kau... kau...” Gadis itu terbata-bata sambil menunjuk dengan telunjuk gemetar. “A-apa yang kau lakukan?!”

Sedetik kemudian, ia melihat lelaki itu mulai melangkah mendekat. Ia ingin lari. Tapi kakinya beku seperti direndam dalam semen yang mengering. Sekilas gadis itu melihat lelaki itu menyeringai tajam hingga tanpa sadar air mata meleleh di pipinya. Jejak air mata membekas di kulitnya yang berlapis bedak.

“Jangan takut, Sayang,” ujar lelaki itu tenang. “Aku hanya sedang bersenang-senang.”

Mata gadis itu terbelalak lebar saat melihat noda darah yang mulai menghitam di kaus putih lelaki itu. Dan sepertinya lelaki itu menyadari arah pandangan itu. Dengan cepat ia menarik ritsleting jaket hitamnya dan menutupi noda darah itu.

Semakin lelaki itu mendekat, tubuh gadis itu semakin gemetar. Ia begitu ketakutan hingga otaknya membeku. Tak ada yang bisa ia lakukan selain memukulkan tas di genggamannya ke udara. Ia memejamkan mata sambil berharap salah satu serangannya mampu melumpuhkan lelaki itu.

Tiba-tiba gerakan tangan gadis itu terhenti. Lelaki itu sudah mencengkram tangannya dengan begitu kuat. Sedetik kemudian, lelaki itu sudah menarik tubuh gadis itu dengan kasar, menghimpit tubuh gadis itu ke dinding. Sehingga tidak ada ruang lagi untuk gadis itu untuk meronta.

“Sebenarnya aku tidak berniat melakukan ini padamu dalam waktu dekat. Tapi kau sudah melihat apa yang seharusnya tidak kau lihat malam ini. Jadi, aku tak punya pilihan lain.”

“Ja-jangan sakiti aku...” Gadis itu meraung pilu. Air matanya sudah tak tertahankan lagi. “Aku a-akan melakukan apa saja tapi le-lepaskan aku... Aku mohoooon...”

Lelaki itu mendekatkan wajahnya lalu berbisik dengan nada mesra. “Setahun yang lalu, aku mencintai seorang gadis dengan sepenuh hati. Tapi dia mencampakkanku begitu saja. Itu sangat menyakiti perasaanku. Dia sama sepertimu, juga gadis yang tergeletak itu.” Jari telunjuk lelaki itu mengarah pada gadis berambut panjang. “Kalian semua mengubah warna rambut menjadi pirang seperti ini. Sejak saat itu, setiap kali aku melihat gadis berambut pirang... aku selalu ingin mengoyak jantungnya.”

Bibir mereka bersentuhan. Lelaki itu memagut gadisnya dengan begitu panas. Seolah tak ada hari esok untuk berciuman. Sementara gadis itu merasakan suatu sengatan di jantungnya. Sengatan itu begitu dalam dan intens hingga rasanya menghisap habis darah di seluruh tubuhnya.

“Maafkan aku, Sayang. Tapi ini satu-satunya cara yang harus kita hadapi bersama.” bisik lelaki itu dengan wajah berpura-pura sedih. Ia membelai tengkuk gadis itu lalu menyusupkan tangannya ke dalam rambut pirang buatan itu. “Aku tidak mengizinkan siapapun mengetahui rahasiaku.”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D