Cahaya matahari yang jernih dan terang
sedang bersemangat menyinari dunia. Semilir angin berembus membuat damai
suasana. Beberapa ekor elang tampak sedang terbang berputar di udara. Sesekali
terdengar suara memekiki dari para elang itu.
“Kau siap untuk mulai, Diff?” tanya Dash
sambil bersiap di tepi ngarai. Di sini merupakan garis start yang sudah mereka tentukan sebelumnya.
“Kapanpun kau siap!” balas Diff menjawab
tantangan Dash.
Mereka merentangkan sayap seperti kaca di
punggung masing-masing.
“Baiklah. Bersedia?” Dash memberi aba-aba.
“Mulai!”
Dash meluncur di udara bersamaan dengan
aba-aba mulai yang diucapkannya. Hal
tersebut sontak membuat Diff merasa dicurangi. Cepat-cepat gadis itu menyusul
Dash dan menukik di udara.
“Kau curang, Dash!” protes Diff dengan
bibir mungilnya yang mengerucut kesal.
“Aku tidak curang. Kau saja yang lamban,
Diff.” Dash membalas protes Diff dengan sebuah olokan. Setelah mengatakan itu,
bergegas Dash memacu otot punggungnya untuk bergerak lebih cepat. Ia tidak
boleh kalah dari Diff.
Lelaki ini meremehkanku! Diff menutup mulutnya rapat dan menggertakkan
giginya kuat-kuat, merasa kesal diejek seperti itu. Lalu ia mulai berakselerasi
dengan kecepatan maksimum terbangnya. Gadis itu berhasil menyusul Dash bahkan terbang
mendahului lelaki itu. Sambil mengerlingkan mata penuh kemenangan, Diff
melewati Dash lalu mulai terbang menuju garis finish yang sudah mereka tentukan tadi. Sebuah pohon dekat semak
belukar di tepi wilayah hutan.
Diff merasakan
angin mengangkatnya ke udara hingga terasa semakin dekat dengan langit. Di
bawah cahaya matahari yang terik, Diff merasakan kemampuan terbangnya semakin
kuat. Aku peri tercepat di dunia! Ia
berseru dalam hati. Angin membelai lembut rambutnya, juga membuat sayapnya yang
seperti sayap capung berkibar-kibar.
“Diff! Terbanglah
lebih cepat!”
Tiba-tiba Diff
mendengar Dash berseru dengan panik. Apa lagi ini? Lelaki ini masih saja
berusaha mengolok-oloknya. Tapi wajah Diff langsung berubah pucat saat melihat
penyebabnya. Ada seekor elang tepat di belakangnya! Dan gadis itu merasakan
ketakutan saat ia melihat elang lain terbang cepat ke arah Dash.
Dash terbang
lebih cepat dan dengan gesit ia menghindari kejaran elang itu. Benar-benar luar
biasa! Tapi ini bukan saatnya untuk mengaggumi cara terbang orang lain
sementara ia sendiri harus menyelamatkan dirinya.
Diff berpikir
cepat untuk mencari tempat bersembunyi. Tapi tempat ini lebih mirip padang
pasir dan nyaris tidak ada tempat bersembunyi yang aman. Sepertinya satu-satu
cara adalah menukik turun dan masuk wilayah hutan. Diff mulai melaju rendah
dengan melawan arus angin ke dasar ngarai. Sesaat ia mencoba mengintip dari
balik bahu sambil berharap elang itu sudah berhenti mengejarnya. Tapi harapan
itu ternyata masih jauh. Elang itu malah tampak melipat sayap seperti hendak
mendarat dan cakarnya terentang dekat tubuh Diff.
Sedikit lagi...
sedikit lagi cakar melengkung itu akan mencengkram tubuh Diff!
Dari kejauhan
Dash memicingkan mata untuk mengamati pengejaran itu. Sebenarnya ia sudah bisa
menyelamatkan diri sejak tadi. Diff mungkin memiliki kecepatan terbang yang
hebat dalam lintasan lurus. Sedangkan Dash memiliki kemampuan terbang yang
lincah untuk selamat hal seperti ini. Tapi ia tidak mungkin meninggalkan Diff
sendirian dikejar elang. Demi Tuhan, itu kekasih yang dicintainya!
Semua peri takut
pada elang karena burung gagah itu sering memangsa peri. Sehingga inilah
satu-satunya tempat yang aman bagi Dash dan Diff untuk bertemu. Mereka tidak
takut pada elang. Lagi pula kemampuan terbang mereka memang jauh berbeda dari
peri yang lain. Ada hal lain yang lebih mereka takut yaitu jika hubungan mereka
diketahui banyak orang. Dan mereka akan dipisahkan selamanya.
Tiba-tiba Dash
merasakan tekanan udara di sekitarnya berubah. Ia menoleh dan mendapati cakar
elang yang mengejarnya hampir saja berhasil menangkapnya. Dengan panik Dash
menukik turun. Konsentrasinya sempat kacau karena memikirkan keselamatan Diff. Sayap
Dash mengepak beberapa kali dengan cepat. Terdengar suara elang memekakkan
telinga.
Dash terbang
dengan sangat cepat hingga ia tidak bisa mengendalikan pendaratannya. Ia jatuh
berdebam dan bergulung berkali-kali dalam semak. Terdengar bunyi ranting patah
dan dedaunan yang terkoyak.
Kemudian Dash
coba menajamkan telinga untuk membaca suasana di sekitarnya. Tapi tidak
terdengar lagi suara elang yang mengejarnya. Dengan hati-hati ia keluar dari semak
dan menatap ke arah langit luas. Sepertinya elang itu sudah kembali ke sarang
atau mungkin pergi mencari mangsa lain.
Perlahan Dash
merangkak keluar dari semak. Beberapa bagian tubuhnya terasa nyeri karena memar
dan lecet akibat pendaratan darurat tadi. Tapi ini bukan saatnya untuk
mengkhawatirkan dirinya sendiri.
“Diff? Apa kau
mendengarku?”
Hening. Tidak ada
jawaban selain deru angin yang mengembus lembut.
Dash menelan
ludahnya. Ia berusaha menghalau pikiran buruk yang menyusup ke dalam pikirannya.
Hati Dash mencelos saat menyadari kemungkinan Diff sudah tewas dimangsa elang
itu.
Sayap bening
berwarna biru keabu-abuan mengepak di punggung Dash. Lelaki itu memutuskan
untuk mencari Diff sebelum otaknya membayangkan hal-hal mengerikan lainnya. Ia
terbang rendah sambil meneriakkan nama Diff berkali-kali.
Tiba-tiba Dash
mendegar suara gemerisik. Ia menoleh perlahan penuh waspada. Mungkin saja elang
yang tadi mengejarnya masih berada di dekat sini sengaja mencarinya. Tapi tidak
ada elang sejauh mata memandang.
Dash mulai
terbang lagi saat suara gemerisik itu terdengar lagi. Ia berhenti dan berbalik.
Penuh kehati-hatian peri itu mendekat ke arah semak yang menimbulkan suara
mencurigakan itu.
Tiba-tiba
sesuatu melompat keluar dari dalam semak. Dash sangat terkejut hingga ia
melangkah mundur di udara. Sesuatu itu
terbang sangat cepat lalu berhenti di hadapan Dash, membuat mata hitam lelaki
itu terbelalak tidak percaya.
“Diff!” Dash
berseru penuh rasa syukur. Otot-otot tubuhnya terasa lemas hingga sayapnya
berhenti mengepak. Ia langsung jatuh ke tanah. Sekujur tubuhnya seakan mati
rasa. Bibirnya berkata dengan terbata-bata. “Aku kira tadi kau—“
“Tertangkap dan
dimangsa elang?” sela Diff cepat. Gadis itu memutar bola matanya dengan malas.
Ia menghentikan kepakan sayapnya lalu mendarat dengan tenang. Rambut merahnya
melayang-layang tertiup angin. “Kau terlalu meremehkanku, Dash!”
Diff duduk
berhadapan dengan Dash di atas tanah. Ia menatap lembut lelaki itu dengan manik
matanya yang berwarna merah. “Kita sama-sama tahu ada hal yang lebih mengerikan
dari pada dikejar elang, Dash.”
Dash
menganggukkan kepalanya. Diff benar. Dikejar elang bukanlah hal yang terlalu
menyeramkan bagi peri seperti mereka berdua. Ia mengulurkan tangannya dan
merengkuh Diff dalam pelukannya. “Syukurlah kau selamat, Diff.”
“Ya.” Diff
membalas pelukan Dash. Lalu ia berbisik di telinga lancip Dash. “Terima kasih
sudah mengkhawatirkanku.”
***
“Dari mana saja
kau?”
Sebuah suara menggelegar
menyambut kepulangan Diff ke rumahnya malam ini. Langkah kaki Diff terhenti dan
menolehkan kepalanya. Seorang wanita sedang berdiri di tengah ruangan, tepat di
bawah atap berbentuk kubah terbuat dari kaca menampilkan pemandangan langit
malam.
Rambut merah
bergelombangnya yang panjang tergerai dihiasi mahkota emas bundar di atas kepalanya. Wanita
itu mengenakan mantel merah yanga tampak mewah dengan sulaman benang emas. Sama
seperti Diff, wanita itu juga memiliki sayap di punggungnya. Tapi sayap itu
tidak seperti sayap Diff yang transparan, melainkan lebih seperti sayap
kupu-kupu. Warnanya tampak seperti gradasi dari merah muda hingga warna merah
darah.
Wanita itu wajah
dengan keindahan alami. Hidungnya ramping, kulitnya tampak halus dan merona,
dan iris matanya berwarna merah melengkapi penampilannya yang cantik. Tapi mata
itu sedang menatap penuh intimidasi ke arah Diff. Bibirnya melengkung tipis berusaha
menyembunyikan rasa marahnya seanggun mungkin.
Sedikit banyak
wanita itu menurunkan kecantikan miliknya kepada Diff.
Wanita itu
adalah ibu Diff. Ratu bagi ras Kokkinon. Ratu di istana Ruberon.
“Dan oh— apa-apaan penampilanmu itu, Diff?”
Belum sempat
Diff menjawab pertanyaan yang sebelumnya, ibunya sudah menanyakan hal lain
kepadanya. Mata merah milik ibunya mengamati Diff secara seksama. Tubuh anak
perempuannya penuh memar dan lecet. Sayap transparannya juga tampak berdebu. Kemudian
ibu Diff menggelengkan kepala ringan sambil berdecak.
“Diff, kau ini
seorang putri kerajaan dan calon ratu di masa depan. Tidak bisakah kau bersikap
dan berpenampilan seperti seharusnya dirimu?”
Diff menatap
malas lalu memutar bola matanya. Ia tahu kemana pembicaraan ini akan berlanjut.
“Beginilah aku
apa adanya, Ibunda.”
Jawaban Diff itu
cukup singkat tapi sontak membuat mata ibunya terbelalak lebar. Berani benar
gadis ini membantahnya!
“Jangan melawan
alam, Diff. Bersikaplah dewasa. Usiamu sudah delapan belas tahun. Sebentar lagi
kau sudah bisa menikah. Dan aku akan mengenalkanmu kepada pangeran-pangeran
tampan yang berkelas.”
“Maafkan aku,
Ibunda. Tapi aku menolak perjodohan dalam bentuk apapun.”
Ibu Diff tidak
langsung membalas bantahan anak gadisnya itu. Wanita itu memilih untuk diam
sejenak dan membuat Diff tersiksa dalam keheningan itu. Aura yang
mengintimidasi memenuhi udara di sekitar Diff hingga gadis itu tanpa sadar
menahan napasnya.
“Apa karena
lelaki dari ras Mavron itu?” Wanita itu melihat dengan jelas perubahan ekspresi
Diff yang berubah tegang. “Aku mendengar laporan ada yang melihatmu terbang
bersama lelaki itu ke arah ngarai. Apa kalian mencoba bunuh diri dengan
menyerahkan diri sebagai santapan elang?” Ibunya menyindir dengan sinis. “Ingin
mejadi Romeo-Juliet di dunia peri, eh? Kau akan mempermalukan ayahandamu jika
ia mengetahui hal ini.”
“M-mungkin
informan itu salah lihat.” Diff menelan ludahnya. Tiba-tiba mendapat ide untuk
melarikan diri dari pembicaraan ini. Ia
menguap lebar dengan memasang ekspresi mengantuk.
“Tutupi mulutmu,
Diff! Tidak ada putri kerajaan yang bersikap serampangan sepertimu.”
Nada bicara ibu
Diff kembali meninggi. Tapi setidaknya Diff berhasil mengganti topik malam ini.
“Maafkan aku,
Ibunda. Tapi aku sangat lelah dan mengantuk. Aku ingin bergegas mandi dan
langsung tidur.” Diff menguap lagi. Tapi kali ini ia menutupi mulutnya dengan
telapak tangan. “Selamat malam,” ucap Diff cepat-cepat menuju kamarnya sebelum
ibunya menemukan kalimat lain untuk menceramahinya.
Ada bermacam ras
yang tinggal di Derion dengan kerajaan mereka masing-masing. Seluruh kerjaan
itu saling menjaga batasan wilayah dan sopan santun antar ras. Sehingga
terciptalah hidup yang damai dan tentram. Tapi di antara ras-ras tersebut ada
dua ras yang saling bermusuhan sejak berabad-abad lalu. Dua ras tersebut adalah
ras Kokkinon dan ras Mavron.
Ras Kokkinon
dengan ciri fisik yang serba merah seperti yang tampak pada sosok Diff.
Sementara ras Mavron yang serba hitam merupakan ras milik Dash. Itulah mengapa
mereka sangat berhati-hati untuk bertemu. Jika ada yang mengetahui hubungan
yang mereka jalin, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan dipisah secara
paksa.
Padahal
pertemuan pertama Diff dan Dash sama sekali jauh dari peperangan dan kebencian.
Saat itu usia mereka sepuluh tahun. Hati mereka masih bersih dari kata benci
dan permusuhan.
Diff kecil
berlatih sendiri di hutan perbatasan walaupun orang tuanya sudah melarang. Tapi
ia memerlukan tempat untuk berlatih terbang. Ia menjadi satu-satunya peri yang
belum mahir terbang dibanding peri seusianya. Tentu saja Diff merasa malu
dengan teman-temannya. Ditambah lagi gelarnya sebagai putri kerajaan.
Di sanalah Diff
bertemu dengan Dash, yang pada akhirnya menjadi pelatih terbangnya. Diff masih
mengingat hari di mana ia akhirnya bisa melesat cepat mengimbangi kecepatan
terbang Dash. Tapi karena merasa terlalu senang bisa terbang seperti itu, Diff
jadi lupa caranya mendarat hingga ia menabrak keras sebuah batang pohon.
“Kau benar-benar gadis yang kuat,” kata Dash sambil tertawa kecil kala itu.
bahkan Diff tidak bisa membedakan itu pujian atau ejekan. Sedetik kemudian,
tangan Dash terulur dan Diff mendengar lelaki itu melafalkan mantra penyembuh.
Cahaya keunguan yang samar menyebar dari telapak tangan Dash dan perlahan jatuh ke tubuh Diff, membuat
rasa nyeri yang tadi menyerang tubuhnya hilang seketika.
Diff terpana
melihat cahaya keunguan itu. “Terima
kasih.”
“Ras Mossion diberkahi kemampuan melafalkan
berbagai mantra sihir, tapi kita bisa dengan mudah memperlajari beberapa mantra
yang berguna seperti mantra penyembuh ini.”
Itulah salah
satu kelebihan ras Kokkinon dan ras Mavron. Tidak seperti ras Mossion yang
diberkahi kemampuan mantra sihir atau ras Prasion yang diberkahi kemampuan
berpedang —termasuk
menempa pedang mereka sendiri, ras Kokkinon dan ras Mavron bisa menguasai
beberapa kemampuan secara seimbang. Dan itulah yang membuat mereka lebih kuat
dibanding ras lainnya. Tapi kekuatan yang mereka miliki malah membuat mereka
diam-diam saling membenci walaupun tidak pernah berperang secara
terang-terangan.
Sudut mata Diff
menitikkan air mata kesedihan. Sudah hampir sembilan tahun berlalu sejak
pertemuan pertamanya dengan Dash. Saat itu ia sama sekali tidak menyangka bahwa
hubungannya dengan Dash akan menjadi serumit ini. Ia memerlukan beberapa hari
hingga akhirnya menyadari bahwa mencintai lelaki dengan ras Mavron seperti Dash
merupakan dosa besar di hadapan bangsanya.
Perlahan Diff
menutup kelopak matanya. Ia ingin segera tidur dan menghalangi air matanya yang
masih ingin mengalir keluar. Dalam hati ia berharap semoga pagi cepat datang
sehingga ia bisa segera bertemu kembali dengan Dash.
***
Pagi-pagi buta,
Diff sudah menyusup keluar dari kamarnya dan segera terbang menuju hutan
perbatasan. Angin yang masih membawa sisa-sisa dinginnya malam mengembus tubuh
gadis itu hingga membuatnya sedikit menggigil.
Diff melesat
cepat sambil berusaha sedikitpun tidak menimbulkan suara berisik. Sesekali ia
menoleh ke belakang dengan waspada jika saja ada yang mengikuti atau
mengawasinya. Ia terbang sedikit rendah lalu hinggap di dahan pohon yang berada
di tengah hutan.
Dash sudah
menunggunya di sana seperti biasa.
“Diff.” Dash
menyambut kedatangan kekasihnya dengan senyuman lembut. Sedetik kemudian, mereka
memposisikan diri untuk duduk berdua di ujung dahan, di antara dedaunan hijau. Mereka
berpelukan sejenak untuk melepas kerinduan sekaligus ketegangan karena menyusup
diam-diam.
Diff menghela
napas berat. Lalu ia berbicara dengan nada sedih. “Sampai kapan kita terus
seperti ini, Dash?”
“Entahlah.” Dash
menggidikkan bahunya yang terasa lemas. Lalu ia mengulurkan tangannya mengusap
lembut rambut merah Diff lalu mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala gadis
itu. “Untuk saat ini, hanya ini yang bisa kita lakukan. Bertemu diam-diam
dengan penuh kehati-hatian.”
“Tapi aku ingin menikah denganmu, Dash. Bukankah menyenangkan jika kita memiliki sepasang mata yang berbeda warna. Kita bisa menunjukkan kepada seluruh Derion bahwa menikah antar ras bukanlah sesuatu yang buruk.”
Dash menoleh ke
arah Diff sambil tersenyum pahit.
Prosesi
pernikahan bagi bangsa peri di Derion adalah dengan cara menukar mata kanan
kedua mempelai pengantin peri. Pertukaran mata itu dilakukan dengan membaca
mantra pernikahan yang dilakukan oleh ayah dari pihak perempuan atau petinggi
di ras tersebut. Tidak jarang salah satu bahkan kedua mempelai jatuh pingsan
setelah menjalani pengalaman yang menyakitkan itu. Dan setelah itu mereka akan
terbangun dengan mata kanan pasangan berada dalam rongga mata kanan
masing-masing.
Setelah
melakukan pernikahan, kehidupan setiap peri akan sangat berubah. Karena sejak
saat itu, mereka bisa dengan mudah memantau ke mana pasangannya pergi. Bahkan
pasangan suami istri itu bisa saling berkomunikasi walaupun tampak seperti
sedang berbicara sendiri.
Sampai saat ini,
belum pernah ditemukan peri yang memiliki warna mata berbeda. Pernikahan antar
ras merupakan hal yang cukup tabu di dunia ini. Hal itu disebabkan kesombongan
masing-masing ras yang menganggap ras diri sendiri adalah ras terbaik. Sehingga
mereka tidak ingin mencampur ras
mereka dengan darah dari keturunan ras lain.
“Lihat, matahari
akan segera terbit...” gumam Diff.
Diff dan Dash
menatap ke arah langit yang seakan terbelah dua. Semu kemerahan seperti mata
Diff di ufuk timur. Sementara sebagian lagi masih hitam pekat seperti mata
Dash, menyisakan jejak kegelapan langit malam. Di tepi langit, bulan masih
bersinar samar menunggu tenggelam dalam pesona sang fajar.
“Aku selalu
menyukai saat seperti ini. Pemandangan langit tampak seperti cerminan kita
berdua.”
Dash memeluk
Diff erat. Tapi mereka hanya diam tidak bergerak. Seakan sibuk dengan kesedihan
di hati masing-masing. Kebersamaan mereka selama hampir sembilan tahun ini
tidak pernah berjalan mudah. Kutukan kebencian yang mendarah daging dalam ras
mereka masing-masing, membuat sepasang peri ini bisa terus saling mencintai
tapi tidak bisa saling memiliki.
“Begitu matahari
naik sedikit lebih tinggi, kita baru mulai terbang menuju ngarai,” kata Dash.
Diff langsung
menjawab ajakan itu dengan sebuah anggukan kecil. “Tapi kali ini kita harus
lebih berhati-hati. Jangan sampai menarik perhatian elang.”
“Benar.”
Diff dan Dash
tertawa saat mengingat kejadian tempo hari yang membuat mereka nyaris terbunuh
sia-sia. Tapi itu merupakan sebuah pengalaman berharga yang akan meningkatkan
kemampuan terbang mereka. Bahkan mungkin hanya Diff dan Dash, peri yang berani
terbang bersama elang tanpa berakhir di dalam paruh tajam itu.
Dash melompat
dari dahan pohon diikuti Diff yang segera menyusul di sampingnya. Mereka berdua
saling memandang lantas tersenyum. Getaran sayap mereka berdua menghasilkan
kombinasi melodi yang merdu. Bunyi seperti alat musik tiup dari sayap Diff
diiringi dengan sempurna oleh getaran sayap Dash yang berbunyi seperti alat musik
bersenar. Ditambah dengan gemerisik angin di dedaunan juga gemericik air di
sungai kecil yang mengalir sepanjang hutan perbatasan.
Tanpa mereka
sadari, hijau pepohonan semakin menipis di bawah sana. Tak lama kemudian,
tumbuhan yang tampak adalah kaktus dan semak-semak rendah. Sebentar lagi mereka
akan tiba di ngarai yang penuh batu dan pasir.
Tiba-tiba sesuatu
menutupi cahaya matahari yang sejak tadi menyinari perjalanan mereka dari
belakang. Dash berhenti melaju, diikuti Diff yang langsung menolehkan kepala
untuk melihat sebesar apa elang yang ingin menyatap peri sebagai sarapan pagi
ini.
Tapi saat kedua peri
itu membalikkan badan, wajah mereka seketika berubah pucat.
Panglima perang
istana Ruberon terbang gagah di hadapan mereka sekarang. Sedetik kemudian para
prajurit berbaju zirah dengan warna serba merah bermunculan dari dalam hutan
dan mengepung Diff dan Dash. Jumlah mereka terlampau banyak hingga tidak ada
celah untuk kabur.
“Saya harap Anda
berdua tidak keberatan untuk dibawa menuju istana Ruberon. Tidak ada gunanya
melakukan perlawanan. Sebaiknya kita segera pergi karena sebentar lagi para
elang itu pasti menyadari kehadiran kita semua.” Suara itu terdengar berat,
dingin, dan penuh wibawa.
Diff menelan
ludahnya. Ini jauh lebih buruk dari
dikejar elang!
***
Ruang tengah
istana Ruberon tampak lebih ramai hari ini. Semua pemimpin kerajaan tampak hadir
di sana, duduk di kursi-kursi mewah dengan sandaran tinggi yang nyaman.
Sementara raja dari istana ini duduk di singgasananya sendiri yang jauh lebih
mewah dengan ukiran-ukiran emas pada lengan kursi. Juga bantalan kursi berbahan
beludru yang tampak lembut.
Semua petinggi
peri yang hadir di sana langsung memusatkan pandangan mereka ke arah daun pintu
ganda yang mulai terbuka. Panglima perang istana Ruberon melangkah dengan gagah
memasuki ruangan, diikuti prajuritnya yang sedang menggiring dua orang peri
yang sepertinya sudah ditunggu sejak tadi.
Panglima perang
melipat kakinya lalu menempelkan lutut kirinya di lantai pualam istana.
Sementara lutut kanannya menyangga tangan kanannya. Kepala panglima itu
menunduk dalam sebelum berkata, “Salam paduka raja. Kami sudah berhasil membawa
pulang Putri Diff dari ras Kokkinon dan Pangeran Dash dari ras Mavron.”
Setelah panglima
mundur dari hadapan rajanya, para prajurit mendorong paksa punggung Diff dan
Dash. Lalu menekan bahu mereka berdua, hingga mereka berlutut di atas kedua
lutut masing-masing. Kedua tangan mereka terikat ke belakang menempel pada
punggung. Kesalahan ini benar-benar fatal hingga seakan menghapus gelar
kebangsawanan mereka.
Raja ras
Kokkinon bangkit dari singgasananya dan berjalan penuh wibawa dengan jubah
merahnya yang mewah seperti batu ruby.
Hentakan kakinya di lantai pualam membuat dua orang yang tertangkap itu semakin
menundukkan kepalanya. Raja itu memicingkan matanya melihat percikan penyesalan
di punggung mereka.
Diff menelan
ludahnya. Ia melirik ke arah Dash yang tampak sedang melirik takut-takut ke
arah raja ras Mavron —yang
sekaligus merupakan ayahnya. Diff tahu benar ayahnya tidak akan memberikan
hukuman ringan terhadap semua yang melanggar peraturan hutan perbatasan. Tidak
terkecuali. Sekalipun pelakunya adalah anaknya sendiri.
“Ayahanda...”
ucap Diff dengan suara sendu. “Aku mohon jangan hukum Dash. Semua ini
kesalahanku... aku yang—“ Diff
mulai tidak bisa menahan air matanya. “Aku yang salah karena sudah mengajaknya
pergi ke ngarai melalui hutan perbatasan—”
“Itu tidak
benar!” sela Dash cepat. Ia tidak mungkin membiarkan gadis yang dicintainya
menanggung sendiri hukuman atas kesalahan yang mereka lakukan bersama.
“Hukumlah saya, Yang Mulia Paduka raja bagi ras Kokkinon. Saya yang telah
menculik Putri Diff dan membawanya ke hutan perbatasan yang terlarang itu. Saya
mengaku salah. Maka hukumlah saya.”
“Jangan katakan
hal seperti itu, Dash!” Diff menyentak keras hingga air mata di pipinya
mengalir masuk di bibirnya.
“Jaga bicaramu,
Putri Diff. Bersikaplah seperti seharusnya dirimu,”
kata Raja ras Kokkinon dengan nada datar tapi menyimpan kemarahan yang besar.
Diff menundukkan
kepalanya. Air matanya menetes ke lantai istana. Ia melihat ayahnya melangkah
mundur ke arah singgasananya.
“Raja bagi ras
Mavron, silakan Anda menyampaikan kata-kata untuk sang putra mahkota sebelum
kita menentukan hukuman bagi mereka.”
Raja ras Mavron
bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di hadapan Dash yang masih menundukkan
kepalanya. Pria itu tampak berwibawa dengan jubah hitam gelap seperti warna
rambutnya. Matanya tampak memancarkan aura kepemimpinan yang kuat.
“Maafkan saya,
Ayahanda...” bisik Dash lirih. Penuh dengan penyesalan.
“Kau seorang
putra mahkota, Dash. Dan kau melakukan hal yang mempermalukan keluarga kerajaan
dan seluruh ras Mavron. Kau pantas dihukum,” kata Raja ras Mavron dingin.
“Maafkan saya,
Ayahanda,” kata Dash lagi. Seakan mulutnya sudah diatur untuk hanya bisa mengatakan
kalimat itu.
“Dash...” gumam
Diff dengan bibir yang bergetar. Diff bisa melihat dengan jelas sayap
transparan Dash yang terkulai lemas di punggung lelaki itu.
“Aku serahkan
sepenuhnya hukuman bagi mereka kepadamu, Raja ras Kokkinon. Panglima kerajaan
Anda yang berhasil menangkap kedua pemberontak
ini.”
Dash menatap
sendu ke arah Diff lalu tersenyum lemah. Diff membalas senyuman itu lalu
menggerakkan bibirnya menggumamkan kata maaf tanpa suara. Baik Dash maupun Diff
sudah mengira bahwa hari ini akan datang cepat atau lambat mereka.
Diff menghitung dalam
hati setiap langkah yang diambil ayahnya hingga kembali berhenti di hadapannya.
Ia melirik ke arah Dash yang juga tampak pasrah sama seperti dirinya. Andai
tangan Diff ini tidak terikat, ia ingin memeluk Dash yang mungkin untuk
terakhir kalinya.
“Baiklah. Kalian
berdua bersiaplah menerima hukuman ini.” Suara itu diucapkan datar tanpa
intonasi berarti. Tapi terdengar begitu menggelegar di telinga Diff.
Raja ras
Kokkinon mengulurkan tangannya lalu merapal mantar di bibirnya tanpa suara. Sedetik
kemudian cahaya keunguan memancar keluar dari telapak tangan itu dan perlahan
jatuh menyelimuti sekujur tubuh dua pendosa yang sedang menerima hukuman
mereka. Teriakan pilu memekakkan telinga saat semakin tebal cahaya keunguan itu
di sekeliling mereka. Sang Raja tiba-tiba membuat gerakan seperti mengenggam
sesuatu di tangannya, kemudian mengacungkan tangannya ke udara dan dengan cepat
menariknya kembali seperti melemparkan sesuatu ke tanah.
Beberapa detik
terasa hening. Tidak terdengar suara teriakan apapun. Sehingga Raja mengibaskan
tangannya perlahan hingga menghapus debu-debu bercahaya yang menyelimuti dua
sosok yang kini tergeletak tak berdaya di lantai istana.
“Penjarakan
mereka!” Perintah Raja ras Kokkinon denga suara yang menggema. Para prajurit
yang mendengar perintah rajanya, bergegas melaksanakan hal tersebut tanpa
banyak tanya.
Raja ras
Kokkinon melirik telapak tangannya diam-diam. Dalam hati ia berharap semoga
tidak seorangpun yang menyadari bahwa ia merapal mantra yang salah.
***
Diff tersadar
dengan tubuh yang berbaring di atas tempat tidur dari semen yang dingin. Ia
tersenyum masam. Jadi ini tempat yang akan menjadi kamarnya untuk selanjutnya. Tidak terlalu buruk dibanding kamarnya
yang lama dengan ranjang besar berdipan emas.
Jemari Diff
menyentuh dinding semen yang dingin dan teras lembap. Di ruangan yang sangat
gelap ini, samar-samar Diff bisa melihat sekeping cermin retak terpasang di
dinding. Ia menggerakkan kepala untuk melihat ke arah bulan yang bersinar
keperakan melalui jendela kecil berjeruji.
Inikah akhir kisah cinta yang selama ini
diperjuangkan? Diff
tersenyum sinis pada dirinya sendiri. Kini ia tidak akan bisa melihat Dash
untuk kedua kalinya. Lelaki itu pasti sudah ditempatkan dalam penjara pengap
yang lain.
Diff?
Punggung Diff
tersentak. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri saat ia merasa seperti mendengar
suara Dash menyebut namanya. Telinga lancip Diff bergerak-gerak mencari sumber
suara. Tapi tidak ada siapapun di ruangan sempit ini selain dirinya.
Diff...
Suara itu
terdengar lagi sekarang. Bahkan terasa semakin nyata. Apa ini hanya ilusi
semata? Fatamorgana yang dialami Diff karena merindukan Dash? Benarkah itu?
“Dash? Apa itu
kau?” Diff memberanikan diri untuk bersuara. Walaupun ia terlihat seperti orang
gila yang berbicara pada udara.
Syukurlah. Akhirnya kau mendengarku, Diff...
Suara Dash
terdengar penuh kelegaan. Diff mengernyitkan keningnya dengan heran.
“Kau ada di
mana, Dash? Kenapa kita bisa bercakap-cakap seperti ini?” Benak Diff masih
dipenuhi tanda tanya. “Apa kau merasuki aku?”
Tidak terdengar
suara Dash yang menjawab pertanyaan Diff.
“Dash? Apa kau
mendengarku?” Diff kembali bersuara karena Dash tidak juga menjawab
pertanyaannya.
Jika kau melihat bayanganmu di cermin, kau akan
mengerti segalanya, Diff...
Mendengar hal
itu, Diff cepat-cepat bangkit dari duduknya. Ia berjalan cepat ke arah cermin walaupun
sedikit terhuyung. Sekujur tubuhnya masih terasa nyeri akibat menerima hukuman
penuh penyiksaan tadi. Tangan Diff otomatis berpegangan pada dinding begitu ia
tiba di depan cermin.
Coba lihat matamu, Diff!
Entah kenapa
suara Dash terdengar begitu ceria padahal mereka sama-sama sedang di dalam penjara.
Mataku? Diff memicingkan matanya. Pandangannya masih sedikit kabur. Ditambah ruang
penjara yang temaram, membuat Diff sedikit kesulitan untuk menatap pantulan
bayangannya sendiri di cermin.
Oh— Sedetik kemudian Diff baru menyadari
perubahan pada mata kanannya. Mata itu tidak lagi berwarna merah menyala
melainkan berwarna hitam. Dan Diff mengenalinya sebagai mata Dash!
“Dash... aku... apa
ini berarti... ayahku... mungkin... ” Diff bingung untuk melanjutkan
kata-katanya. Ia menangis karena merasa terlalu bahagia. Gadis itu menutup
mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Benar, Diff sayang. Kau dan aku sepasang suami
istri sekarang.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D