Selasa, 17 Februari 2015

Stranger


“Iya sayang. Aku juga tak sabar bertemu denganmu. Lusa aku berangkat dari sini jam 10 pagi. Iya. Sampai jumpa. Aku juga menyayangimu.” 

Begitulah, hari ini aku berniat memberikan kejutan pada kekasihku, Reno. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke kampung halamanku. Selama seminggu aku melakukan perjalanan bisnis ke luar kota bersama bosku untuk menyelesaikan proyek besar pembangunan hotel mewah. Seharusnya memang lusa kami kembali. Namun karena istri bosku mengalami kecelakaan semalam, maka bosku memutuskan untuk kembali hari ini juga.

“Lina, apa kau sudah mengatakan pada pak Dadang bahwa dia harus menjemput hari ini?” Tanya bosku. Pak Arman adalah sopir bosku, pak Deni. 

Pak Deni merupakan seorang pria yang berwibawa, tegas dan disiplin. Secara fisik, dia tampan, menawan, postur tubuhnya pun begitu pas dengan tingginya. Usianya sekitar 33 tahun, namun kurasa dengan usianya sekarang beliau sudah berada dalam puncak kesuksesannya. 

Semalam beliau mendapatkan kabar bahwa istrinya mengalami kecelakaan sehingga beliau memutuskan untuk kembali. Entah ini musibah atau berkah. Mungkin musibah bagi pak Deni, dan berkah bagiku karena aku bisa cepat bertemu dengan Reno. 

“Sudah pak. Saya sudah menghubungi pak Dadang.” Pak Deni mengangguk menanggapi jawabanku. Sudah lima tahun beliau menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik bak seorang model dan dikaruniai seorang anak laki-laki berusia empat tahun. Itu yang kuketahui. Dua tahun aku bekerja dibawah pak Deni, tak banyak masalah pribadinya yang kuketahui karena beliau cenderung tertutup. 

Pukul satu siang kami sampai di bandara. Kami cukup kesulitan menemukan pak Dadang karena bandara yang luas dan orang-orang yang lalu lalang disekitar kami, hingga kuputuskan menelpon pak Dadang.

Hampir satu jam perjalanan kami dari bandara sampai di rumah sakit tempat istri pak Deni dirawat, setelah itu barulah pak Dadang mengantarku pulang. Sesampainya di jalan depan rumah, kulihat rumah tampak sepi. Seharusnya ada mama, papa, dan Sabrina, kakakku. Tapi sepertinya mereka bertiga sedang keluar. Kucari kunci rumah di sekitar pot bunga tempat kami biasa meletakkan kunci. Setelah pintu terbuka, kulangkahkan kakiku menuju kamarku. Aku sudah rindu pada ranjangku. 

Aku bergegas mengguyur tubuhku dengan air yang memang selalu terasa dingin di kulitku demi menghilangkan rasa lelah yang terasa menghajar tubuhku. Beberapa saat kemudian perutku terasa keroncongan hingga kuputuskan untuk melangkahkan kakiku menuju dapur untuk menyaksikan sebuah keajaiban. Kecewa. Satu kata yang cukup mewakili perasaanku. Tak ada pemandangan bagus seperti yang ku harapkan di meja makan.

Demi memanjakan perut, aku memutuskan untuk membeli makanan di luar dengan bonusku yang masih utuh berkat bosku yang baik hati. Kuraih kunci mobilku dan akupun menuju mal yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari rumahku. 

Sambil menunggu ikan bakar favoritku, aku menyentuh layar ponselku untuk menghubungi Reno. 

“Sayang, sedang apa sekarang?”

“Menemani mama belanja.” Jawab Reno singkat.

“Salam ya buat mama. Kau sudah makan malam? Aku sedang memesan makanan sekarang.”

“Sudah.” Sudah? Hanya itu jawabannya? Oke, pada dasarnya aku memang selalu berpikiran positif, jadi aku tak akan berpikir macam-macam. 

“Kututup telponnya. Nanti aku akan menelponmu lagi.” Dan tut.. tut.. tut.. tanpa menunggu jawabanku, Reno mematikan telponnya. Aku tercengang menatap ponselku. Kebetulan tak lama setelah itu pesananku tiba, hingga aku akan melupakan Reno sejenak untuk melahap makanan yang sangat menggiurkan itu.

Ikan bakar yang begitu gemuk kini telah menyisakan tulang. Piring nasi pun bersih tanpa menyisakan sebiji nasi pun. Bahkan segelas jus leci dan semangkuk es krim telah kosong. Kubelai perutku yang sedikit gendut karena kenyang. Cukup lama aku bersantai, kuputuskan melanjutkan perjalananku untuk berkeliling mal..

Mungkin naluri perempuan, mataku begitu haus akan hal-hal indah hingga kubeli sebuah dress dengan panjang diatas lutut berwarna lila yang menarik perhatianku pada pandangan pertama. Selanjutnya aku melihat-lihat sepatu. Mataku tertuju pada stiletto berwarna hitam. Indah. 

Namun tak lama kemudian mataku beralih pada lelaki tampan berkulit putih bermata sipit yang berada di butik seberang. Mataku melebar dan senyumku terkembang. Aku berjalan keluar dari toko sepatu melupakan stiletto hitam itu karena mataku lebih tertarik pada pria tampan yang berada di sebrang. 

“Reno”  Teriakku dengan suara lantang. Reno mengembangkan senyumannya. Manis. Pandangan matanya lembut dan tampak bahagia. Seketika senyum di bibirku luntur. Dia sama sekali tak mendengarku. Dia terlalu bersemangat memilih pakaian untuk gadis itu. Tak lama kemudian Reno memeluk pinggang gadis itu. Gadis yang cantik, posturnya langsing dan setinggi diriku. Rambutnya lurus panjang dicat kemerahan. 

Jantungku berdengup kencang ketika memandang gadis itu. Sabrina.

Aku tak ingin mempercayai apa yang kulihat sekarang, aku tak boleh berpikir macam-macam. Bisa saja aku salah paham atas apa yang ditangkap oleh mataku. Tapi tidak, instingku lebih kuat kali ini. Siapapun yang memandang pasti langsung berasumsi bahwa mereka adalah sepasang kekasih. 

Kuraih ponsel di tasku. Kembali kutekan nomor Reno. Panggilan pertama ia mengabaikanku dan sekali lagi kutekan nomornya, lagi-lagi dia mengabaikan panggilanku. Akhirnya kucoba untuk ketiga kalinya, sampai akhirnya dia mengangkat telponku

“Ada apa lagi? Bukankah aku sudah bilang nanti aku akan menelpon. Aku sibuk sekarang.” Kata Reno memutuskan panggilan tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan halo. Aku merasa seperti seekor ikan sekarat. Menutup mulut dan membukanya lagi. Aku diam, kehabisan kata-kata.

Aku menelpon Sabrina. Pada panggilan pertama ia sempat memandang ponsel miliknya kemudian menatap Reno dan menunjukkan ponselnya. Pandangannya seolah bertanya, bagaimana ini? pada Reno. Mereka saling berpandangan sesaat sampai akhirnyaa Sabrina memutuskan untuk menjawab panggilanku.

“Sabrina.” kataku pelan.

“Ada apa Lin? bagaimana kabarmu? aku benar-benar merindukanmu.” Kata-kata Sabrina lancar, seolah tanpa beban dan tanpa rasa bersalah, padahal dia tahu pasti siapa lelaki yang tengah menggenggam tangannya itu.

“A– aku baik. Kau sendiri? Kau sedang dimana?” tanyaku memancing.

“Oh, aku baik. Aku sekarang sedang keluar bersama teman-teman kerjaku.” Jawab Sabrina sambil tersenyum. Ya, dia tersenyum. Dia tersenyum ketika memandang kekasihku yang kupuja selama empat tahun terakhir. Jantungku terasa ditusuk sebilah pisau, ditarik, kemudian ditusuk lagi. 

“Baiklah, aku akan menghubungimu lagi nanti. Selamat bersenang-senang.” Aku mengakhiri telponku. Aku tersenyum kecut memandang mereka. Tiba-tiba air menetes dari mataku dan segera kuusap dengan punggung tanganku. 

Aku bersandar di kursi kemudi, mencengkeram kemudi hingga buku jariku memutih. Aku berteriak, kesal dengan kenyataan bahwa kekasihku mengkhianatiku dengan kakakku sendiri. Ingin ku cakar wajah cantik Sabrina dengan kukuku yang mulai memanjang.

*** 

Kutatap cermin di kamar Lana. Seekor panda yang cantik menatapku dibalik cermin. Ah bukan, ternyata itu pantulan wajahku. Mataku sembab, muncul lingkaran hitam di bawah mataku. Benar-benar kacau tampangku hari ini. Untunglah aku mendapatkan cuti sehari, tentu berkat bosku yang baik hati. 

“Lana, bagaimana ini?” rengekku tanpa mengalihkan pandanganku dari cermin.

“Kau menangis semalaman, bahkan tak tidur, bagaimana bisa sekarang kau panik gara-gara matamu sembab?” jawab Lana cuek sambil mengecat kukunya.

“Kenapa kau cuek begitu sih?” aku merutuk kesal.

“Bukannya aku sudah bilang, Reno itu bukan lelaki baik-baik? Pikiran positifmu itu memang kadang menyesatkan.” Ujar Lana yang kembali mengoleskan warna merah pada jari kakinya. Kemudian ponselku berdering sebelum aku sempat menjawab ucapan Lana.

“Halo.”

“Lina. Kau sudah pulang? Sejak kapan kau pulang? Kau ada dimana sekarang?” Tanya Sabrina memberondongku dengan beberapa pertanyaan.

“Ya. Dari kemarin malam. Aku menginap di rumah Lana.” Aku menjawab seperlunya.

“Untunglah, kupikir mobilmu dicuri orang. Setelah kuperiksa ternyata ada kopermu di ruang tamu.” 

“Hm..” 

“Kau kenapa?” Aku yakin betul Sabrina pasti penasaran karena jawaban singkatku. Terlebih lagi aku selalu ceria dan banyak bicara.

“Tidak. Sudah ya.” Tanpa menunggu jawabannya, kuputuskan telpon Sabrina. Lana memandangku dengan tatapan ada apa yang begitu menuntut.

“Dia hanya menanyakan mobil” jawabku singkat. “Aku mau mandi.” Aku melangkah menuju kamar mandi Lana, menyambar handuknya yang tergantung di samping lemari.

“Lin” Lana memanggilku yang tengah memegang gagang pintu sebelum aku keluar dari kamar. “Setelah kau mandi aku mau kencan.”

“Sialan kau. Iya nanti setelah mandi aku akan pulang.” Candaku.

“Bukan begitu. Maksudku kau bisa tinggal disini, tapi mungkin aku keluar sebelum kau selesai mandi.” Aku mengangguk kemudian menutup pintu kamar mandi di belakangku.

*** 

Aku melangkah ke pantai berpasir putih yang cukup bersih. Kutatap ombak yang datang berkejar-kejaran dan meninggalkan buih di bibir pantai. Aku melangkah semakin dekat dengan air, sesekali ombak menyapu kedua kakiku. Kulangkahkan lagi kakiku semakin dalam sambil memejamkan mata. Perasaanku perlahan membaik, otot-otot tubuhku yang menegang pun terasa melemas.

“Hei, baju kuning.” suara seorang pria dibelakangku diiringi lemparan sesuatu yang mendarat di punggungku. Aku terperanjat dan menatapnya dengan heran. “Kau tidak berniat bunuh diri kan?” dia mentertawakanku.

“Apa?” Aku mengerutkan dahi mencoba membaca gerak bibirnya. Suara angin dan ombak memekakkan telingaku..  

Dia menunjuk padaku. “Kau, tidak berniat bunuh diri kan? Kurasa kau masuk terlalu dalam. Jika kau terseret ombak, mungkin tak akan ada yang melihatmu.” Jawabnya santai dengan tersenyum.

“Ah!” celetukku. Aku benar-benar tak menyadari air laut sudah hampir sebatas pinggangku. Ku angkat kepalaku untuk mengucapkan terima kasih, tapi sayang dia sudah menghilang. 

Matahari mulai beranjak dari singgasananya, merah dan jingga bertahta di langit senja kemudian perlahan menghitam dan menampakkan cahaya terang bulan purnama yang dikelilingi oleh bintang-bintang gemerlapan. 

Perutku mulai bergemuruh, kurasa cacingku perlu makan. Kuputuskan kembali ke deretan warung-warung makan yang berjejer disekitar tempat parkir. Kupesan segelas kopi susu dan seporsi ayam goreng. Tak perlu menunggu lama untuk membungkam cacing-cacing itu. Segera kusantap habis makanan yang begitu menggoda di hadapanku .

Kembali aku menikmati pemandangan laut yang hanya diterangi cahaya bulan. Aku mulai membuat posisiku nyaman di atas pasir. Rasa dingin pasir yang lembab menusuk tulangku.  Kupandang bintang yang bertaburan di langit. Suasana yang cukup gelap membuat bintang-bintang terlihat jauh lebih terang. Dalam hening, memori tentang Reno dan Sabrina kembali berputar dalam kepalaku. Air mataku kembali menetes dari ujung mata. Aku mengepalkan tanganku menahan emosi.

“Aduuuh” teriakku spontan. Sesorang tersandung kakiku hingga ia terjungkal. “Hei. Tidak lihat ada orang disini?” kataku berteriak. Aku terduduk kesal memandang siluet yang berusaha berdiri disampingku. Ia meraih lampu kecil –atau senter miliknya yang terjatuh di samping kakiku.

“Maafkan aku. Pandanganku terfokus ke laut, jadi aku tak melihatmu. Dan lagi kenapa kau ada disini sendirian tengah malam begini, ha?” Tanya pria itu dengan nada menyalahkan. Aku terdiam. Isakan yang dari tadi kutahan mulai keluar. Pertahananku runtuh. “Hei, maafkan aku, aku benar-benar tidak melihatmu. Apa kau terluka? Adakah yang sakit?” Pria tersebut berjongkok mendekatiku dan mengarahkan lampunya ke wajahku.

“Tidak” kataku disela tangisku. Aku memang terluka, aku sakit namun itu bukan tubuhku, tapi hatiku. “Singkirkan lampu sialanmu itu. Silau!” bentakku kesal. 

“Makanya hentikan tangisanmu itu. Orang lain akan menyangka aku berbuat yang tidak-tidak padamu.” Nadanya seoktaf lebih tinggi, terdengar panik dan gugup.

“Maaf. Aku– aku tidak apa-apa. Pergilah” gumamku pelan di sela tangisku. Dia terdiam beberapa saat. Berdiri. Kemudian melangkah menjauh dariku. Aku kembali terlentang, meletakkan tangan kananku menutup kedua mataku dan meneruskan tangisku.

“Kau, bangunlah.” Suara lelaki itu kembali mendekat. Aku tak mempedulikannya dan meneruskan tangisanku. Beberapa detik kemudian tak kudengar lagi suaranya. Aku menurunkan tanganku, menghapus air mataku. 

“Kau ini kenapa?” Lelaki itu kembali bersuara. Aku benar-benar tekejut ketika melihatnya sudah terlentang disampingku. Kemudian memiringkan tubuhnya, menatapku sambil menyangga kepalanya dengan tangan kirinya.

“Apa yang kau lakukan?” aku segera bangkit dari posisi tidurku, duduk sambil memeluk lututku. 

“Apa yang ku lakukan? Memangnya aku melakukan apa? Kau menangis seperti itu. Sungguh aku tak sengaja tersandung kakimu. Apakah sebegitu sakitnya? Kau menyuruhku pergi begitu saja kemudian kembali menangis. Kau pikir aku ini lelaki tak bertanggung jawab, ha?” Nadanya kembali meninggi tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab sederet pertanyaannya. Aku mengatupkan kedua bibirku rapat-rapat. 

“Bicaralah, ada apa denganmu?” Suara maskulin lelaki itu memecah keheningan. Tipe penuntut kurasa.

“Tidak” jawabku singkat.

“Kalau kau mau bicara, bicaralah. Aku ini orang asing, aku tak akan tahu siapa yang sedang kau bicarakan dan tentu saja aku tak akan membocorkan rahasiamu. Tapi aku tak akan memaksa jika kau memang keberatan. Siapa namamu?”

“Lina.”

“Nama yang cantik. Aku Alan. Terlalu berbahaya seorang gadis sendirian di tempat seperti ini. Ah, tunggu. Kau manusia kan?”

“Tentu saja! kau pikir aku siluman?” lelaki itu tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku. Kurasa aku tidak sedang melawak sekarang!

“Apa yang akan dipikirkan orang lain ketika melihat seorang gadis tidur sendirian di tengah kegelapan seperti ini?” Ujarnya sambil merentangkan kedua tangannya. “Bisa saja mereka berpikir kau hantu, atau.. wanita penggoda.” Kata lelaki itu mengucapkan dua kata terakhir dengan suara pelan dan penekanan.  

“Apa? Wanita penggoda?” Aku mengulangi kata-katanya dengan geram. Ia hanya mengangkat bahu. Aku terdiam sesaat, mencoba menahan emosiku. “Aku hanya ingin menikmati pemandangan langit. Aku sangat menyukai suasana seperti ini. Asal kau tahu, aku ini wanita baik-baik dan tidak sedang mencari peluang untuk menggoda lelaki manapun.” 

“Lalu, jika kau seperti ini, bagaimana jika aku yang mengambil peluang, ha?” Alan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sangat dekat hingga bibir kami nyaris bersentuhan.

“Apa yang kau lakukan?” bentakku. Reflek aku mendorongnya hingga jatuh tersungkur kebelakang. Dia tertawa, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

“Lina, aku hanya bercanda. Aku masih punya otak. Aku tak akan menyerang anak gadis orang sembarangan. Dan aku juga tak akan mengambil kesempatan dari gadis yang sedang labil karena patah hati. Percayalah padaku.” Katanya sambil kembali membetulkan duduknya. Kurasakan wajahku panas dan jantungku berdegup kencang.

“Kau–” aku menatapnya, sengaja tak melanjutkan kalimatku.

“Bagaimana aku mengerti?” Dia berusaha menebak dan aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. “Kurasa memang itu alasan kau menangis berlebihan sendirian begini. Jadi aku hanya menebak jika kau mungkin sedang membayangkan kekasihmu bersama dengan perempuan lain. Bukan begitu nona cantik?” Dia tertawa kembali.

Aku terdiam beberapa saat, mataku terpaku pada ombak yang berkejar-kejaran seakan memperebutkan juara pertama dalam lomba lari. “Dia memang mengkhianatiku,” Aku memutuskan berbicara.

“Lalu?”

“Saat itu aku ditugaskan kantor ke luar kota. Tapi ternyata aku kembali lebih cepat dari jadwal yang seharusnya. Aku berniat memberikan kejutan untuknya, tapi justru aku yang terkejut.” Kataku dengan tertawa sinis.

“Lalu apa yang terjadi?” dia menatapku, mendengarkan ceritaku sambil berusaha menyalakan api, melawan angin demi rokok yang tergantung di bibirnya.

“Aku melihatnya memeluk kakakku. Dan–” Aku memberi jeda untuk mengatur nafasku yang terasa mulai tak beraturan karena emosi. “–mereka berbohong ketika aku mencoba menelpon mereka. padahal sebenarnya aku melihat mereka.” Dia memperhatikanku dan kulanjutkan ceritaku. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Air mataku kembali mengalir mengingat kejadian itu. Kemudian dia mengusap puncak kepalaku.

“Kau tak perlu menangis. Aku tahu mereka menyakitimu, tapi mereka telah membuat hatimu lebih kuat. Anggap saja ini latihan untuk hatimu. Kau lebih cantik jika tersenyum.” Aku hanya terdiam memandangnya. Aku tak tahu harus berkata apa. 

“Apa kau bisa melihat wajahku?” aku memicingkan mataku. Kemudian kembali dinyalakannya lampu kecil dan diarahkan ke wajahku. Aku menyunggingkan senyum, teringat hal yang sama beberapa jam yang lalu.

“Sudah kubilang kau cantik saat tersenyum.”

 “Alan, terima kasih kau telah mendengarku.” Bercerita memang selalu membuat hatiku lebih tenang. Aku melanjutkan percakapan dengannya hingga matahari mulai mengintip malu-malu. Aku mulai bisa memandang wajahnya. Tampan, gagah, tinggi, tubuhnya atletis. Matanya tajam, hitam pekat, dengan rambut yang ikal rapi sedikit kecoklatan. Kutatap wajah itu lekat-lekat, seperti pernah melihatnya, namun entah dimana.
“Alan, sedang apa kau disini? Anak-anak mencarimu.” terdengar suara lantang seorang lelaki yang mendekat ke arah kami. Aku membelalakkan mataku. Dia adalah lelaki yang kemarin menegurku di pantai. “Hei, kau nona yang mau bunuh diri kemarin, bukan?” Dia masih mengenaliku. Aku tersenyum malu sambil menganggukkan kepalaku.

“Kalian sudah bertemu? Kenalkan, dia Lina. Lin, ini temanku Beni” kami bersalaman memperkenalkan diri dan berbincang-bincang sedikit.

“Mereka mencarimu dari semalam. Kemana saja kau?” Tanya Beni pada Alan dengan pandangan menyelidik.

“Aku bersama Lina disini. Dia membutuhkanku semalam.” Kata Alan sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Sial. Kurasa katanya-katanya akan membuat semua orang salah paham.

“Kembalilah ke tenda. Ada yang harus kita bicarakan.” Beni menunjuk dengan ibu jarinya ke beberapa tenda yang berjajar yang letaknya cukup jauh dari tempat kami.

“Kau mau ikut?” Tanya Alan padaku.

“Tidak, kurasa aku akan kembali untuk mandi. Badanku terasa lengket.” Kami saling berpamitan ketika tiba di jalan terpisah dan aku bergegas mengambil pakaian ganti yang ada di mobil dan mandi.

Lima belas menit kuhabiskan untuk membersihkan tubuhku yang terasa lengket karena air laut. Setelah kurasa cukup, aku keluar, berencana untuk sarapan dan tidur sebentar, kemudian pulang. Aku terkejut ketika melihat yang mengantri setelahku. “Alan”.

“Ah, Lina. Kita berjodoh.” Alan mengurai senyum di bibirnya. Membuatnya tampak begitu tampan. “Lin, tunggu, aku akan mandi sebentar. Kuharap kau tak keberatan menungguku sebentar. Sepuluh menit. Ah, tidak, lima menit lagi aku akan keluar. Aku ingin bicara denganmu. Tunggu ya.” Dia sedikit memaksa sebelum akhirnya masuk ke bilik kamar mandi.

Tujuh menit kemudian lelaki itu menampakkan batang hidungnya. “Maaf sedikit lebih lama. Rambutku berpasir. Kau sudah sarapan?” Aku hanya menggeleng sebagai jawabanku. “Ayo sarapan.” Kata Alan mengajakku ke salah satu warung yang di dalamnya nyaris penuh.

Aku memandang lelaki itu lekat-lekat ketika ia memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

“Kenapa?”

“Aku seperti pernah melihatmu. Tapi entah dimana.” Kataku menyangga daguku dengan tangan kanan.

“Hanya perasaanmu.”

“Beni juga. Aku seperti pernah melihatnya.” Aku masih mencoba berpikir lagi.

“Sudahlah, mungkin wajah kami memang pasaran. Cepat habiskan makananmu.” Kata Alan dengan mulutnya yang sedikit penuh. Aku tersenyum menatap lelaki itu, kemudian aku melanjutkan makanku.

Matahari tepat berada di ubun-ubun ketika aku memutuskan untuk masuk ke mobilku dan bersiap pulang. Kulihat Alan berjalan mendekat saat aku menstarter mobil. Aku menurunkan kaca mobilku sebelum Alan mengetuknya. Kemudian tangan jahil Alan memutar kunciku untuk mematikan mesin.

“Sudah mau pulang?” Tanya lelaki itu.

“Iya. Em, bisakah aku meminta foto denganmu untuk yang terakhir kalinya?” Aku memberanikan diri. Alan tersenyum, kemudian menyodorkan tangannya untuk meminta ponselku. Lima foto telah ada di ambil. Kemudian Alan menulis sesuatu di ponselku sebelum menyerahkannya padaku.

“Aku sudah memasukkan nomor ponselku. Kuharap kau mau menghubungiku.” Kata Alan mengembalikan ponselku. Aku mengangguk. “Aku sangat berharap kita akan bertemu lagi. Kurasa aku mulai menyukaimu.” Ujar Alan mengusap puncak kepalaku. Membuatku salah tingkah.

“Kita pasti akan bertemu lagi.” Aku meyakinkan. Karena kurasa akupun mulai menyukaimu, batinku tanpa berani menyuarakan kalimat terakhir.

Setelah berpamitan pada Alan, aku pun melajukan mobilku untuk kembali menghadapi kenyataan pahit yang masih menungguku di rumah. Tapi dengan perasaan yang lebih ringan, kurasa. 

Aku menyalakan radio untuk memecah keheningan di dalam mobil. Sebuah lagu berjudul I Think I Love You yang dilantunkan Dodger Blue, band papan atas yang namanya sedang melejit saat ini mengalun merdu seperti perasaanku saat sekarang. Kemudian aku teringat pada Alan. Ya, aku ingat. Alan drummer band itu. Aku sangat yakin, karena Lana benar-benar menggilai lelaki itu. Aku tersenyum senang mengingat kenangan singkat bersama Alan. Ya, suatu hari nanti, kita pasti bertemu lagi. 

TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D