“Terima kasih untuk tumpangannya hari
ini,” kata Indra sambil menepuk ringan bahu Ibel —rekan kerja sekantornya.
Hampir setiap pulang dari kantor, Indra selalu
menumpang di motor temannya itu. Ibel pulang ke jalan yang searah dengan Indra.
Beruntung, Ibel tidak pernah keberatan walau sering mempertanyakan kenapa
lelaki sesederhana Indra tidak bisa menyisihkan gaji bulanan untuk membeli
motor. Tidak jarang Ibel bergurau menuduhnya sebagai pecandu judi dengan hutang
segudang atau menjadi lelaki yang terjebak dalam pesona gadis materialistis
yang menghisap habis uangnya seperti lintah menghisap darah. Tapi Indra selalu
menanggapi gurauan itu dengan tawa.
“Kalau besok kau menumpang lagi, aku akan
memasang tarif khusus,” canda Ibel.
“Wah, apa ini? Kau mau mencari tambahan
penghasilan dengan menjadi tukang ojek?” balas Indra lantas tertawa.
“Sepertinya itu ide yang bagus,” timpal
Ibel ikut tertawa. “Tapi itu berarti kau tidak bisa pulang bersamaku lagi.
Karena aku hanya menyediakan antar-jemput untuk para gadis.”
“Dasar playboy!”
seru Indra sambil tertawa karena
mendengar ide ngawur itu. Temannya
itu memang menyenangkan, supel, menawan, dan disukai para gadis. Mereka berbincang
dengan akrab walau terkadang saling mencela.
“Ya sudah, aku pamit dulu,” kata Ibel
sambil mengenakan kembali helm teropongnya.
“Baiklah. Hati-hati di jalan dan sekali
lagi terima kasih,” balas Indra sambil menepuk bahu Ibel.
Ibel menganggukkan kepalanya lalu kembali
memacu motornya ke jalan bersama kendaraan lain. Sementara Indra bergegas
memasuki gang kecil untuk pulang. Ia melihat beberap anak kecil tampak asyik
bermain di kubangan air hujan yang turun siang tadi. Sesekali lelaki itu
menganggukkan kepalanya sedikit untuk menyapa ibu-ibu yang sedang duduk-duduk
bersama di depan rumah sambil membicarakan topik seputar tetangga mereka.
Indra melangkahkan kakinya berbelok di
tikungan pertama sebelum akhirnya ia berhenti di depan sebuah rumah kontrakan
kecil di tepi jalan. Rumah itu tidak terlalu berbeda dengan rumah-rumah lain di
sana. Sedikit kumuh dan lembap hingga dindingnya dipenuhi lumut.
Perlahan Indra memutar kunci lalu memutar
kenop pintu rumahnya. Suasana rumah cukup gelap dan sunyi sehingga ia
melangkahkan kakinya perlahan nyaris tanpa bunyi apapun, kemudian mengunci
kembali pintunya dari dalam. Lelaki itu menyalakan lampu ruang tamu tapi tidak
ada seorangpun di sana. Hingga ia mendorong perlahan pintu kamar yang sedikit
terbuka, dan mendapati seorang gadis sedang tidur memunggunginya di atas tempat
tidur.
Gadis itu terlihat sedang tidur dengan
damainya. Tapi Indra tahu itu hanyalah pemandangan yang menipu. Hati Indra
mencelos saat melihat dengan jelas jejak air mata di pipi gadis itu. Indra
memutuskan untuk duduk di tepi tempat tidur dan mengulurkan tangannya untuk
mengusap lembut pipi gadis itu. Ternyata usaha yang selama ini dilakukan Indra
belum cukup mampu untuk menghapus kesedihan dari hati gadis itu.
Sentuhan lembut Indra ternyata membuat
gadis itu terbangun. Perlahan Indra menarik kembali tangannya yang tadi
mengusap wajah gadis itu. Sementara gadis itu langsung duduk saat melihat
Indra.
“Kau sudah pulang?” tanya gadis itu dengan
suara serak.
Indra menganggukkan kepalanya lalu
tersenyum. “Maaf, Ika. Apa aku membuatmu terbangun?”
Ika. Sebuah nama yang sederhana. Tapi seperti
itulah gadis itu ingin dipanggil. Setidaknya untuk saat ini. Ia benci untuk
mengingat namanya di masa lalu yang terkesan mewah dan elegan sekaligus menyimpan
keangkuhan yang menyakiti orang lain.
“Tidak apa-apa, Indra. Apa kau lelah?”
tanya Ika sambil tersenyum tipis. Sekuat tenaga ia menggerakkan pipinya yang
kaku karena air mata yang mengering.
Indra terkesima saat melihat Ika
menatapnya dengan mata yang masih mengantuk. Bagaimanapun gadis ini ia selalu
terlihat begitu cantik. Pantas saja Indra selalu merasa jatuh cinta setiap kali
menatap wajah Ika.
“Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini.
Jadi aku tidak akan semudah itu merasa lelah,” ujar Indra sambil tersenyum
meyakinkan.
Sehari-hari Indra bekerja di sebuah
perusahaan yang memberikan jasa di bidang desain interior dan arsitektur
bernama Arch Design. Dan Indra bekerja sebagai staf divisi keuangan perusahaan
itu. Jadi, pekerjaan yang dilakukannya sangat jauh dari hal-hal artistik tata
ruang dan bangunan.
“Maaf. Aku hanya menjadi beban hidupmu.”
Maaf. Kata itu lagi.
“Aku sudah bilang, berhentilah meminta
maaf. Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Ika,” ujar Indra lembut sambil
tersenyum penuh kasih sayang. “Apa kau sudah minum vitaminmu hari ini?”
Ika memalingkan wajahnya ke sisi lain
kamar itu lalu menggelengkan kepalanya.
“Apa-apaan kau ini?” tanya Indra setengah
terkejut. “Apa kau lupa, Ika? Dokter bilang kau harus rutin meminum vitamin
untuk supaya janin dalam kandunganmu tetap sehat.”
Ika menelan ludahnya yang terasa pahit di
tenggorokkan. Tatapannya menerawang ke arah dinding kamar. Ia masih merasa
enggan menatap wajah Indra. “Untuk apa kau peduli? Ini bahkan bukan anakmu!”
“Astaga— aku mohon kecilkan suaramu, Ika. Tetangga
bisa mendengar suaramu.”
“Dan aku bahkan... aku hanya bisa
menyusahkanmu,” kata Ika dengan suara pelan yang menahan isakan.
“Tidak, Ika. Ayolah— jangan pernah lagi kau berpikiran seperti
itu. Aku mohon.”
“M-maafkan aku, Indra,” kata Ika sambil
berusaha menelan kembali isakannya. “Aku hanya merasa bersalah karena
menggantungkan hidupku padamu—“
Maaf. Entah sudah berapa kali gadis itu
mengucapkan kata-kata itu selama lima bulan terakhir. Sebuah kata yang sama
sekali tidak akrab di lidah gadis itu sebelumnya.
“Setelah apa yang aku lakukan padamu di
masa lalu—“
“Aku mohon, Ika. Hentikan pembicaraan tentang
ini.”
“Aku sudah memperlakukanmu dengan buruk.”
“Tidak terlalu buruk aku rasa,” jawab
Indra sambil tersenyum. Berharap gadis itu akan ikut tersenyum dan menghentikan
pembahasan ini. “Kita hentikan pembicaraan ini sekarang.”
“Aku akan mencari pekerjaan,” kata Ika
cepat. Tidak menghiraukan perkataan Indra.
“Ya Tuhan, kau tidak perlu melakukan hal
itu,” kata Indra sambil mengacak rambutnya frustasi. Sifat keras kepala gadis
itu tetap tidak berubah ternyata. “Aku sudah bekerja dan gajiku cukup untuk menghidupi
kita berdua.”
“Gajimu lebih dari cukup jika saja aku
tidak menempel dalam kehidupanmu seperti parasit dan membawa bayi sialan ini!”
Ika menyentak sambil menunjuk perutnya yang semakin membuncit.
“Jaga emosimu, Ika. Itu tidak baik untuk kandunganmu.
Aku berjanji aku akan membawamu pindah ke tempat yang jauh lebih dari ini. Dan
kau bisa membesarkan bayi itu dengan kebahagiaan.”
“Kau ini bodoh atau apa? Apa otakmu sudah
menyusut dan diganti dengan otak udang?” Ika menyentak Indra dengan lidahnya
yang tajam.
Sebuah senyuman tersungging samar di wajah
Indra. “Kau boleh mengatakan apapun tentang aku. Tapi aku melakukan semua ini
karena aku mencintaimu. Dan aku harap kau juga bisa mencintai bayimu dan
menjaganya dengan baik.”
Cinta?
Ika mengerutkan keningnya
penuh rasa sedih. Satu kata itu menarik ingatannya akan kenangan masa lalu. Kenangan
di mana ia menjadi mahasiswi di sebuah universitas ternama. Saat itu ia
mendengar bahwa ada seorang kakak tingkat yang menyukainya. Dan dengan sengaja
gadis itu mendekati lelaki itu demi keuntungan pribadinya.
Lelaki itu adalah Indra. Semua orang di
fakultas mereka mengenal Indra sebagai mahasiswa pintar berpenampilan kurang
menarik. Ika yang mendengar reputasi Indra sebagai mahasiswa berprestasi, malah
tertarik untuk mengerjai lelaki itu.
Dengan senyuman Ika datang dan bersikap manis kepada Indra, membuat lelaki itu
tersipu malu. Dan Ika tertawa geli di dalam hati. Setelah Indra tampak nyaman
di dekatnya, Ika memanfaatkan lelaki itu habis-habisan. Ia meminta Indra untuk
mengerjakan tugas kuliahnya, memperbaiki ponselnya yang rusak, bahkan
membelikan makanan untuk Ika. Sementara ia asyik bersenang-senang dengan
teman-temannya.
Bahkan ketika Ika mencampakkan Indra
begitu saja dan berpacaran dengan lelaki lain yang menurutnya lebih berkelas untuk dijadikan kekasih, Indra
masih saja bersedia saat Ika menyuruh lelaki itu mengerjakan pekerjaan yang
seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Sama seperti saat ini. Indra masih saja
dengan bodohnya merelakan hidupnya terbebani dengan kehadiran Ika.
Sebuah kebodohan berlandaskan cinta.
“Maafkan aku, Indra,” kata Ika di tengah
isakannya yang melompat keluar dari tenggorokannya diikuti tangisnya yang mulai
pecah.
Dalam sekejap Indra merasa bingung saat
melihat Ika yang tiba-tiba menangis. Tangisan itu terdengar begitu pilu dan
penuh penyesalan. Tapi Ika tidak mengatakan apapun untuk menjelaskan
perasaannya kepada Indra.
Apa
ada yang salah dengan kata-katanya? Kali ini Indra sangat berharap ia memiliki kekuatan untuk membaca pikiran
gadis ini. Ia ingin bisa selalu memahami gadis ini tanpa gadis itu perlu
berkata apa-apa.
Perlahan Indra mengulurkan tangannya ke
arah Ika. Ia ingin merengkuh gadis ini ke dalam pelukannya dan meredam
kesedihan dalam hati Ika. Tapi Indra mengurungkan niatnya dan segera menarik
kembali tangannya dengan canggung.
Bahu Ika bergetar karena tangisannya.
Wajah cantiknya tertunduk dalam dan dibasahi air mata. Gadis itu tampak begitu
rapuh hingga seolah-olah ia akan hancur berkeping-keping jika Indra memeluknya
terlalu erat.
Lagi pula Indra sadar. Lelaki seperti
dirinya tidak mungkin pantas memeluk gadis seperti Ika. Ia takut tangan
berlumpurnya akan mengotori kecantikan Ika yang berkilau seperti berlian.
***
Darah. Cairan kental berwarna merah itu membanjiri
rerumputan dan bau anyir menyeruak di udara. Seorang gadis tergeletak tak sadarkan
diri dengan tangan yang terluka.
Mata Indra menatap nyalang ke
langit-langit rumah sewaannya yang tampak usang. Ternyata sedikitpun ia belum
bisa melupakan pemandangan mengerikan itu dari benaknya. Pemandangan di mana gadis
yang dicintainya dengan tulus terbaring berlumuran darah dari lengan yang
disayat frustasi. Indra masih ingat rasanya saat jantungnya seakan diremas kuat.
Sekujur tubuhnya langsung lemas seakan tak bertulang.
Hari itu... ah— bahkan Indra masih mengingat tanggalnya
dengan baik walaupun sudah hampir enam bulan berlalu. Indra sengaja pergi ke
kampus malam itu untuk mengambil tasnya yang berisi berkas pendaftaran wisuda
dan pengajuan beasiswa S2. Beberapa jam sebelumnya, kekasih Ika saat itu
mendatanginya dan merebut tasnya lalu melemparkannya begitu saja ke dalam kolam
ikan berlumut di belakang aula universitas. Indra hanya bisa diam saat lelaki
itu dan teman-temannya mengolok-olok Indra karena menyukai Ika. Mereka bahkan
melempari Indra dengan sampah hingga membuat Indra harus pulang ke kosnya
dengan bau yang menyengat.
Indra baru kembali pada malam hari untuk
mengambil tasnya. Suasana kampus sudah sepi kala itu. Ia sengaja agar tidak
bertemu dengan orang-orang yang akan mengolok-oloknya lagi.
Dan betapa terkejutnya Indra saat
menemukan Ika di sana dalam keadaan mengerikan. Berkali-kali Indra
mengguncangkan tubuh lunglai itu tapi mata Ika tetap terpejam dengan wajah
pucat. Indra sadar ia harus membawa gadis itu ke rumah sakit secepat mungkin.
Dokter dan para perawat dengan menangani
Ika. Dan Indra bergegas menghubungi orang tua gadis itu melalui nomor yang ada
di ponsel milik Ika. Beberapa saat setelah sepasang suami istri berpakaian
elegan itu datang, dokter keluar dari ruang perawatan Ika dan mengatakan hal
yang mengejutkan.
“Syukurlah nyawanya terselamatkan walaupun
sempat kehabisan banyak darah. Dan janin di dalam kandungannya juga tidak
mengalami gangguan.”
Orang tua dan juga Indra membelalakkan
mata karena terkejut. Janin? Jadi Ika
sedang hamil? Sejak kapan? Dan... siapa ayah dari anak itu?
Sedetik kemudian Indra sudah menerima
tatapan kebencian dari ayah Ika. Pria itu menoleh ke arah Indra yang menjadi
satu-satunya lelaki yang mungkin bertanggung jawab atas semua ini.
“Jadi, kau adalah bajingan yang menodai
putriku?!” bentak ayah Ika penuh amarah. Istrinya dan para perawat berusaha
menenangkan pria itu. Tidak ada yang tahu tindakan seperti apa yang mungkin
dilakukan ayah Ika terhadap Indra.
“M-maaf. Saya akan bertanggung jawab,”
ucap Indra berusaha tidak gentar menghadapi kemarahan dari ayah Ika.
Entah apa yang saat itu mendorong Indra
untuk berkata seperti itu. Lagi pula mungkin ini salah satu cara untuk
menjadikan Ika sebagai miliknya. Jadi, Indra menerima dengan lapang dada saat
sebuah tamparan dari ayah Ika mendarat keras di wajahnya. Lagi pula tidak ada
orang selain Indra yang akan menjadi ayah dari bayi tersebut. Ia tidak yakin
bahwa kekasih Ika —yang
Indra yakini sebagai dalang dari semua ini— mau bertanggung jawab penuh.
Setelah suasana lebih tenang, Indra berdiskusi
dengan orang tua Ika. Mereka merasa kejadian ini adalah aib yang sangat
memalukan dan mencoreng nama baik mereka sebagai keluarga terhormat. Dan Indra
menjelaskan niatnya untuk membawa Ika pindah ke kota lain, sehingga terhindar
dari orang-orang yang mengenal keluarga mereka. Orang tua Ika setuju dengan hal
itu dan menawarkan sejumlah uang. Tapi Indra menolaknya. Ia ingin sepenuhnya
bertanggung jawab sebagai suami Ika. Walaupun mungkin hanya untuk sementara.
Dan di sinilah Indra sekarang. Menyewa
sebuah rumah kecil yang jauh berbeda dengan rumah mewah milik orang tua Ika. Ia
menebus ijazahnya dari universitas tanpa mengikuti wisuda dan melupakan
jauh-jauh impiannya untuk S2. Lagi pula untuk apa? Berkas-berkasnya sudah
luntur terendam dalam air berlumut.
“Indra?”
Sebuah suara yang lembut menyebut nama
Indra, membuat lelaki itu langsung terduduk di atas sofa usang yang menjadi
tempat tidurnya selama ini. Ingatan tentang masa lalu seakan terlupakan begitu
saja saat melihat kecantikan paras seorang Ika.
“Ya? Ada apa, Ika?” tanya Indra sambil
menatap ke arah Ika. Gadis itu melangkah perlahan dengan afghan yang menyelimuti kedua bahunya. Tidak biasanya gadis ini
belum tidur selarut ini. “Apa kau kedinginan? Atau kau tiba-tiba ingin makan
sesuatu?”
Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya
sambil tersenyum lembut. Lalu perlahan ia duduk di samping Indra. “Indra, apa
kau tidak bosan tidur di luar?”
Apa? Indra mengerutkan kening sambil
mengangkat satu alisnya. Ia merasa tidak memahami pertanyaan Ika.
“M-maksudku, apa kau tidak ingin tidur di
kamar —bersamaku?”
Indra menelan ludah. Ia mencengkram ujung
selimut di tangannya erat-erat. Apa ada sedikit kemungkinan bahwa Ika sudah
membuka hatinya untuk Indra?
“Apa kau yakin?” tanya Indra merasa
sangsi. Mungkin saja ini semacam ngidam yang biasanya dialami ibu hamil.
Dua bola mata hitam yang indah itu menatap
langsung ke wajah Indra seakan berusaha meyakinkan. Sedetik kemudian kepala Ika
mengangguk mantap. “Apa kau keberatan? Kau menyewa rumah ini dengan uangmu,
jadi kau berhak tidur di kamar itu.”
Tentu saja Indra tidak akan keberatan. Ia
justru merasa sangat senang Ika bersikap seperti ini. Tidur bersama? Mana
mungkin Indra menolaknya. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
“Baiklah,” kata Indra dengan sedikit
gugup. Dengan lembut ia menuntun gadis itu ke atas tempat tidur. Setelah itu,
Indra menyusulnya dan berbaring di sebelah Ika. Dalam waktu yang cukup lama
mereka hanya berbaring diam sambil menatap langit-langit.
“Indra, maukah kau memelukku?” pinta Ika
tiba-tiba. Sebenarnya itu tidak lebih dari gumaman, tapi suasana yang sunyi
membuat suara sekecil apapun mudah terdengar. Indra menoleh saat mendengar
sebuah perkembangan baru. Sejak lama ia selalu menahan dirinya untuk tidak
memeluk gadis ini. Dan sekarang Ika sendiri yang memintanya. Jadi, mana mungkin
Indra menolaknya.
Indra menganggukkan kepalanya, lalu
membentangkannya lengannya. Dan Ika berbaring di atas lengan itu seolah itu
adalah sebuah bantal sambil menyelinap masuk ke dalam pelukan Indra. Ika bisa
merasakan dada bidang Indra menekan punggungnya. Indra membelai lembut rambut
Ika hingga gadis itu tertidur lelap di dadanya.
Tidak ada satu pun obrolan yang tercipta
malam itu.
***
Seperti biasa, Indra pulang dengan
menumpang motor Ibel hari ini. Sebelum pergi, Ibel mengobrol sebentar di depan
gang seperti biasanya. Tapi bagi Indra, hari-harinya sudah tidak biasa lagi.
Semakin hari ia merasa semakin bahagia menjalani hari-hari yang luar biasa.
Sejak malam itu, Indra dan Ika selalu
tidur berpelukan di malam-malam selanjutnya. Indra tidak pernah merasa bahwa
tidur bisa begitu membahagiakan. Tidak ada percakapan apapun sebelum tidur.
Mereka hanya berpelukan sampai tertidur. Dan tidak ada satu pun dari mereka
yang membahasnya saat pagi hari.
Tidak jauh berbeda dengan malam hari, pagi
hari Indra juga sama menyenangkannya. Ika selalu bangun lebih pagi dari dirinya
dan menyiapkan sarapan. Gadis itu selalu tersenyum secerah matahari pagi sambil
menunggunya di meja makan. Kemudian mereka akan sarapan bersama sambil mengobol
singkat.
Dan ada satu hal lagi yang paling membuat
Indra merasa bahagia. Sekarang Ika mengizinkan Indra untuk mencium perut
buncitnya sebelum berangkat ke kantor. Mungkin itu hanya satu hal yang sepele.
Tapi mampu membuat Indra lebih bersemangat menjalani hari-harinya. Ia merasa
seperti menjadi suami sesungguhnya bagi Ika. Walaupun pernikahan mereka dulu
digelar sangat tertutup dan terdaftar dengan identitas palsu.
“Hei, kalau aku perhatikan kau sering
tersenyum sendiri belakangan ini.”
Suara itu menyadarkan Indra dari
lamunannya. Ia baru ingat bahwa Ibel masih ada di dekatnya saat ini.
“Aku sedang bahagia, kawan,” balas Indra
sambil tersenyum lebar.
“Kau tidak tampak bahagia, Indra. Kau tampak
seperti lelaki sinting.”
“Terserah kau mau menyebutku apa,” timpal
Indra sambi tersenyum usil. Hatinya terlalu bahagia untuk merasa kesal atas
ejekan Ibel. “Kau juga sering terlihat
bahagia saat aku menyebut nama Irna. Tidak ada bedanya, kan?”
“Oh— apa kau sudah menemukan seorang gadis yang
membuatmu tergila-gila?” tanya Ibel curiga. Ia mengakui entah mengapa ujung
bibirnya selalu tertarik untuk tersenyum hanya dengan mendengar nama Irna —kekasihnya
disebut. Dan mungkin hal itu juga yang dialami Indra saat ini.
Indra tidak langsung menjawab. Ia tampak
sedang menimbang-nimbang jawaban dari pertanyaan Ibel. “Hampir seperti yang kau
pikirkan,” jawabnya kemudian. “Kurang lebih seperti itu.”
Mata Ibel berbinar penuh suka cita saat
mendengar jawaban Indra. “Wah, aku turut bahagia mendengarnya.”
“Terima kasih,” jawab Indra tulus.
Bahkan sedekat apapun dirinya dengan Ibel,
sahabatnya itu tidak tahu-menahu tentang Ika dan masalah di antara mereka
berdua. Atau pun pernikahan dengan identitas palsu yang dijalani Indra. Ibel
sungguh tidak tahu apa-apa.
Tapi Indra tentu akan menceritakan tentang
hal itu kepada Ibel. Nanti ketika keadaan sudah normal. Ketika Indra sudah
mendengar pernyataan Ika bahwa gadis itu mencintainya seperti ia mencintai Ika
dengan tulus. Ketika Indra akan menikah sungguhan
dengan Ika. Indra kembali tersenyum saat membayangkan hal tersebut.
“Kapan kau akan mengenalkannya padaku?”
tanya Ibel tiba-tiba. Ia menoleh dan melihat tatapan bertanya di mata Indra.
Sepertinya sahabatnya itu baru saja melamun lagi hari ini sehingga tidak bisa
langsung mencerna setiap pertanyaan dengan baik. “Gadis itu. Kapan kau akan
mengenalkannya padaku?”
“Jangan harap,” balas Indra dengan nada
bicara dibuat ketus. “Kau terlalu tampan, Ibel. Gadisku bisa-bisa berpaling dan
mengejarmu.” Indra menambahkan sambil tertawa.
“Bukankah itu hal yang bagus?” Ibel
menanggapi gurauan Indra sambil tersenyum usil. “Itu berarti dia bukan gadis
yang baik untukmu. Akan ada banyak lelaki yang jauh lebih tampan darimu di luar
sana, kawan. Jika dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berpaling darimu,
segera tinggalkan dia. Kau terlalu berharga untuk disakiti.”
“Apa seperti itu caramu berbicara kepada
setiap perempuan, eh?” Indra mengedipkan matanya beberapa kali dengan genit.
Seolah ia memiliki bulu mata yang sangat lentik. “Aku mulai tersipu
mendengarnya. Mungkin aku harus meninggalkan gadis itu demi dirimu.”
“Tidak. Terima kasih. Aku mencintai Irna,
kawan,” timpal Ibel sambil menepuk bahu Indra. Ia menunjukkan ekspresi yang
dibuat sedih.
“Wah, apa ini? Ini pertama kalinya bagiku
mendengarmu mengatakan bahwa kau mencintai seorang gadis.” Indra menatap
sahabatnya itu dengan heran. “Apa Irna sudah benar-benar mencuri hatimu
seutuhnya?”
Ibel tidak bisa menahan senyum saat
mendengar pertanyaan Indra. “Yah... sepertinya begitu.”
“Syukurlah,” ujar Indra seakan bisa
merasakan kebahagiaan Ibel. “Aku turut senang kau akhirnya menemukan tempat
untuk berlabuh.”
“Terima kasih, kawan. Aku juga mendoakan
yang terbaik untuk.” Ibel menepuk ringan bahu Indra lalu mengenakan helm
teropongnya. “Aku harus pulang sekarang. Nanti malam aku ada janji kencan
dengan Irna.”
Benar juga. Malam ini bisa menjadi malam
yang panjang. Dan besok adalah hari libur yang ditunggu selama seminggu oleh
semua orang. Itu berarti Indra bisa menemani Ika seharian di rumah.
Sambil membayangkan hal itu, Indra
melangkahkan kakiknya penuh semangat ke rumah kontrakannya. Ia bahkan menjadi
lebih ramah saat menyapa tetangga-tetangganya. Semakin hari kebahagiaan di hati
Indra terasa semakin nyata.
Indra menatap pintu rumah kecil itu
bagaikan menatap pintu istana yang megah. Perlahan ia menghela napas dengan
gugup yang mengingatkannya di hari pertama ia bekerja. Senyuman di bibir lelaki
itu semakin lebar seiring dengan jemarinya yang memuta kenop pintu dan
mendorongnya.
Kaki Indra melangkah hati-hati saat
memasuki rumah yang dalam keadaan gelap. Mungkin
Ika sedang tidur, Indra membatin. Ia menekan saklar di dinding yang sudah
ia hafal letaknya, dan lampu ruang tamu menyala. Dahi Indra mengernyit saat
melihat lampu kamar yang juga dalam keadaan padam. Tidak biasanya gadis itu
tidur dalam keadaan gelap.
Jantung Indra seakan dihantam jauh
meninggalkan rongga dadanya yang tiba-tiba terasa kosong. Sesaat setelah
menyalakan lampu kamar, ia tidak melihat sosok Ika dalam kamar yang jauh lebih
rapi dari biasanya. Sebagai gantinya, sepucuk surat tergeletak di atas nakas di
samping tempat tidur. Buru-buru Indra membuka lipatan surat itu sambil terus
berharap bahwa apa yang ditakutkannya tidak terjadi.
Dear Indra...
Maaf jika aku pergi tiba-tiba
seperti ini. Aku tahu kau benci mendengar kata maaf dariku. Tapi memang itulah
yang seharusnya aku katakan walaupun tidak akan mampu menebus semua kesalahan
yang aku perbuat kepadamu.
Dan sekarang ada kata
lain yang mungkin akan lebih membuatmu bahagia..
Terima kasih.
Ya. Terima kasih, Indra.
Terima kasih atas semua
kebaikan hatimu yang tidak mungkin bisa aku balas.
Terima kasih karena sudah
menyelamatkan hidupku.
Terima kasih karena kau
mengajarkan bibir ini untuk berujar maaf.
Terima kasih karena kau
menyayangi bayi ini seakan dia adalah anakmu.
Dan terima kasih karena
kau mencintaiku...
Tapi maafkan aku, Indra.
Maafkan aku atas semua
perlakuan burukku padamu di masa lalu.
Maafkan karena aku tidak
bisa membalas cintamu.
Beberapa hari ini aku mencoba
untuk menyentuhmu... lebih dekat denganmu...
Aku berharap dengan
seperti itu akan menumbuhkan rasa cinta di dalam hatiku.
Tapi ternyata aku salah.
Setiap saat aku
menyentuhmu dan kau tersenyum karenanya, membuat aku semakin merasa bersalah.
Aku takut menyakiti
hatimu lebih dalam lagi.
Sehingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari
kehidupanmu.
Kau adalah lelaki baik
dan hebat yang tidak pantas untuk disakiti...
Kau juga tidak seharusnya
menanggung tanggung jawab orang lain di bahumu...
Kau berhak mendapatkan
kehidupan yang lebih baik dari ini...
Kau seharusnya mencintai
dan dicintai oleh perempuan yang jauh lebih baik dari pada aku...
Selamat tinggal, Indra...
Jangan cari aku dan
jangan tunggu aku...
Temukanlah
kebahagiaanmu..
Ika.
Selembar kertas itu jatuh perlahan ke atas
lantai. Bahkan Indra merasakan tangannya terlalu lemas untuk menggenggam kertas
tipis itu. Kepalanya terasa berkunang-kunang seperti baru ditimpa sebuah batu
yang sangat besar. Dan pipinya terasa basah karena air mata yang mengalir begitu
saja tanpa bisa ditahan.
Oh— apa benar ia menangis? Tapi untuk apa? Tidak
mungkin Indra menangis karena merasa kehilangan sesuatu yang bahkan bukan
miliknya.
Indra baru menyadarinya sekarang. Sesuatu
yang harusnya ia pahami sejak dulu.
Sekuat apapun ia berusaha. Setegar apapun
ia menunggu. Ika tidak mungkin menjadi miliknya. Ika tidak mungkin membalas
cintanya. Ika tidak akan mungkin mencintai lelaki seperti dirinya.
Tidak mungkin.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D