Senin, 02 Februari 2015

Impossible






“Terima kasih untuk tumpangannya hari ini,” kata Indra sambil menepuk ringan bahu Ibel rekan kerja sekantornya.

Hampir setiap pulang dari kantor, Indra selalu menumpang di motor temannya itu. Ibel pulang ke jalan yang searah dengan Indra. Beruntung, Ibel tidak pernah keberatan walau sering mempertanyakan kenapa lelaki sesederhana Indra tidak bisa menyisihkan gaji bulanan untuk membeli motor. Tidak jarang Ibel bergurau menuduhnya sebagai pecandu judi dengan hutang segudang atau menjadi lelaki yang terjebak dalam pesona gadis materialistis yang menghisap habis uangnya seperti lintah menghisap darah. Tapi Indra selalu menanggapi gurauan itu dengan tawa.

“Kalau besok kau menumpang lagi, aku akan memasang tarif khusus,” canda Ibel.

“Wah, apa ini? Kau mau mencari tambahan penghasilan dengan menjadi tukang ojek?” balas Indra lantas tertawa.

“Sepertinya itu ide yang bagus,” timpal Ibel ikut tertawa. “Tapi itu berarti kau tidak bisa pulang bersamaku lagi. Karena aku hanya menyediakan antar-jemput untuk para gadis.”

“Dasar playboy!” seru Indra sambil tertawa karena mendengar ide ngawur itu. Temannya itu memang menyenangkan, supel, menawan, dan disukai para gadis. Mereka berbincang dengan akrab walau terkadang saling mencela.

“Ya sudah, aku pamit dulu,” kata Ibel sambil mengenakan kembali helm teropongnya.

“Baiklah. Hati-hati di jalan dan sekali lagi terima kasih,” balas Indra sambil menepuk bahu Ibel.

Ibel menganggukkan kepalanya lalu kembali memacu motornya ke jalan bersama kendaraan lain. Sementara Indra bergegas memasuki gang kecil untuk pulang. Ia melihat beberap anak kecil tampak asyik bermain di kubangan air hujan yang turun siang tadi. Sesekali lelaki itu menganggukkan kepalanya sedikit untuk menyapa ibu-ibu yang sedang duduk-duduk bersama di depan rumah sambil membicarakan topik seputar tetangga mereka.

Indra melangkahkan kakinya berbelok di tikungan pertama sebelum akhirnya ia berhenti di depan sebuah rumah kontrakan kecil di tepi jalan. Rumah itu tidak terlalu berbeda dengan rumah-rumah lain di sana. Sedikit kumuh dan lembap hingga dindingnya dipenuhi lumut.

Perlahan Indra memutar kunci lalu memutar kenop pintu rumahnya. Suasana rumah cukup gelap dan sunyi sehingga ia melangkahkan kakinya perlahan nyaris tanpa bunyi apapun, kemudian mengunci kembali pintunya dari dalam. Lelaki itu menyalakan lampu ruang tamu tapi tidak ada seorangpun di sana. Hingga ia mendorong perlahan pintu kamar yang sedikit terbuka, dan mendapati seorang gadis sedang tidur memunggunginya di atas tempat tidur.

Gadis itu terlihat sedang tidur dengan damainya. Tapi Indra tahu itu hanyalah pemandangan yang menipu. Hati Indra mencelos saat melihat dengan jelas jejak air mata di pipi gadis itu. Indra memutuskan untuk duduk di tepi tempat tidur dan mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut pipi gadis itu. Ternyata usaha yang selama ini dilakukan Indra belum cukup mampu untuk menghapus kesedihan dari hati gadis itu.

Sentuhan lembut Indra ternyata membuat gadis itu terbangun. Perlahan Indra menarik kembali tangannya yang tadi mengusap wajah gadis itu. Sementara gadis itu langsung duduk saat melihat Indra.

“Kau sudah pulang?” tanya gadis itu dengan suara serak.

Indra menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. “Maaf, Ika. Apa aku membuatmu terbangun?”

Ika. Sebuah nama yang sederhana. Tapi seperti itulah gadis itu ingin dipanggil. Setidaknya untuk saat ini. Ia benci untuk mengingat namanya di masa lalu yang terkesan mewah dan elegan sekaligus menyimpan keangkuhan yang menyakiti orang lain.

“Tidak apa-apa, Indra. Apa kau lelah?” tanya Ika sambil tersenyum tipis. Sekuat tenaga ia menggerakkan pipinya yang kaku karena air mata yang mengering.

Indra terkesima saat melihat Ika menatapnya dengan mata yang masih mengantuk. Bagaimanapun gadis ini ia selalu terlihat begitu cantik. Pantas saja Indra selalu merasa jatuh cinta setiap kali menatap wajah Ika.

“Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini. Jadi aku tidak akan semudah itu merasa lelah,” ujar Indra sambil tersenyum meyakinkan.

Sehari-hari Indra bekerja di sebuah perusahaan yang memberikan jasa di bidang desain interior dan arsitektur bernama Arch Design. Dan Indra bekerja sebagai staf divisi keuangan perusahaan itu. Jadi, pekerjaan yang dilakukannya sangat jauh dari hal-hal artistik tata ruang dan bangunan.

“Maaf. Aku hanya menjadi beban hidupmu.”

Maaf. Kata itu lagi.

“Aku sudah bilang, berhentilah meminta maaf. Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Ika,” ujar Indra lembut sambil tersenyum penuh kasih sayang. “Apa kau sudah minum vitaminmu hari ini?”

Ika memalingkan wajahnya ke sisi lain kamar itu lalu menggelengkan kepalanya.

“Apa-apaan kau ini?” tanya Indra setengah terkejut. “Apa kau lupa, Ika? Dokter bilang kau harus rutin meminum vitamin untuk supaya janin dalam kandunganmu tetap sehat.”

Ika menelan ludahnya yang terasa pahit di tenggorokkan. Tatapannya menerawang ke arah dinding kamar. Ia masih merasa enggan menatap wajah Indra. “Untuk apa kau peduli? Ini bahkan bukan anakmu!”

“Astaga aku mohon kecilkan suaramu, Ika. Tetangga bisa mendengar suaramu.”

“Dan aku bahkan... aku hanya bisa menyusahkanmu,” kata Ika dengan suara pelan yang menahan isakan.

“Tidak, Ika. Ayolah jangan pernah lagi kau berpikiran seperti itu. Aku mohon.”

“M-maafkan aku, Indra,” kata Ika sambil berusaha menelan kembali isakannya. “Aku hanya merasa bersalah karena menggantungkan hidupku padamu

Maaf. Entah sudah berapa kali gadis itu mengucapkan kata-kata itu selama lima bulan terakhir. Sebuah kata yang sama sekali tidak akrab di lidah gadis itu sebelumnya.

“Setelah apa yang aku lakukan padamu di masa lalu

“Aku mohon, Ika. Hentikan pembicaraan tentang ini.”

“Aku sudah memperlakukanmu dengan buruk.”

“Tidak terlalu buruk aku rasa,” jawab Indra sambil tersenyum. Berharap gadis itu akan ikut tersenyum dan menghentikan pembahasan ini. “Kita hentikan pembicaraan ini sekarang.”

“Aku akan mencari pekerjaan,” kata Ika cepat. Tidak menghiraukan perkataan Indra.

“Ya Tuhan, kau tidak perlu melakukan hal itu,” kata Indra sambil mengacak rambutnya frustasi. Sifat keras kepala gadis itu tetap tidak berubah ternyata. “Aku sudah bekerja dan gajiku cukup untuk menghidupi kita berdua.”

“Gajimu lebih dari cukup jika saja aku tidak menempel dalam kehidupanmu seperti parasit dan membawa bayi sialan ini!” Ika menyentak sambil menunjuk perutnya yang semakin membuncit.

“Jaga emosimu, Ika. Itu tidak baik untuk kandunganmu. Aku berjanji aku akan membawamu pindah ke tempat yang jauh lebih dari ini. Dan kau bisa membesarkan bayi itu dengan kebahagiaan.”

“Kau ini bodoh atau apa? Apa otakmu sudah menyusut dan diganti dengan otak udang?” Ika menyentak Indra dengan lidahnya yang tajam.

Sebuah senyuman tersungging samar di wajah Indra. “Kau boleh mengatakan apapun tentang aku. Tapi aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu. Dan aku harap kau juga bisa mencintai bayimu dan menjaganya dengan baik.”

Cinta? Ika mengerutkan keningnya penuh rasa sedih. Satu kata itu menarik ingatannya akan kenangan masa lalu. Kenangan di mana ia menjadi mahasiswi di sebuah universitas ternama. Saat itu ia mendengar bahwa ada seorang kakak tingkat yang menyukainya. Dan dengan sengaja gadis itu mendekati lelaki itu demi keuntungan pribadinya.

Lelaki itu adalah Indra. Semua orang di fakultas mereka mengenal Indra sebagai mahasiswa pintar berpenampilan kurang menarik. Ika yang mendengar reputasi Indra sebagai mahasiswa berprestasi, malah tertarik untuk mengerjai lelaki itu. Dengan senyuman Ika datang dan bersikap manis kepada Indra, membuat lelaki itu tersipu malu. Dan Ika tertawa geli di dalam hati. Setelah Indra tampak nyaman di dekatnya, Ika memanfaatkan lelaki itu habis-habisan. Ia meminta Indra untuk mengerjakan tugas kuliahnya, memperbaiki ponselnya yang rusak, bahkan membelikan makanan untuk Ika. Sementara ia asyik bersenang-senang dengan teman-temannya.

Bahkan ketika Ika mencampakkan Indra begitu saja dan berpacaran dengan lelaki lain yang menurutnya lebih berkelas untuk dijadikan kekasih, Indra masih saja bersedia saat Ika menyuruh lelaki itu mengerjakan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Sama seperti saat ini. Indra masih saja dengan bodohnya merelakan hidupnya terbebani dengan kehadiran Ika.

Sebuah kebodohan berlandaskan cinta.

“Maafkan aku, Indra,” kata Ika di tengah isakannya yang melompat keluar dari tenggorokannya diikuti tangisnya yang mulai pecah.

Dalam sekejap Indra merasa bingung saat melihat Ika yang tiba-tiba menangis. Tangisan itu terdengar begitu pilu dan penuh penyesalan. Tapi Ika tidak mengatakan apapun untuk menjelaskan perasaannya kepada Indra.

Apa ada yang salah dengan kata-katanya? Kali ini Indra sangat berharap ia memiliki kekuatan untuk membaca pikiran gadis ini. Ia ingin bisa selalu memahami gadis ini tanpa gadis itu perlu berkata apa-apa.

Perlahan Indra mengulurkan tangannya ke arah Ika. Ia ingin merengkuh gadis ini ke dalam pelukannya dan meredam kesedihan dalam hati Ika. Tapi Indra mengurungkan niatnya dan segera menarik kembali tangannya dengan canggung.

Bahu Ika bergetar karena tangisannya. Wajah cantiknya tertunduk dalam dan dibasahi air mata. Gadis itu tampak begitu rapuh hingga seolah-olah ia akan hancur berkeping-keping jika Indra memeluknya terlalu erat.

Lagi pula Indra sadar. Lelaki seperti dirinya tidak mungkin pantas memeluk gadis seperti Ika. Ia takut tangan berlumpurnya akan mengotori kecantikan Ika yang berkilau seperti berlian.

***

Darah. Cairan kental berwarna merah itu membanjiri rerumputan dan bau anyir menyeruak di udara. Seorang gadis tergeletak tak sadarkan diri dengan tangan yang  terluka.

Mata Indra menatap nyalang ke langit-langit rumah sewaannya yang tampak usang. Ternyata sedikitpun ia belum bisa melupakan pemandangan mengerikan itu dari benaknya. Pemandangan di mana gadis yang dicintainya dengan tulus terbaring berlumuran darah dari lengan yang disayat frustasi. Indra masih ingat rasanya saat jantungnya seakan diremas kuat. Sekujur tubuhnya langsung lemas seakan tak bertulang.

Hari itu... ah bahkan Indra masih mengingat tanggalnya dengan baik walaupun sudah hampir enam bulan berlalu. Indra sengaja pergi ke kampus malam itu untuk mengambil tasnya yang berisi berkas pendaftaran wisuda dan pengajuan beasiswa S2. Beberapa jam sebelumnya, kekasih Ika saat itu mendatanginya dan merebut tasnya lalu melemparkannya begitu saja ke dalam kolam ikan berlumut di belakang aula universitas. Indra hanya bisa diam saat lelaki itu dan teman-temannya mengolok-olok Indra karena menyukai Ika. Mereka bahkan melempari Indra dengan sampah hingga membuat Indra harus pulang ke kosnya dengan bau yang menyengat.

Indra baru kembali pada malam hari untuk mengambil tasnya. Suasana kampus sudah sepi kala itu. Ia sengaja agar tidak bertemu dengan orang-orang yang akan mengolok-oloknya lagi.

Dan betapa terkejutnya Indra saat menemukan Ika di sana dalam keadaan mengerikan. Berkali-kali Indra mengguncangkan tubuh lunglai itu tapi mata Ika tetap terpejam dengan wajah pucat. Indra sadar ia harus membawa gadis itu ke rumah sakit secepat mungkin.

Dokter dan para perawat dengan menangani Ika. Dan Indra bergegas menghubungi orang tua gadis itu melalui nomor yang ada di ponsel milik Ika. Beberapa saat setelah sepasang suami istri berpakaian elegan itu datang, dokter keluar dari ruang perawatan Ika dan mengatakan hal yang mengejutkan.

“Syukurlah nyawanya terselamatkan walaupun sempat kehabisan banyak darah. Dan janin di dalam kandungannya juga tidak mengalami gangguan.”

Orang tua dan juga Indra membelalakkan mata karena terkejut. Janin? Jadi Ika sedang hamil? Sejak kapan? Dan... siapa ayah dari anak itu?

Sedetik kemudian Indra sudah menerima tatapan kebencian dari ayah Ika. Pria itu menoleh ke arah Indra yang menjadi satu-satunya lelaki yang mungkin bertanggung jawab atas semua ini.

“Jadi, kau adalah bajingan yang menodai putriku?!” bentak ayah Ika penuh amarah. Istrinya dan para perawat berusaha menenangkan pria itu. Tidak ada yang tahu tindakan seperti apa yang mungkin dilakukan ayah Ika terhadap Indra.

“M-maaf. Saya akan bertanggung jawab,” ucap Indra berusaha tidak gentar menghadapi kemarahan dari ayah Ika.

Entah apa yang saat itu mendorong Indra untuk berkata seperti itu. Lagi pula mungkin ini salah satu cara untuk menjadikan Ika sebagai miliknya. Jadi, Indra menerima dengan lapang dada saat sebuah tamparan dari ayah Ika mendarat keras di wajahnya. Lagi pula tidak ada orang selain Indra yang akan menjadi ayah dari bayi tersebut. Ia tidak yakin bahwa kekasih Ika yang Indra yakini sebagai dalang dari semua ini mau bertanggung jawab penuh.

Setelah suasana lebih tenang, Indra berdiskusi dengan orang tua Ika. Mereka merasa kejadian ini adalah aib yang sangat memalukan dan mencoreng nama baik mereka sebagai keluarga terhormat. Dan Indra menjelaskan niatnya untuk membawa Ika pindah ke kota lain, sehingga terhindar dari orang-orang yang mengenal keluarga mereka. Orang tua Ika setuju dengan hal itu dan menawarkan sejumlah uang. Tapi Indra menolaknya. Ia ingin sepenuhnya bertanggung jawab sebagai suami Ika. Walaupun mungkin hanya untuk sementara.

Dan di sinilah Indra sekarang. Menyewa sebuah rumah kecil yang jauh berbeda dengan rumah mewah milik orang tua Ika. Ia menebus ijazahnya dari universitas tanpa mengikuti wisuda dan melupakan jauh-jauh impiannya untuk S2. Lagi pula untuk apa? Berkas-berkasnya sudah luntur terendam dalam air berlumut.

“Indra?”

Sebuah suara yang lembut menyebut nama Indra, membuat lelaki itu langsung terduduk di atas sofa usang yang menjadi tempat tidurnya selama ini. Ingatan tentang masa lalu seakan terlupakan begitu saja saat melihat kecantikan paras seorang Ika.

“Ya? Ada apa, Ika?” tanya Indra sambil menatap ke arah Ika. Gadis itu melangkah perlahan dengan afghan yang menyelimuti kedua bahunya. Tidak biasanya gadis ini belum tidur selarut ini. “Apa kau kedinginan? Atau kau tiba-tiba ingin makan sesuatu?”

Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lembut. Lalu perlahan ia duduk di samping Indra. “Indra, apa kau tidak bosan tidur di luar?”

Apa? Indra mengerutkan kening sambil mengangkat satu alisnya. Ia merasa tidak memahami pertanyaan Ika.

“M-maksudku, apa kau tidak ingin tidur di kamar bersamaku?”

Indra menelan ludah. Ia mencengkram ujung selimut di tangannya erat-erat. Apa ada sedikit kemungkinan bahwa Ika sudah membuka hatinya untuk Indra?

“Apa kau yakin?” tanya Indra merasa sangsi. Mungkin saja ini semacam ngidam  yang biasanya dialami ibu hamil.

Dua bola mata hitam yang indah itu menatap langsung ke wajah Indra seakan berusaha meyakinkan. Sedetik kemudian kepala Ika mengangguk mantap. “Apa kau keberatan? Kau menyewa rumah ini dengan uangmu, jadi kau berhak tidur di kamar itu.”

Tentu saja Indra tidak akan keberatan. Ia justru merasa sangat senang Ika bersikap seperti ini. Tidur bersama? Mana mungkin Indra menolaknya. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

“Baiklah,” kata Indra dengan sedikit gugup. Dengan lembut ia menuntun gadis itu ke atas tempat tidur. Setelah itu, Indra menyusulnya dan berbaring di sebelah Ika. Dalam waktu yang cukup lama mereka hanya berbaring diam sambil menatap langit-langit.

“Indra, maukah kau memelukku?” pinta Ika tiba-tiba. Sebenarnya itu tidak lebih dari gumaman, tapi suasana yang sunyi membuat suara sekecil apapun mudah terdengar. Indra menoleh saat mendengar sebuah perkembangan baru. Sejak lama ia selalu menahan dirinya untuk tidak memeluk gadis ini. Dan sekarang Ika sendiri yang memintanya. Jadi, mana mungkin Indra menolaknya.

Indra menganggukkan kepalanya, lalu membentangkannya lengannya. Dan Ika berbaring di atas lengan itu seolah itu adalah sebuah bantal sambil menyelinap masuk ke dalam pelukan Indra. Ika bisa merasakan dada bidang Indra menekan punggungnya. Indra membelai lembut rambut Ika hingga gadis itu tertidur lelap di dadanya.

Tidak ada satu pun obrolan yang tercipta malam itu.

***

Seperti biasa, Indra pulang dengan menumpang motor Ibel hari ini. Sebelum pergi, Ibel mengobrol sebentar di depan gang seperti biasanya. Tapi bagi Indra, hari-harinya sudah tidak biasa lagi. Semakin hari ia merasa semakin bahagia menjalani hari-hari yang luar biasa.

Sejak malam itu, Indra dan Ika selalu tidur berpelukan di malam-malam selanjutnya. Indra tidak pernah merasa bahwa tidur bisa begitu membahagiakan. Tidak ada percakapan apapun sebelum tidur. Mereka hanya berpelukan sampai tertidur. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang membahasnya saat pagi hari.

Tidak jauh berbeda dengan malam hari, pagi hari Indra juga sama menyenangkannya. Ika selalu bangun lebih pagi dari dirinya dan menyiapkan sarapan. Gadis itu selalu tersenyum secerah matahari pagi sambil menunggunya di meja makan. Kemudian mereka akan sarapan bersama sambil mengobol singkat.

Dan ada satu hal lagi yang paling membuat Indra merasa bahagia. Sekarang Ika mengizinkan Indra untuk mencium perut buncitnya sebelum berangkat ke kantor. Mungkin itu hanya satu hal yang sepele. Tapi mampu membuat Indra lebih bersemangat menjalani hari-harinya. Ia merasa seperti menjadi suami sesungguhnya bagi Ika. Walaupun pernikahan mereka dulu digelar sangat tertutup dan terdaftar dengan identitas palsu.

“Hei, kalau aku perhatikan kau sering tersenyum sendiri belakangan ini.”

Suara itu menyadarkan Indra dari lamunannya. Ia baru ingat bahwa Ibel masih ada di dekatnya saat ini.

“Aku sedang bahagia, kawan,” balas Indra sambil tersenyum lebar.

“Kau tidak tampak bahagia, Indra. Kau tampak seperti lelaki sinting.”

“Terserah kau mau menyebutku apa,” timpal Indra sambi tersenyum usil. Hatinya terlalu bahagia untuk merasa kesal atas ejekan Ibel.  “Kau juga sering terlihat bahagia saat aku menyebut nama Irna. Tidak ada bedanya, kan?”

“Oh apa kau sudah menemukan seorang gadis yang membuatmu tergila-gila?” tanya Ibel curiga. Ia mengakui entah mengapa ujung bibirnya selalu tertarik untuk tersenyum hanya dengan mendengar nama Irna kekasihnya  disebut. Dan mungkin hal itu juga yang dialami Indra saat ini.

Indra tidak langsung menjawab. Ia tampak sedang menimbang-nimbang jawaban dari pertanyaan Ibel. “Hampir seperti yang kau pikirkan,” jawabnya kemudian. “Kurang lebih seperti itu.”

Mata Ibel berbinar penuh suka cita saat mendengar jawaban Indra. “Wah, aku turut bahagia mendengarnya.”

“Terima kasih,” jawab Indra tulus.

Bahkan sedekat apapun dirinya dengan Ibel, sahabatnya itu tidak tahu-menahu tentang Ika dan masalah di antara mereka berdua. Atau pun pernikahan dengan identitas palsu yang dijalani Indra. Ibel sungguh tidak tahu apa-apa.

Tapi Indra tentu akan menceritakan tentang hal itu kepada Ibel. Nanti ketika keadaan sudah normal. Ketika Indra sudah mendengar pernyataan Ika bahwa gadis itu mencintainya seperti ia mencintai Ika dengan tulus. Ketika Indra akan menikah sungguhan dengan Ika. Indra kembali tersenyum saat membayangkan hal tersebut.

“Kapan kau akan mengenalkannya padaku?” tanya Ibel tiba-tiba. Ia menoleh dan melihat tatapan bertanya di mata Indra. Sepertinya sahabatnya itu baru saja melamun lagi hari ini sehingga tidak bisa langsung mencerna setiap pertanyaan dengan baik. “Gadis itu. Kapan kau akan mengenalkannya padaku?”

“Jangan harap,” balas Indra dengan nada bicara dibuat ketus. “Kau terlalu tampan, Ibel. Gadisku bisa-bisa berpaling dan mengejarmu.” Indra menambahkan sambil tertawa.

“Bukankah itu hal yang bagus?” Ibel menanggapi gurauan Indra sambil tersenyum usil. “Itu berarti dia bukan gadis yang baik untukmu. Akan ada banyak lelaki yang jauh lebih tampan darimu di luar sana, kawan. Jika dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berpaling darimu, segera tinggalkan dia. Kau terlalu berharga untuk disakiti.”

“Apa seperti itu caramu berbicara kepada setiap perempuan, eh?” Indra mengedipkan matanya beberapa kali dengan genit. Seolah ia memiliki bulu mata yang sangat lentik. “Aku mulai tersipu mendengarnya. Mungkin aku harus meninggalkan gadis itu demi dirimu.”

“Tidak. Terima kasih. Aku mencintai Irna, kawan,” timpal Ibel sambil menepuk bahu Indra. Ia menunjukkan ekspresi yang dibuat sedih.

“Wah, apa ini? Ini pertama kalinya bagiku mendengarmu mengatakan bahwa kau mencintai seorang gadis.” Indra menatap sahabatnya itu dengan heran. “Apa Irna sudah benar-benar mencuri hatimu seutuhnya?”

Ibel tidak bisa menahan senyum saat mendengar pertanyaan Indra. “Yah... sepertinya begitu.”

“Syukurlah,” ujar Indra seakan bisa merasakan kebahagiaan Ibel. “Aku turut senang kau akhirnya menemukan tempat untuk berlabuh.”

“Terima kasih, kawan. Aku juga mendoakan yang terbaik untuk.” Ibel menepuk ringan bahu Indra lalu mengenakan helm teropongnya. “Aku harus pulang sekarang. Nanti malam aku ada janji kencan dengan Irna.”

Benar juga. Malam ini bisa menjadi malam yang panjang. Dan besok adalah hari libur yang ditunggu selama seminggu oleh semua orang. Itu berarti Indra bisa menemani Ika seharian di rumah.

Sambil membayangkan hal itu, Indra melangkahkan kakiknya penuh semangat ke rumah kontrakannya. Ia bahkan menjadi lebih ramah saat menyapa tetangga-tetangganya. Semakin hari kebahagiaan di hati Indra terasa semakin nyata.

Indra menatap pintu rumah kecil itu bagaikan menatap pintu istana yang megah. Perlahan ia menghela napas dengan gugup yang mengingatkannya di hari pertama ia bekerja. Senyuman di bibir lelaki itu semakin lebar seiring dengan jemarinya yang memuta kenop pintu dan mendorongnya.

Kaki Indra melangkah hati-hati saat memasuki rumah yang dalam keadaan gelap. Mungkin Ika sedang tidur, Indra membatin. Ia menekan saklar di dinding yang sudah ia hafal letaknya, dan lampu ruang tamu menyala. Dahi Indra mengernyit saat melihat lampu kamar yang juga dalam keadaan padam. Tidak biasanya gadis itu tidur dalam keadaan gelap.

Jantung Indra seakan dihantam jauh meninggalkan rongga dadanya yang tiba-tiba terasa kosong. Sesaat setelah menyalakan lampu kamar, ia tidak melihat sosok Ika dalam kamar yang jauh lebih rapi dari biasanya. Sebagai gantinya, sepucuk surat tergeletak di atas nakas di samping tempat tidur. Buru-buru Indra membuka lipatan surat itu sambil terus berharap bahwa apa yang ditakutkannya tidak terjadi.

Dear Indra...

Maaf jika aku pergi tiba-tiba seperti ini. Aku tahu kau benci mendengar kata maaf dariku. Tapi memang itulah yang seharusnya aku katakan walaupun tidak akan mampu menebus semua kesalahan yang aku perbuat kepadamu.

Dan sekarang ada kata lain yang mungkin akan lebih membuatmu bahagia..

Terima kasih.
Ya. Terima kasih, Indra.
Terima kasih atas semua kebaikan hatimu yang tidak mungkin bisa aku balas.
Terima kasih karena sudah menyelamatkan hidupku.
Terima kasih karena kau mengajarkan bibir ini untuk berujar maaf.
Terima kasih karena kau menyayangi bayi ini seakan dia adalah anakmu.
Dan terima kasih karena kau mencintaiku...

Tapi maafkan aku, Indra.
Maafkan aku atas semua perlakuan burukku padamu di masa lalu.
Maafkan karena aku tidak bisa membalas cintamu.

Beberapa hari ini aku mencoba untuk menyentuhmu... lebih dekat denganmu...
Aku berharap dengan seperti itu akan menumbuhkan rasa cinta di dalam hatiku.

Tapi ternyata aku salah.

Setiap saat aku menyentuhmu dan kau tersenyum karenanya, membuat aku semakin merasa bersalah.
Aku takut menyakiti hatimu lebih dalam lagi.
Sehingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari kehidupanmu.
Kau adalah lelaki baik dan hebat yang tidak pantas untuk disakiti...
Kau juga tidak seharusnya menanggung tanggung jawab orang lain di bahumu...
Kau berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari ini...
Kau seharusnya mencintai dan dicintai oleh perempuan yang jauh lebih baik dari pada aku...

Selamat tinggal, Indra...
Jangan cari aku dan jangan tunggu aku...
Temukanlah kebahagiaanmu..


Ika.


Selembar kertas itu jatuh perlahan ke atas lantai. Bahkan Indra merasakan tangannya terlalu lemas untuk menggenggam kertas tipis itu. Kepalanya terasa berkunang-kunang seperti baru ditimpa sebuah batu yang sangat besar. Dan pipinya terasa basah karena air mata yang mengalir begitu saja tanpa bisa ditahan.

Oh apa benar ia menangis? Tapi untuk apa? Tidak mungkin Indra menangis karena merasa kehilangan sesuatu yang bahkan bukan miliknya.

Indra baru menyadarinya sekarang. Sesuatu yang harusnya ia pahami sejak dulu.

Sekuat apapun ia berusaha. Setegar apapun ia menunggu. Ika tidak mungkin menjadi miliknya. Ika tidak mungkin membalas cintanya. Ika tidak akan mungkin mencintai lelaki seperti dirinya.

Tidak mungkin.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D