Hari ini
adalah tepat hari dimana usia gadis itu bertambah, dua puluh satu tahun. Ia
menatap cermin dengan senyumnya yang begitu lebar. Wajahnya terlihat begitu
segar, hari ini ia mempunyai acara kencan dengan kekasihnya, Rendi. Lelaki yang
telah menjalin hubungan dengannya sejak empat tahun yang lalu.
“Semua ini
berkat kau Clarisse. Terima kasih.” Ujar Karina sambil menatap bayangannya yang
memantul dari cermin. Berkat permohonannya pada Clarisse –hantu cermin yang
dipanggilnya empat tahun silam untuk mengabulkan permohonannya– lelaki bernama
Rendi itu secara ajaib menyatakan perasaannya pada Karina hanya dalam waktu
seminggu dan hubungan mereka tetap terjalin hingga hari ini.
Dengan
pulasan lipstik berwarna pink, Karina telah mengakhiri aktivitasnya di depan
cermin. Terusan berwarna senada dengan bibirnya telah ia kenakan, membuatnya
tampak begitu anggun. Sepasang sepatu dengan tumit yang tinggi membalut cantik
kakinya yang ramping.
“Karina,
Rendi sudah datang.” Panggi sang ibu. Karina pun bergegas, menyambut sang
pangeran yang tengah berdiri memandangnya terpesona.
“Kau
cantik.” Puji Rendi tulus. Karina hanya tersenyum simpul dengan wajahnya yang
merona. Tanpa membuang waktu lagi,
dibimbingnya Karina menuju mobil hitam yang telah terparkir di halaman
rumahnya.
Sebuah
restoran bergaya vintage dengan
ornamen beraksen klasik dipilih Rendi untuk merayakan ulang tahun Karina.
Sebuah kue ulang tahun pun telah disiapkan di meja yang telah dipesan oleh
Rendi.
“Selamat
ulang tahun sayang.” Kata Rendi memberikan sebuket mawar pada Karina. Karina
senang bukan kepalang, ini jauh dari apa yang dibayangkan Karina, makan berdua
di kafe tempat mereka biasa makan, sebuah ucapan selamat ulang tahun dan sebuah
kado.
“Kau
benar-benar romantis sayang. Terima kasih banyak.” Senyum Karina melebar,
seolah hampir menyentuh telinganya. Setelah Karina meniup lilin, ia memotong
kue yang tak terlalu besar itu. Namun sesuatu mengganjal pisaunya, membuat
Karina mengerutkan dahi karena kebingungan.
Karina
mencoba memotong kue tersebut dalam bagian kecil-kecil dan menemukan sebuah
kotak berwarna keemasan yang tersimpan di dalam kue tersebut. Gadis itu menatap
kekasihnya yang tengah tersenyum. Diraihnya kotak yang lengket karena krim kue
itu, kemudian dibukanya perlahan. Sesuatu berkilau kerena cahaya lampu yang
begitu terang di ruangan itu. Sebuah kalung dengan bentuk hati terpampang di
hadapannya. Rendi beringsut, meraih kalung tersebut dan memakaikannya di leher
Karina.
“Sangat
cantik. Terima kasih sayang.” Kata Karina girang.
“Tapi kau
jauh lebih cantik.” Ujar Rendi yang lagi-lagi menorehkan semburat kemerahan di
wajah Karina.
Karina
melangkah menuju wastafel, mencuci tangannya yang kotor dan lengket. Ia
memandang bayangannya pada cermin dihadapannya. Begitu cantik dengan kalung
pemberian Rendi.
Tiba-tiba
bayangan lain berdiri di belakangnya, seorang wanita dengan wajahnya yang mengerikan
menunjuk dirinya dari pantulan cermin. Karina menoleh, mencari sosok yang ada
di belakangnya, namun tak ada seorangpun berdiri di belakangnya. Ia cepat-cepat
membersihkan tangannya dan kembali ke meja.
***
Makan malam
berakhir dengan sebuah lamaran romantis oleh Rendi. Kebahagiaan menyelimuti
hati Karina, namun bayangan itu masih
mengganggu pikirannya. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya.
Tiba-tiba ingatannya tentang sahabatnya, Ellen bergelayutan dalam pikirannya.
Sesaat kemudian kebahagiaannya luntur berganti rasa takut ketika memandang
cermin besar di kamarnya.
Empat tahun
yang lalu, wanita itu muncul dalam bayangan cermin. Seperti hari ini, wanita
itu menunjuk Ellen dengan tangannya yang kurus.
Kemudian wanita itu membawa Ellen pergi untuk selamanya. Masih jelas
dalam ingatannya ketika ia memandang sahabatnya yang tengah ketakutan setelah
melihat wanita itu.
Karina
meraih ponselnya untuk mengalihkan perhatiannya. Dipandangnya sebuket mawar
yang masih segar itu di atas meja. Rendi. Satu nama yang akan selalu bisa
menenangkannya. Disentuhnya layar ponsel yang bertuliskan nama Rendi, kemudian
kembali ia menyentuh layar ponselnya yang bersimbol gagang telpon.
“Rendi, aku
tak bisa tidur.” Kata Karina setelah nada sambung berganti dengan suara
kekasihnya.
“Kenapa
sayang? Ini sudah tengah malam.” Suara Rendi terdengar parau.
“Aku takut.
Bayangan Clarisse muncul tadi ketika aku mencuci tangan.” Karina mulai membuka rahasia
yang selama ini ia sembunyikan dari Rendi. Ia menceritakan segalanya pada Rendi
malam itu, mulai dari bagaimana ia memanggil Clarisse, permohonannya untuk
mendapatkan Rendi, hingga meninggalnya Ellen dalam kecelakaan bersama Adam
setelah Clarisse menunjuknya. Namun Rendi sama sekali tak mempercayai hal-hal
seperti itu.
“Itu hanya
kebetulan, sayang. Sudahlah, sebaiknya sekarang kau tidur, ini sudah tengah
malam.” Kata Rendi dengan sabar.
“Ren, hingga
kini Adam masih tak bisa melupakan Ellen. Jika aku mati, apa kau pun tak akan
melupakan aku?” Tanya Karina ragu.
“Bicara apa
kau ini. Cepat tidur.”
“Jawab aku
sebelum aku tidur.” Rengek Karina manja.
“Tidak
Karina, aku tak akan melupakanmu seumur hidupku. Tapi aku akan lebih bersyukur
jika seumur hidup kau akan selalu mendampingiku.” Rendi menjawab dengan tulus.
“Sebaiknya sekarang kau tidur. Sampai jumpa besok sayang.”
“Sampai
jumpa.” Karina menutup telponnya. Kembali ia mengedarkan pandangan ke
sekelilingnya dengan was-was. Kemudian matanya terpaku pada cermin di hadapannya.
Wanita itu muncul, tangan kotornya seolah menembus cermin itu.
“Pergi
Clarisse. Jangan mendekat!” Karina berteriak dengan kencang, berharap ayah atau
ibunya akan mendengarnya. Diraihnya sebuket mawar pemberian Rendi, kemudian Karina
berusaha memukul cermin tersebut hingga kelopaknya pun berserakah di lantai.
“Pergi
Clarisse!” Teriakannya melengking, melemparkan apapun yang ia dapat ia raih.
***
“Karina,
cepat bangun. Ini sudah jam sebelas.” Teriak sang ibu. “Karina, mau tidur
sampai kapan? Ini sudah siang.” Sang ibu menarik paksa selimut Karina.
Pemandangan dihadapannya membuatnya terperangah. Gadis itu terbujur kaku dengan
wajahnya yang pucat pasi.
Sang ibu
berteriak melihat anak gadisnya tergeletak tak bernyawa. Tak ada riwayat
penyakit dalam tubuh Karina. Bahkan jika ada perampok pun tak ada tanda-tanda
kamar itu telah diobrak-abrik. Semua terlihat baik-baik saja, kecuali Karina
yang kehilangan nyawanya secara mendadak.
Isak tangis
terdengar bersahut-sahutan ketika keranda yang membawa Karina semakin menjauh.
Namun batang hidung Rendi justru tak terlihat sama sekali menimbulkan
kebingungan diantara keluarga Karina.
***
“Ren,
Karina meninggal tadi pagi.” Kata ibu Rendi sambil memotong sebuah apel.
“Karina
siapa bu?” Tanya Rendi sambil tetap memainkan ponselnya.
“Ya
Karina. Anak bu Arman, tetangga kita dulu. Dia meninggal mendadak tadi pagi.”
“Oh.. Aku
sudah hampir lupa, bu. Sudah enam tahun lebih aku tidak pernah berhubungan
dengan Karina.” Kata Rendi sambil memasukkan sepotong apel kedalam mulutnya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D