Jumat, 30 Januari 2015

The Forgotten

Hari ini adalah tepat hari dimana usia gadis itu bertambah, dua puluh satu tahun. Ia menatap cermin dengan senyumnya yang begitu lebar. Wajahnya terlihat begitu segar, hari ini ia mempunyai acara kencan dengan kekasihnya, Rendi. Lelaki yang telah menjalin hubungan dengannya sejak empat tahun yang lalu.

“Semua ini berkat kau Clarisse. Terima kasih.” Ujar Karina sambil menatap bayangannya yang memantul dari cermin. Berkat permohonannya pada Clarisse –hantu cermin yang dipanggilnya empat tahun silam untuk mengabulkan permohonannya– lelaki bernama Rendi itu secara ajaib menyatakan perasaannya pada Karina hanya dalam waktu seminggu dan hubungan mereka tetap terjalin hingga hari ini.

Dengan pulasan lipstik berwarna pink, Karina telah mengakhiri aktivitasnya di depan cermin. Terusan berwarna senada dengan bibirnya telah ia kenakan, membuatnya tampak begitu anggun. Sepasang sepatu dengan tumit yang tinggi membalut cantik kakinya yang ramping.

“Karina, Rendi sudah datang.” Panggi sang ibu. Karina pun bergegas, menyambut sang pangeran yang tengah berdiri memandangnya terpesona.

“Kau cantik.” Puji Rendi tulus. Karina hanya tersenyum simpul dengan wajahnya yang merona.  Tanpa membuang waktu lagi, dibimbingnya Karina menuju mobil hitam yang telah terparkir di halaman rumahnya.

Sebuah restoran bergaya vintage dengan ornamen beraksen klasik dipilih Rendi untuk merayakan ulang tahun Karina. Sebuah kue ulang tahun pun telah disiapkan di meja yang telah dipesan oleh Rendi.

“Selamat ulang tahun sayang.” Kata Rendi memberikan sebuket mawar pada Karina. Karina senang bukan kepalang, ini jauh dari apa yang dibayangkan Karina, makan berdua di kafe tempat mereka biasa makan, sebuah ucapan selamat ulang tahun dan sebuah kado.

“Kau benar-benar romantis sayang. Terima kasih banyak.” Senyum Karina melebar, seolah hampir menyentuh telinganya. Setelah Karina meniup lilin, ia memotong kue yang tak terlalu besar itu. Namun sesuatu mengganjal pisaunya, membuat Karina mengerutkan dahi karena kebingungan.

Karina mencoba memotong kue tersebut dalam bagian kecil-kecil dan menemukan sebuah kotak berwarna keemasan yang tersimpan di dalam kue tersebut. Gadis itu menatap kekasihnya yang tengah tersenyum. Diraihnya kotak yang lengket karena krim kue itu, kemudian dibukanya perlahan. Sesuatu berkilau kerena cahaya lampu yang begitu terang di ruangan itu. Sebuah kalung dengan bentuk hati terpampang di hadapannya. Rendi beringsut, meraih kalung tersebut dan memakaikannya di leher Karina.

“Sangat cantik. Terima kasih sayang.” Kata Karina girang.

“Tapi kau jauh lebih cantik.” Ujar Rendi yang lagi-lagi menorehkan semburat kemerahan di wajah Karina.

Karina melangkah menuju wastafel, mencuci tangannya yang kotor dan lengket. Ia memandang bayangannya pada cermin dihadapannya. Begitu cantik dengan kalung pemberian Rendi.

Tiba-tiba bayangan lain berdiri di belakangnya, seorang wanita dengan wajahnya yang mengerikan menunjuk dirinya dari pantulan cermin. Karina menoleh, mencari sosok yang ada di belakangnya, namun tak ada seorangpun berdiri di belakangnya. Ia cepat-cepat membersihkan tangannya dan kembali ke meja.

***

Makan malam berakhir dengan sebuah lamaran romantis oleh Rendi. Kebahagiaan menyelimuti hati Karina, namun  bayangan itu masih mengganggu pikirannya. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya. Tiba-tiba ingatannya tentang sahabatnya, Ellen bergelayutan dalam pikirannya. Sesaat kemudian kebahagiaannya luntur berganti rasa takut ketika memandang cermin besar di kamarnya.

Empat tahun yang lalu, wanita itu muncul dalam bayangan cermin. Seperti hari ini, wanita itu menunjuk Ellen dengan tangannya yang kurus.  Kemudian wanita itu membawa Ellen pergi untuk selamanya. Masih jelas dalam ingatannya ketika ia memandang sahabatnya yang tengah ketakutan setelah melihat wanita itu.

Karina meraih ponselnya untuk mengalihkan perhatiannya. Dipandangnya sebuket mawar yang masih segar itu di atas meja. Rendi. Satu nama yang akan selalu bisa menenangkannya. Disentuhnya layar ponsel yang bertuliskan nama Rendi, kemudian kembali ia menyentuh layar ponselnya yang bersimbol gagang telpon.

“Rendi, aku tak bisa tidur.” Kata Karina setelah nada sambung berganti dengan suara kekasihnya.

“Kenapa sayang? Ini sudah tengah malam.” Suara Rendi terdengar parau.

“Aku takut. Bayangan Clarisse muncul tadi ketika aku mencuci tangan.” Karina mulai membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari Rendi. Ia menceritakan segalanya pada Rendi malam itu, mulai dari bagaimana ia memanggil Clarisse, permohonannya untuk mendapatkan Rendi, hingga meninggalnya Ellen dalam kecelakaan bersama Adam setelah Clarisse menunjuknya. Namun Rendi sama sekali tak mempercayai hal-hal seperti itu.

“Itu hanya kebetulan, sayang. Sudahlah, sebaiknya sekarang kau tidur, ini sudah tengah malam.” Kata Rendi dengan sabar.

“Ren, hingga kini Adam masih tak bisa melupakan Ellen. Jika aku mati, apa kau pun tak akan melupakan aku?” Tanya Karina ragu.

“Bicara apa kau ini. Cepat tidur.”

“Jawab aku sebelum aku tidur.” Rengek Karina manja.

“Tidak Karina, aku tak akan melupakanmu seumur hidupku. Tapi aku akan lebih bersyukur jika seumur hidup kau akan selalu mendampingiku.” Rendi menjawab dengan tulus. “Sebaiknya sekarang kau tidur. Sampai jumpa besok sayang.”

“Sampai jumpa.” Karina menutup telponnya. Kembali ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dengan was-was. Kemudian matanya terpaku pada cermin di hadapannya. Wanita itu muncul, tangan kotornya seolah menembus cermin itu.

“Pergi Clarisse. Jangan mendekat!” Karina berteriak dengan kencang, berharap ayah atau ibunya akan mendengarnya. Diraihnya sebuket mawar pemberian Rendi, kemudian Karina berusaha memukul cermin tersebut hingga kelopaknya pun berserakah di lantai.

“Pergi Clarisse!” Teriakannya melengking, melemparkan apapun yang ia dapat ia raih.

***

“Karina, cepat bangun. Ini sudah jam sebelas.” Teriak sang ibu. “Karina, mau tidur sampai kapan? Ini sudah siang.” Sang ibu menarik paksa selimut Karina. Pemandangan dihadapannya membuatnya terperangah. Gadis itu terbujur kaku dengan wajahnya yang pucat pasi.

Sang ibu berteriak melihat anak gadisnya tergeletak tak bernyawa. Tak ada riwayat penyakit dalam tubuh Karina. Bahkan jika ada perampok pun tak ada tanda-tanda kamar itu telah diobrak-abrik. Semua terlihat baik-baik saja, kecuali Karina yang kehilangan nyawanya secara mendadak.

Isak tangis terdengar bersahut-sahutan ketika keranda yang membawa Karina semakin menjauh. Namun batang hidung Rendi justru tak terlihat sama sekali menimbulkan kebingungan diantara keluarga Karina.

***

“Ren, Karina meninggal tadi pagi.” Kata ibu Rendi sambil memotong sebuah apel.

“Karina siapa bu?” Tanya Rendi sambil tetap memainkan ponselnya.

“Ya Karina. Anak bu Arman, tetangga kita dulu. Dia meninggal mendadak tadi pagi.”

“Oh.. Aku sudah hampir lupa, bu. Sudah enam tahun lebih aku tidak pernah berhubungan dengan Karina.” Kata Rendi sambil memasukkan sepotong apel kedalam mulutnya.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D