Deburan ombak yang bergemuruh terasa begitu menenangkan. Kacamata hitam, kaos putih, celana pendek dan ponsel yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya. Ia memainkan pasir pantai dengan kedua kaki telanjangnya. Cuaca begitu panas. Diperhatikannya dua sejoli yang tengah asyik bercengkrama dengan meminum kelapa muda. Ia menelan ludah. Ia memikirkan kantongnya yang mulai menipis.
Beberapa
hari yang lalu ia mengirimkan lamaran kerja ke sebuah hotel ternama di
Indonesia. Mereka mengatakan, akan ada panggilan lewat ponsel. Harusnya itu
kemarin. Bahkan sampai hari ini pun ponselnya tak kunjung berdering. Ia
menengadahkan kepalanya, menatap matahari yang begitu menyengat melalui
kacamata hitamnya.
Kulitnya
terasa panas terbakar, dengan kaki jenjangnya yang malas ia melangkah terseok
menuju warung terdekat untuk sekedar menyirami tenggorokannya yang terasa
kering. Dilihatnya daftar menu yang terpampang sombong dengan harga yang tidak
wajar. Ia menghela nafas besar. Dia hanya mampu membayar Es Teh seharga lima
ribu rupiah, yang termurah dari sekian banyaknya menu. Ia memilih duduk di
dekat jendela agar tetap bisa menikmati pemandangan diluar.
Hidupnya
berubah drastis sejak lima bulan yang lalu. Perusahaan tempatnya bekerja bangkrut,
ia terkena PHK dengan pesangon seadanya yang hanya cukup untuk hidupnya selama
dua bulan dan tentu saja keuangannya berantakan. Setiap hari ia harus diburu rentenir
karena berbagai macam kredit yang tak mampu ia bayar. Bahkan orang tuanya di
kampung belum tahu bahwa putrinya yang telah sukses di Ibukota, kini justru
luntang-lantung di jalanan.
Dipandangnya
lelaki tampan yang mengenakan jaket hitam yang nampaknya tengah serius
membicarakan sesuatu dengan rekannya. Hidungnya memang tidak megitu mancung
tapi kulitnya putih bersih, rambutnya tertata begitu rapi. Lelaki itu merasakan
perhatian yang berlebihan, sehingga ia memutar kepalanya menatap gadis yang ada
di sebelah mejanya. Lelaki itu terperangah melihat gadis cantik di hadapannya.
“Alin.” Sapa
lelaki tersebut. Gadis itu terdiam. Mengerutkan keningnya untuk berpikir
sejenak. Tak ada ingatan apapun tentang siapa lelaki itu. Tapi mengapa dia bisa
mengenalinya? Lelaki itu berdiri, menghampiri meja gadis bernama Alin tersebut.
Alin menaikkan alisnya, sebagai pertanda ia minta penjelasan.
“Kau
tidak ingat aku?” Nada kecewa terdengar dari suara lelaki itu. Alin menggigit
bibirnya berusaha mengingat lelaki tampan di hadapannya. “Ini aku, Hans. Kau
tidak ingat juga? Dulu kita satu SMP.” Alin masih memutar otaknya, mengaduk-aduk
ingatannya tentang Hans. Namun tak satupun muncul dalam ingatannya. Kecuali
satu Hans si gendut dan jelek, yang mendapat julukan Boboho.
“Hans
‘Boboho’?” Tanya Alin memberikan penekanan pada kata Boboho. Hans terdiam
sesaat. Sedetik kemudian tawa terpingkal-pingkal meledak dari mulut Hans.
“Sayang
sekali kenapa kau hanya mengenangku sebagai Boboho, Lin.” Protes Hans di sela
tawanya.
“Aku
benar-benar tak menyangka, Boboho yang dulu begitu pendek, gendut dan jelek
sekarang bisa setampan ini.” Puji Alin tulus. Siapapun yang melihat Hans, pasti
tak akan menyangka dulunya ia memiliki riwayat yang.. bisa dibilang cukup
buruk.
“Kau
ini bisa saja. Kau juga jadi lebih cantik. Tadi aku sempat tak mengenalimu.”
Puji Hans yang membuat Alin merona. Mereka melanjutkan obrolan mereka,
mengenang masa masa SMP hingga masalah pekerjaan yang membuat Alin tercekat.
Meskipun sudah beberapa bulan berlalu namun bagi Alin kenyataan bahwa ia telah
di PHK bagai duri ikan yang tersangkut di tenggorokan, menyakitkan. Ia menceritakan
segalanya pada Hans. Pekerjaan serabutan pun rela ia lakukan untuk menghidupi
dirinya sendiri.
“Aku
ada pekerjaan untukmu. Itu jika kau bersedia, karena mungkin sedikit menguras
tenaga.” Pekerjaan untukmu. Dua kata
itulah yang dinantikan Alin dari pidato panjangnya beberapa menit terakhir.
Peduli setan jika ia harus menjadi kuli bangunan ataupun buruh cuci, walau jauh
dari lubuk hatinya ia tak mengharapkan itu.
***
Alin
menyibakkan gorden di samping ranjangnya, berniat menantang matahari pagi yang seolah
menghina pengangguran yang telah kehilangan segalanya. Namun rupanya matahari
enggan berhadapan dengan Alin pagi ini. Mendung. Angin melolong menelusup
melalui celah jendela boborok dalam kost murahan yang disewa Alin. Jam
dindingnya menunjuk angka enam dengan jarum panjang di angka empat. Rupanya
masih pagi. Ia menyeret langkahnya dengan malas untuk membersihkan tubuhnya,
langkahnya terhenti di depan meja kecil di dekat pintu kamar mandi. Hans. Pukul
delapan Alin harus berada di kantor Hans untuk pekerjaan itu. Alin bergegas
membersihkan dirinya, kemudian menjejalkan tubuhnya ke dalam setelan rok dengan
blazer hitam terbaiknya yang senada
dengan roknya.
Tepat
pukul tujuh Alin berniat berangkat, namun perutnya mulai memberontak. Alin
menghela nafas berat, langkahnya kembali menuju lemari penyimpanan makanan. Ia
mendesah, hanya tersisa roti yang telah ditumbuhi jamur kehijauan dan sebuah
mie instant yang seperempatnya telah disantap oleh tikus-tikus sialan di
sekitar kostnya. Perutnya kembali bergemuruh, ia berharap ada ibu peri yang
akan menyulap lemarinya menjadi penuh dengan makanan. Ditutupnya kembali lemari
itu dengan perasaan kecewa. Terpaksa ia harus berangkat dengan perut kosong.
Ia
menengadahkan kepalanya. Bukan gedung dengan puluhan lantai seperti tempat
kerjanya yang dulu. Mungkin hanya ada dua atau tiga lantai. Sebuah papan
penanda bertuliskan William Investigation
Agency terpampang megah di atas pintu masuk. Dengan mantap kaki jenjangnya
melangkah, menambah kesan anggun pada diri Alin.
“Permisi,
saya Alin. Saya sudah ada janji dengan bapak Hans. Bisa saya bertemu dengan
beliau?” Tanya Alin ramah di meja
resepsionis.
“Tentu,
anda sudah ditunggu. Silahkan.” Gadis cantik nan ramah tersebut mengantar Alin
menuju ruangan Hans. Lelaki dengan kemeja hitam itu mengenakan kacamata,
membuatnya tampak lebih cerdas dan lebih tampan tentunya. Gadis cantik tersebut
meninggalkan Alin dalam ruangan Hans.
“Jadi,
kau benar-benar bersedia untuk melakukan pekerjaan ini?” Tanya Hans begitu Alin
duduk di hadapannya.
“Apapun
akan kulakukan Hans. Jadi apa pekerjaan yang harus kulakukan?” Tanya Alin
bersemangat.
“Dari
dulu aku menyukai semangatmu, Alin” Seringainya melebar. Disodorkannya map biru
pada Alin dan ia pun membukanya. Sebuah foto lelaki berhidung mancung ala
peranakan bule-bule yang entah dari mana asalnya, mata coklatnya terlihat
begitu tajam, rambutnya ikal dan hitam layaknya pribumi lalu bulu cambang yang
baru tumbuh di wajahnya, lalu...
“Jangan
terpesona padanya Alin, dia adalah kriminal.” Hans memotong lamunan Alin. Alin
membuka mulutnya, terperangah mendengar penjelasan Hans. Ia membuka lembar
selanjutnya, pembunuhan dan pemerkosaan. Alin punya firasat yang buruk. Ia
menelan ludah dengan susah payah.
“La-
lalu apa yang bisa kulakukan?” Tanya Alin dengan suara terbata-bata.
“Kau harus menangkapnya.” Seringaian nampak
tersungging di bibirnya. “Berhati-hatilah. Lelaki ini seperti asap, dia ada
namun tak bisa digenggam.” Tangan Hans mengepal, memperagakan sebuah genggaman.
“Hans,
kau gila! Riwayatnya menakutkan. Bagaimana jika dia memperkosaku? Lalu
membunuhku dan membuang bangkaiku ke sungai?” Keraguan mulai terpancar di hati
Alin.
“Bayarannya
besar jika kau bisa menangkapnya. Lakukan atau lepaskan?” Tegas Hans. Alin tak
punya pilihan lain. Ini kesempatannya, ia tak ingin lagi mengandalkan kerja
serabutan yang hanya dihargai dua piring nasi Padang perharinya.
***
Kembali
dibukanya berkas-berkas dalam map biru yang kini berada di tangannya. Sebotol
air mineral dingin yang ia ambil paksa dari meja Hans membantu gadis itu
mengisi perutnya yang kosong. Matahari mulai tegak menantang, begitu menyengat
di jam sepuluh pagi ini. Hans William, sialan! umpatnya dalam hati.
Sekarang
ia berada di depan sebuah apartemen yang terlihat cukup mahal, sesuai dengan
alamat yang telah dicantumkan dalam berkas. Empat jam Alin menghabiskan waktu
untuk mencari alamat tersebut. Apa yang harus kukatakan jika berhadapan dengannya? Pikir Alin. Jantungnya
berdebar, pikirannya benar-benar kacau. Ia akan bertemu seorang pembunuh dan
pemerkosa. Apa yang harus dilakukannya jika ia berakhir diperkosa lalu dibunuh?
Pikiran buruk meracuni otaknya membuat keraguan kembali menelusup kedalam
hatinya. Sejenak ia menundukkan kepala untuk mengheningkan cipta, berdoa
memohon keselamatannya.
Hatinya
sudah mantap. Ia memaksa langkahnya menuju lift yang nyaris tertutup. Beruntung
dengan cepat ia dapat menahan pintu lift sehingga ia tak perlu menunggu untuk
memberi waktu pada segala pikiran buruk yang hendak meracuni otaknya. Tombol
untuk lantai delapan ternyata telah menyala, lelaki bertopi dan berkacamata
hitam di sampingnya memiliki tujuan yang sama.
Ting.
Pintu
lift terbuka. Angka delapan terpampang jelas di dinding. Lelaki itu melangkah
dengan cepat di depan Alin. Alin terdiam sejenak di depan pintu lift untuk
menenangkan jantungnya yang seolah hendak keluar dari tenggorokannya. Setelah
lelaki itu menghilang, barulah Alin beraksi. 805. Ia menyusuri lorong untuk
mencari nomor kamar tersebut.
805.
Ditatapnya
nomor kamar 805. Tangannya bersiap untuk mengetuk pintu di hadapannya. Namun
perasaan gugup, takut dan ragu bercampur aduk dalam dirinya. Alin mendesah,
dengan seluruh keberanian penuh yang telah ia kumpulkan, ia mengetuk pintu
tersebut kuat-kuat. Tak perlu perlu waktu lama seseorang segera membuka pintu
tersebut.
“Siapa
kau?” Tanya lelaki tersebut dengan memandang tajam gadis asing di hadapannya.
“Brian.”
Panggilnya berhati-hati sambil menengadahkan kepalanya. Wow. Lelaki dihadapannya begitu tampan, bahkan jauh lebih tampan
dibanding foto yang diberikan Hans.
“Apa
kau mengenalku?” Tanya lelaki bernama Brian yang masih penasaran. Alin memegang
perutnya yang sejak pagi hanya terisi air. “Kau baik-baik saja?” Tanya Brian
sekali lagi. Alin tak tahu harus mengatakan apa pada lelaki ini. Alin terus
memutar otak untuk mencari alasan.
“Brian,
aku hamil anakmu.” Kata Alin impulsif. Mulut Brian ternganga mendengar
pernyataan Alin.
“Kau
gila!” Bentak Brian yang kemudian membanting pintu di depan wajah Alin.
“Brian
buka pintunya Brian. Dengarkan aku.” Alin kembali menggedor-gedor pintu Brian,
hingga kepala Brian muncul kembali di sela pintu yang terbuka sedikit.
“Hentikan!
Aku sama sekali tak pernah menyentuhmu, bahkan aku tak mengenalmu. Pulanglah
kerumahmu!” Pintu kembali dibanting di depan wajah Alin. Sial. Brian benar, hanya perempuan gila yang tiba-tiba datang dan
mengaku hamil. Kasus Brian sebagai pemerkosa telah membuat Alin beralasan bodoh.
Alin memutar tubuhnya, dengan langkah terseok dan memutuskan untuk mengisi
perutnya.
***
Sambil
mendesah Alin berguling keluar ranjang, tertatih-tatih menuju kamar mandi dengan
mata yang masih setengah terpejam. Begitu keluar dari kamar mandi diliriknya
jam dinding di kamarnya. Jam sepuluh pagi. Rupanya hari ini telah dimulai
tanpanya. Semalaman suntuk ia memikirkan cara untuk mendekati Brian hingga
mengambil jatah tidurnya. Buru-buru ia kembali ke kamar mandi untuk segera
mengawali pekerjaan barunya.
Sepotong
roti ditangannya tanpa terasa telah habis. Diabaikannya sinar matahari yang
menyengat siang itu. Alin sedang menunggu lelaki itu keluar dari apartemennya.
Satu jam, dua jam, tiga jam. Tak ada tanda-tanda batang hidungnya akan terlihat
saat itu. Tak ada cara lain. Semangatnya sedang berkobar siang ini. 805 tunggu aku.
Tok..tok..tok..
Kembali
Alin berdiri, mengetuk pintu dengan berapi-api. Cukup lama hingga lelaki itu
muncul denngan penampilan yang cukup berantakan. Ia memicingkan matanya,
menatap gadis di hadapannya.
“Kau
lagi? Mau apa lagi?” Nada kesal terdengar dari ucapan Brian.
“Brian,
maafkan aku. Aku Alin, apa kau benar tak mengingatku?” Raut sedih Alin rupanya
sedikit berpengaruh. Brian mengerutkan dahi, mencoba menggali ingatannya. Namun
sayang, Brian tak berhasil mengingatnya. Brian menggeleng.
“Brian,
aku benar-benar mencintaimu Brian. Kumohon jangan begini.” Wajah memelas yang
terlihat dibuat-buat kali ini tak membuat Brian iba.
“Alin,
aku tak ingin diganggu. Sekarang pergi dari sini dan jangan lagi datang
kemari!” Bentak Brian. Alin tersentak mendengar teriakan Brian. Rupanya lelaki ini memang sulit didekati.
pikir Alin. Kembali pintu dibanting di hadapan Alin. Ini mungkin akan menjadi
makanannya sehari-hari. Gadis itu memutuskan untuk menunggu di depan pintu.
Satu jam, dua jam, tiga jam. Berdiri, jongkok, duduk. Gadis itu mulai bosan dan
lelah. Ia putuskan untuk kembali dan melakukan pendekatan keesokan harinya.
Tiba-tiba
pintu terbuka ketika Alin hendak mengakhiri niatnya untuk menunggu. Lelaki
dalam balutan jeans abu-abu dan jaket putihnya, ternyata tak menyadari gadis
yang tengah duduk di samping pintu. Lelaki itu mengenakan kacamata hitamnya dan
setengah berlari menuju lift. Alin tak membuang-buang kesempatan untuk
mendekatinya.
“Kau
kenapa masih disini?” Tanya Brian menyelidik.
“Brian,
dengarkan aku. Kumohon Brian, aku mencintaimu. Kenapa tak kau coba memberiku
kesempatan sekali saja?” Lift berhenti di lantai lima, sepasang suami istri
yang sudah paruh baya bergabung dalam lift. Alin menggoyang-goyangkan lengan
Brian. Namun Brian tak menggubrisnya. Tanpa kehabisan akal Alin memanfaatkan
kesempatan yang cukup menguntungkannya.
“Brian.
Perutku. Oh.. Perutku sakit sekali, anak kita. Bagaimana dengan anak kita?
Brian, tolong aku.” Alin membuat suaranya seolah kesakitan. Ia melirik Brian,
mencoba menunggu responnya. Lelaki itu menggigit bibirnya, namun tak kunjung
bertindak. Hingga tibalah lift di lantai satu, pintu lift terbuka, pasangan
suami istri tersebut segera berhambur keluar diikuti Brian dibelakangnya. Brengsek! Seperti inikah kelakuan
orang-orang kaya melihat orang lain kesakitan? Alin mengumpat dalam hati.
Kemudian ia mengejar targetnya, namun sebuah sedan hitam nampaknya lebih cepat
membawa Brian pergi. Alin menarik nafasnya dalam-dalam lalu dihembuskannya
dengan keras.
***
Sudah
nyaris dua minggu, gadis itu masih terus mendekati Brian. Mau tak mau Brian
harus menyisikan sedikit perhatiannya pada gadis itu. Pagi, siang, sore, malam,
di apartemen, di tempat parkir, di jalan, di supermarket, bahkan di dalam mimpi
gadis itu selalu muncul. Rasa penasaran Brian kian bertambah setiap harinya,
namun ia harus tetap waspada. Statusnya sebagai buronan membuatnya tak bisa
bergerak bebas.
Kepalanya
terasa sakit, semalaman Brian tak bisa tidur memikirkan gadis cantik yang
selalu membuntutinya. Namun belakangan gadis itu selalu menggedor pintunya di
pagi hari. Pernah sekali Brian mendapat peringatan dari tetangganya akan hal
itu.
“Alin,
kumohon, ini masih pagi. Aku sangat terganggu olehmu. Tolong jangan ganggu
aku.” Kata Brian lemah sambil menutup pintunya. Ia sedang tak ada energi untuk
berdebat dengan Alin sekarang.
“Kau
sakit?” Tanya Alin yang tengah mengganjal pintu dengan ujung sepatunya. Brian
mendesah kesal. Sorot matanya yang tajam membuat Alin menciut. Ditariknya
sepatu yang mengganjal pintu, ditutupnya pelan agar tak mengganggu Brian. Brian
semakin bingung dengan tingkah laku gadis itu. Ponsel Brian berdering, sebuah
pesan muncul di layar ponselnya. Roby.
Tempat biasa.
Sekarang.
Sahabat
Brian, yang selama ini selalu membantunya. Segera ia meraih topi dan kacamata
hitam untuk menyamarkan wajahnya. Dengan langkah seribu ia keluar dari
kamarnya. Seperti biasa, gadis itu membuntutinya dan mengoceh di belakang
Brian. Brian berlari agar Roby tak menunggunya terlalu lama, untuk menghindari
gadis itu tentu saja. Jalanan bagitu ramai, namun dengan lincah Brian dapat
menyebrang dengan mudah.
“Kyaaaaaaaa”
Suara teriakan yang diiringi oleh suara ban mobil yang berdecit membuat jantung
Brian seolah berhenti. Alin. Gadis itu tergeletak di depan sebuah mobil. Brian memutar
langkahnya untuk menolong Alin. Dengan terburu-buru digendongnya gadis itu
menuju apartemennya. Beruntung tak ada luka. Hanya pingsan. Brian menidurkan
gadis itu di sofa menepuk-nepuk pipinya untuk menyadarkannya. Kemudian
diraihnya ponsel di saku celananya dan mengetik sebuah pesan pada Roby.
Maaf, aku tidak bisa
datang.
***
Ia
membuka sebelah matanya. Rupanya kali ini rencananya berhasil meski nyawa
taruhannya. Membuat Brian peduli padanya adalah hal yang diakuinya begitu sulit.
Pria itu mondar-mandir sambil menatap ponselnya.
“Dimana
aku?” Tanya Alin dengan suara lemah yang dibuat-buat.
“Kau
kecelakaan, pingsan. Aku membawamu ke apartemenku.” Jelas Brian tanpa memandang
Alin. Alin pura-pura memeriksa pakaiannya dan tentu saja Brian memperhatikan
kejanggalan itu. “Tenang saja aku bahkan tak menyentuhmu selain menggendongmu.”
“Aku-
aku pernah mendengar kau adalah em.. pemerkosa.” Kata Alin ragu dengan
merendahkan suaranya pada kata terakhir. Perhatian penuh Brian ditujukan pada
Alin.
“Siapa
yang memberitahumu? Kenapa kau tahu masalah itu?” Pandangan menyelidik dengan
sorot matanya yang tajam membuat Alin bagai ditodong sebilah pedang yang siap
menghunus jantungnya kapan saja.
“Temanku.
Namun aku tak percaya pada hal itu.” Rupanya kata-kata itu begitu ampuh. Cerita
pun mengalir dari mulut Brian.
Saat
itu sekitar jam dua dini hari, ia hendak menolong seorang gadis yang telah
diperkosa di depan matanya hingga gadis itu pingsan. Brian menghajar pelakunya
hingga babak belur dan terkapar tak sadarkan diri. Namun rupanya nasib baik tak
berpihak pada Brian. Gadis itu tersadar ketika Brian hendak menolongnya hingga
terjadilah kesalah pahaman. Gadis itu menuduh Brianlah si pemerkosa dan si
pelaku adalah korban yang telah dibunuh Brian karena telah menolongnya. Hingga
warga datang dan mengeroyok Brian. Brian kabur dengan membawa segala tuduhan
yang tak pernah dilakukannya.
Bibir
Alin membulat, hatinya iba pada nasib Brian. Ini hanya kesalah pahaman. Tak ada
saksi, tak ada bukti. Hatinya bimbang, jika ia tak menangkap lelaki itu, ia
harus mengembalikan uang muka yang telah diberikan oleh Hans. Tapi lelaki ini
tak bersalah. Jika Alin menangkapnya. maka seumur hidup Alin akan menanggung
rasa bersalahnya. Ia mengaduk-aduk isi kepalanya, untuk menemukan sebuah solusi
yang tepat.
***
Ini
sudah hari ke dua puluh. Seperti janji Alin, ia akan membawa Brian dalam dua
puluh hari. Namun hatinya masih ragu. Apa lagi kedekatan di antara mereka telah
terjalin selama seminggu terakhir. Matanya nyalang menatap pintu 805. Akhirnya
diketuklah pintu itu. Brian membukanya dan mempersilahkan Alin masuk.
Alin
duduk di sebelah Brian, seperti biasa mereka menonton televisi sambil menyantap
keripik kentang milik Brian. Tiba-tiba Brian menyandarkan kepalanya dipangkuan
Alin. Jantung Alin berdebar begitu kencang. Hatinya semakin tak karuan. Pikirannya
bimbang antara membayar kembali delapan juta Hans, atau segera mendapat dua belas
juta sisanya jika ia berhasil menangkap Brian. Ia menarik nafas dalam,
dihembuskannya perlahan. Sebuah keputusan akhirnya telah dibuat lantas
diketiknya sebuah pesan singkat.
Hans,
aku mendapatkannya.
Send.
Pesan telah terkirim, saat itu juga penyesalan menjalar di hati Alin. Beberapa
menit berlalu, Alin meninggalkan ponselnya untuk ke kamar mandi. Suatu
kebodohan. Brian membuka pesan di ponselnya. Hans William. Menurut
Roby, Hans adalah orang yang perlu dihindari. Tetapi Brian lengah, gadis yang
dipercayainya justru telah menusuknya.
Klik.
Suara
itu membuat Alin panik. Diputarnya knop pintu kamar mandi. Namun ia tak dapat
membukanya.
“Brian..
buka! Apa yang kau lalukan?” Teriak Alin dari dalam kamar mandi.
“Brengsek
kau! Aku telah mempercayaimu, ternyata kau perempuan licik! Pengkhianat!”
Bentak Brian murka dari balik pintu. “Kupikir kau tulus saat kau bilang kau
mencintaiku! Sialan kau!” Brian terus mengumpat, membuat Alin semakin merasa
bersalah.
Brak.
Pintu
terbuka dengan paksa. Beberapa polisi menodongkan pistol untuk meringkus Brian.
Hans melangkah, membuka pintu kamar mandi yang terkunci, mengeluarkan Alin dari
kamar mandi. Alin menatap wajah Brian yang begitu merah karena amarahannya.
Alin mendekat, menjinjitkan kakinya mendekatkan bibirnya pada telinga Brian.
“Beri
aku sepuluh hari. Aku akan membebaskanmu. Saat itu tiba, berikan satu
kesempatan lagi untukku, Brian.” Bisik Alin. Polisi akhirnya membawa Brian,
meninggalkan apartemen 805 dalam keadaan kosong.
“Dua
belas jutamu, hari ini akan masuk ada di rekeningmu. Senang bekerja sama
denganmu.” Hans menjabat tangan Alin.
***
“Terima
kasih kau telah memberiku kesempatan itu. Maafkan aku.” Ucap Alin lirih.
"Terima
kasih, Sayang. berkat dirimu yang bisa mengumpulkan bukti bahwa aku tidak
bersalah, aku bisa bebas. Jika tidak, aku akan terus menerus hidup seperti
dipenjara. Kau luar biasa. Bahkan Sherlock Homes pun pasti merasa malu."
kata Brian, mengurai senyum di bibirnya. Alin masih terus memandang wajah
lelaki yang telah menjadi kekasihnya sejak seminggu yang lalu. Ia memberanikan
diri untuk mendekatkan wajahnya, mencium pipi kekasihnya yang tampan itu.
Cup.
Brian
sengaja menoleh, membuat bibir mereka saling bersentuhan. Mereka saling
bertukar pandang. Seringai jahil tersungging di bibir Brian, membuat wajah Alin
bersemu merah. Tangan mereka bertautan satu sama lain. Memandang ombak yang
berkejar-kejaran sambil menikmati segarnya kelapa muda.
TAMAT
Kasihan Mas Brian..
BalasHapusJadi Bad Luck Brian dongg..
hehehehe...
hahahaha.. masih lebih beruntungan dia kyaknya..
BalasHapusIya dong beruntung.. kan ketemu mbak Alin.. :D
Hapus