Selasa, 06 Januari 2015

I'll catch you in 20 days




Deburan ombak yang bergemuruh terasa begitu menenangkan. Kacamata hitam, kaos putih, celana pendek dan ponsel yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya. Ia memainkan pasir pantai dengan kedua kaki telanjangnya. Cuaca begitu panas. Diperhatikannya dua sejoli yang tengah asyik bercengkrama dengan meminum kelapa muda. Ia menelan ludah. Ia memikirkan kantongnya yang mulai menipis.

Beberapa hari yang lalu ia mengirimkan lamaran kerja ke sebuah hotel ternama di Indonesia. Mereka mengatakan, akan ada panggilan lewat ponsel. Harusnya itu kemarin. Bahkan sampai hari ini pun ponselnya tak kunjung berdering. Ia menengadahkan kepalanya, menatap matahari yang begitu menyengat melalui kacamata hitamnya.

Kulitnya terasa panas terbakar, dengan kaki jenjangnya yang malas ia melangkah terseok menuju warung terdekat untuk sekedar menyirami tenggorokannya yang terasa kering. Dilihatnya daftar menu yang terpampang sombong dengan harga yang tidak wajar. Ia menghela nafas besar. Dia hanya mampu membayar Es Teh seharga lima ribu rupiah, yang termurah dari sekian banyaknya menu. Ia memilih duduk di dekat jendela agar tetap bisa menikmati pemandangan diluar.

Hidupnya berubah drastis sejak lima bulan yang lalu. Perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, ia terkena PHK dengan pesangon seadanya yang hanya cukup untuk hidupnya selama dua bulan dan tentu saja keuangannya berantakan. Setiap hari ia harus diburu rentenir karena berbagai macam kredit yang tak mampu ia bayar. Bahkan orang tuanya di kampung belum tahu bahwa putrinya yang telah sukses di Ibukota, kini justru luntang-lantung di jalanan.

Dipandangnya lelaki tampan yang mengenakan jaket hitam yang nampaknya tengah serius membicarakan sesuatu dengan rekannya. Hidungnya memang tidak megitu mancung tapi kulitnya putih bersih, rambutnya tertata begitu rapi. Lelaki itu merasakan perhatian yang berlebihan, sehingga ia memutar kepalanya menatap gadis yang ada di sebelah mejanya. Lelaki itu terperangah melihat gadis cantik di hadapannya.

Alin.” Sapa lelaki tersebut. Gadis itu terdiam. Mengerutkan keningnya untuk berpikir sejenak. Tak ada ingatan apapun tentang siapa lelaki itu. Tapi mengapa dia bisa mengenalinya? Lelaki itu berdiri, menghampiri meja gadis bernama Alin tersebut. Alin menaikkan alisnya, sebagai pertanda ia minta penjelasan.

“Kau tidak ingat aku?” Nada kecewa terdengar dari suara lelaki itu. Alin menggigit bibirnya berusaha mengingat lelaki tampan di hadapannya. “Ini aku, Hans. Kau tidak ingat juga? Dulu kita satu SMP.” Alin masih memutar otaknya, mengaduk-aduk ingatannya tentang Hans. Namun tak satupun muncul dalam ingatannya. Kecuali satu Hans si gendut dan jelek, yang mendapat julukan Boboho.

“Hans ‘Boboho’?” Tanya Alin memberikan penekanan pada kata Boboho. Hans terdiam sesaat. Sedetik kemudian tawa terpingkal-pingkal meledak dari mulut Hans.

“Sayang sekali kenapa kau hanya mengenangku sebagai Boboho, Lin.” Protes Hans di sela tawanya.

“Aku benar-benar tak menyangka, Boboho yang dulu begitu pendek, gendut dan jelek sekarang bisa setampan ini.” Puji Alin tulus. Siapapun yang melihat Hans, pasti tak akan menyangka dulunya ia memiliki riwayat yang.. bisa dibilang cukup buruk.

“Kau ini bisa saja. Kau juga jadi lebih cantik. Tadi aku sempat tak mengenalimu.” Puji Hans yang membuat Alin merona. Mereka melanjutkan obrolan mereka, mengenang masa masa SMP hingga masalah pekerjaan yang membuat Alin tercekat. Meskipun sudah beberapa bulan berlalu namun bagi Alin kenyataan bahwa ia telah di PHK bagai duri ikan yang tersangkut di tenggorokan, menyakitkan. Ia menceritakan segalanya pada Hans. Pekerjaan serabutan pun rela ia lakukan untuk menghidupi dirinya sendiri.

“Aku ada pekerjaan untukmu. Itu jika kau bersedia, karena mungkin sedikit menguras tenaga.” Pekerjaan untukmu. Dua kata itulah yang dinantikan Alin dari pidato panjangnya beberapa menit terakhir. Peduli setan jika ia harus menjadi kuli bangunan ataupun buruh cuci, walau jauh dari lubuk hatinya ia tak mengharapkan itu.

***

Alin menyibakkan gorden di samping ranjangnya, berniat menantang matahari pagi yang seolah menghina pengangguran yang telah kehilangan segalanya. Namun rupanya matahari enggan berhadapan dengan Alin pagi ini. Mendung. Angin melolong menelusup melalui celah jendela boborok dalam kost murahan yang disewa Alin. Jam dindingnya menunjuk angka enam dengan jarum panjang di angka empat. Rupanya masih pagi. Ia menyeret langkahnya dengan malas untuk membersihkan tubuhnya, langkahnya terhenti di depan meja kecil di dekat pintu kamar mandi. Hans. Pukul delapan Alin harus berada di kantor Hans untuk pekerjaan itu. Alin bergegas membersihkan dirinya, kemudian menjejalkan tubuhnya ke dalam setelan rok dengan blazer hitam terbaiknya yang senada dengan roknya.

Tepat pukul tujuh Alin berniat berangkat, namun perutnya mulai memberontak. Alin menghela nafas berat, langkahnya kembali menuju lemari penyimpanan makanan. Ia mendesah, hanya tersisa roti yang telah ditumbuhi jamur kehijauan dan sebuah mie instant yang seperempatnya telah disantap oleh tikus-tikus sialan di sekitar kostnya. Perutnya kembali bergemuruh, ia berharap ada ibu peri yang akan menyulap lemarinya menjadi penuh dengan makanan. Ditutupnya kembali lemari itu dengan perasaan kecewa. Terpaksa ia harus berangkat dengan perut kosong.

Ia menengadahkan kepalanya. Bukan gedung dengan puluhan lantai seperti tempat kerjanya yang dulu. Mungkin hanya ada dua atau tiga lantai. Sebuah papan penanda bertuliskan William Investigation Agency terpampang megah di atas pintu masuk. Dengan mantap kaki jenjangnya melangkah, menambah kesan anggun pada diri Alin.

“Permisi, saya Alin. Saya sudah ada janji dengan bapak Hans. Bisa saya bertemu dengan beliau?” Tanya  Alin ramah di meja resepsionis.

“Tentu, anda sudah ditunggu. Silahkan.” Gadis cantik nan ramah tersebut mengantar Alin menuju ruangan Hans. Lelaki dengan kemeja hitam itu mengenakan kacamata, membuatnya tampak lebih cerdas dan lebih tampan tentunya. Gadis cantik tersebut meninggalkan Alin dalam ruangan Hans.

“Jadi, kau benar-benar bersedia untuk melakukan pekerjaan ini?” Tanya Hans begitu Alin duduk di hadapannya.

“Apapun akan kulakukan Hans. Jadi apa pekerjaan yang harus kulakukan?” Tanya Alin bersemangat.
“Dari dulu aku menyukai semangatmu, Alin” Seringainya melebar. Disodorkannya map biru pada Alin dan ia pun membukanya. Sebuah foto lelaki berhidung mancung ala peranakan bule-bule yang entah dari mana asalnya, mata coklatnya terlihat begitu tajam, rambutnya ikal dan hitam layaknya pribumi lalu bulu cambang yang baru tumbuh di wajahnya, lalu...

“Jangan terpesona padanya Alin, dia adalah kriminal.” Hans memotong lamunan Alin. Alin membuka mulutnya, terperangah mendengar penjelasan Hans. Ia membuka lembar selanjutnya, pembunuhan dan pemerkosaan. Alin punya firasat yang buruk. Ia menelan ludah dengan susah payah.

“La- lalu apa yang bisa kulakukan?” Tanya Alin dengan suara terbata-bata.

 “Kau harus menangkapnya.” Seringaian nampak tersungging di bibirnya. “Berhati-hatilah. Lelaki ini seperti asap, dia ada namun tak bisa digenggam.” Tangan Hans mengepal, memperagakan sebuah genggaman.

“Hans, kau gila! Riwayatnya menakutkan. Bagaimana jika dia memperkosaku? Lalu membunuhku dan membuang bangkaiku ke sungai?” Keraguan mulai terpancar di hati Alin.

“Bayarannya besar jika kau bisa menangkapnya. Lakukan atau lepaskan?” Tegas Hans. Alin tak punya pilihan lain. Ini kesempatannya, ia tak ingin lagi mengandalkan kerja serabutan yang hanya dihargai dua piring nasi Padang perharinya.

***

Kembali dibukanya berkas-berkas dalam map biru yang kini berada di tangannya. Sebotol air mineral dingin yang ia ambil paksa dari meja Hans membantu gadis itu mengisi perutnya yang kosong. Matahari mulai tegak menantang, begitu menyengat di jam sepuluh pagi ini. Hans William, sialan! umpatnya dalam hati.

Sekarang ia berada di depan sebuah apartemen yang terlihat cukup mahal, sesuai dengan alamat yang telah dicantumkan dalam berkas. Empat jam Alin menghabiskan waktu untuk mencari alamat tersebut. Apa yang harus kukatakan jika berhadapan dengannya? Pikir Alin. Jantungnya berdebar, pikirannya benar-benar kacau. Ia akan bertemu seorang pembunuh dan pemerkosa. Apa yang harus dilakukannya jika ia berakhir diperkosa lalu dibunuh? Pikiran buruk meracuni otaknya membuat keraguan kembali menelusup kedalam hatinya. Sejenak ia menundukkan kepala untuk mengheningkan cipta, berdoa memohon keselamatannya.
Hatinya sudah mantap. Ia memaksa langkahnya menuju lift yang nyaris tertutup. Beruntung dengan cepat ia dapat menahan pintu lift sehingga ia tak perlu menunggu untuk memberi waktu pada segala pikiran buruk yang hendak meracuni otaknya. Tombol untuk lantai delapan ternyata telah menyala, lelaki bertopi dan berkacamata hitam di sampingnya memiliki tujuan yang sama.

Ting.

Pintu lift terbuka. Angka delapan terpampang jelas di dinding. Lelaki itu melangkah dengan cepat di depan Alin. Alin terdiam sejenak di depan pintu lift untuk menenangkan jantungnya yang seolah hendak keluar dari tenggorokannya. Setelah lelaki itu menghilang, barulah Alin beraksi. 805. Ia menyusuri lorong untuk mencari nomor kamar tersebut.

805.

Ditatapnya nomor kamar 805. Tangannya bersiap untuk mengetuk pintu di hadapannya. Namun perasaan gugup, takut dan ragu bercampur aduk dalam dirinya. Alin mendesah, dengan seluruh keberanian penuh yang telah ia kumpulkan, ia mengetuk pintu tersebut kuat-kuat. Tak perlu perlu waktu lama seseorang segera membuka pintu tersebut.

“Siapa kau?” Tanya lelaki tersebut dengan memandang tajam gadis asing di hadapannya.

“Brian.” Panggilnya berhati-hati sambil menengadahkan kepalanya. Wow. Lelaki dihadapannya begitu tampan, bahkan jauh lebih tampan dibanding foto yang diberikan Hans.

“Apa kau mengenalku?” Tanya lelaki bernama Brian yang masih penasaran. Alin memegang perutnya yang sejak pagi hanya terisi air. “Kau baik-baik saja?” Tanya Brian sekali lagi. Alin tak tahu harus mengatakan apa pada lelaki ini. Alin terus memutar otak untuk mencari alasan.
“Brian, aku hamil anakmu.” Kata Alin impulsif. Mulut Brian ternganga mendengar pernyataan Alin.

“Kau gila!” Bentak Brian yang kemudian membanting pintu di depan wajah Alin.

“Brian buka pintunya Brian. Dengarkan aku.” Alin kembali menggedor-gedor pintu Brian, hingga kepala Brian muncul kembali di sela pintu yang terbuka sedikit.

“Hentikan! Aku sama sekali tak pernah menyentuhmu, bahkan aku tak mengenalmu. Pulanglah kerumahmu!” Pintu kembali dibanting di depan wajah Alin. Sial. Brian benar, hanya perempuan gila yang tiba-tiba datang dan mengaku hamil. Kasus Brian sebagai pemerkosa telah membuat Alin beralasan bodoh. Alin memutar tubuhnya, dengan langkah terseok dan memutuskan untuk mengisi perutnya.

***

Sambil mendesah Alin berguling keluar ranjang, tertatih-tatih menuju kamar mandi dengan mata yang masih setengah terpejam. Begitu keluar dari kamar mandi diliriknya jam dinding di kamarnya. Jam sepuluh pagi. Rupanya hari ini telah dimulai tanpanya. Semalaman suntuk ia memikirkan cara untuk mendekati Brian hingga mengambil jatah tidurnya. Buru-buru ia kembali ke kamar mandi untuk segera mengawali pekerjaan barunya.

Sepotong roti ditangannya tanpa terasa telah habis. Diabaikannya sinar matahari yang menyengat siang itu. Alin sedang menunggu lelaki itu keluar dari apartemennya. Satu jam, dua jam, tiga jam. Tak ada tanda-tanda batang hidungnya akan terlihat saat itu. Tak ada cara lain. Semangatnya sedang berkobar siang ini. 805 tunggu aku.

Tok..tok..tok..

Kembali Alin berdiri, mengetuk pintu dengan berapi-api. Cukup lama hingga lelaki itu muncul denngan penampilan yang cukup berantakan. Ia memicingkan matanya, menatap gadis di hadapannya.

“Kau lagi? Mau apa lagi?” Nada kesal terdengar dari ucapan Brian.

“Brian, maafkan aku. Aku Alin, apa kau benar tak mengingatku?” Raut sedih Alin rupanya sedikit berpengaruh. Brian mengerutkan dahi, mencoba menggali ingatannya. Namun sayang, Brian tak berhasil mengingatnya. Brian menggeleng.

“Brian, aku benar-benar mencintaimu Brian. Kumohon jangan begini.” Wajah memelas yang terlihat dibuat-buat kali ini tak membuat Brian iba.

“Alin, aku tak ingin diganggu. Sekarang pergi dari sini dan jangan lagi datang kemari!” Bentak Brian. Alin tersentak mendengar teriakan Brian. Rupanya lelaki ini memang sulit didekati. pikir Alin. Kembali pintu dibanting di hadapan Alin. Ini mungkin akan menjadi makanannya sehari-hari. Gadis itu memutuskan untuk menunggu di depan pintu. Satu jam, dua jam, tiga jam. Berdiri, jongkok, duduk. Gadis itu mulai bosan dan lelah. Ia putuskan untuk kembali dan melakukan pendekatan keesokan harinya.

Tiba-tiba pintu terbuka ketika Alin hendak mengakhiri niatnya untuk menunggu. Lelaki dalam balutan jeans abu-abu dan jaket putihnya, ternyata tak menyadari gadis yang tengah duduk di samping pintu. Lelaki itu mengenakan kacamata hitamnya dan setengah berlari menuju lift. Alin tak membuang-buang kesempatan untuk mendekatinya.

“Kau kenapa masih disini?” Tanya Brian menyelidik.

“Brian, dengarkan aku. Kumohon Brian, aku mencintaimu. Kenapa tak kau coba memberiku kesempatan sekali saja?” Lift berhenti di lantai lima, sepasang suami istri yang sudah paruh baya bergabung dalam lift. Alin menggoyang-goyangkan lengan Brian. Namun Brian tak menggubrisnya. Tanpa kehabisan akal Alin memanfaatkan kesempatan yang cukup menguntungkannya.

“Brian. Perutku. Oh.. Perutku sakit sekali, anak kita. Bagaimana dengan anak kita? Brian, tolong aku.” Alin membuat suaranya seolah kesakitan. Ia melirik Brian, mencoba menunggu responnya. Lelaki itu menggigit bibirnya, namun tak kunjung bertindak. Hingga tibalah lift di lantai satu, pintu lift terbuka, pasangan suami istri tersebut segera berhambur keluar diikuti Brian dibelakangnya. Brengsek! Seperti inikah kelakuan orang-orang kaya melihat orang lain kesakitan? Alin mengumpat dalam hati. Kemudian ia mengejar targetnya, namun sebuah sedan hitam nampaknya lebih cepat membawa Brian pergi. Alin menarik nafasnya dalam-dalam lalu dihembuskannya dengan keras. 

***

Sudah nyaris dua minggu, gadis itu masih terus mendekati Brian. Mau tak mau Brian harus menyisikan sedikit perhatiannya pada gadis itu. Pagi, siang, sore, malam, di apartemen, di tempat parkir, di jalan, di supermarket, bahkan di dalam mimpi gadis itu selalu muncul. Rasa penasaran Brian kian bertambah setiap harinya, namun ia harus tetap waspada. Statusnya sebagai buronan membuatnya tak bisa bergerak bebas.

Kepalanya terasa sakit, semalaman Brian tak bisa tidur memikirkan gadis cantik yang selalu membuntutinya. Namun belakangan gadis itu selalu menggedor pintunya di pagi hari. Pernah sekali Brian mendapat peringatan dari tetangganya akan hal itu.

“Alin, kumohon, ini masih pagi. Aku sangat terganggu olehmu. Tolong jangan ganggu aku.” Kata Brian lemah sambil menutup pintunya. Ia sedang tak ada energi untuk berdebat dengan Alin sekarang.

“Kau sakit?” Tanya Alin yang tengah mengganjal pintu dengan ujung sepatunya. Brian mendesah kesal. Sorot matanya yang tajam membuat Alin menciut. Ditariknya sepatu yang mengganjal pintu, ditutupnya pelan agar tak mengganggu Brian. Brian semakin bingung dengan tingkah laku gadis itu. Ponsel Brian berdering, sebuah pesan muncul di layar ponselnya. Roby.

Tempat biasa. Sekarang.

Sahabat Brian, yang selama ini selalu membantunya. Segera ia meraih topi dan kacamata hitam untuk menyamarkan wajahnya. Dengan langkah seribu ia keluar dari kamarnya. Seperti biasa, gadis itu membuntutinya dan mengoceh di belakang Brian. Brian berlari agar Roby tak menunggunya terlalu lama, untuk menghindari gadis itu tentu saja. Jalanan bagitu ramai, namun dengan lincah Brian dapat menyebrang dengan mudah.
“Kyaaaaaaaa” Suara teriakan yang diiringi oleh suara ban mobil yang berdecit membuat jantung Brian seolah berhenti. Alin. Gadis itu tergeletak di depan sebuah mobil. Brian memutar langkahnya untuk menolong Alin. Dengan terburu-buru digendongnya gadis itu menuju apartemennya. Beruntung tak ada luka. Hanya pingsan. Brian menidurkan gadis itu di sofa menepuk-nepuk pipinya untuk menyadarkannya. Kemudian diraihnya ponsel di saku celananya dan mengetik sebuah pesan pada Roby.

Maaf, aku tidak bisa datang.
***
Ia membuka sebelah matanya. Rupanya kali ini rencananya berhasil meski nyawa taruhannya. Membuat Brian peduli padanya adalah hal yang diakuinya begitu sulit. Pria itu mondar-mandir sambil menatap ponselnya.

“Dimana aku?” Tanya Alin dengan suara lemah yang dibuat-buat.

“Kau kecelakaan, pingsan. Aku membawamu ke apartemenku.” Jelas Brian tanpa memandang Alin. Alin pura-pura memeriksa pakaiannya dan tentu saja Brian memperhatikan kejanggalan itu. “Tenang saja aku bahkan tak menyentuhmu selain menggendongmu.”

“Aku- aku pernah mendengar kau adalah em.. pemerkosa.” Kata Alin ragu dengan merendahkan suaranya pada kata terakhir. Perhatian penuh Brian ditujukan pada Alin.

“Siapa yang memberitahumu? Kenapa kau tahu masalah itu?” Pandangan menyelidik dengan sorot matanya yang tajam membuat Alin bagai ditodong sebilah pedang yang siap menghunus jantungnya kapan saja.

“Temanku. Namun aku tak percaya pada hal itu.” Rupanya kata-kata itu begitu ampuh. Cerita pun mengalir dari mulut Brian.

Saat itu sekitar jam dua dini hari, ia hendak menolong seorang gadis yang telah diperkosa di depan matanya hingga gadis itu pingsan. Brian menghajar pelakunya hingga babak belur dan terkapar tak sadarkan diri. Namun rupanya nasib baik tak berpihak pada Brian. Gadis itu tersadar ketika Brian hendak menolongnya hingga terjadilah kesalah pahaman. Gadis itu menuduh Brianlah si pemerkosa dan si pelaku adalah korban yang telah dibunuh Brian karena telah menolongnya. Hingga warga datang dan mengeroyok Brian. Brian kabur dengan membawa segala tuduhan yang tak pernah dilakukannya.

Bibir Alin membulat, hatinya iba pada nasib Brian. Ini hanya kesalah pahaman. Tak ada saksi, tak ada bukti. Hatinya bimbang, jika ia tak menangkap lelaki itu, ia harus mengembalikan uang muka yang telah diberikan oleh Hans. Tapi lelaki ini tak bersalah. Jika Alin menangkapnya. maka seumur hidup Alin akan menanggung rasa bersalahnya. Ia mengaduk-aduk isi kepalanya, untuk menemukan sebuah solusi yang tepat.

***

Ini sudah hari ke dua puluh. Seperti janji Alin, ia akan membawa Brian dalam dua puluh hari. Namun hatinya masih ragu. Apa lagi kedekatan di antara mereka telah terjalin selama seminggu terakhir. Matanya nyalang menatap pintu 805. Akhirnya diketuklah pintu itu. Brian membukanya dan mempersilahkan Alin masuk.

Alin duduk di sebelah Brian, seperti biasa mereka menonton televisi sambil menyantap keripik kentang milik Brian. Tiba-tiba Brian menyandarkan kepalanya dipangkuan Alin. Jantung Alin berdebar begitu kencang. Hatinya semakin tak karuan. Pikirannya bimbang antara membayar kembali delapan juta Hans, atau segera mendapat dua belas juta sisanya jika ia berhasil menangkap Brian. Ia menarik nafas dalam, dihembuskannya perlahan. Sebuah keputusan akhirnya telah dibuat lantas diketiknya sebuah pesan singkat.

Hans, aku mendapatkannya.

Send. Pesan telah terkirim, saat itu juga penyesalan menjalar di hati Alin. Beberapa menit berlalu, Alin meninggalkan ponselnya untuk ke kamar mandi. Suatu kebodohan. Brian membuka pesan di ponselnya. Hans William. Menurut Roby, Hans adalah orang yang perlu dihindari. Tetapi Brian lengah, gadis yang dipercayainya justru telah menusuknya.

Klik.

Suara itu membuat Alin panik. Diputarnya knop pintu kamar mandi. Namun ia tak dapat membukanya.

“Brian.. buka! Apa yang kau lalukan?” Teriak Alin dari dalam kamar mandi.

“Brengsek kau! Aku telah mempercayaimu, ternyata kau perempuan licik! Pengkhianat!” Bentak Brian murka dari balik pintu. “Kupikir kau tulus saat kau bilang kau mencintaiku! Sialan kau!” Brian terus mengumpat, membuat Alin semakin merasa bersalah.

Brak.

Pintu terbuka dengan paksa. Beberapa polisi menodongkan pistol untuk meringkus Brian. Hans melangkah, membuka pintu kamar mandi yang terkunci, mengeluarkan Alin dari kamar mandi. Alin menatap wajah Brian yang begitu merah karena amarahannya. Alin mendekat, menjinjitkan kakinya mendekatkan bibirnya pada telinga Brian.

“Beri aku sepuluh hari. Aku akan membebaskanmu. Saat itu tiba, berikan satu kesempatan lagi untukku, Brian.” Bisik Alin. Polisi akhirnya membawa Brian, meninggalkan apartemen 805 dalam keadaan kosong.

“Dua belas jutamu, hari ini akan masuk ada di rekeningmu. Senang bekerja sama denganmu.” Hans menjabat tangan Alin.

***

“Terima kasih kau telah memberiku kesempatan itu. Maafkan aku.” Ucap Alin lirih.

"Terima kasih, Sayang. berkat dirimu yang bisa mengumpulkan bukti bahwa aku tidak bersalah, aku bisa bebas. Jika tidak, aku akan terus menerus hidup seperti dipenjara. Kau luar biasa. Bahkan Sherlock Homes pun pasti merasa malu." kata Brian, mengurai senyum di bibirnya. Alin masih terus memandang wajah lelaki yang telah menjadi kekasihnya sejak seminggu yang lalu. Ia memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya, mencium pipi kekasihnya yang tampan itu.

Cup.

Brian sengaja menoleh, membuat bibir mereka saling bersentuhan. Mereka saling bertukar pandang. Seringai jahil tersungging di bibir Brian, membuat wajah Alin bersemu merah. Tangan mereka bertautan satu sama lain. Memandang ombak yang berkejar-kejaran sambil menikmati segarnya kelapa muda.


TAMAT 

3 komentar:

  1. Kasihan Mas Brian..
    Jadi Bad Luck Brian dongg..
    hehehehe...

    BalasHapus
  2. hahahaha.. masih lebih beruntungan dia kyaknya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya dong beruntung.. kan ketemu mbak Alin.. :D

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D