Selasa, 20 Januari 2015

Shocking Bangkok


Lelaki itu membuka amplop coklat di tangannya dengan jantung yang begitu berdebar. Sebulan yang lalu ia mengirimkan kupon berhadiah yang ia dapatkan di dalam cemilan yang ia beli dari supermarket dekat rumahnya. Jantungnya semakin berdegup kencang ketika selembar kertas putih mulai ditariknya keluar.

SELAMAT ANDA MENDAPATKAN HADIAH UTAMA BERLIBUR KE THAILAND

Matanya terbelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu tak menyangka ia akan mendapatkan hadiah utamanya. Ia mengatupkan mulutnya yang membulat lebar, kemudian menarik sudut bibirnya. Satu wajah terbayang dalam ingatannya. Abi. Gadis cantik yang telah menjadi kekasihnya selama dua tahun terakhir.

Segera ditutupnya kembali amplop coklat tersebut kemudian mengenakan sepatu dan melangkahkan kakinya terburu-buru ke sebuah agensi model tempat Abi bekerja. Dengan nafas terengah dan detak jantung yang berdetak cepat, akhirnya ia sampai ke meja resepsionis yang disambut oleh gadis cantik berambut pirang gelap.

“Bisa aku bertemu dengan Abigail?” Ia mengambil nafas untuk melanjutkan kata-katanya. “Katakan padanya, Nico ingin bertemu.” Ujarnya lega setelah menyelesasikan kata-katanya. Gadis itu tersenyum dan meminta Nico untuk duduk di sofa yang dikhususkan untuk menerima tamu.

Seorang gadis berambut ikal panjang dengan wajah yang begitu menawan serta berperawakan sempurna melangkahkan kakinya dengan anggun menuju sofa tempat Nico menunggu. Gadis itu cemas begitu melihat lelaki itu memejamkan matanya, dengan nafas terengah-engah serta butir-butir keringat yang menetes melewati pelipisnya. Lelaki itu mencoba bersantai menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan melipat tangannya di bawah kepala.

“Nico.. Ada apa denganmu?” Tanya Abi duduk di samping kekasihnya, mengelap keringat Nico dengan selembar tisu yang ia ambil dari meja. Nico segera membuka matanya begitu mendengar suara lembut kekasihnya.

“Abi, kau tak akan percaya ini.” Kata Nico sambil membuka tasnya, mengambil sebuah amplop untuk kekasihnya. Abi meraih amplop itu kemudian membukanya perlahan. Matanya terbelalak tak percaya melihat tulisan yang ada di dalam amplop tersebut. Thailand. Sebuah negara yang sangat ingin Abi kunjungi. Abi berhambur ke pelukan Nico, berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Nico karena impiannya akan segera terwujud.
***
Nico telah sampai di bandara terlebih dahulu. Ia duduk di bangku panjang, menunggu gadisnya datang sambil memainkan ponselnya. Membayangkan indahnya mengelilingi Thailand bersama gadis yang dicintainya membuat Nico tak sabar lagi. Jam sembilan harusnya mereka berdua telah check-in, namun rupanya Abi terlambat. Nico melihat jam yang melingkar di tangannya dengan cemas karena gadisnya tak kunjung datang. Sedetik kemudian ponselnya berbunyi. Abi. Nico menekan tombol hijau di ponselnya.

“Nico, maafkan aku. Aku harus menggantikan Leah. Aku tak bisa berangkat denganmu. Aku mohon maafkan aku.”  Isakan tertahan terdengar jelas di telingan Nico. Ia mendesah kecewa.

“Tapi ini liburan kita. Itu yang kau tunggu-tunggu dari dulu. Ini Thailand, Bi. Thailand.” Suara Nico seoktaf lebih tinggi. “Tidakkah bisa kau tidak mengorbankan dirimu untuk orang lain?” Nico mencoba menurunkan suaranya.

“Maaf Nico. Leah kecelakaan dan hanya aku yang bisa menggantikannya. Maafkan aku Nico.” Isakan gadis itu semakin terdengar jelas. Nico memejamkan mata mencoba meredam amarahnya. Ia tahu gadisnya memang akan selalu begitu. Tanpa menghiraukan permintaan maaf Abi, Nico menutup telponnya.

Nico telah duduk di kursi dengan nomor yang tercantum pada tiketnya. Ia memandang geram pada kursi kosong di sampingnya. Harusnya saat ini Abi ada di sampingnya, namun segalanya berantakan. Nico mengumpat kesal, mengepalkan tangannya hingga buku jarinya memutih.
***
Nico menuju ke pintu keluar bandara. Matanya memandang sekeliling bandara yang dipenuhi tulisan aneh tak terbaca. Ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan sekarang. Akhirnya matanya bertemu dengan seorang gadis mungil dengan rambut panjangnya yang terurai rapi, membawa sebuah kertas putih bertuliskan Nicolas dan Abigail, Indonesia. Nico segera melangkah mendekati gadis itu.

Excuse me.” Kata Nico. “I’m Nico from Indonesia.” Lanjutnya dengan bahasa Inggris yang tidak terlalu fasih.

Sàwàtdee kâ1..Yindi tonrab su prathethai.2” Gadis itu sedikit membungkuk, memberi salam pada lelaki di depannya. Nico hanya menganggukkan kepalanya sambil mengerutkan dahi karena tidak mengerti.

You are.. em..?” Nico yang bermasalah dengan bahasa Inggrisnya, bermaksud menanyakan apa gadis ini guidenya. Namun sepertinya otaknya membeku karena AC pesawat yang cukup dingin, sehingga ia tak dapat mengucapkan apa yang ia maksud.

“Panggi saya Sunee, khun3.” Kata gadis itu lembut. “Saya akan menemani khun selama seminggu di Thailand.” Lanjutnya dengan bahasa Indonesia yang fasih kemudian ia mengedarkan pandangan ke sekeliling Nico. “Abigail?” Tanya gadis itu begitu tak melihat orang lain disamping Nico. Nico menggeleng pelan.

“Aku sendiri.” Nada kecewa terdengar jelas dalam suara Nico. “Beruntungnya aku, kau bisa berbahasa Indonesia.” Kelegaan menyelimuti Nico. Sebelumnya ia hendak menggantungkan bahasa Inggris dan sedikit bahasa Thailand yang dikuasai Abi, namun karena rencana yang batal tiba-tiba, Nico benar-benar tidak mengerti apa yang harus ia lakukan.

“Saya belajar bahasa Indonesia sudah lima tahun, tapi saya masih belum terlalu bisa dengan bahasa yang sulit.” Sunee tersenyum kemudian mempersilahkan Nico untuk mengikutinya menuju hotel untuk tempat Nico menginap.

Sebuah hotel berdiri megah di tengah ibu kota Thailand. Sunee memandu Nico untuk melangkah memasuki lobby dan segera menuju lift untuk menuju kamar Nico. Sebuah deluxe room yang bisa dibilang cukup mewah untuk hadiah undian gratis. Nico melemparkan pandangan di sekeliling kamar, memandang kamar luas yang didominasi warna coklat dan krem itu. Abi. Ia teringat gadisnya. Rasa kecewa dan marah kembali menyeruak dari hati Nico.

“Istirahatlah, khun. Aku akan menjemputmu saat makan malam nanti.” Ujar gadis itu lembut, membuat Nico kembali teringat pada kelembutan Abi. Setelah Sunee menutup pintu, Nico merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk yang terlalu luas untuknya sendiri. Harusnya ada Abi disampingnya sekarang. Nico meraih ponselnya memandang fotonya bersama Abi yang ia pasang sebagai wallpaper ponselnya. Ia mencoba untuk menghubungi gadis itu. Namun sayang ponselnya tidak aktif. Nico mengumpat kesal kemudian memutuskan untuk tidur karena perjalanan panjangnya begitu melelahkan.
***
Khun Nico, kau di dalam?” Suara seorang gadis mengetuk pintu berkali-kali membuat Nico perlahan membuka matanya. Niko melangkah gontai untuk membuka pintu. Seulas senyum simpul menyambut Nico yang mencoba mengumpulkan kesadarannya.

“Ah, Sunee. Maafkan aku. Aku tertidur. Masuklah aku akan bersiap-siap.” Kata Nico sambil mengusap matanya. Sunee pun masuk dan duduk di sebuah sofa di sudut ruangan. Hanya sepuluh menit, Nico sudah bersiap rapi untuk makan malam.

“Mau makan malam dimana?” Tanya Nico.

“Aku punya tempat yang bagus.” Kata Sunee dengan senyum lebarnya yang menawan. Nico tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah cantik gadis di hadapannya. Entah mengapa gadis itu membuatnya begitu terpesona dengan kecantikan dan kelembutannya. Mereka tiba di sebuah restoran yang menyediakan berbagai macam makanan khas Thailand. Setelah bergulat cukup lama dengan hatinya, akhirnya malam ini Nico memutuskan untuk memesan Tom Yum4, karena ia pernah beberapa kali melihat Abi memasak mie instan rasa Tom Yum.

“Mengapa kau sendirian, khun?” Tanya Sunee memecah suasana hening dia antara mereka berdua. Nico terdiam sejenak mendengar pertanyaan Sunee yang membuyarkan lamunannya tentang gadis itu.

“Oh– temanku ada kepentingan mendadak.” Kata Nico yang merasa janggal menyebut Abi sebagai teman. 

“Kupikir khun bersama pacar.” Goda Sunee sambil menerima pesanan yang dihidangkan oleh pelayan.

“Ah– tidak, kebetulan aku tidak punya pacar.” Nico telah membicarakan sebuah kebohongan dengan lancar. “Apa sejak tadi kau memanggilku khun?” Lelaki itu mencoba mengalihkan pembicaraan. Sunee mengangguk.

“Itu seperti mister, khun Nico.” Jelasnya singkat. “Besok aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang bagus.  Besok pagi aku akan menjemputmu, khun.” Pembicaraan santai mereka berlanjut. Segala percakapan yang begitu menyenangkan dan kelembutan Sunee, membuat Sunee tampaknya mendapatkan tempat tersendiri di hati Nico.
***
Tanpa terasa empat hari telah dihabiskan Nico bersama Sunee mengelilingi ibu kota Thailand, Bangkok. Keindahan Siam Ocean World yang mirip dengan Sea World, Dream World Garden, Siam Ancient City dan Wat Arun dan beberapa tempat lain telah selesai mereka kunjungi.

Siang itu setelah mengunjungi Grand Palace, mereka berdua melanjutkan perjalanan wisata mereka dengan tuk-tuk5, menuju ke sebuah tempat yang dikelilingi dengan tembok tinggi berwarna putih yang Sunee sebut Wat Pho. Siang yang begitu terik membuat tenggorokan Nico kering dan memutuskan untuk meminum kelapa muda yang dijajakan di seberang pintu gerbang.

Setelah mereka melewati gerbang masuk, Sunee membawa Nico menuju sebuah kuil besar yang di dalamnya terdapat patung Budha yang sedang berbaring dengan tangannya yang menyangga bagian kepala. Suara nyaring bergema ke seluruh ruangan menarik perhatian Nico. Sadar dengan rasa pnasaran Nico, Sunee menarik tangan Nico mendekati asal suara.

“Kau punya koin?” Tanya Sunee tiba-tiba. Nico menggeleng. “Tunggu disini sebentar.” Kata Sunee sambil berjalan meninggalkan Nico. Sunee menukar 20 baht6 untuk ditukar dengan segenggam koin. Kemudian Sunee memberikan koin tersebut pada Nico.

“Untuk apa?”

“Masukkan ke situ.” Sunee menunjuk kaleng yang berjajar di belakang patung Budha. “Orang bilang, itu bisa mendatangkan keberuntungan untukmu.” Jelasnya dengan bersemangat. Nico pun mengikuti perintah Sunee dan memasukkan koin-koin tersebut ke dalam kaleng-kaleng yang dimaksudkan Sunee.

Perjalanan yang cukup melelahkahkan ditutup dengan sepiring nasi hangat yang disajikan bersama kari hijau di sebuah restoran kecil di ujung jalan dekat hotel. Setelah makan malam, Nico memutuskan untuk segera kembali ke hotel dan mengistirahatkan tubuhnya yang begitu lelah.

“Terima kasih untuk hari ini.” Nico yang berdiri di depan pintu kamarnya, memandang lekat-lekat gadis semampai di hadapannya.

“Sama-sama Nico. Sampai jumpa besok.” Sunee menarik bibirnya, mengurai senyum simpul untuk menutupi rasa lelahnya. Nico melangkah lebih dekat, menghapus jarak di antara mereka. Sedetik kemudian Nico mendekatkan wajahnya dan menempelkan bibirnya pada bibir Sunee, merasakan kelembutannya. Gadis itu bergeming, membalas ciuman Nico untuk beberapa saat. Dering ponsel milik Nico mengagetkan mereka berdua.

“Maafkan aku. Permisi.” Sunee berbalik berjalan terburu-buru meninggalkan Nico. Kemudian diraihnya ponsel yang berdering nyaring dalam saku celananya. Abi.
***
Kejadian semalam membuat Nico tak bisa tidur dengan nyenyak. Bayang-bayang Abi menghantuinya sepanjang malam. Nico juga tak tahu bagaimana ia harus menghadapi Sunee pagi ini. Tindakan impulsifnya membuat dirinya berada dalam posisi yang sulit. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya, segera ia membuka pintunya dan bermaksud meminta maaf pada Sunee atas tindakannya semalam.

“Kau sudah siap? Hari ini aku akan mengajakmu ke Chatuchak.” Kata gadis itu dengan wajah berseri seolah tak pernah terjadi apapun. Kata maafnya yang hendak diucapkan Nico seolah kembali tertelan. Ia pun segera menanggapi seolah memang tak ada yang terjadi sebelumnya.

Chatuchak, sebuah pasar yang sangat luas yang dibuka setiap sabtu dan minggu tersebut begitu ramai oleh turis dan masyarakat lokal. Nico meraih tangan Sunee, menggandengnya agar tak terpisah. Cukup lama mereka berputar-putar hingga langkah Sunee terhenti di depan kios yang menjual pernak pernik wanita. Sebuah kalung berbentuk bulan sabit menarik perhatiannya. Sunee menyentuhnya dengan tatapan berbinar.

“Berapa harganya?” Tanya Nico dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.

“600 baht, khun.” Kata sang penjual. Tanpa menawar, segera Nico membayarnya. Kemudian memasangkan kalung tersebut ke leher Sunee.

“Terima kasih, Nico. Ini sangat indah.” Kata Sunee mengurai senyum bahagia di wajahnya.

Masih di lorong pernak pernik, Sunee menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ia meraih sebuah topi kemudian memasangkan topi tersebut di kepala Nico. Sunee tersenyum, terpesona pada lelaki di hadapannya. Seolah tersadar akan sesuatu, Sunee segera mengeluarkan dompetnya untuk membayar topi tersebut.

“Foto siapa itu?” Tanya Nico spontan begitu melihat foto seorang lelaki terpajang di dompet Sunee.

“Ah bukan siapa-siapa.” Jawab Sunee cepat sambil menyodorkan uang pada sang penjual. Rasa penasaran perlahan menjalar di hati Nico. Namun ia segan bertanya lebih lanjut pada Sunee. Mereka kembali melanjutkan perjalanan untuk berkeliling Chatuchak hingga langkah mereka terhenti di depan seorang lelaki tampan yang menghadang perjalanan mereka.

“Sunee..” Lelaki itu terkejut melihat Nico dan Sunee yang tengah bergandengan tangan. Sunee segera melepaskan tangan Nico. “Rupanya kau sudah mendapatkan seorang lelaki tampan?” Nada sindiran terdengar dari suara lelaki itu dengan bahasa Thailand yang tidak di mengerti Nico.

“Mau apa kau?” Tanya Sunee ketus.

“Ada apa ini?” Tanya Nico dengan bahasa Inggris karena tak mengerti percakapan mereka.

“Kau tidak tahu khun? Pacarmu itu seorang ladyboy.” Gelak tawa terdengar nyaring, membuat wajah Sunee merah padam dan berlari meninggalkan Nico. Nico bergegas menyusul Sunee yang ada beberapa meter di depannya. Nico berhasil mengejar gadis itu dan menarik tangannya, merengkuhnya kedalam pelukan NIco. Isakan tertahan pun akhirnya terdengar oleh telinga Nico. Nico membelai punggung Sunee untuk menenangkannya.

Nico memutuskan untuk segera mengakhiri perjalanannya siang ini dan kembali ke hotel. Sunee dengan suasana hatinya yang memburuk terlihat lebih pendiam dari biasanya.

“Apa kau ingin bercerita?” Nico menyodorkan sebotol air mineral pada Sunee.

“Kumohon jangan menganggapku menjijikkan.” Kata Sunee memandang Nico lekat-lekat. Nico mengangguk, bersiap menajamkan kedua telinganya untuk Sunee. “Kau ingat foto di dompetku?” Sunee memulai.

“Pacarmu? Mantan pacarmu?” Nico mencoba menebak, namun Sunee menggeleng,

“Dia Ped.” Sunee menghembuskan nafas yang seolah semakin mencekiknya. “Dia adalah aku tiga tahun yang lalu.” Nico mengerutkan dahi, menuntut Sunee untuk bercerita lebih. “Sejak aku sekolah, teman-temanku menindasku karena aku lelaki yang tidak jantan. Sikapku memang cenderung seperti seorang wanita. Lalu setelah aku lulus sekolah, aku memutuskan untuk melakukan transgender.” Kata Sunee mengakhiri kalimatnya. Mulut Nico menganga tak percaya.

“Kau laki-laki?” Nico mencoba meyakinkan Sunee dengan nada sehalus mungkin. Sunee mengangguk. Istana yang telah mulai dibangun untuk Sunee di hati Nico pun runtuh seketika. Sunee seolah telah menggodam kepala Nico, membuat kepalanya terasa begitu sakit.

“Aku tak bermaksud membohongimu, aku hanya ingin melupakan masa laluku yang buruk. Maafkan aku Nico.” Mata Sunee kembali berkaca-kaca. “Maaf, aku harus pulang.” Sunee segera meninggalkan Nico yang duduk terdiam di ujung ranjangnya.
***
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Masa liburan Nico telah habis, dan ia harus segera kembali ke Indonesia. Sunee telah menunggu di lobby dengan sebuah taksi yang tengah menunggu mereka di luar pintu masuk hotel.

“Sudah siap, Nico?” Tanya Sunee begitu melihat Nico telah berdiri di hadapannya dengan menenteng ranselnya. Nico memandang Sunee lekat-lekat. Sial! Gadis secantik ini adalah laki-laki, batin Nico geram.

Hello, kau siap?” Tanya Sunee sekali lagi. Nico terkesiap dan mengangguk, lantas berjalan bersama Sunee menuju taksi. Taksi telah terparkir di bandara. Kini saatnya Nico kembali ke rutinitasnya setelah petualangan seminggunya di Thailand.

Kòrp kun kràp7.” Kata Nico melafalkan sebuah kalimat dengan bahasa Thailand yang sempat dipelajarinya yang berarti terima kasih.

“Sama-sama Nico. Aku minta maaf atas segala kejadian yang tidak terduga yang telah terjadi.” Sunee memberikan sebuah bingkisan pada Nico. Kemudian Sunee mendekat dan berjinjit sedikit mengecup pipi Nico dan membuat Nico terkesiap.

“Apa ini? Ah.. tapi terima kasih banyak Sunee. Terima kasih atas bantuanmu selama aku disini.” Nico melebarkan senyum di bibirnya, kemudian melambaikan tangan pada Sunee. “Selamat tinggal Sunee, senang berjumpa denganmu.”

“Selamat tinggal Nico.”

Nico mengusap kasar pipinya, perasaan geram muncul dalam hatinya. Kenyataan bahwa ia telah mencium seorang laki-laki bahkan menaruh hati padanya membuatnya semakin merasa bersalah pada Abi, kekasihnya.

Setelah ia sampai ke Indonesia, seorang gadis yang ia kenal telah berdiri menunggunya dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Nico segera berhambur memeluk gadis itu, menumpahkan segala kerinduannya pada gadis itu.

“Abi, aku merindukanmu. Maafkan aku.” Kata Nico dengan memeluk erat Abi.

“Aku juga, sayang. Untuk apa kau meminta maaf?” Tanya Abi yang jarang mendengar Nico meminta maaf padanya. 

Maaf karena aku sempat mengkhianatimu bersama seorang lelaki, batin Nico tanpa berani menyuarakannya di telinga Abi.

“Aku mencintaimu.” Bisik Nico di telinga Abi.

TAMAT

1. Salam, seperti halo. Diucapkan oleh perempuan.
2. Selamat datang di Thailand.
3. Tuan (Mr.)
4. Makanan (sup) khas Thailand.
5. Kendaraan umum roda 3 di Thailand, seperti bajaj.
6. Mata uang Thailand.
7. Terima kasih. Diucapkan oleh laki-laki.

JIKA ADA SALAH, MOHON DI KOREKSI J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D