Kamis, 15 Januari 2015

Antariz

Tetap nekat menulis cerita berbumbu science-fiction walaupun berbekal pengetahuan yang minim.
Silakan tertawa jika menemukan kesalahan istilah, tapi setelah itu tolong kasih tau yang benar seperti apa ya.
Terima kasih dan selamat membaca :)
Semoga kalian suka walaupun sedikit memaksa. hehehe :D 




Sebuah bunyi menganggu telinga Agi. Gadis itu mengerang perlahan lalu menarik selimut untuk menutupi kepalanya. Samar-samar ia masih bisa mendengar bunyi yang meraung-raung itu. Pada awlanya, ia berusaha menulikan telinga dan mengabaikan bunyi itu. Tapi lama-kelamaan bunyi itu semakin berisik dan mengganggu.
Agi mendecakkan lidah karena kesal. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengulurkan tangannya ke arah nakas di samping tempat tidurnya. Nakas itu lebih tinggi dari tempat tidurnya, sehingga ia mulai memanjang-manjangkan badan dan tangan hingga berhasil menggapai benda berisik itu. Suara gaduh itu ternyata berasal dari jam beker di atas nakas.

Alarm clock: off,” ucap Agi dengan suara serak, lalu bunyi itu hilang begitu saja. Akhirnya, kedamaian kembali ke dunia. Dan Agi sebagai pahlawannya.

Agi mengurungkan niatnya untuk meringkuk kembali ke dalam selimutnya yang nyaman. Otaknya masih cukup kuat untuk mengingat bahwa hari ini ia memiliki janji dengan seseorang. Dengan susah payah gadis itu membuka matanya yang seakan direkatkan menggunakan lem super lalu bangkit dari tempat tidurnya.

Futon: off,” kata Agi sambil maju satu langkah menjauh. Seketika itu saja, tempat tidur itu menggulung dirinya sendiri lalu lenyap bagai ditelan dinding.

Gadis itu memang lebih memilih tempat tidur buatan Jepang yang lebih praktis daripada tempat tidur besar ala ratu kerajaan. Selain harganya yang lebih murah, tempat tidur seperti itu juga sangat nyaman. Buktinya? Agi sering bangun kesiangan karena betah berada dalam dekapan tempat tidurnya.

Agi mendekati gumpalan bulu menggemaskan yang meringkuk di sudut ruangan. Tangannya mengelus lembut sambil berkata, “Alva: wake up.”

Gumpalan bulu itu mengeong pertanda mendengar perintah suara untuknya. Perlahan matanya terbuka lalu ia merenggangkan tubuhnya dengan cara memanjangkan kaki-kaki bercakarnya. Proses booting seperti ini biasanya akan memakan waktu tiga puluh tujuh detik.

“Bangun, kucing pemalas,” kata Agi sambil terkekeh pelan. Entah dari mana kucing ini meniru sifat pemalas seperti itu.

Kucing yang diberi nama Alva itu sebenarnya adalah sebuah robo-assist tipe Axalea7.3 berbulu abu-abu. Robo-asist bertugas untuk mempermudah pekerjaan manusia. Bentuknya sama persis seperti kucing sesungguhnya, hanya saja organ dalam tubuhnya terdiri dari mesin-mesin canggih.

“Selamat pagi, Nona Agi.”

Agi tersenyum saat Alva mulai bersuara.

“16 Januari 2375. Pukul 07:10 am. Langit Antariz sedikit berawan hari ini. Air laut cukup tenang tapi menghanyutkan, jadi harap berhati-hati.”

Dahi Agi mengernyit tapi ia tidak terlalu menghiraukan perkataan Alva. Gadis itu sangat menyukai laut bahkan setiap hari bekerja di laut. Atau bisa saja lebih dari itu. Darah yang mengalir dalam tubuhnya mungkin saja sudah tercampur air laut. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan?

Agi mengerakkan telapak tangannya seperti menarik sesuatu di udara lalu muncul sebuah layar di hadapannya. Ada beberapa teman yang mengomentari salah satu foto di akun media sosialnya. Ia membalas komentar itu sambil mendengarkan Alva mengocehkan jadwal kegiatannya hari ini. Hingga tiba pada sebuah jadwal untuk malam ini.

“Apa? Kencan?” Agi berdecak kesal sambil menggerakkan tangan dan membuat layar di hadapannya lenyap. “Alva, aku sudah putus dengan lelaki itu sejak dua bulan yang lalu. Mana mungkin kau masih menjadwalkan kencanku dengannya?”

Alva hanya mengeong sambil menggesekkan tubuh berbulunya di kaki Agi.

“Baiklah, kucing manja,” kata Agi sambil memutar bola matanya lalu mengucapkan perintah suara pembatalan jadwal.

“Perintah diterima. Jadwal kencan pukul 07:03 pm dibatalkan.”

Agi mengacungkan ibu jarinya lalu mengelus kepala Alva. “Sementara aku mandi, tolong siapkan aku secangkir kopi dan sepotong donat rasa nanas.”

Alva melenggang dengan anggun untuk menyiapkan sarapan bagi majikannya yang pemalas.

Bathroom: on.”

Sebuah pancuran seakan tumbuh dari dinding rumah Agi, disusul tirai plastik yang mengelilinginya. Gadis itu mulai membersihkan tubuhnya sambil berdendang riang. Dari kejauhan, Alva hanya bisa melindungi telinganya dari ancaman suara majikannya.

Rumah Agi berbentuk kubus tiga meter seperti rumah pada umumnya. Rumah pada masa ini memang hanya seukuran kamar pada tiga abad yang lalu, tapi semua perabot rumah dapat disimpan di dinding rumah. Ukuran dunia yang tidak bertambah luas dengan populasi yang terus bertambah, menuntut manusia untuk terus berinovasi demi kemudahan hidupnya.

Agi sudah selesai mandi dan kembali menyimpan kamar mandinya ke dinding. Ia kembali bersuara untuk memunculkan cermin di dinding rumahnya. Tangannya kembali bergerak di udara dan sebuah layar kembali muncul. Gadis itu membuka lemari tempat ia menyimpan pakaian-pakaiannya. Ia menekan gambar sebuah baju terusan berwarna kuning dengan jari telunjuknya. Begitu terdengar bunyi klik, baju terusan itu membungkus cantik tubuh Agi.

Gadis itu menatap bayangannya di cermin sambil menimbang-nimbang pilihannya. Beberapa saat kemudian, gadis itu menggelengkan kepala dan memilih baju lain. Hingga pada akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada kaus hitam, kardigan merah muda, dan celana jeans hitam sepanjang mata kaki. Pakaian itu cukup populer tiga abad yang lalu. Terasa ketinggalan zaman memang, tapi Agi menyukai pakaian seperti ini. Menurutnya, pakaian masa kini sangat membosankan. Lebih terlihat seperti baju zirah yang pas di tubuh dengan beragam pilihan  warna.

Agi tersenyum melihat penampilannya, lalu kembali menyimpan cerminnya di dinding. Kali ini ia berseru sehingga muncul sebuah sofa empuk dari lantai rumahnya. Gadis itu duduk di sofa sambil melahap donat nanas yang disiapkan Alva.

Music: on,” ucap Agi dan suara musik bertempo cepat memenuhi udara di sekitarnya. Ia menyesap sedikit kopinya, lalu tiba-tiba ia merasa ingin membaca sebuah buku. Mungkin salah satu novel roman karya leluhurnya bisa jadi pilihan yang bagus. Agi mengangguk sambil melahap potongan terakhir donatnya.

Next.” Musik yang lebih tenang mengalun di udara. Gadis itu menyerukan sederet kalimat dan sebuah buku turun dari langit-langit rumahnya. Buku itu adalah novel roman yang pernah ditulis oleh leluhurnya berabad-abad yang lalu. Ia sudah membaca novel itu berkali-kali tapi tidak pernah merasa bosan.

Mungkin Agi adalah satu-satunya orang yang masih menyimpan buku pada masa ini. Buku bisa dikatakan sebagai barang langka yang nyaris punah. Semua orang sudah beralih ke buku electronic yang tersedia di layar yang akan muncul dengan satu gerakan itu. Sementara Agi masih menyimpan rak dari kayu yang dipenuhi buku-buku di langit-langit rumahnya. Walaupun seseorang pernah mengingatkannya untuk memindahkan rak itu ke tempat yang lebih aman. Orang itu khawatir jika terjadi kesalahan sistem, Agi bisa saja mati tertimpa rak yang berat itu. Kekhawatiran yang berlebihan.

Hei bukankah Agi harus menemui orang itu pagi ini? Dengan tergesa, gadis itu meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong, sambil menanyakan waktu pada Alva. Begitu kucing betina itu memberi tahunya, Agi bergegas meninggalkan rumahnya.

Astaga dia pasti akan menegurku lagi dengan mulut cerewetnya. Agi menggerutu dalam hati.

***

Pasir pantai yang hangat langsung menyambut kaki Agi begitu gadis itu menjejakkan kakinya keluar dari rumah. Ia menatap ke arah laut lepas yang berwarna biru. Walaupun sudah melihatnya setiap hari selama hampir tiga tahun terakhir, ia tetap saja selalu terkagum-kagum dengan keindahan pemandangan ini.

Agi mengunci pintu rumahnya dan dalam sekejap pintu itu lenyap dari dinding rumahnya. Ia mulai melangkah menjauhi rumahnya yang kini tampak seperti sebuah dadu besar. Jejak kaki Agi tercetak jelas di atas pasir pantai merah muda itu. Angin laut yang membelai wajahnya membuat ia merasa nyaman.

Saat ini, Agi tidak berada di bumi melainkan sedang berada di sebuah planet seukuran bulan. Planet ini bernama Antariz yang terletak di antara Venus dan bumi. Antariz memiliki keindahan seperti bumi. Pemandangan yang indah, laut yang hangat, dan tumbuhan yang bermacam-macam. Lapisan atmosfer planet ini lebih tebal daripada di bumi. Jika tidak, bagaimana planet kecil ini bisa bertahan dari gesekan benda-benda luar angkasa. Sedangkan gaya gravitasinya lebih rendah dibanding bumi. Jika belum terbiasa, langkah kaki akan terasa seperti lompatan kecil.

Penghuni Antariz mirip dengan manusia bumi yang terdiri dari dua ras yaitu Agoritz dan Koritz. Warna kulit merupakan salah satu yang membedakan kedua ras tersebut. Kulit ras Agoritz berwarna biru muda, sedangkan kulit ras Koritz berwarna merah muda. Hal lain yang membedakan adalah Agoritz merupakan laki-laki dan Koritz adalah perempuan.

Saat menginjak usia dua puluh tahun, Agoritz akan melamar seorang Koritz untuk menikah dengannya. Pihak Agoritz akan memberikan sebuah cincin yang terbuat dari batu dari dasar laut. Mereka memahat dan mengukir dengan tangan mereka sendiri sambil membayangkan gadis yang dicintainya.

Agi sendiri pernah menjalin hubungan dengan salah satu Agoritz selama kurang lebih dua minggu. Lelaki itu sempat hendak melamarnya, tapi semua rencana itu gagal. Hubungan mereka kandas dua bulan yang lalu karena orang tua lelaki itu tidak menyetujui anaknya menikahi gadis selain dari ras Koritz.

Telapak tangan Agi menampar pipinya sendiri untuk menghapus bayangan lelaki itu. Lagi pula ia datang kemari untuk bekerja, bukan untuk mencari pasangan. Mata Agi menatap lurus ke arah awan merah muda yang tampak seperti gulali. Ia mengingat hari pertama ia datang ke planet ini.

Dengan menggunakan roket yang disiapkan oleh perusahaan tempat ia bekerja, Agi dan seorang partnernya yang cerewet mendarat di planet ini. Pada awalnya, para penghuni planet ini bersikap sangat tidak bersahabat. Mereka semua menolak kedatangan manusia bumi yang terkenal sebagai makhluk penghancur di alam semesta. Tapi dengan berbekal sikap ramah dan cerianya, lambat laun Agi bisa membuka hati mereka untuk menerima kehadiran manusia bumi di planet yang mereka cintai.

Tapi tidak akan bisa lebih dari itu.

Agi menghela napas berat. Kenapa lagi-lagi ia memikirkan lelaki itu? Lupakan lelaki itu. Perasaan cintanya memang sudah sirna, ia hanya merasa prihatin dengan ketidak-bebasan memilih pasangan di planet ini.

“Kau terlambat tiga menit sepuluh detik, Nona Agi.”

Agi tersentak karena seseorang berbisik tepat di telinganya. Ia menoleh dan mendapati Ace partnernya yang cerewet itu sudah berdiri di sampingnya. Lelaki itu menyeringai lebar, membuat Agi mengerucutkan bibirnya dengan kesal.

“Aku tidak terlambat,” Agi mencoba membela diri. “Kau sendiri baru datang. Sejak tadi aku tidak melihatmu.”

“Itu karena kau terus melamun, pemalas,” ujar Ace sambil menyentuh ringan dahi Agi dengan jari telunjuknya. “Aku baru saja selesai melakukan pemanasan sebelum menyelam.”

Agi melirik kesal ke arah Ace yang sekarang menatap lurus ke laut di hadapan mereka.

“Kau juga lebih baik lakukan pemanasan sebelum menyelam. Aku tidak ingin direpotkan dengan hal tidak penting.” Tangan Ace bergerak untuk menampilkan layar di hadapannya lalu mengganti pakaian olahraganya dengan pakaian selam. “Hari ini aku akan ke daerah barat, jadi kau pergilah ke daerah timur.”

Agi tetap bungkam dengan hati yang dongkol. Dasar tukang perintah!

“Tunggu apa lagi? Ayo lakukan pemanasan!” kata Ace sekali lagi. Gadis yang menjadi partnernya ini sering tidak mendengarkan perkataannya.

Agi menggerak-gerakkan kakiknya dengan malas untuk memulai pemanasan. Sesaat kemudian ia mendengar Ace mengomel dengan bahasa Spanyol. Agi diam-diam hendak mengaktifkan penerjemah bahasanya, tapi lelaki itu sudah berhenti mengoceh dengan bahasa ibunya itu.

Ace tidak lagi mengoceh, setelah melihat Agi melakukan pemanasan. Diam-diam Agi memperhatikan wajah lelaki yang sedang sibuk dengan layarnya itu. Sebenarnya, Ace memiliki wajah tampan yang mungkin sudah dimiliki dalam garis keturunannya. Kalau Agi tidak salah ingat, Ace pernah bercerita tentang leluhurnya yang merupakan model terkenal pada masanya. Dan lelaki ini terlihat lebih tampan saat ia tidak sedang mengoceh seperti biasanya. Setiap hari mengingatkan Agi untuk bangun pagi, melakukan pemanasan sebelum menyelam, dan mencatat laporan dengan rapi. Selalu menuntut kesempurnaan yang sesuai dengan prosedur. Lelaki ini bahkan lebih cerewet dari ibunya di rumah.

“Aku akan menyelam lebih dulu. Kau harus hati-hati karena laut tampak kurang bersahabat.” Ace memasang alat komunikasi bawah air di telinganya. Sebelum ia memasang alat bantu pernapasan di mulutnya, lelaki itu berkata, “Jangan membawa ikan ke darat hanya karena kau mengiranya tenggelam.”

Dengan kesal Agi memutar bola matanya. Ungkapan itu lagi! Ace selalu mengatakan kalimat sepanjang itu hanya untuk mengatakan bahwa Agi adalah seorang partner yang bodoh. Agi memperhatikan saat lelaki itu mulai melompat ke dalam air dan menyelam ke arah barat.

Planet ini memiliki dua bulan bernama Lomon dan Vepra yang muncul bergantian siang dan malam. Agi menatap ke arah langit yang tampak cerah hari ini. Laut juga tampak tenang. Apa yang harus ditakutkan?

“Aku tidak ingin direpotkan dengan hal tidak penting.”

Siapa juga yang mau merepotkan lelaki sepertimu? Agi merutuk sambil menggerakkan tangan untuk memunculkan layar. Ia mulai mengenakan semua peralatan menyelamnya. Ini bukan hari pertamanya menyelam di laut ini. Lagi pula, sejauh yang ia tahu ada leluhurnya yang juga merupakan peneliti lautan. Leluhurnya yang lain bertemu dengan cinta sejatinya juga di laut. Maka, apa yang harus Agi takutkan dari laut?

Manusia pada masa ini memang memiliki akses untuk melihat garis keturunan mereka. Tapi hal tersebut tidak semudah memejamkan mata. Diperlukan meditasi yang disebut stochaz untuk melihat jalur masa lalu melalui ingatan genetik. Sementara untuk melihat masa depan, meditasi stomoz yang harus dilakukan. Hal tersebut jauh lebih sulit karena melihat sesuatu yang belum terjadi. Dan Agi bukanlah orang yang mau repot-repot melakukan itu. Ia lebih suka menikmati hidup yang penuh yang kejutan.

Agi menempelkan sebuah alat yang tampak seperti tabung kecil ke mulutnya untuk membantu pernapasannya dalam air. Ia mulai berlari di atas pasir pantai merah muda lalu menceburkan dirinya ke lautan biru. Tubuh gadis itu meliuk-liuk di dalam air, menuju arah timur sesuai perintah Mr. Perfect itu.

Kesegaran air laut membelai tubuh Agi. Gelembung air keperakan naik ke permukaan. Pemandangan bawah laut yang tidak kalah indah dengan bumi memanjakan mata Agi, menariknya untuk menyelam lebih dalam. Tapi semakin dalam Agi menyelam, ia semakin merasa sulit bergerak. Seperti ada ombak besar yang menarik tubuhnya. Padahal permukaan air tampak sangat tenang.

Dengan susah payah Agi menggerakkan tubuhnya untuk berenang ke permukaan. Tapi sia-sia. Rasanya seperti ditarik oleh tenaga yang sangat kuat. Entah apa yang terjadi. Tubuhnya tidak bisa bergerak bebas. Tidak bisa bernapas karena tanpa sadar gigitan di tabung oksigen Agi terlepas saat ia meronta. Agi tenggelam ke dasar laut, semakin jauh terbawa arus.

Agi sangat menyukai laut. Sejak masih tinggal di bumi, ia sudah mahir berenang dan menyelam. Tapi sekarang berbeda. Air laut masuk melalui mulut gadis itu. Dadanya terasa sesak tertekan ombak. Tiba-tiba ia mengerti sekarang. Sepandai apapun ia berenang, seharusnya ia tidak boleh sombong dan terlalu percaya diri. Pemikiran seperti itu hanya akan menariknya ke dalam jurang kegagalan.

Ah pantas saja Ace sering mengingatkan hal yang dianggap sepele oleh Agi. Gadis itu baru menyadarinya sekarang. Ternyata ia memang sebodoh itu.

Di tengah kesadarannya yang menipis, Agi merasakan air matanya berlinang bercampur dengan air laut. Ia masih ingin kembali ke bumi dan bertemu keluarganya. Sekarang bukan saat yang tepat untuk bertemu dengan leluhurnya yang sudah meninggal. Agi juga masih ingin bertemu dengan Ace. Andai saja ia lebih mendengarkan lelaki itu.

Benak Agi memutar rekaman kejadian dalam hidupnya beberapa tahun lalu. Saat itu pertama kalinya ia ditugaskan ke planet ini bersama dengan Ace. Lelaki itu tampak sangat dingin dan acuh terhadap kehadirannya. Tapi Agi dengan gigih melancarkan proses pendekatan. Tanpa disangka, setelah mereka akrab ternyata Ace menjadi sangat cerewet.

Sebenarnya Agi merasa senang memiliki partner seperti Ace. Mereka selalu saling melengkapi. Sebelumnya, gadis itu mengira ia akan bertugas di planet ini sendirian. Teman-temannya yang lain tidak mau dikirim ke planet kecil yang sedikit primitif seperti Antariz. Belum lagi para penduduknya yang tidak ramah. Mereka lebih memilih planet-planet metroplis dengan pusat perbelanjaan yang melimpah. Maka, Agi merasa sangat senang ketika mendapati ada seseorang yang memilih planet yang sama dengan dirinya.

Oh aku tidak boleh mati sekarang. Agi membayangkan sosok Ace yang tengah mengetik laporan penelitiannya di tepi pantai. Setidaknya ia ingin mengucapkan terima kasih kepada Ace. Senyuman lelaki itu sedikit memberi keberanian untuk Agi. Sekuat tenaga, ia berusaha menyibakkan air dengan menggerakkan kakinya.

Apa daya. Usaha Agi sia-sia.

Kesadaran gadis itu hilang ditelan ombak laut. Gelang di tangan kirinya memancarkan cahaya merah berkelap-kelip. Sebuah pertanda bahwa denyut nadi pemiliknya semakin melemah.

***

Ace mengabadikan pemandangan bawah laut yang dilihatnya dengan menggunakan kamera bawah air. Kamera itu berbentuk seperti tabung lensa yang disematkan pada jari seperti sebuah cincin. Beberapa ikan bersembunyi malu-malu saat Ace mengarahkan kamera ke arah mereka. Ikan-ikan di sini memiliki bentuk yang menarik. Ada ikan berwarna merah berbintik hitam dengan ekor sirip berwarna hijau yang tampak seperti sebuah stroberi sedang berenang. Semua jenis makhluk di planet ini masih asli dan bukan robot maupun makhluk buatan.

Itulah salah satu alasan yang membuat Ace memilih planet ini sebagai tempat ia bertugas meneliti selama tiga tahun. Alasan lain tentu saja karena gadis bernama Agi itu. Gadis itu sangat ceria dan selalu bisa menghidupkan suasana selama mereka masih menempuh pelatihan di bumi. Tapi beberapa kali Ace pernah melihat Agi menangis diam-diam di lorong sepi yang jarang dilalui orang. Tidak pernah sekali pun Agi menyadari kehadiran Ace yang memang sengaja bersembunyi untuk menghindari suasana canggung.

Gadis itu menangis karena ia mengetahui bahwa teman-temannya pergi bersenang-senang tanpa dirinya, membohonginya, atau membicarakan hal buruk tentang dirinya secara diam-diam. Agi tahu tapi ia memilih diam. Setelah menangis, ia akan kembali kepada teman-temannya dengan sikap yang ceria seolah tidak terjadi apa-apa.

Pada awalnya, Ace merasa kasihan dengan kebodohan Agi. Seharusnya gadis itu lebih baik meninggalkan orang-orang seperti itu. Lambat laun tanpa disadarinya, Ace mulai memberi perhatian lebih kepada gadis itu. Ia sempat mendengar bahwa Agi memilih Antariz sebagai lokasi penelitian lautnya, dan entah mengapa Ace juga memilih planet ini. Tanpa terasa, sudah hampir tiga tahun berlalu. Dalam hitungan bulan, mereka sudah harus kembali ke bumi.

Benar juga. Bagaimana keadaan gadis itu? Biasanya gadis itu akan mengirim pesan singkat bertubi-tubi kepada Ace jika melihat sesuatu yang menarik. Tapi hari ini kenapa sepi sekali?

Ace mencoba menghubungi Agi, tapi tidak bisa. Sebuah laporan muncul yang mengatakan bahwa jaringan yang dihubungi Ace kehilangan sinyal. Perasaan panik memenuhi hati Ace. Bergegas ia memacu tubuhnya untuk berenang ke arah berlawanan.

Saat itulah Ace melihat sebuah ombak di bawah laut yang sangat kontras dengan permukaan laut yang tenang. Ace menelan ludahnya yang terasa pahit. Jangan-jangan... Sekuat tenaganya Ace berenang dengan cepat sambil berusaha menghapus kemungkinan terburuk itu dari otaknya.

Ace yakin ia sudah tiba di daerah penelitian Agi. Seharusnya gadis itu ada di sini. Tapi ia tidak bisa menemukan siapa pun. Hanya ada ombak yang bergulung perlahan dan tidak sedahsyat yang ia lihat tadi. Ace merasa tubuhnya lemas. Tapi ia tidak boleh menyerah sebelum menemukan gadis itu.

Sebuah lampu merah tampak berkelap-kelip menarik perhatian Ace. Itu pasti berasal dari gelang yang digunakan Agi. Ace berenang mendekati lampu itu sambil berharap ia tidak terlambat. Seperti dugaannya, mata gadis itu terpejam dan ia membiarkan air laut membawa tubuhnya sesuka hati.

Ace berhasil membawa Agi keluar dari air lalu segera membaringkan gadis itu di permukaan yang datar. Jantung Ace berdebar sangat kencang karena merasa panik. Gelang di tangannya memancarkan warna merah karena itu. Ace segera melepaskan gelang sialan itu dari tangannya. Tidak pernah ia merasa seperti ini. Bukankah biasanya ia selalu menghadapi masalah dengan kepala dingin dan hati yang tenang? Tapi kenapa sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa.

Seharusnya ada alat yang dapat digunakan untuk saat seperti ini. Ace mengacak rambut basahnya dengan kesal. Ia  tidak bisa mengingat satu pun nama dari alat-alat tersebut. Satu-satunya cara yang muncul di otak Ace hanyalah cara primitif yang diajarkan saat di tempat pelatihan dulu. Cara pemberian napas buatan yang sudah jarang dilakukan oleh manusia.

Ace menahan napasnya. Ia tidak yakin bahwa ia bisa melakukannya. Tapi tidak ada pilihan selain mencoba.

Dengan tangan yang gemetar, Ace menekan-nekan dada Agi hingga gadis itu memuntahkan banyak air. Ace sedikit medesah lega saat mendengar Agi terbatuk-batuk. Tapi gadis itu belum sadarkan diri. Ace menyangga leher Agi menggunakan lengannya. Ia bersiap untuk melakukan tahap selanjutnya yaitu menyalurkan udara dari mulutnya ke mulut gadis itu. Tapi tiba-tiba gerakan Ace terhenti saat bibirnya dan bibir Agi hanya berjarak satu senti. Bukankah ini termasuk tindak pelecehan? Hanya pecundang yang menyerang seorang gadis yang tidak sadarkan diri.

 Ace memaksa otaknya untuk berpikir cepat menemukan cara lain. Hingga akhirnya Ace mengambil tabung oksigennya dan memasangkannya di bibir Agi.

Udara di sekitar Ace seketika menjadi lebih ringan saat oksigen mengalir melalui mulut Agi. Ia mendesah lega saat melihat napas Agi mulai teratur. Dengan sigap ia membopong tubuh Agi ke rumahnya.

Begitu masuk ke dalam rumah, Ace segera memunculkan tempat tidurnya yang nyaman. Tapi saat hendak membaringkan Agi, ia sadar bahwa tidak mungkin membiarkan Agi dalam balutan pakain yang basah. Gadis ini harus mengganti bajunya tapi belum ada tanda-tanda Agi akan sadarkan diri.

Pakaian milik Agi ada di lemari dalam layar pribadinya. Tapi Ace tidak bisa memunculkan layar milik Agi ke hadapannya. Setiap orang memiliki layarnya masing-masing yang digunakan secara pribadi. Ace juga tidak bisa meminjamkan pakaiannya untuk Agi ataupun orang lain. Semua pakaian sudah diatur untuk hanya bisa digunakan oleh pemiliknya.

Ace menelan ludah. Apa ia harus menggunakan cara primitif sekali lagi?

***

Agi terbangun dan segera menyadari bahwa ia tidak sedang berada di rumahnya. Gadis itu terbatuk-batuk dan merasakan kekeringan melanda tenggorkannya. Ia berusaha duduk dan bersandar pada kayu dipan tempat tidur itu. Saat itulah ia menyadari bahwa tubuhnya tidak mengenakan apapun di balik selimut hangat itu.

“Segera kenakan pakaianmu,” ujar Ace perlahan saat menyadari pergerakkan di tempat tidurnya.

Suara itu cukup perlahan tapi mampu membuat Agi terkesiap. Ia baru menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ada Ace di sana, berdiri memunggungginya dan tampak sibuk dengan sesuatu. Jadi, apa Ace yang sudah melepas pakaiannya? Pertanyaan itu sontak membuat pipi Agi merona. Buru-buru ia menampar wajahnya sendiri untuk menghapus pikiran yang tidak pantas. Ia tidak seharusnya menuduh seseorang tanpa bukti.

Agi segera menggerakkan tangannya dan memilih pakaian dari lemari pada layar pribadinya. Setelah mengenakan terusan yang cukup populer pada tahun 1950, dengan banyak kancing di bagian depan, gadis itu berjalan turun dari tempat tidur. Ia berjingkat perlahan mendekat ke arah Ace.

“Kalau kau masih merasa pusing, lebih baik jangan turun dari tempat tidur,” ujar Ace tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Dan lagi-lagi Agi terkejut karenanya.

Tapi Agi tidak menghiraukan peringatan itu, ia terus saja berjalan lalu duduk di sebuah kursi kayu tinggi tanpa sandaran.

Ace melirik sedikit ke arah Agi lalu menggelengkan kepala dengan heran. “Apa kau tidak bisa berpakaian sesuai zamanmu?”

Agi mengerucutkan hidung dan bibirnya mendengar Ace mengkritik gaya berpakaiannya. “Pakaian pada zaman ini benar-benar membosankan.”

Ace tidak menjawab apapun sehingga Agi menyibukkan diri memperhatikan dapur milik Ace. Sesuatu yang tidak ia miliki di rumahnya. Ia lebih suka membeli makanan cepat saji yang semuanya disiapkan oleh Alva.

Sebenarnya dapur Ace sangat sederhana. Hanya terdiri dari sebuah meja lebar dengan sebuah tabung untuk memasak yang disebut Kooch7. Hasil makanan yang akan dimasak oleh alat itu tergantung dari kemampuan pemiliknya meracik bahan yang diperlukan untuk membuat suatu makanan. Dan Agi bukanlah orang yang mau merepotkan diri untuk hal seperti itu.

“Kau mengaguminya? Dapurku?” Nada bicara Ace datar tapi membuat Agi mendongak ke arahnya, tersentak dengan pikirannya sendiri.

“Hanya tidak menyangka bahwa kau bisa memasak.”

Ace terkekeh pelan sambil tetap fokus memotong bahan masakannya di atas meja. “Apa yang tidak bisa kita lakukan di zaman seperti ini?”

Benar juga. Semua benda canggih di zaman ini sangat membantu pekerjaan manusia. Jika saja mereka tidak berubah menjadi pemalas kelas kakap. Agi merasa beruntung karena ia menyukai kegiatan luar rumah dan mengobrol dengan banyak orang. Sehingga rasa malasnya tidak membuat sendi-sendinya kaku karena tidak pernah digerakkan.

“Agi?”

Agi tersentak. “Maaf?”

“Aku bertanya apa kau lapar,” tanya Ace kepada Agi. Diam-diam Agi memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan Ace. Lelaki itu tampak terbiasa bekerja di dapur. Caranya memotong sangat rapi. Agi belum tentu bisa melakukan hal itu sekalipun menggunakan pisau paling canggih yang pernah ada.

Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ditanyakan Ace. Seperti bagaimana bisa lelaki ini mengetahui bahwa ia tenggelam padahal mereka berada dalam arah yang berlawanan. Kenapa Ace mau berbaik hati menolongnya? Dan bagaimana hingga... ia bisa berakhir tanpa pakaian di rumah Ace.

“Apa yang kau pikirkan?” Ace kembali bertanya karena Agi tidak langsung menjawab pertanyaannya. “Aku hanya melepas pakaianmu yang basah. Tidak lebih jika memang itu yang kau khawatirkan. Aku tidak mungkin bisa mengakses ke dalam layar pribadimu untuk memilihkan pakaian, kau tahu itu?”

“Ya. Aku tahu itu. Aku percaya padamu, Ace,” jawab Agi cepat-cepat. Ia ingin segera mengalihkan pembicaraan sebelum pipinya berubah semerah tomat yang sedang dipegang Ace. “Ngomong-ngomong, aku sangat lapar sekarang. Sebenarnya, apa yang sedang kau buat?”

Omelette,” jawab Ace singkat. Lelaki itu memasukkan bahan-bahan lalu menekan tulisan omelette pada badan tabung itu. “Aku harap kau suka omelette.”

“Ya aku suka,” jawab Agi sambil tersenyum penuh semangat. “Lagi pula apa saja bisa dimakan oleh seorang gadis yang sudah menelan setengah lautan ke dalam perut dan paru-parunya.”

Agi menertawakan gurauannya sendiri. Ace juga tertawa singkat lalu mengatakan perintah kepada meja di hadapan Agi. Segelas air mineral muncul seketika.

“Minumlah. Tenggorokanmu pasti kering.”

Tidak sekedar kering. Tenggorokan Agi terasa panas sekarang karena sejak tadi ia sudah berceloteh. “Terima kasih,” ujar Agi setelah menenggak habis air dalam gelas itu.

“Silakan, omelette-mu.”

Rupanya omelette itu sudah matang. Agi menatap seperti seekor serigala yang kelaparan. Ia segera melahap sepotong dengan garpu sebelum air liurnya menetes. Dan menurut Agi, omelette buatan Ace terasa sangat lezat dan mewah dibandingkan makanan sehari-harinya.

“Apa pendapatmu mengenai planet ini?” tanya Ace lalu menyuapkan omelette-nya.

Agi tidak langsung menjawab. Gadis itu mencoba mengingat apa saja yang pernah dilakukannya di planet ini. “Menurutku, Antariz merupakan planet yang tidak kalah indah dari bumi. Alamnya masih sangat terjaga, berbeda dengan di bumi yang sudah tercemar. Aku suka pemandangannya, lautnya, orang-orangnya, dan aku merasa beruntung karena bekerja di planet indah ini bersama partner sebaik dirimu. Terima kasih, Ace.”

Ace mengerutkan keningnya, alis gelap itu terangkat karena mendengar ucapan terima kasih yang tulus dari Agi. “Ya. Kau memang sering merepotkanku.”

Tawa Agi meledak dan membuat Ace bingung. Ia tidak lagi marah jika Agi menyebutnya bodoh dan ceroboh. Air laut planet ini sudah cukup menyadarkannya. “Bahkan aku berharap jika suatu hari nanti aku menikah, aku ingin berbulan madu di planet ini.”

Pernikahan, huh? Ace pernah satu kali berhasil melakukan meditasi stomoz dan mendapati Agi ada di sana. Gadis itu tampak sangat cantik dengan balutan gaun pernikahan. Tapi penglihatan Ace ke arah sana masih sangat samar. Ia bahkan tidak bisa melihat siapa mempelai lelaki Agi. Sempat Ace mengira, itu adalah penglihatannya akan pernikahan Agi dengan seorang Agoritz yang dulu menjadi kekasih gadis itu. Tapi ternyata dugaan itu salah. Mereka bahkan sudah putus sekarang.

Lama sekali Ace terus mengulang penglihatan itu dalam ingatannya sampai ia merasa resah. Hingga di suatu malam, ia terbangun dan mendapati dirinya tengah merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Agi. Perasaan itu adalah perasaan paling primitif yang tidak pernah berubah bagaimana pun canggihnya teknologi dunia. Ya. Ace jatuh cinta kepada Agi. Lelaki itu juga menyadari bahwa masa depan yang ia lihat adalah masa depannya bukan masa depan Agi. Dan itu berarti mungkin saja pengantin lelakinya adalah Ace sendiri.

Tadi saat Agi terbaring lemah dengan napas yang terputus-putus, Ace merasa sangat ketakutan. Ia merasa tidak siap untuk kehilangan gadis ini. Sehingga tanpa sadar Ace memohon dengan sangat di dalam hatinya agar kondisi Agi segera pulih. Bahkan ia sempat berjanji akan melamar Agi jika gadis itu sadarkan diri.

“Jika tidak sekedar bulan madu misalnya suamimu mengajakmu tinggal di planet ini, apa kau akan menolaknya?”

“Tentu saja aku tidak akan menolaknya,” jawab Agi cepat. “Apalagi jika suamiku sebaik dirimu, Ace,” tambahnya lantas tertawa, tidak menyadari rasa gugup yang dirasakan Ace.

Alih-alih menanggapi gurauan Agi, Ace malah memunculkan layar pribadi di hadapannya lalu memindahkan isi sebuah kotak ke dalam genggamannya. Agi hanya bisa memperhatikan semua gerakan Ace dengan alis berkerut.

Ace menyodorkan sesuatu berbentuk bulat ke hadapan Agi. Mata gadis itu terbelalak lebar tidak percaya. Agi menatap benda itu dan Ace secara bergantian, berkali-kali hingga kepalanya terasa pusing. Ia tahu betul bahwa ini adalah cincin batu pernikahan.

Benak Agi membayangkan bagaimana usaha Ace untuk mendapatkan batu ini lalu mengukir dan memahatnya menjadi secantik ini. Ukiran pada badan cincin itu begitu detail dan sempurna. Kini cincin cantik itu disodorkan Ace kepada Agi. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa tentang sesuatu yang begitu mendadak ini. Apakah ini sebuah lamaran? Apakah Ace meminta Agi untuk menikah dengannya?

“Agi, maukah kau menikah denganku?”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D