Tetap nekat menulis cerita berbumbu science-fiction walaupun berbekal pengetahuan yang minim.
Silakan tertawa jika menemukan kesalahan istilah, tapi setelah itu tolong kasih tau yang benar seperti apa ya.
Terima kasih dan selamat membaca :)
Semoga kalian suka walaupun sedikit memaksa. hehehe :D
Sebuah bunyi menganggu telinga Agi. Gadis
itu mengerang perlahan lalu menarik selimut untuk menutupi kepalanya.
Samar-samar ia masih bisa mendengar bunyi yang meraung-raung itu. Pada awlanya,
ia berusaha menulikan telinga dan mengabaikan bunyi itu. Tapi lama-kelamaan
bunyi itu semakin berisik dan mengganggu.
Agi mendecakkan lidah karena kesal. Dengan
mata yang masih terpejam, ia mengulurkan tangannya ke arah nakas di samping
tempat tidurnya. Nakas itu lebih tinggi dari tempat tidurnya, sehingga ia mulai
memanjang-manjangkan badan dan tangan hingga berhasil menggapai benda berisik
itu. Suara gaduh itu ternyata berasal dari jam beker di atas nakas.
“Alarm
clock: off,” ucap Agi dengan
suara serak, lalu bunyi itu hilang begitu saja. Akhirnya, kedamaian kembali ke
dunia. Dan Agi sebagai pahlawannya.
Agi mengurungkan niatnya untuk meringkuk
kembali ke dalam selimutnya yang nyaman. Otaknya masih cukup kuat untuk mengingat
bahwa hari ini ia memiliki janji dengan seseorang. Dengan susah payah gadis itu
membuka matanya yang seakan direkatkan menggunakan lem super lalu bangkit dari
tempat tidurnya.
“Futon:
off,” kata Agi sambil maju satu
langkah menjauh. Seketika itu saja, tempat tidur itu menggulung dirinya sendiri
lalu lenyap bagai ditelan dinding.
Gadis itu memang lebih memilih tempat
tidur buatan Jepang yang lebih praktis daripada tempat tidur besar ala ratu
kerajaan. Selain harganya yang lebih murah, tempat tidur seperti itu juga
sangat nyaman. Buktinya? Agi sering bangun kesiangan karena betah berada dalam
dekapan tempat tidurnya.
Agi mendekati gumpalan bulu menggemaskan
yang meringkuk di sudut ruangan. Tangannya mengelus lembut sambil berkata, “Alva: wake up.”
Gumpalan bulu itu mengeong pertanda
mendengar perintah suara untuknya. Perlahan matanya terbuka lalu ia
merenggangkan tubuhnya dengan cara memanjangkan kaki-kaki bercakarnya. Proses booting seperti ini biasanya akan
memakan waktu tiga puluh tujuh detik.
“Bangun, kucing pemalas,” kata Agi sambil
terkekeh pelan. Entah dari mana kucing ini meniru sifat pemalas seperti itu.
Kucing yang diberi nama Alva itu
sebenarnya adalah sebuah robo-assist
tipe Axalea7.3 berbulu abu-abu. Robo-asist
bertugas untuk mempermudah pekerjaan manusia. Bentuknya sama persis seperti
kucing sesungguhnya, hanya saja organ dalam tubuhnya terdiri dari mesin-mesin
canggih.
“Selamat
pagi, Nona Agi.”
Agi tersenyum saat Alva mulai bersuara.
“16
Januari 2375. Pukul 07:10 am. Langit Antariz sedikit berawan hari ini. Air laut
cukup tenang tapi menghanyutkan, jadi harap berhati-hati.”
Dahi Agi mengernyit tapi ia tidak terlalu
menghiraukan perkataan Alva. Gadis itu sangat menyukai laut bahkan setiap hari
bekerja di laut. Atau bisa saja lebih dari itu. Darah yang mengalir dalam
tubuhnya mungkin saja sudah tercampur air laut. Jadi, apa yang harus
dikhawatirkan?
Agi mengerakkan telapak tangannya —seperti menarik sesuatu di udara lalu muncul sebuah layar di hadapannya. Ada
beberapa teman yang mengomentari salah satu foto di akun media sosialnya. Ia membalas
komentar itu sambil mendengarkan Alva mengocehkan jadwal kegiatannya hari ini.
Hingga tiba pada sebuah jadwal untuk malam ini.
“Apa? Kencan?” Agi berdecak kesal sambil
menggerakkan tangan dan membuat layar di hadapannya lenyap. “Alva, aku sudah
putus dengan lelaki itu sejak dua bulan yang lalu. Mana mungkin kau masih
menjadwalkan kencanku dengannya?”
Alva hanya mengeong sambil menggesekkan
tubuh berbulunya di kaki Agi.
“Baiklah, kucing manja,” kata Agi sambil
memutar bola matanya lalu mengucapkan perintah suara pembatalan jadwal.
“Perintah
diterima. Jadwal kencan pukul 07:03 pm dibatalkan.”
Agi mengacungkan ibu jarinya lalu mengelus
kepala Alva. “Sementara aku mandi, tolong siapkan aku secangkir kopi dan
sepotong donat rasa nanas.”
Alva melenggang dengan anggun untuk
menyiapkan sarapan bagi majikannya yang pemalas.
“Bathroom:
on.”
Sebuah pancuran seakan tumbuh dari dinding
rumah Agi, disusul tirai plastik yang mengelilinginya. Gadis itu mulai
membersihkan tubuhnya sambil berdendang riang. Dari kejauhan, Alva hanya bisa
melindungi telinganya dari ancaman suara majikannya.
Rumah Agi berbentuk kubus tiga meter
seperti rumah pada umumnya. Rumah pada masa ini memang hanya seukuran kamar
pada tiga abad yang lalu, tapi semua perabot rumah dapat disimpan di dinding rumah. Ukuran dunia yang tidak bertambah luas
dengan populasi yang terus bertambah, menuntut manusia untuk terus berinovasi
demi kemudahan hidupnya.
Agi sudah selesai mandi dan kembali menyimpan kamar mandinya ke dinding. Ia
kembali bersuara untuk memunculkan cermin di dinding rumahnya. Tangannya
kembali bergerak di udara dan sebuah layar kembali muncul. Gadis itu membuka
lemari tempat ia menyimpan pakaian-pakaiannya. Ia menekan gambar sebuah baju
terusan berwarna kuning dengan jari telunjuknya. Begitu terdengar bunyi klik, baju terusan itu membungkus cantik
tubuh Agi.
Gadis itu menatap bayangannya di cermin
sambil menimbang-nimbang pilihannya. Beberapa saat kemudian, gadis itu
menggelengkan kepala dan memilih baju lain. Hingga pada akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada kaus
hitam, kardigan merah muda, dan celana jeans
hitam sepanjang mata kaki. Pakaian itu cukup populer tiga abad yang
lalu. Terasa ketinggalan zaman memang, tapi Agi menyukai pakaian seperti ini.
Menurutnya, pakaian masa kini sangat membosankan. Lebih terlihat seperti baju
zirah yang pas di tubuh dengan beragam pilihan
warna.
Agi tersenyum melihat penampilannya, lalu
kembali menyimpan cerminnya di
dinding. Kali ini ia berseru sehingga muncul sebuah sofa empuk dari lantai
rumahnya. Gadis itu duduk di sofa sambil melahap donat nanas yang disiapkan Alva.
“Music:
on,” ucap Agi dan suara musik
bertempo cepat memenuhi udara di sekitarnya. Ia menyesap sedikit kopinya, lalu
tiba-tiba ia merasa ingin membaca sebuah buku. Mungkin salah satu novel roman
karya leluhurnya bisa jadi pilihan yang bagus. Agi mengangguk sambil melahap
potongan terakhir donatnya.
“Next.”
Musik yang lebih tenang mengalun di udara. Gadis itu menyerukan sederet kalimat
dan sebuah buku turun dari langit-langit rumahnya. Buku itu adalah novel roman
yang pernah ditulis oleh leluhurnya berabad-abad yang lalu. Ia sudah membaca
novel itu berkali-kali tapi tidak pernah merasa bosan.
Mungkin Agi adalah satu-satunya orang yang
masih menyimpan buku pada masa ini. Buku bisa dikatakan sebagai barang langka
yang nyaris punah. Semua orang sudah beralih ke buku electronic yang tersedia di layar yang akan muncul dengan satu
gerakan itu. Sementara Agi masih menyimpan rak dari kayu yang dipenuhi
buku-buku di langit-langit rumahnya. Walaupun seseorang pernah mengingatkannya
untuk memindahkan rak itu ke tempat yang lebih aman. Orang itu khawatir jika
terjadi kesalahan sistem, Agi bisa saja mati tertimpa rak yang berat itu.
Kekhawatiran yang berlebihan.
Hei— bukankah Agi harus menemui orang itu pagi ini?
Dengan tergesa, gadis itu meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong, sambil
menanyakan waktu pada Alva. Begitu kucing betina itu memberi tahunya, Agi
bergegas meninggalkan rumahnya.
Astaga— dia pasti akan menegurku lagi dengan
mulut cerewetnya. Agi
menggerutu dalam hati.
***
Pasir pantai yang hangat langsung
menyambut kaki Agi begitu gadis itu menjejakkan kakinya keluar dari rumah. Ia
menatap ke arah laut lepas yang berwarna biru. Walaupun sudah melihatnya setiap
hari selama hampir tiga tahun terakhir, ia tetap saja selalu terkagum-kagum
dengan keindahan pemandangan ini.
Agi mengunci pintu rumahnya dan dalam
sekejap pintu itu lenyap dari dinding rumahnya. Ia mulai melangkah menjauhi
rumahnya yang kini tampak seperti sebuah dadu besar. Jejak kaki Agi tercetak
jelas di atas pasir pantai merah muda itu. Angin laut yang membelai wajahnya
membuat ia merasa nyaman.
Saat ini, Agi tidak berada di bumi
melainkan sedang berada di sebuah planet seukuran bulan. Planet ini bernama
Antariz yang terletak di antara Venus dan bumi. Antariz memiliki keindahan
seperti bumi. Pemandangan yang indah, laut yang hangat, dan tumbuhan yang
bermacam-macam. Lapisan atmosfer planet ini lebih tebal daripada di bumi. Jika
tidak, bagaimana planet kecil ini bisa bertahan dari gesekan benda-benda luar
angkasa. Sedangkan gaya gravitasinya lebih rendah dibanding bumi. Jika belum
terbiasa, langkah kaki akan terasa seperti lompatan kecil.
Penghuni Antariz mirip dengan manusia bumi
yang terdiri dari dua ras yaitu Agoritz dan Koritz. Warna kulit merupakan salah
satu yang membedakan kedua ras tersebut. Kulit ras Agoritz berwarna biru muda,
sedangkan kulit ras Koritz berwarna merah muda. Hal lain yang membedakan adalah
Agoritz merupakan laki-laki dan Koritz adalah perempuan.
Saat menginjak usia dua puluh tahun, Agoritz
akan melamar seorang Koritz untuk menikah dengannya. Pihak Agoritz akan
memberikan sebuah cincin yang terbuat dari batu dari dasar laut. Mereka memahat
dan mengukir dengan tangan mereka sendiri sambil membayangkan gadis yang
dicintainya.
Agi sendiri pernah menjalin hubungan
dengan salah satu Agoritz selama kurang lebih dua minggu. Lelaki itu sempat
hendak melamarnya, tapi semua rencana itu gagal. Hubungan mereka kandas dua
bulan yang lalu karena orang tua lelaki itu tidak menyetujui anaknya menikahi gadis
selain dari ras Koritz.
Telapak tangan Agi menampar pipinya
sendiri untuk menghapus bayangan lelaki itu. Lagi pula ia datang kemari untuk
bekerja, bukan untuk mencari pasangan. Mata Agi menatap lurus ke arah awan
merah muda yang tampak seperti gulali. Ia mengingat hari pertama ia datang ke
planet ini.
Dengan menggunakan roket yang disiapkan
oleh perusahaan tempat ia bekerja, Agi dan seorang partnernya yang cerewet
mendarat di planet ini. Pada awalnya, para penghuni planet ini bersikap sangat
tidak bersahabat. Mereka semua menolak kedatangan manusia bumi yang terkenal
sebagai makhluk penghancur di alam semesta. Tapi dengan berbekal sikap ramah
dan cerianya, lambat laun Agi bisa membuka hati mereka untuk menerima kehadiran
manusia bumi di planet yang mereka cintai.
Tapi tidak akan bisa lebih dari itu.
Agi menghela napas berat. Kenapa lagi-lagi
ia memikirkan lelaki itu? Lupakan lelaki
itu. Perasaan cintanya memang sudah sirna, ia hanya merasa prihatin dengan
ketidak-bebasan memilih pasangan di planet ini.
“Kau terlambat tiga menit sepuluh detik,
Nona Agi.”
Agi tersentak karena seseorang berbisik
tepat di telinganya. Ia menoleh dan mendapati Ace —partnernya yang cerewet itu— sudah berdiri di sampingnya. Lelaki itu
menyeringai lebar, membuat Agi mengerucutkan bibirnya dengan kesal.
“Aku tidak terlambat,” Agi mencoba membela
diri. “Kau sendiri baru datang. Sejak tadi aku tidak melihatmu.”
“Itu karena kau terus melamun, pemalas,”
ujar Ace sambil menyentuh ringan dahi Agi dengan jari telunjuknya. “Aku baru
saja selesai melakukan pemanasan sebelum menyelam.”
Agi melirik kesal ke arah Ace yang
sekarang menatap lurus ke laut di hadapan mereka.
“Kau juga lebih baik lakukan pemanasan
sebelum menyelam. Aku tidak ingin direpotkan dengan hal tidak penting.” Tangan
Ace bergerak untuk menampilkan layar di hadapannya lalu mengganti pakaian
olahraganya dengan pakaian selam. “Hari ini aku akan ke daerah barat, jadi kau
pergilah ke daerah timur.”
Agi tetap bungkam dengan hati yang
dongkol. Dasar tukang perintah!
“Tunggu apa lagi? Ayo lakukan pemanasan!”
kata Ace sekali lagi. Gadis yang menjadi partnernya ini sering tidak
mendengarkan perkataannya.
Agi menggerak-gerakkan kakiknya dengan
malas untuk memulai pemanasan. Sesaat kemudian ia mendengar Ace mengomel dengan
bahasa Spanyol. Agi diam-diam hendak mengaktifkan penerjemah bahasanya, tapi
lelaki itu sudah berhenti mengoceh dengan bahasa ibunya itu.
Ace tidak lagi mengoceh, setelah melihat Agi
melakukan pemanasan. Diam-diam Agi memperhatikan wajah lelaki yang sedang sibuk
dengan layarnya itu. Sebenarnya, Ace memiliki wajah tampan yang mungkin sudah
dimiliki dalam garis keturunannya. Kalau Agi tidak salah ingat, Ace pernah
bercerita tentang leluhurnya yang merupakan model terkenal pada masanya. Dan
lelaki ini terlihat lebih tampan saat ia tidak sedang mengoceh seperti
biasanya. Setiap hari mengingatkan Agi untuk bangun pagi, melakukan pemanasan
sebelum menyelam, dan mencatat laporan dengan rapi. Selalu menuntut
kesempurnaan yang sesuai dengan prosedur. Lelaki ini bahkan lebih cerewet dari
ibunya di rumah.
“Aku akan menyelam lebih dulu. Kau harus
hati-hati karena laut tampak kurang bersahabat.” Ace memasang alat komunikasi
bawah air di telinganya. Sebelum ia memasang alat bantu pernapasan di mulutnya,
lelaki itu berkata, “Jangan membawa ikan ke darat hanya karena kau mengiranya tenggelam.”
Dengan kesal Agi memutar bola matanya. Ungkapan itu lagi! Ace selalu mengatakan
kalimat sepanjang itu hanya untuk mengatakan bahwa Agi adalah seorang partner
yang bodoh. Agi memperhatikan saat lelaki itu mulai melompat ke dalam air dan
menyelam ke arah barat.
Planet ini memiliki dua bulan bernama
Lomon dan Vepra yang muncul bergantian siang dan malam. Agi menatap ke arah
langit yang tampak cerah hari ini. Laut juga tampak tenang. Apa yang harus
ditakutkan?
“Aku
tidak ingin direpotkan dengan hal tidak penting.”
Siapa
juga yang mau merepotkan lelaki sepertimu? Agi merutuk sambil menggerakkan tangan untuk
memunculkan layar. Ia mulai mengenakan semua peralatan menyelamnya. Ini bukan
hari pertamanya menyelam di laut ini. Lagi pula, sejauh yang ia tahu ada leluhurnya
yang juga merupakan peneliti lautan. Leluhurnya yang lain bertemu dengan cinta
sejatinya juga di laut. Maka, apa yang harus Agi takutkan dari laut?
Manusia pada masa ini memang memiliki
akses untuk melihat garis keturunan mereka. Tapi hal tersebut tidak semudah
memejamkan mata. Diperlukan meditasi yang disebut stochaz untuk melihat jalur masa lalu melalui ingatan genetik.
Sementara untuk melihat masa depan, meditasi stomoz yang harus dilakukan. Hal tersebut jauh lebih sulit karena
melihat sesuatu yang belum terjadi.
Dan Agi bukanlah orang yang mau repot-repot melakukan itu. Ia lebih suka
menikmati hidup yang penuh yang kejutan.
Agi menempelkan sebuah alat yang tampak
seperti tabung kecil ke mulutnya untuk membantu pernapasannya dalam air. Ia
mulai berlari di atas pasir pantai merah muda lalu menceburkan dirinya ke
lautan biru. Tubuh gadis itu meliuk-liuk di dalam air, menuju arah timur sesuai
perintah Mr. Perfect itu.
Kesegaran air laut membelai tubuh Agi.
Gelembung air keperakan naik ke permukaan. Pemandangan bawah laut yang tidak
kalah indah dengan bumi memanjakan mata Agi, menariknya untuk menyelam lebih
dalam. Tapi semakin dalam Agi menyelam, ia semakin merasa sulit bergerak.
Seperti ada ombak besar yang menarik tubuhnya. Padahal permukaan air tampak
sangat tenang.
Dengan susah payah Agi menggerakkan
tubuhnya untuk berenang ke permukaan. Tapi sia-sia. Rasanya seperti ditarik
oleh tenaga yang sangat kuat. Entah apa yang terjadi. Tubuhnya tidak bisa
bergerak bebas. Tidak bisa bernapas karena tanpa sadar gigitan di tabung
oksigen Agi terlepas saat ia meronta. Agi tenggelam ke dasar laut, semakin jauh
terbawa arus.
Agi sangat menyukai laut. Sejak masih
tinggal di bumi, ia sudah mahir berenang dan menyelam. Tapi sekarang berbeda.
Air laut masuk melalui mulut gadis itu. Dadanya terasa sesak tertekan ombak.
Tiba-tiba ia mengerti sekarang. Sepandai apapun ia berenang, seharusnya ia
tidak boleh sombong dan terlalu percaya diri. Pemikiran seperti itu hanya akan
menariknya ke dalam jurang kegagalan.
Ah— pantas saja Ace sering mengingatkan hal yang
dianggap sepele oleh Agi. Gadis itu baru menyadarinya sekarang. Ternyata ia
memang sebodoh itu.
Di tengah kesadarannya yang menipis, Agi merasakan
air matanya berlinang bercampur dengan air laut. Ia masih ingin kembali ke bumi
dan bertemu keluarganya. Sekarang bukan saat yang tepat untuk bertemu dengan
leluhurnya yang sudah meninggal. Agi juga masih ingin bertemu dengan Ace. Andai
saja ia lebih mendengarkan lelaki itu.
Benak Agi memutar rekaman kejadian dalam
hidupnya beberapa tahun lalu. Saat itu pertama kalinya ia ditugaskan ke planet
ini bersama dengan Ace. Lelaki itu tampak sangat dingin dan acuh terhadap kehadirannya.
Tapi Agi dengan gigih melancarkan proses pendekatan. Tanpa disangka, setelah mereka
akrab ternyata Ace menjadi sangat cerewet.
Sebenarnya Agi merasa senang memiliki
partner seperti Ace. Mereka selalu saling melengkapi. Sebelumnya, gadis itu mengira
ia akan bertugas di planet ini sendirian. Teman-temannya yang lain tidak mau
dikirim ke planet kecil yang sedikit primitif seperti Antariz. Belum lagi para
penduduknya yang tidak ramah. Mereka lebih memilih planet-planet metroplis
dengan pusat perbelanjaan yang melimpah. Maka, Agi merasa sangat senang ketika
mendapati ada seseorang yang memilih planet yang sama dengan dirinya.
Oh— aku tidak boleh mati sekarang. Agi membayangkan sosok Ace yang tengah
mengetik laporan penelitiannya di tepi pantai. Setidaknya ia ingin mengucapkan
terima kasih kepada Ace. Senyuman lelaki itu sedikit memberi keberanian untuk
Agi. Sekuat tenaga, ia berusaha menyibakkan air dengan menggerakkan kakinya.
Apa daya. Usaha Agi sia-sia.
Kesadaran gadis itu hilang ditelan ombak
laut. Gelang di tangan kirinya memancarkan cahaya merah berkelap-kelip. Sebuah
pertanda bahwa denyut nadi pemiliknya semakin melemah.
***
Ace mengabadikan pemandangan bawah laut
yang dilihatnya dengan menggunakan kamera bawah air. Kamera itu berbentuk
seperti tabung lensa yang disematkan pada jari seperti sebuah cincin. Beberapa
ikan bersembunyi malu-malu saat Ace mengarahkan kamera ke arah mereka. Ikan-ikan
di sini memiliki bentuk yang menarik. Ada ikan berwarna merah berbintik hitam
dengan ekor sirip berwarna hijau yang tampak seperti sebuah stroberi sedang
berenang. Semua jenis makhluk di planet ini masih asli dan bukan robot maupun
makhluk buatan.
Itulah salah satu alasan yang membuat Ace
memilih planet ini sebagai tempat ia bertugas meneliti selama tiga tahun. Alasan
lain tentu saja karena gadis bernama Agi itu. Gadis itu sangat ceria dan selalu
bisa menghidupkan suasana selama mereka masih menempuh pelatihan di bumi. Tapi
beberapa kali Ace pernah melihat Agi menangis diam-diam di lorong sepi yang
jarang dilalui orang. Tidak pernah sekali pun Agi menyadari kehadiran Ace yang
memang sengaja bersembunyi untuk menghindari suasana canggung.
Gadis itu menangis karena ia mengetahui
bahwa teman-temannya pergi bersenang-senang tanpa dirinya, membohonginya, atau
membicarakan hal buruk tentang dirinya secara diam-diam. Agi tahu tapi ia
memilih diam. Setelah menangis, ia akan kembali kepada teman-temannya dengan
sikap yang ceria seolah tidak terjadi apa-apa.
Pada awalnya, Ace merasa kasihan dengan
kebodohan Agi. Seharusnya gadis itu lebih baik meninggalkan orang-orang seperti
itu. Lambat laun tanpa disadarinya, Ace mulai memberi perhatian lebih kepada
gadis itu. Ia sempat mendengar bahwa Agi memilih Antariz sebagai lokasi
penelitian lautnya, dan entah mengapa Ace juga memilih planet ini. Tanpa
terasa, sudah hampir tiga tahun berlalu. Dalam hitungan bulan, mereka sudah
harus kembali ke bumi.
Benar juga. Bagaimana keadaan gadis itu?
Biasanya gadis itu akan mengirim pesan singkat bertubi-tubi kepada Ace jika
melihat sesuatu yang menarik. Tapi hari ini kenapa sepi sekali?
Ace mencoba menghubungi Agi, tapi tidak
bisa. Sebuah laporan muncul yang mengatakan bahwa jaringan yang dihubungi Ace
kehilangan sinyal. Perasaan panik memenuhi hati Ace. Bergegas ia memacu
tubuhnya untuk berenang ke arah berlawanan.
Saat itulah Ace melihat sebuah ombak di
bawah laut yang sangat kontras dengan permukaan laut yang tenang. Ace menelan
ludahnya yang terasa pahit. Jangan-jangan... Sekuat tenaganya Ace berenang
dengan cepat sambil berusaha menghapus kemungkinan terburuk itu dari otaknya.
Ace yakin ia sudah tiba di daerah
penelitian Agi. Seharusnya gadis itu ada di sini. Tapi ia tidak bisa menemukan
siapa pun. Hanya ada ombak yang bergulung perlahan dan tidak sedahsyat yang ia
lihat tadi. Ace merasa tubuhnya lemas. Tapi ia tidak boleh menyerah sebelum
menemukan gadis itu.
Sebuah lampu merah tampak berkelap-kelip
menarik perhatian Ace. Itu pasti berasal dari gelang yang digunakan Agi. Ace
berenang mendekati lampu itu sambil berharap ia tidak terlambat. Seperti
dugaannya, mata gadis itu terpejam dan ia membiarkan air laut membawa tubuhnya
sesuka hati.
Ace berhasil membawa Agi keluar dari air
lalu segera membaringkan gadis itu di permukaan yang datar. Jantung Ace
berdebar sangat kencang karena merasa panik. Gelang di tangannya memancarkan
warna merah karena itu. Ace segera melepaskan gelang sialan itu dari tangannya.
Tidak pernah ia merasa seperti ini. Bukankah biasanya ia selalu menghadapi
masalah dengan kepala dingin dan hati yang tenang? Tapi kenapa sekarang ia
tidak tahu harus berbuat apa.
Seharusnya ada alat yang dapat digunakan
untuk saat seperti ini. Ace mengacak rambut basahnya dengan kesal. Ia tidak bisa mengingat satu pun nama dari
alat-alat tersebut. Satu-satunya cara yang muncul di otak Ace hanyalah cara primitif
yang diajarkan saat di tempat pelatihan dulu. Cara pemberian napas buatan yang
sudah jarang dilakukan oleh manusia.
Ace menahan napasnya. Ia tidak yakin bahwa
ia bisa melakukannya. Tapi tidak ada pilihan selain mencoba.
Dengan tangan yang gemetar, Ace
menekan-nekan dada Agi hingga gadis itu memuntahkan banyak air. Ace sedikit
medesah lega saat mendengar Agi terbatuk-batuk. Tapi gadis itu belum sadarkan
diri. Ace menyangga leher Agi menggunakan lengannya. Ia bersiap untuk melakukan
tahap selanjutnya yaitu menyalurkan udara dari mulutnya ke mulut gadis itu.
Tapi tiba-tiba gerakan Ace terhenti saat bibirnya dan bibir Agi hanya berjarak
satu senti. Bukankah ini termasuk tindak pelecehan? Hanya pecundang yang menyerang seorang gadis yang tidak
sadarkan diri.
Ace
memaksa otaknya untuk berpikir cepat menemukan cara lain. Hingga akhirnya Ace
mengambil tabung oksigennya dan memasangkannya di bibir Agi.
Udara di sekitar Ace seketika menjadi
lebih ringan saat oksigen mengalir melalui mulut Agi. Ia mendesah lega saat
melihat napas Agi mulai teratur. Dengan sigap ia membopong tubuh Agi ke
rumahnya.
Begitu masuk ke dalam rumah, Ace segera
memunculkan tempat tidurnya yang nyaman. Tapi saat hendak membaringkan Agi, ia
sadar bahwa tidak mungkin membiarkan Agi dalam balutan pakain yang basah. Gadis
ini harus mengganti bajunya tapi belum ada tanda-tanda Agi akan sadarkan diri.
Pakaian
milik Agi ada di lemari dalam layar
pribadinya. Tapi Ace tidak bisa memunculkan layar milik Agi ke hadapannya.
Setiap orang memiliki layarnya masing-masing yang digunakan secara pribadi. Ace
juga tidak bisa meminjamkan pakaiannya untuk Agi ataupun orang lain. Semua
pakaian sudah diatur untuk hanya bisa digunakan oleh pemiliknya.
Ace menelan ludah. Apa ia harus menggunakan
cara primitif sekali lagi?
***
Agi terbangun dan segera menyadari bahwa
ia tidak sedang berada di rumahnya. Gadis itu terbatuk-batuk dan merasakan
kekeringan melanda tenggorkannya. Ia berusaha duduk dan bersandar pada kayu
dipan tempat tidur itu. Saat itulah ia menyadari bahwa tubuhnya tidak
mengenakan apapun di balik selimut hangat itu.
“Segera kenakan pakaianmu,” ujar Ace
perlahan saat menyadari pergerakkan di tempat tidurnya.
Suara itu cukup perlahan tapi mampu
membuat Agi terkesiap. Ia baru menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ada Ace di
sana, berdiri memunggungginya dan tampak sibuk dengan sesuatu. Jadi, apa Ace
yang sudah melepas pakaiannya? Pertanyaan itu sontak membuat pipi Agi merona.
Buru-buru ia menampar wajahnya sendiri untuk menghapus pikiran yang tidak
pantas. Ia tidak seharusnya menuduh seseorang tanpa bukti.
Agi segera menggerakkan tangannya dan
memilih pakaian dari lemari pada
layar pribadinya. Setelah mengenakan terusan —yang cukup populer pada tahun 1950, dengan
banyak kancing di bagian depan, gadis itu berjalan turun dari tempat tidur. Ia
berjingkat perlahan mendekat ke arah Ace.
“Kalau kau masih merasa pusing, lebih baik
jangan turun dari tempat tidur,” ujar Ace tanpa sedikit pun menoleh ke
belakang. Dan lagi-lagi Agi terkejut karenanya.
Tapi Agi tidak menghiraukan peringatan
itu, ia terus saja berjalan lalu duduk di sebuah kursi kayu tinggi tanpa
sandaran.
Ace melirik sedikit ke arah Agi lalu
menggelengkan kepala dengan heran. “Apa kau tidak bisa berpakaian sesuai
zamanmu?”
Agi mengerucutkan hidung dan bibirnya
mendengar Ace mengkritik gaya berpakaiannya. “Pakaian pada zaman ini benar-benar
membosankan.”
Ace tidak menjawab apapun sehingga Agi
menyibukkan diri memperhatikan dapur milik Ace. Sesuatu yang tidak ia miliki di
rumahnya. Ia lebih suka membeli makanan cepat saji yang semuanya disiapkan oleh
Alva.
Sebenarnya dapur Ace sangat sederhana.
Hanya terdiri dari sebuah meja lebar dengan sebuah tabung untuk memasak yang
disebut Kooch7. Hasil makanan yang akan dimasak oleh alat itu tergantung dari
kemampuan pemiliknya meracik bahan yang diperlukan untuk membuat suatu makanan.
Dan Agi bukanlah orang yang mau merepotkan diri untuk hal seperti itu.
“Kau mengaguminya? Dapurku?” Nada bicara
Ace datar tapi membuat Agi mendongak ke arahnya, tersentak dengan pikirannya
sendiri.
“Hanya tidak menyangka bahwa kau bisa
memasak.”
Ace terkekeh pelan sambil tetap fokus
memotong bahan masakannya di atas meja. “Apa yang tidak bisa kita lakukan di
zaman seperti ini?”
Benar juga. Semua benda canggih di zaman
ini sangat membantu pekerjaan manusia. Jika saja mereka tidak berubah menjadi
pemalas kelas kakap. Agi merasa beruntung karena ia menyukai kegiatan luar
rumah dan mengobrol dengan banyak orang. Sehingga rasa malasnya tidak membuat
sendi-sendinya kaku karena tidak pernah digerakkan.
“Agi?”
Agi tersentak. “Maaf?”
“Aku bertanya apa kau lapar,” tanya Ace
kepada Agi. Diam-diam Agi memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan Ace.
Lelaki itu tampak terbiasa bekerja di dapur. Caranya memotong sangat rapi. Agi
belum tentu bisa melakukan hal itu sekalipun menggunakan pisau paling canggih
yang pernah ada.
Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin
ditanyakan Ace. Seperti bagaimana bisa lelaki ini mengetahui bahwa ia tenggelam
padahal mereka berada dalam arah yang berlawanan. Kenapa Ace mau berbaik hati
menolongnya? Dan bagaimana hingga... ia bisa berakhir tanpa pakaian di rumah
Ace.
“Apa yang kau pikirkan?” Ace kembali
bertanya karena Agi tidak langsung menjawab pertanyaannya. “Aku hanya melepas
pakaianmu yang basah. Tidak lebih— jika memang
itu yang kau khawatirkan. Aku tidak mungkin bisa mengakses ke dalam layar
pribadimu untuk memilihkan pakaian, kau tahu itu?”
“Ya. Aku tahu itu. Aku percaya padamu,
Ace,” jawab Agi cepat-cepat. Ia ingin segera mengalihkan pembicaraan sebelum
pipinya berubah semerah tomat yang sedang dipegang Ace. “Ngomong-ngomong, aku
sangat lapar sekarang. Sebenarnya, apa yang sedang kau buat?”
“Omelette,”
jawab Ace singkat. Lelaki itu memasukkan bahan-bahan lalu menekan tulisan omelette pada badan tabung itu. “Aku
harap kau suka omelette.”
“Ya aku suka,” jawab Agi sambil tersenyum
penuh semangat. “Lagi pula apa saja bisa dimakan oleh seorang gadis yang sudah
menelan setengah lautan ke dalam perut dan paru-parunya.”
Agi menertawakan gurauannya sendiri. Ace
juga tertawa singkat lalu mengatakan perintah kepada meja di hadapan Agi.
Segelas air mineral muncul seketika.
“Minumlah. Tenggorokanmu pasti kering.”
Tidak sekedar kering. Tenggorokan Agi
terasa panas sekarang karena sejak tadi ia sudah berceloteh. “Terima kasih,”
ujar Agi setelah menenggak habis air dalam gelas itu.
“Silakan, omelette-mu.”
Rupanya omelette itu sudah matang. Agi menatap seperti seekor serigala yang
kelaparan. Ia segera melahap sepotong dengan garpu sebelum air liurnya menetes.
Dan menurut Agi, omelette buatan Ace
terasa sangat lezat dan mewah dibandingkan makanan sehari-harinya.
“Apa pendapatmu mengenai planet ini?”
tanya Ace lalu menyuapkan omelette-nya.
Agi tidak langsung menjawab. Gadis itu
mencoba mengingat apa saja yang pernah dilakukannya di planet ini. “Menurutku,
Antariz merupakan planet yang tidak kalah indah dari bumi. Alamnya masih sangat
terjaga, berbeda dengan di bumi yang sudah tercemar. Aku suka pemandangannya,
lautnya, orang-orangnya, dan aku merasa beruntung karena bekerja di planet
indah ini bersama partner sebaik dirimu. Terima kasih, Ace.”
Ace mengerutkan keningnya, alis gelap itu
terangkat karena mendengar ucapan terima kasih yang tulus dari Agi. “Ya. Kau
memang sering merepotkanku.”
Tawa Agi meledak dan membuat Ace bingung.
Ia tidak lagi marah jika Agi menyebutnya bodoh dan ceroboh. Air laut planet ini
sudah cukup menyadarkannya. “Bahkan aku berharap jika suatu hari nanti aku
menikah, aku ingin berbulan madu di planet ini.”
Pernikahan,
huh? Ace pernah satu kali
berhasil melakukan meditasi stomoz
dan mendapati Agi ada di sana. Gadis itu tampak sangat cantik dengan balutan
gaun pernikahan. Tapi penglihatan Ace ke arah sana masih sangat samar. Ia
bahkan tidak bisa melihat siapa mempelai lelaki Agi. Sempat Ace mengira, itu
adalah penglihatannya akan pernikahan Agi dengan seorang Agoritz yang dulu
menjadi kekasih gadis itu. Tapi ternyata dugaan itu salah. Mereka bahkan sudah
putus sekarang.
Lama sekali Ace terus mengulang
penglihatan itu dalam ingatannya sampai ia merasa resah. Hingga di suatu malam,
ia terbangun dan mendapati dirinya tengah merasakan sesuatu yang berbeda
terhadap Agi. Perasaan itu adalah perasaan paling primitif yang tidak pernah
berubah bagaimana pun canggihnya teknologi dunia. Ya. Ace jatuh cinta kepada
Agi. Lelaki itu juga menyadari bahwa masa depan yang ia lihat adalah masa
depannya —bukan
masa depan Agi. Dan itu berarti mungkin saja pengantin lelakinya adalah Ace
sendiri.
Tadi saat Agi terbaring lemah dengan napas
yang terputus-putus, Ace merasa sangat ketakutan. Ia merasa tidak siap untuk
kehilangan gadis ini. Sehingga tanpa sadar Ace memohon dengan sangat di dalam
hatinya agar kondisi Agi segera pulih. Bahkan ia sempat berjanji akan melamar
Agi jika gadis itu sadarkan diri.
“Jika tidak sekedar bulan madu —misalnya suamimu mengajakmu tinggal di
planet ini, apa kau akan menolaknya?”
“Tentu saja aku tidak akan menolaknya,”
jawab Agi cepat. “Apalagi jika suamiku sebaik dirimu, Ace,” tambahnya lantas
tertawa, tidak menyadari rasa gugup yang dirasakan Ace.
Alih-alih menanggapi gurauan Agi, Ace
malah memunculkan layar pribadi di hadapannya lalu memindahkan isi sebuah kotak
ke dalam genggamannya. Agi hanya bisa memperhatikan semua gerakan Ace dengan
alis berkerut.
Ace menyodorkan sesuatu berbentuk bulat ke
hadapan Agi. Mata gadis itu terbelalak lebar tidak percaya. Agi menatap benda
itu dan Ace secara bergantian, berkali-kali hingga kepalanya terasa pusing. Ia
tahu betul bahwa ini adalah cincin batu pernikahan.
Benak Agi membayangkan bagaimana usaha Ace
untuk mendapatkan batu ini lalu mengukir dan memahatnya menjadi secantik ini. Ukiran
pada badan cincin itu begitu detail dan sempurna. Kini cincin cantik itu
disodorkan Ace kepada Agi. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua telapak
tangannya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa tentang sesuatu yang begitu
mendadak ini. Apakah ini sebuah lamaran?
Apakah Ace meminta Agi untuk menikah dengannya?
“Agi, maukah kau menikah denganku?”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D